Kemarin pagi saya berangkat dari rumah menuju tempat kerja dengan
menggunakan bus kota. Sebuah pagi yang indah untuk mengawali rutinitas yang
mungkin kata orang sangatlah membosankan. Lho, mengapa mereka bisa bilang
membosankan? Mungkin bagi orang-orang yang berkata rutinitas di pagi hari
adalah membosankan, saya pikir mereka sudah bosan hidup.
Terlalu sadis memang, tapi hidup itu perlu disyukuri. Manusia
kadang tidak pernah bisa mensyukuri kehidupannya. Sudah dikasih umur sampai
kembali menemui pagi, eh malah tidur kembali dan malas untuk beraktivitas.
Itulah sebenarnya tanda-tanda nyata orang yang “siap” menghadapi kematiannya,
yakni saat-saat dimana pagi sudah bukan menjadi kekaguman dan kebahagiaan
untuknya.
Saya pun naik bis menuju ke tempat kerja saya, sebuah universitas
besar di pinggiran kota. Berbekal
Rp5000,00 rupiah, saya bisa menuju ke tempat kerja yang bisa memakan waktu
sampai satu jam perjalanan. Sepanjang perjalanan, saya nikmati dengan mendengar
lagu sambil melihat-lihat pemandangan sambil sesekali melirik-lirik siapa tahu
ada teman yang dikenal (atau mungkin hal-hal yang mampu membangkitkan gairah
beraktivitas di pagi saya, hahaha). Bus pun terus melaju, hingga sampailah bus
tersebut di pintu gerbang tol. Hal ini berarti, tidak lama lagi perjalanan saya
akan segera sampai di tempat tujuan.
Setelah pengecekan penumpang, bus kembali melaju memasuki tol.
Hampir semua penumpang sibuk dengan pikiran dan aktivitasnya masing-masing,
seperti tidur, main BB, mendengar lagu, baca buku, hingga ngupil. Saya pun
terhanyut dalam irama lagu yang mengalun di pemutar musik sambil menatap
pemandangan di luar keca jendela. Namun, aktivitas saya sedikit terusik oleh
seseorang yang sedang membagikan sebuah amplop (tepatnya kertas yang dilipat
dan dilem hingga terlihat seperti amplop). Yang membagikan kertas itu adalah
seorang pemuda. Ia tersenyum ketika memberikan secarik amplop tersebut kepada
saya sambil berkata “punten”.
Saya pun menerima amplop tersebut. Tadinya saya pikir amplop
tersebut adalah amplop penggalangan dana dari suatu organisasi atau kelompok
untuk bantuan bagi korban bencana alam. Ketika saya buka ada satu hingga dua
paragraf tulisan/surat yang merupakan latar belakang ia memberikan amplop
tersebut. Saya baca dan saya kaget ketika tahu isi dari tulisan tersebut.
Sayang, saya lupa memfotonya. Yang jelas, bunyi dari surat tersebut adalah
permohonan bantuan dari penumpang. Pemuda yang memberikan amplop tadi ternyata
adalah seorang mahasiswa yang—mungkin—akan segera lulus dari kuliahnya. Namun,
ia terganjal oleh hutang kepada pihak kampus sebesar Rp6.500.000,00 dan
ditambah dengan membayar wisuda yang akan diselenggarakan pada bulan November
nanti
.
Mahasiswa tersebut mengaku tidak memiliki uang untuk membayar dan
melunasi hutangnya. Oleh karena itu, ia “terpaksa” meminta belas kasih dari
orang-orang untuk sudi memberikan sedekah berapapun nominalnya untuk membantu
membayar biaya tersebut. Dalam suratnya, ia pun meyakinkan orang-orang bahwa ia
memiliki cita-cita yang tinggi. Sebagai bukti bahwa ia berstatus mahasiswa, ia
tuliskan bahwa ia mempunyai kartu mahasiswa.
Sayang, ia tidak menunjukkan bukti kartu tersebut kepada
orang-orang juga nama kampus tempat ia belajar. Barangkali ia malu untuk
menunjukannya, namun, bukti tertulis saja saya yakin tidak akan mudah
dipercayai orang.
Setelah membagikan amplop tersebut, ia pun diam berdiri di pintu
bis tanpa melakukan apa-apa. Saya pikir, ia akan mengamen atau berorasi untuk
“meluluhkan” hati penumpang. Namun, ia tidak melakukan apa-apa. Ia hanya diam
mematung sambil pandangannya lurus ke depan.
