Untuk jiwa yang berada dalam sunyi
16.35
Perempuan itu berdiri mematung di tepi pantai. Air laut memainkan kakinya, dan pasir basah pun ikut menempel di kakinya yang putih. Senja masih terlalu lama untuk tenggelam ke dalam lautan, dan agaknya ia memang ingin menunggu senja menghilang. Matanya sayu. Bajunya yang putih kini telah lusuh dan basah oleh airlaut. Angin yang bergaram memainkan rambutnya yang panjang, sangat panjang. Dan entah sampai kapan lagi ia akan mematung di sana, memandangi airlaut yang tertawa lepas, dan senja belum sampai pada batasnya. Ia masih menunggu senja itu berakhir.
“Cepatlah menjadi malam, dan datanglah kembali,” katanya.
Perempuan itu taktahu bahwa hari terlampau panjang untuk menjadi malam. Matahari belum mau menyudahi ceritanya. Ia masih ingin bermain-main dengan cakrawala. Dan perempuan itu agaknya takmengerti tentang matahari, mengapa sudah jam segini hari masih senja padahal seharusnya sudah malam. Ah, barangkali jam ini ngaco, atau memang waktu sudah takberaturan? Tidak ada lagi malam? Tidak ada lagi rembulan? Entahlah.
Waktu terus bergulir dan perempuan itu masih di sana.
“Mungkin kita selalu terjebak sunyi,” katanya.
17.35
Cakrawala merah saga. Matahari masih berada di sana. Dan pantai masih seperti dulu. Laki-laki itu berjalan di antara pasir basah. Bulu babi bergelinding tertiup angin yang bergaram. O, laut tetap saja masih menjadi misteri. Melenyapkan segala kenangan dan waktu yang bergulir. Biarlah, pikirnya. Biarlah segalanya lenyap dan dilarung ombak, barangkali ia memang pantas dilarung ombak. Burung camar terbang rendah mencari ikan di permukaan laut. Laki-laki itu, siapa ia? Entahlah. Ia memang terbuang. Dan mencoba mengais-ngais sisa waktu yang dahulu pernah ia gunakan bersama kekasihnya. Sudah tenggelamkah kiranya waktu dan kenangan itu di dasar lautan? Apakah bisa diselami lagi olehnya untuk mengangkat kembali ke permukaan?
Laut mengungkap perpisahan. Pertemuan selalu akan berujung dengan perpisahan. Laut itu hanya sekali saja menyapa pasir, menyapa pantai, menyapa daratan. Dan setelah itu ia kembali bertualang di samudera. Berbeda dunia. Mengunjungi pantai-pantai di belahan dunia lain. Laki-laki itu berpikir, apakah hidup seperti air laut? Datang hanya sebentar, sangat sebentar, dan kembali pergi menuju kehidupan selanjutnya? Seperti cinta, ya seperti cinta. Datang dan pergi bergantung pada waktu. Cinta terlalu indah untuk dipisahkan.
“Senja… Aku jadi ingat kamu,” bisiknya pada angin.
Siapakah ia? Dan mengapa langit masih bercahaya keemasan? Ia ingat, sangat ingat, bahkan selalu akan ingat sepanjang hayat bagaimana ia bercinta di kala malam. Cinta memang melankolis, namun bisa menjadi tragis. Dan malam pula yang melenyapkan cinta itu. Senja dan malam, benderang dan muram. Tiba-tiba laki-laki itu tertawa. Sangat terbahak-bahak, seakan-akan pantai, laut dan senja adalah lelucon belaka. Ia tertawa, dan hanya ia saja di pantai itu. Tawanya mengalahkan deru air laut yang riang menyapa pantai.
“Hahahaha! Sudahlah takada gunanya memikirkan ia!”
Lalu ia mengeluarkan handphone di saku bajunya. Dompet di saku celana pun ia keluarkan. Ia lemparkan benda-benda itu ke lautan lepas. Ia masih bisa melihat semua benda yang kini telah melayang di udara sebelum akhirnya lenyap di lautan. Ia kembali tertawa.
“Selesai sudah! Goodbye, so long!”
Perpisahan memang menyakitkan. Dan laki-laki itu kini telah merasakannya, bagaimana sebuah perpisahan bisa mengubah waktu dan kenangan. Bagaimana perpisahan bisa membawanya ke dalam ruang yang takberwaktu, atau barangkali memang takdikenal waktu. Senja masih bercahaya keemasan. Laki-laki itu akan kembali pada senja, pada cakrawala yang selalu melingkupinya. Dan laut masih bercerita, melepas rindu yang menggebu pada pantai.
