Tuesday, 17 April 2012

KETIKA MAHASISWA (HARUS) MENJADI SEORANG PENGEMIS


Kemarin pagi saya berangkat dari rumah menuju tempat kerja dengan menggunakan bus kota. Sebuah pagi yang indah untuk mengawali rutinitas yang mungkin kata orang sangatlah membosankan. Lho, mengapa mereka bisa bilang membosankan? Mungkin bagi orang-orang yang berkata rutinitas di pagi hari adalah membosankan, saya pikir mereka sudah bosan hidup.

Terlalu sadis memang, tapi hidup itu perlu disyukuri. Manusia kadang tidak pernah bisa mensyukuri kehidupannya. Sudah dikasih umur sampai kembali menemui pagi, eh malah tidur kembali dan malas untuk beraktivitas. Itulah sebenarnya tanda-tanda nyata orang yang “siap” menghadapi kematiannya, yakni saat-saat dimana pagi sudah bukan menjadi kekaguman dan kebahagiaan untuknya.

Saya pun naik bis menuju ke tempat kerja saya, sebuah universitas besar di pinggiran kota.  Berbekal Rp5000,00 rupiah, saya bisa menuju ke tempat kerja yang bisa memakan waktu sampai satu jam perjalanan. Sepanjang perjalanan, saya nikmati dengan mendengar lagu sambil melihat-lihat pemandangan sambil sesekali melirik-lirik siapa tahu ada teman yang dikenal (atau mungkin hal-hal yang mampu membangkitkan gairah beraktivitas di pagi saya, hahaha). Bus pun terus melaju, hingga sampailah bus tersebut di pintu gerbang tol. Hal ini berarti, tidak lama lagi perjalanan saya akan segera sampai di tempat tujuan.

Setelah pengecekan penumpang, bus kembali melaju memasuki tol. Hampir semua penumpang sibuk dengan pikiran dan aktivitasnya masing-masing, seperti tidur, main BB, mendengar lagu, baca buku, hingga ngupil. Saya pun terhanyut dalam irama lagu yang mengalun di pemutar musik sambil menatap pemandangan di luar keca jendela. Namun, aktivitas saya sedikit terusik oleh seseorang yang sedang membagikan sebuah amplop (tepatnya kertas yang dilipat dan dilem hingga terlihat seperti amplop). Yang membagikan kertas itu adalah seorang pemuda. Ia tersenyum ketika memberikan secarik amplop tersebut kepada saya sambil berkata “punten”.

Saya pun menerima amplop tersebut. Tadinya saya pikir amplop tersebut adalah amplop penggalangan dana dari suatu organisasi atau kelompok untuk bantuan bagi korban bencana alam. Ketika saya buka ada satu hingga dua paragraf tulisan/surat yang merupakan latar belakang ia memberikan amplop tersebut. Saya baca dan saya kaget ketika tahu isi dari tulisan tersebut. Sayang, saya lupa memfotonya. Yang jelas, bunyi dari surat tersebut adalah permohonan bantuan dari penumpang. Pemuda yang memberikan amplop tadi ternyata adalah seorang mahasiswa yang—mungkin—akan segera lulus dari kuliahnya. Namun, ia terganjal oleh hutang kepada pihak kampus sebesar Rp6.500.000,00 dan ditambah dengan membayar wisuda yang akan diselenggarakan pada bulan November nanti
.
Mahasiswa tersebut mengaku tidak memiliki uang untuk membayar dan melunasi hutangnya. Oleh karena itu, ia “terpaksa” meminta belas kasih dari orang-orang untuk sudi memberikan sedekah berapapun nominalnya untuk membantu membayar biaya tersebut. Dalam suratnya, ia pun meyakinkan orang-orang bahwa ia memiliki cita-cita yang tinggi. Sebagai bukti bahwa ia berstatus mahasiswa, ia tuliskan bahwa ia mempunyai kartu mahasiswa.

Sayang, ia tidak menunjukkan bukti kartu tersebut kepada orang-orang juga nama kampus tempat ia belajar. Barangkali ia malu untuk menunjukannya, namun, bukti tertulis saja saya yakin tidak akan mudah dipercayai orang.

Setelah membagikan amplop tersebut, ia pun diam berdiri di pintu bis tanpa melakukan apa-apa. Saya pikir, ia akan mengamen atau berorasi untuk “meluluhkan” hati penumpang. Namun, ia tidak melakukan apa-apa. Ia hanya diam mematung sambil pandangannya lurus ke depan.

