I
Setiap orang pernah mengalami pertemuan dan perpisahan semasa hidupnya.
Pertemuan tidak akan ada yang abadi. Ia termasuk ke dalam kefanaan dunia. Maka,
ketika kita bahagia mengalami sebuah pertemuan yang indah, seharusnya kita juga
tidak usah menangisi dengan berlebihan atau pun menyesali saat perpisahan itu
tiba. Seseorang kehilangan sahabat karibnya. Seseorang menangis ketika
kekasihnya pergi. Manusia berlarut-larut menangisi kepergian manusia lainnya.
Perpisahan adalah buah dari sebuah pertemuan, yang akan kita panen manakala
sudah matang pada waktunya.
Suatu sore saya berbincang dengan sahabat karib setelah merayakan
kelulusan teman kuliah. Ia mengeluh kepada saya bahwa ia kini kehilangan
perempuan yang—barangkali—selama kuliah telah membuat hari-harinya berwarna.
Perempuan itu lulus dan sudah saatnya meninggalkan kota tempat kami kuliah. Ia
mengeluh bahwa kini ia harus siap “kesepian” ketika menyelesaikan skripsinya.
Saya merasa iba sekaligus terharu. Terharu pada diri sendiri. Pada
kenyataannya saya pun merasakan bagaimana ditinggal seseorang yang kita cintai
akibat dari selesainya perkuliahan. Manusia selalu ditipu oleh kehidupan yang fana. Mereka akan larut dalam
kefanaan pertemuan yang sengaja dindah-indahkan. Bahkan ketika manusia
melakukan pertemuan yang buruk pun mereka masih mengingatnya dalam kenangan.
Manusia menjadi lupa akan perpisahan ketika mereka telah terpedaya oleh
pertemuan. Namun, ketika perpisahan tiba, manusia akan berat menghadapi
perpisahan bahkan menyesali hakikat dari pertemuan itu sendiri.
Menghargai pertemuan memang mudah, tetapi menjadi sangat berat ketika
mereka telah diperdaya oleh pertemuan. Menghargai waktu dan pertemuan itu
sendiri adalah kunci kesiapan kita untuk menghadapi sebuah perpisahan. Kita
akan merindu ketika berpisah, namun kita akan mengacuhkan diri satu sama lain
ketika waktu dan takdir telah memberikan pertemuan.
Haruskah kita bersedih ketika berpisah? Sangat harus karena itu
manusiawi. Namun, kita harus hati-hati pula menghadapi kesedihan, jangan sampai
kita menjadi terjebak oleh kungkungan kesedihan. Kita boleh bersedih ketika
berpisah, karena itu menandakan bahwa kita begitu menghargai ketika pertemuan
sebelumnya berlangsung. Dengan bersedih, kita akan berbuat jauh lebih baik
ketika kesempatan bertemu lagi tiba. Namun, kesedihan yang berlarut-larut
menjadikan kita menjadi manusia yang bodoh. Itu menandakan bahwa kita tidak
menghargai jalannya waktu. Kita tidak menerima sebuah takdir. Hal-hal seperti
itulah yang terkadang takdisadari oleh manusia yang bodoh. Biarkan perpisahan
itu mengalir, tidak usah ditangisi secara berlarut-larut. Sebab, jika kita
menerimanya suatu saat nanti kita akan memiliki kesempatan bertemu dan
menjalani pertemuan yang berharga dalam hidup kita sebelum kematian (perpisahan
abadi di dunia fana) menjemput.
II
Sahabat saya pun meneruskan “kegalauannya”. Ia berpendapat bahwa
perempuan yang disukainya itu kini tengah berbahagia dengan kelulusannya. Saya
pun membayangkan hal yang sama ketika saya membayangkan hakikat sebuah
perpisahan.