“Tidak mudah bagi kita untuk melupakan sunyi!” teriaknya pada senja.
19.35
Waktu sudah menunjukkan malam, namun ini masih senja. Oladalah, mengapa hari belum menjadi malam? Senja masih bercahaya, dengan lempeng-lempeng kemilaunya yang selalu bercahaya. Matahari belum mau tenggelam ke dalam lautan. Dan pantai masih menyisakan seonggok cerita bagi laut.
Pantai berbisik lirih, dan laut mendengarnya dengan syahdu. O, manusia memang takakan selamanya sama. Manusia mempunyai dua dunia. Dan dunia itu akan selalu berbenturan, takpernah bisa beriringan. Sudahlah, meskipun hari sudah menunjukkan malam, matahari masih ingin bercerita pada cakrawala dan pantai pun masih ingin bercerita pada laut. Sudah berapa banyakkah laut menenggelamkan cinta dua manusia? Kadangkala mereka bertengkar di dermaga atau tepi pantai kala senja dan membuang segala cintanya ke laut pada malam harinya. Bukankah cinta didapat dengan sangat berharga dan menyusahkan? Lantas mengapa membuang cinta begitu mudah?
Air laut menyapa pantai, “Hai!”. Begitulah, sepanjang waktu. Dan perahu nelayan masih teronggok bisu menunggu malam tiba. Angin masih membawa kabar dari senja bahwa ia masih ingin berdiam di cakrawala. Dan burung camar terbang riuh rendah, semakin banyak, mencari ikan-ikan yang berenang bebas. Pantai sepi. Deru ombaknya menjadi suatu orkestra. Bisa jadi menjadi sebuah lagu jazz, ataupun keroncong. Di dunia ini, segala sesuatu bisa menjadi sebuah irama. Deru ombak pun bisa menjadi suatu lagu, dan iramanya akan selalu terkenang sepanjang masa.
Di pantai itu, sudah tidak ada lagi cinta. Kemarin ataupun esok. Segala sesuatu akan berujung pada perpisahan dan takdir. Ya, segala sesuatu memiliki takdirnya masing-masing. Angin tidak lagi membawa kabar. Dan senja masih berkuasa atas segala.
Malam takpernah datang di pantai itu. Takpernah. Yang datang hanya kesunyian dan air laut yang selalu ingin mendengar semua cerita dari pantai.
Sayup-sayup terdengar elegi yang lirih dan sendu. Oh, bertapa sendu…
Laut akan selalu menyampaikan sunyi.
21.35
“Hei bukankah ini sudah malam? Kenapa masih senja?” protes perempuan itu pada langit. Namun langit masih tetap senja. Senja masih tetap kemerahan. Dan matahari masih tetap berbingkai dalam lempeng cahaya. Ia tercenung, barangkali arlojinya rusak atau ngaco. Dibukanya arloji itu dan dilemparkan ke laut. Tenggelam di laut. Hilang dalam biru. Apakah ia menyesal membuang arlojinya yang sangat berharga tersebut? Tidak. Ia harus melenyapkan semua. Ia harus melenyapkan kenangan. Dan kenangan pahit sudah semestinya dilupakan.
Kini ia tidak punya lagi penunjuk waktu. Atau mungkin ia sudah tidak lagi mengenal waktu, dan punya waktu. Ia lumpuh di tepi pantai itu. Pandangannya masih lurus ke depan. Memandang ombak berkecipak dan burung camar yang masih mencari ikan. Ia ingat sebuah lagu lama:
Burung camar, tinggi melayang
Bersahutan di balik awan*)
Ia ingin pulang, sungguh. Tapi ia mesti pulang ke mana? Di dunia ini tidak ada lagi saudaranya. Ia hilang ditelan peradaban, bahkan kini ia pun terdampar di sebuah pantai yang takbernama, takberwaktu. Dan pantai itu kini memunculkan senja. Mega-mega berarak dalam cahaya, dan tidak pernah diketahui kapan senja dan segala yang bercahaya itu akan berakhir.
“Please, datanglah padaku malam, sebelum aku mati,” ujarnya lirih.