Sebagai seorang yang dulu pernah berstatus mahasiswa, saya pun iba melihat kondisi mahasiswa malang tersebut. Saya merasakan bagaimana susahnya menjadi mahasiswa, apalagi dengan biaya perkuliahan yang selangit. Namun, di dalam hati saya terjadi sebuah pertentangan antara membela atau menolaknya. Saya kembali pandang ia, ia seorang pemuda yang masih kokoh, tegap, dan memang sangat tidak wajar jika sampai mengemis. Apalagi dengan statusnya sebagai mahasiswa, tentunya ia punya banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk mendapatkan uang selain dari mengemis.

Mahasiswa sampai mengemis? Itulah pertanyaan yang sungguh membuat miris jika Anda benar-benar melihat kejadian tersebut di depan mata Anda. Dan saat itu, saya benar-benar menghadapinya. Tragis memang, ini menjadi bukti betapa pemerintah telah gagal untuk memberikan pendidikan yang benar-benar terjangkau oleh golongan cilik sekali pun. Namun, saya pun kembali teringat bahwa ia adalah mahasiswa, bukan lagi seorang siswa. Ia adalah siswa yang “maha”, tulang punggung negara nantinya. Sebagai seorang yang berstatus maha, tentunya banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang mahasiswa daripada mengemis. Apalagi ia tidak melakukan apa-apa dalam aktivitas mengemisnya, hanya memberikan amplop dan berharap Tuhan memberikan rezekiNya lewat belas kasih orang-orang tanpa melakukan apa-apa.

Saya bukan menjelek-jelekkan dia, saya pun merasakan bagaimana susahnya menjadi mahasiswa, apalagi dalam urusan finansial. Akan tetapi, mengemis pun bukanlah jalan yang terbaik untuk mencari uang. Mahasiswa bukan dibentuk untuk menjadi seorang pengemis. Mahasiswa adalah individu yang digembleng oleh dosennya untuk menjadi individu yang berkualitas, bukan malah menjadi robot yang menyerap ilmu-ilmu saja. Ia harus punya sikap dan berani melawan untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang menjadi tirani bagi langkahnya. Sesuatu yang menjadi ranjau dalam perjalanannya.

Saya pun menjadi iba dengannya. Iba dalam artian mengapa ia bisa sampai memilih untuk menjadi peminta-minta tanpa memberikan suatu jasa ataupun sesuatu yang bisa dijual, misalnya mengamen, baca puisi, atau hal lainnya. Padahal, belum tentu orang pun akan iba pada dirinya, malah bisa jadi menganggapnya menjadi rendah dan berkata, “masa seorang mahasiswa harus ngemis?” kasihan.. kasihan..

Beberapa menit kemudian, ia pun mengambil kembali amplop-amplop yang telah dibagikan. Sampailah ia ke kursi saya dan mengambil amplop yang tidak saya isi uang. Saya takut jika saya isi uang, ia malah keenakan untuk menjadi seorang pengemis (saya bukan pelit lho!).Saya pandangi dalam-dalam ia, ia hanya tersenyum sambil menatap saya. Ada rasa malu dan kasihan pada dirinya (mungkin menyadari jika amplop dari saya tidak berisi uang). Akh, kau sebenarnya masih bisa berusaha tanpa mengemis Bung! Kataku dalam hati. Banyak hal yang bisa kau kerjakan tanpa dengan mengemis, misalnya bekerja paruh waktu ataupun menulis artikel yang bisa mendatangkan uang. Jangan takut untuk tidak mendapatkan pekerjaan, rezeki pasti telah disediakan untukmu, asalkan kau mau berusaha tanpa pernah menjadi seorang pengemis.

Saya hanya bisa berdoa untuknya, semoga Tuhan Yang Mahabaik melapangkan rezeki baginya dan semoga ia sadar akan kekeliruannya untuk menjadi pengemis dan berusaha keras mencari uang tanpa pernah menjadi pengemis bagi orang lain. Selamat berjuang Bung! Gunakan ilmumu untuk menyukseskan hidupmu. Dan jangan lagi kau menjadi seorang pengemis!



Sepanjang Tol Moh. Toha-Cileunyi, 17 April 2012