Kebahagiaan ketika kelulusan pun tidak akan berujung lama. Lulus dari
sebuah universitas berarti sudah selesainya fase anak sekolahan yang mungkin
telah belasan tahun dijalani. Setidaknya itu untuk orang-orang yang berniat
tidak akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Lulus dari
akademi pendidikan berarti sudah saatnya menerjunkan diri ke dalam kehidupan
yang sebenarnya. Kehidupan yang penuh tantangan dan perjuangan. Kita harus
berdiri dan mempunyai tempat sendiri ketika berdiri di bumi yang fana ini.
Begitulah, mahasiswa yang lulus sudah saatnya memikirkan kehidupannya
sendiri. Sudah bukan saatnya lagi membentuk karakter. Sudah bukan saatnya lagi
bermain-main dengan impian. Kita harus mewujudkan impian itu dengan usaha,
jalan, dan jiwa kita. Setiap orang telah memiliki takdirnya sendiri yang
nantinya harus kita jemput. Takdir memang menentukan hidup dan matinya
seseorang. Namun, penentuan itu pun sesungguhnya dikembalikan lagi kepada
masing-masing individu. Kitalah yang menakdirkan diri sendiri karena kita tidak
akan pernah tahu seperti apa kita nanti di masa yang akan datang.
Menakdirkan diri sendiri memiliki maksud merancang masa depan kita dengan
cara, pikiran, dan usaha kita sendiri. Jika kita ingin menjadi orang kaya
(contohnya), maka sejak awal kita harus mau bekerja keras untuk mewujudkan
impian kita sendiri. Kita memiliki cita-cita, dan saya yakin ketika sewaktu
kecil ditanya apa cita-cita kita rata-rata akan menjawab hal-hal yang standar,
seperti mau jadi dokter, insinyur, pilot, atau tentara. Apakah mereka menjawab
asal atau meniru kebanyakan anak lain atau meniru penyanyi cilik Susan?
Barangkali ya barangkali tidak. Dan tentunya mereka akan mewujudkan
cita-citanya dengan jalan yang berbeda-beda. Jika serius menjadi dokter, maka
ia pun akan mengkhususkan diri mengenal dunia kedokteran dan penunjangnya.
Namun, tidak sedikit yang masuk ke arah jalan yang lain. Kecil mau jadi dokter,
sudah besarnya malah jadi penulis, banyak kan hal-hal yang seperti itu?
Cita-cita adalah teknis dari pikiran. Itu bergantung pada bakat,
kemampuan, dan keteguhan kita untuk mewujudkan cita-cita. Tuhan membentuk
manusia bukan untuk menjadikan boneka, tetapi Tuhan membentuk manusia untuk
menemukan karakternya. Tuhan MahaMengerti dan MahaPenyayang. Ketika manusiaNya
telah berhasil menemukan dan membentuk karakternya masing-masing, Tuhan pun
akan menakdirkan manusia sesuai dengan kemampuan karakternya tersebut untuk
menggapai takdirnya.
Sahabat saya bilang bahwa saya (dan juga manusia-manusia yang sudah lulus
kuliah) tidak usah khawatir tidak akan mendapat pekerjaan. Kitalah yang
menentukan sendiri hidup kita dan Tuhanlah yang memfasilitasi segala keinginan
kita. Bukan begitu, Bung? Hidup seperti laju kereta. Masinis mengemudikan
kereta agar selalu berada dalam jalur rel yang telah dipasang.
Yang menjadi masinis adalah kita sendiri. Tuhan telah menyediakan jalur
kehidupan untuk kita tempuh dan kita kendalikan agar kita tidak keluar dari
jalur tersebut. Seperti kereta yang melaju menuju stasiun tujuan akhirnya, maka
ia pun akan singgah di stasiun-stasiun yang telah ditentukan untuk mencegah
kesemrawutan jalur kereta. Maka hidup pun begitu. Sebelum kita mencapai tujuan
akhri kita, kita akan melewati fase-fase kehidupan untuk menemukan dan
membentuk karakter yang nantinya akan terus memandu kita untuk selalu berada di
atas jalur kehidupan.
Hidup bukan untuk menjadi penonton dari kisah-kisah orang-orang yang
sukses. Kita harus memainkan peran kita sendiri dengan tidak meniru atau pun
menjiplak karakter orang lain.