Ia taklagi mengenal lapar. O, ia taklagi mengenal dahaga. Ia hanya ingin malam menjelang. Dan ia akan rebah, jatuh terlentang dalam pasir yang basah dan rembulan purnama yang memayunginya. Bagai lagu keroncong, ia pun akan menjadi bahagia**). Bahagia dan tersenyum manis di bawah rembulan. Dan ia pun akan merasakan kenikmatan. Lebih indah dari pelukan. Lebih indah dari dekapan. Dan lebih panas dari sebuah ciuman. Ia akan merasakan segalanya, dimana malam akan selalu memayunginya dan membacakan sebuah sajak untuknya. Ya, sebuah sajak. Sajak yang berarti akhir dari segala.
“Dan senja akan selalu membawaku bercerita tentang sunyi,” katanya dalam linangan airmata.
24.35
Sepertinya waktu hanya merayap kosong belaka. Waktu berjalan hanya sepenggal saja. Ia hanya berjalan sampai senja, dan ketika senja waktu itu takberjalan lagi. Laki-laki itu masih berjalan di pantai. Tidak pernah ada ujung, dan memang sejauh mata memandang hanya lautan pasir belaka. Segalanya hanya pasir dan airlaut, dan senja. Bagaimana pun ia juga ingin pulang. Mengunjungi segala yang dicintai dan yang pernah dicintainya. Ia akan selalu bertanya, apa kabar rumah? Apa kabar Jakarta? Apa kabar Indonesia? Apa kabar…Oiya, apa kabar kamu? Apakah kamu baik-baik saja selama kita berpisah? Bagaimana pun. Tentunya ia takmungkin bisa pulang sekarang, karena waktu masih beranjak di senja. Terus berputar-putar di senja. Dan tidak tahu kapan akan berpaling dari senja. Senja akan abadi di sini, pikirnya. Ah, ia sudah lelah untuk berpikir. Ia terlalu lelah untuk berjalan-jalan lagi.
“Ah, sialan! Shit shit shit! Kenapa masih senja?”
Air laut masih bermain dengan pasir pantai.
“Kamu egois! Ingin menang sendiri!”
“Di mana kau!”
Taksatupun yang mendengarnya. Suaranya kalah oleh air laut. Cakrawala masih senja. Tentunya akan selalu senja. Karena di pantai ini, taksatu orang jua pun yang mampu mengubah cakrawala. Hanya Dia. Namun, Dia pun masih ingin bermain dengan senja. Takada satu kuasa pun yang bisa melarangNya.
Ia sudah lelah berjalan. Entah sudah berapa puluh kilometer. Namun perjalanannya itu tidak akan ada akhir dan tujuan. Ia berjalan bagai dalam labirin, berputar-putar dan tidak pernah temukan akhir. Ia sudah putus asa. Rasa sesal sudah terlanjur datang terlambat. Ia tahu perpisahan akan menyakitkan, dan kehidupan setelah perpisahan yang menyakitkan itu pun akan lebih menyakitkan karena ia takpernah memikirkannya matang-matang.
Syahdan, hari masih saja senja meski waktu telah menunjukkan malam di pantai itu. Laki-laki itu—ya hanya laki-laki itu saja—dalam kemeja putih yang sudah lusuh dan celana hitam yang telah robek sana-sini. Mega-mega selalu memantulkan cahaya. Matahari takkan pernah tenggelam ke balik lautan. Laki-laki itu taktahu bagaimana mengubah senja yang berkilauan tersebut. Tidak akan pernah tahu.
“Bagaimana aku bisa keluar dari sunyi?” teriaknya.
Suatu Senja di Masa Depan
“Kakek lihat ada dua mayat!”
Seorang anak kecil berlari-lari di pasir pantai yang basah senja itu. Kakeknya sedang membetulkan perahunya yang sedikit pecah dihantam karang. Ia tertegun mendengar kabar yang dibawa anaknya tersebut. Lagi-lagi laut membawa mayat. Dan laut akan selalu membawa apa saja, karena laut bagai sebuah cerita.
“Hmm…Seorang laki-laki dan perempuan,” ujar kakek tersebut.
“Bau busuk kek! Kira-kira darimana ya?”
Kakek itu terdiam.
“Barangkali dua mayat ini adalah korban ketidakbahagiaan, nak,” jawabnya datar.
Dan pantai akan selalu bercerita tentang air laut dan senja.
Bandung, 23 Mei 2010
19:43
*)lirik lagu “Burung Camar”-Vina Panduwinata
**)dimabil dari isi lirik lagu keroncong “Di Bawah Sinar Bulan Purnama”
No comments:
Post a Comment