Sebagai seorang yang dulu pernah berstatus mahasiswa, saya pun iba
melihat kondisi mahasiswa malang tersebut. Saya merasakan bagaimana susahnya
menjadi mahasiswa, apalagi dengan biaya perkuliahan yang selangit. Namun, di
dalam hati saya terjadi sebuah pertentangan antara membela atau menolaknya.
Saya kembali pandang ia, ia seorang pemuda yang masih kokoh, tegap, dan memang
sangat tidak wajar jika sampai mengemis. Apalagi dengan statusnya sebagai
mahasiswa, tentunya ia punya banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk
mendapatkan uang selain dari mengemis.
Mahasiswa sampai mengemis? Itulah pertanyaan yang sungguh membuat
miris jika Anda benar-benar melihat kejadian tersebut di depan mata Anda. Dan
saat itu, saya benar-benar menghadapinya. Tragis memang, ini menjadi bukti
betapa pemerintah telah gagal untuk memberikan pendidikan yang benar-benar
terjangkau oleh golongan cilik sekali pun. Namun, saya pun kembali teringat
bahwa ia adalah mahasiswa, bukan lagi seorang siswa. Ia adalah siswa yang
“maha”, tulang punggung negara nantinya. Sebagai seorang yang berstatus maha,
tentunya banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang mahasiswa daripada
mengemis. Apalagi ia tidak melakukan apa-apa dalam aktivitas mengemisnya, hanya
memberikan amplop dan berharap Tuhan memberikan rezekiNya lewat belas kasih
orang-orang tanpa melakukan apa-apa.
Saya bukan menjelek-jelekkan dia, saya pun merasakan bagaimana
susahnya menjadi mahasiswa, apalagi dalam urusan finansial. Akan tetapi,
mengemis pun bukanlah jalan yang terbaik untuk mencari uang. Mahasiswa bukan
dibentuk untuk menjadi seorang pengemis. Mahasiswa adalah individu yang
digembleng oleh dosennya untuk menjadi individu yang berkualitas, bukan malah
menjadi robot yang menyerap ilmu-ilmu saja. Ia harus punya sikap dan berani
melawan untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang menjadi tirani bagi langkahnya.
Sesuatu yang menjadi ranjau dalam perjalanannya.
Saya pun menjadi iba dengannya. Iba dalam artian mengapa ia bisa
sampai memilih untuk menjadi peminta-minta tanpa memberikan suatu jasa ataupun
sesuatu yang bisa dijual, misalnya mengamen, baca puisi, atau hal lainnya.
Padahal, belum tentu orang pun akan iba pada dirinya, malah bisa jadi
menganggapnya menjadi rendah dan berkata, “masa seorang mahasiswa harus
ngemis?” kasihan.. kasihan..
Beberapa menit kemudian, ia pun mengambil kembali amplop-amplop
yang telah dibagikan. Sampailah ia ke kursi saya dan mengambil amplop yang
tidak saya isi uang. Saya takut jika saya isi uang, ia malah keenakan untuk
menjadi seorang pengemis (saya bukan pelit lho!).Saya pandangi dalam-dalam ia,
ia hanya tersenyum sambil menatap saya. Ada rasa malu dan kasihan pada dirinya
(mungkin menyadari jika amplop dari saya tidak berisi uang). Akh, kau
sebenarnya masih bisa berusaha tanpa mengemis Bung! Kataku dalam hati. Banyak
hal yang bisa kau kerjakan tanpa dengan mengemis, misalnya bekerja paruh waktu
ataupun menulis artikel yang bisa mendatangkan uang. Jangan takut untuk tidak
mendapatkan pekerjaan, rezeki pasti telah disediakan untukmu, asalkan kau mau
berusaha tanpa pernah menjadi seorang pengemis.
Saya hanya bisa berdoa untuknya, semoga Tuhan Yang Mahabaik
melapangkan rezeki baginya dan semoga ia sadar akan kekeliruannya untuk menjadi
pengemis dan berusaha keras mencari uang tanpa pernah menjadi pengemis bagi
orang lain. Selamat berjuang Bung! Gunakan ilmumu untuk menyukseskan hidupmu.
Dan jangan lagi kau menjadi seorang pengemis!
Sepanjang Tol
Moh. Toha-Cileunyi, 17 April 2012