III
Terkadang banyak orang-orang yang pesimis ketika harus mewujudkan
cita-citanya. Apalagi ketika cita-cita itu merupakan cita-cita yang tidak
“biasa”, dalam artian bukan cita-cita yang populer. Ada sahabat saya yang lain
berkata pada saya bahwa ia merasakan susahnya mencari pekerjaan yang
benar-benar kita inginkan. Apalagi banyak sekali terpaan yang melanda kita dari
segala arah. Terpaan tersebut bukan bermaksud mendukung kita, tetapi seringkali
membuat kita terhenti, terperosok, atau bahkan tidak meneruskan langkah sama
sekali.
Saya pun sempat berpikir begitu. Akan tetapi, muncul keegoisan saya yang
berpikir bahwa sayalah yang menjalani kehidupan saya sendiri. Orang lain boleh
menasihati kita, tetapi kita pun tentunya sudah lebih dulu memikirkan mana yang
baik untuk kita bukan? Jika memang kita masih ragu ya bolehlah meminta pendapat
dan saran orang, asal jangan dipaksakan. Kitalah yang sesungguhnya tahu siapa
diri kita sebenarnya, bukan teman, kakak, apalagi orang-orang yang “sok tua”.
Jika kita memang menganggap nasihat itu pantas untuk kita pegang, silakan
ikuti. Namun, jika ternyata nasihat itu tidak cocok dengan karakter kita, ya
saran saya takusahlah dipaksakan.
Kita harus yakin, bahwa apa yang kita anggap sebagai bakat kelak akan
mengangkat derajat hidup kita. Yakin dan yakin. Jalan menuju ke sana memang
tidak mudah. Bukankah Nabi Muhammad saw harus berjuang selama hampir 23 tahun
untuk menegakkan Islam di muka bumi? Bukankah Sun Go Kong, Patkay, Bhiksu
Thong, dan Wuching pun harus melewati beratus-ratus cobaan untuk mendapatkan
kitab suci?
Seringkali setelah kita mencapai apa yang kita inginkan, ternyata tidak
mampu mengangkat derajat kita. Prinsip saya, lebih baik bekerja dengan
pekerjaan yang kita suka meskipun hasil yang kita terima tidak seberapa. Bekerja
dengan gaji kecil tetapi kita memiliki pikiran yang merdeka ketimbang kerja
dengan gaji besar tetapi pikiran mandeg dan tertekan. Ingat, pikiran menentukan
fisik manusia selain cuaca dan lingkungan. Ketika pikiran stres, maka kinerja
fisik pun akan menurun.
Becerminlah pada kemampuan kita. Apa yang kita unggulkan dalam diri kita?
Ketika kita merasa ada salah satu keunggulan dalam diri kita, mengapa kita
masih ragu untuk berpegang pada keunggulan itu? Kita tidak harus menjadi
idealis ketika berpegang pada keyakinan “saya bisa hidup bahagia dengan
kelebihan saya”. Mempertahankan potensi diri sendiri bukan berarti idealis,
tetapi membuat kita tahu apa yang terbaik untuk diri kita.
Sekali lagi, kenali potensi diri kita. Setelah kita mengenali dan
menimbangnya sampai ke akar, tinggal kita yang harus yakin bahwa potensi yang
ada dalam diri kita akan menjadikan manusia yang “kaya”. Kaya bukan berarti
banyak harta, tetapi kaya dan utuh sebagai manusia yang berpikiran maju,
merdeka, dan sejati.
Pikiran yang sering melahirkan gagasan yang segar dan baru akan membuat
kita bersemangat. Tubuh akan selalu kuat meski aktivitas selalu melelahkan. Dan
perasaan akan selalu bahagia meski terkadang kita merugi!
Terima kasih kepada semua sahabat yang telah mengeluarkan pendapatnya di
hadapan saya…
Dalam alunan orkestra Micahel Giacchino, 20 Januari 2012
22.13
No comments:
Post a Comment