Friday, 23 December 2011

Sepasang Patung di Taman Kota


Kedua patung itu saling berhadapan. Di taman kota mereka bertemu dan saling bercinta. Kedua patung itu—patung laki-laki dan perempuan—dijadikan simbol peradaban kota yang katanya sudah berbudaya dan maju. Entahlah, aku tidak akan memasalahkan apakah kedua patung tersebut adalah lambang dari kebesaran kota. Yang akan aku ceritakan padamu adalah bagaimana patung itu saling mencinta satu sama lain.
Menjelang senja, taman tersebut dipenuhi banyak orang. Lelaki atau pun perempuan. Tua ataupun muda. Anak-anak ataupun orang tua, karena taman tersebut selalu berkilauan kala senja. Dan kedua patung tersebut pun seringkali dilihat banyak orang, dijadikan objek pemotretan sampai tempat untuk melepas lelah.
Seorang anak kecil bertanya pada kakeknya:
“Kakek, kedua patung itu siapa?”
“Oh, mereka adalah pangeran dan putri yang abadi, nak.”
“Mengapa disebut abadi?”
“Karena dahulu kisah cinta mereka selalu terkenang, bahkan hingga zaman sekarang.”
“Apakah mereka saling mencintai?”
“Ya, karena cinta merekalah kota ini ada.”
“Kok bisa?”
“Kamu harus tahu legendanya. Kapan-kapan kakek akan ceritakan.”
“Oh jadi karena itulah mereka dibuat patung?”
“Ya, kau benar.”
Begitulah, kedua patung itu dibuat atas dasar cinta. Cinta yang kekal, abadi, dan takkan pernah hilang termakan oleh usia. Mereka telah lama tiada, namun patung mereka akan selalu melanjutkan sebuah kisah cinta. Ya, cinta dua manusia itu tertanam dalam sosok kedua patung tersebut.
Ketika malam tiba dimana manusia sudah tidak ada lagi yang bermain di taman itu, sepasang patung itu turun dari tempatnya dan berpelukan dalam cahaya merkuri dan rembulan. Betapa tidak ada yang lebih indah selain berpelukan di bawah cahaya rembulan. Cinta akan selalu kekal, abadi meski cinta tersebut tidak lagi bersarang dalam jiwa manusia melainkan dalam sosok patung laki-laki hitam dan patung perempuan abu-abu. Mereka berpelukan sangat lama, seakan lama tidak berjumpa meski kenyataannya setiap hari mereka terdiam saling berhadapan.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya patung lelaki.
“Kabarku… ada tiga anak kecil yang mengencingiku. Kau bagaimana?” jawab patung perempuan.
“Haha, kabarku… hari ini banyak sekali orang membuang sampah ke tempatku. Ciih, jijik, bau!”
“Sabar sayang, namanya juga patung.”
Mereka pun selalu berpelukan.
“Kau kusam sekali. Betapa marmermu sudah taklagi bercahaya, sayang.” Kata patung lelaki.
“Kau sendiri semakin menghitam. Barangkali batu sungaimu sudah gosong terpanggang matahari selalu.”
“Haha, kau bisa saja, sayang!”
“Kau pun begitu…”
Selalu apabila mereka telah ditakdirkan untuk bertemu dan saling menguji cinta di bawah rembulan, mereka akan berpelukan, menanyakan kabar, dan berakhir dengan ciuman hangat di tengah pelukan mereka. O, sungguh dahsyat sekali kekuatan cinta itu. Meski mereka patung, mereka sudah melupakan siapa kini mereka dan tidak pernah alpa untuk tidak berjumpa di kala malam.
“Padahal aku ingin memelukmu kala senja, dimana cahaya keemasan menyinari kita dan kita akan bercahaya, lelakiku.”
“Aku pun begitu, tetapi kita adalah patung. Jika kita bertemu kala senja, orang-orang pasti akan kabur semua.”
“Ya, kau benar. Betapa kita hanya bercinta dalam remang saja.”
“Bukankah dalam remang itu lebih baik daripada tidak sama sekali?”
“Lelakiku, cinta pun butuh cahaya. Cinta takhanya terjadi dalam keremangan belaka. Cinta selalu membutuhkan cahaya.”
“Bagaimana dengan cahaya lampu dan rembulan ini, sayang?”
Patung perempuan itu menggeleng.
“Tidak, kedua cahaya itu takmampu membuat cinta kita bercahaya.”
“Lantas bagaimana?”
Keduanya terdiam.
“Akan kuusahakan kita bertemu kala senja,” kata si lelaki.
Malam semakin tua. Cahaya rembulan lambat laun tertutup awan. Ini sudah terlalu malam, namun tidak akan ada yang menghalangi kisah cinta mereka. Mereka saling berpelukan, saling memandang dengan penuh cinta, berciuman dan selalu memegang tangan masing-masing. Malam memang sudah tua, namun selalu saja ada satu dua manusia yang masih menyusuri taman. Dan jika ada manusia melihat mereka bercinta, mereka akan langsung menghentikan kisah cinta mereka dan kembali menjadi patung, bertengger tegap di tempatnya masing-masing. Kemudian, mereka akan selalu mendengar teriakan:
“Hoiii!!! Patung itu bisa bergerak!”
***
“Kakek apakah benar patung ini bergerak?” seorang anak kecil lagi bertanya di senja yang lain.
“Akh, itu hanya cerita bohong saja nak. Mana ada patung di dunia ini yang bisa bergerak?” jawab kakeknya.
“Sudahlah, lebih baik nikmati saja senja ini,” kata kakeknya lagi.
Senja kembali turun di taman ini. Cahaya matahari membiasi jalanan di taman sehingga jalanan menjadi keemasan. Kedua patung tersebut masih tegak diam di tempatnya. Patung laki-laki memandang patung perempuan kekasihnya di hadapannya. Sungguh cantik ia. Kalau saja ia tidak ditakdirkan menjadi patung maka ia sudah bercinta dengan kekasihnya itu pun di senja yang indah tersebut. Sayang, mereka hanya patung sahaja. O, cinta abadi memang begitu penuh pengorbanan.
Patung wanita pun balas memandang tajam padanya, seakan ada sesuatu yang hendak disampaikan padanya. Patung laki-laki selalu ingat apa yang diinginkan patung perempuan tersebut semalam. Ia ingin bercinta kala senja. Bisakah ia melakukannya? Bisa saja, namun begitu banyak orang yang berkunjung ke taman ini. Apakah ia mau menimbulkan keonaran dengan bergeraknya ia? Namun, akh cinta memang butuh pengorbanan dan ia sendiri pun telah berjanji untuk mengusahakan agar mereka bisa bercinta kala senja. Ia tatap lagi kekasihnya, matanya yang abu-abu seakan mengisyaratkan sesuatu. Namun ia tidak pernah bisa tahu dengan tepat apakah maksud dari isyarat tersebut. Ia mengikuti nalurinya, dan nalurinya seakan bilang bahwa kekasihnya tersebut sedang berkata:
“Kemarilah, ajaklah aku bercinta senja ini.”
Ia tidak bisa berpikir logis. Matahari senja semakin menyeruak di antara dedaunan. Cahayanya mulai menyinari tubuh kekasihnya. Oh, ternyata memang sangat anggun jika kekasihnya tersebut disinari cahaya senja yang berkilauan. Ia pandang kembali kekasihnya, dan siap mengambil keputusan.
Ia pun turun dari tempatnya.
***
Suatu senja, taman itu menjadi sepi. Tidak ramai lagi seperti dahulu. Orang-orang tidak lagi mengunjungi taman tersebut kala senja meski senja begitu berkilauan begitu keemasan. Kedua patung tersebut masih berada di sana. Patung yang selalu disinari cinta. O, semenjak kejadian tersebut, orang-orang menjadi histeris dan ketakutan. Mereka menganggap kedua patung tersebut berhantu. Mereka semua takut pada kedua patung tersebut. Dan akhirnya mereka pun enggan berjalan-jalan di taman tersebut.
Taman lengang, dedaunan berserakan di jalannya tidak ada yang membersihkan. Kedua patung tersebut taklagi terurus, masing-masing kusam tidak menampakkan kegagahan dan keanggunan lagi. Kedua patung itu membisu. Pandangan matanya layu. Namun cinta mereka takkan pernah layu bahkan semakin berkobar dan membara seperti cahaya senja yang keemasan.
“Katakan, bahwa cinta kita akan selalu ada kan?” tanya patung perempuan.
Patung lelaki hanya terdiam. Hanya pandangan matanyalah yang mampu ia ungkapkan.
“Katakan lelakiku, katakan. Apakah cinta kita selalu ada?”
Patung lelaki memandangnya dengan penuh haru dan sayu.
“Sampai kapan pun aku akan mencintaimu!”
Mereka akan tetap berada di sana, meski malam cahaya rembulan yang dulu sering mereka tunggu. Mereka takberanjak dari tempatnya masing-masing, entah mengapa. Semenjak kejadian nekat tersebut, keduanya seakan memiliki jarak namun mereka tetap saling mencinta. Entahlah, mereka hanya tercipta sebagai patung sahaja. Mereka tidak pernah mengetahui mengapa mereka dilahirkan kembali menjadi sepasang patung dengan cinta yang sama, dan tempat yang sama. Meski semua sama, tubuh mereka menjadi tidak sama.
“Katakan, mengapa kita tidak lagi bisa bertemu lelakiku?”
“Maaf.”
“Maaf? Maaf untuk apa?”
“Maaf atas perbuatanku senja itu.”
“Kau masih memikirkannya? Dan makanya kita jadi begini karena kejadian itu?”
Patung lelaki terdiam.
“Lelakiku! Sampai kapan pun kau tidak pernah menyadari bahwa cinta yang abadi selalu didera rintangan, selalu diuji yang membutuhkan pengorbanan. Kau tidak pernah menyadari bahwa cinta kita abadi, dan karena abadi itulah kita sering diuji oleh kehidupan. Perahu yang terus berlayar ke tengah samudera pun makin ke tengah makin hebat gelombang yang mendera!” seru patung perempuan.
Patung lelaki terdiam. Ia hanyut dalam kekalutan pikirannya. Oh, masih pantaskah ia mencintainya hanya karena ia dihidupkan kembali menjadi sebuah patung. Masih pantaskah? Masih pantaskah? Masih pantaskah? Masih pantaskah?
Patung lelaki larut dalam pikirannya sehingga ia tidak menyadari… Ya, ia tidak menyadari bahwa seseorang telah memasang semacam papan di tempat yang ia pijak. Ia tidak menyadari bahwa papan itu bertuliskan:
PATUNG INI AKAN DIROBOHKAN    
Ia takpernah menyadari, atau mungkin ia sadar tetapi pura-pura tidak tahu karena barangkali ia belum siap berpisah lagi dengan kekasihnya yang kini sedang berlinang airmata ketika membaca tulisan yang tertera di hadapannya.
***
Seminggu kemudian seorang anak kecil dan kakeknya kembali berjalan-jalan di taman itu.
“Kakek, kok patung laki-lakinya dihancurkan?”
“Nak, mungkin patung tersebut dihancurkan karena ia berhantu. Makanya agar hantunya hilang, patung tersebut harus dihancurkan.”
“Lantas kenapa patung perempuannya tidak dihancurkan pula?”
“Itulah masalahnya, mungkin patung laki-laki itu akan menangis harus pergi meninggalkan patung perempuan itu,” kakek itu menggandeng tangan cucunya dengan erat mendekati patung perempuan itu.
“Kakek, kok patung ini penuh bercak hitam?” tanya cucunya.
“Mungkin ini adalah sisa-sisa patung laki-laki hitam itu…”
“Kalau ia manusia, pasti patung ini menangis yang kek?”
“Haha, anak lucu. Mungkin saja patung ini akan menangis.”
Taman disinari cahaya senja. Menyelusup dari celah dedaunan yang sesekali bergoyang ditiup angin. Patung perempuan itu masih tetap berdiri pada tempatnya, namun ia hanya memandang kekosongan belaka. Tiada lagi kekasihnya. Tiada lagi cerita. Yang ada hanya cinta, kenangan, dan serpihan debu-debu hitam kekasihnya yang tidak akan ia hapus begitu saja.
“Kakek, patung itu menangis!”











Bandung, 28 Mei 2010
22.42

No comments:

Post a Comment