Sunday, 12 January 2014

MENUJU NEGERI DI ATAS AWAN (2): Tiba di Terminal Mendolo


Terminal Mendolo, Wonosobo
Waktu menunjukkan pukul 3 pagi ketika bus yang saya tumpangi tiba di Terminal Mendolo, Wonosobo. Termometer menunjuk pada angka 15 derajat Celcius, suhu yang cukup dingin untuk kawasan tropis. Saya bergegas mencari tempat yang cocok untuk sekadar beristirahat sambil menunggu angkutan menuju ke Dieng. Terminal ini sepi sekali. Bahkan, sangat jauh berbeda dengan terminal bus antar kota lainnya seperti di Jakarta atau Bandung yang tidak mengenal waktu tidur. Letaknya pun lumayan jauh dari pusat kota Wonosobo.

Beberapa orang duduk di bangku terminal. Rata-rata mereka menyelimuti tubuhnya dengan sarung, layaknya orang-orang Tengger di ketinggian Bromo. Tidak ada warung yang buka 24 jam. Hal ini tentunya menyulitkan orang-orang yang pertama kali tiba di Wonosobo kala malam. Hal yang bisa dilakukan... menunggu sampai pagi tiba.


Sedikit bercerita mengenai perjalanan yang telah saya tempuh. Pukul 00.30 saya terbangun dari tidur saya ketika bus memasuki kota Purwokerto. Beberapa penumpang turun di Purwokerto. Selepas Purwokerto, bus pun melewati Purbalingga dan Banjarnegara. Selepas Banjarnegara, penumpang yang tersisa tinggal saya.

Bus melaju dengan santai di jalanan sepi antara Banjarnegara-Wonosobo. Saya pun pindah ke bangku belakang sopir. Basa-basi mengobrol apakah Wonosobo masih jauh atau tidak. “Lumayan jauh,” kata kernet bus dengan logat Sunda yang kental.

Sepanjang perjalanan menembus perbukitan, sopir asyik mengobrol dengan kernet.Mungkin keduanya mencoba mengalahkan rasa kantuk. Obrolan mereka berkisah tentang apa saja. Sopir pun bercerita tentang pengalamannya menyusuri jalan hutan di kawasan Ciwidy, dimana jalan tersebut masih didominasi hutan liar.

“Saya lihat babi hutan, macan, hingga ular besar melintas di jalan,” kata sopir.

“Wah, ekstrim pisan!” sahut kernet.

“Iyalah, itu kan kawasan hutan lindung.”

“Berarti kalau di hutan lindung, macannya jinak atuh?”

“Ya enggaklah. Tapi hewannya dilindungi.”

Obrolah mereka pun berlanjut ke soal kehidupan rumah tangga. Kernet mengeluh istrinya yang ditinggal di rumah, sementara ia tidak membawa alat komunikasi sama sekali. Mendengar penuturan tersebut, sang sopir pun menyahut:

“Kasih kabar lah, nanti dia marah.”

“Kami sering bertengkar,” jawab kernet lirih.

“Bertengkar mah wajar, ‘kan pernikahan mah harus tahu watak masing-masing pasangan. Itu kan hakikatnya?”

“Iya, makanya saya masih bingung mengenai apa saja kesalahan suami dan apa kesalahan istri yang ada di buku nikah.”

Saya amati keduanya. Usianya jauh lebih muda dibanding saya. Sopir bahkan terlihat seperti remaja tanggung. Namun, tangannya sudah cekatan memegang kemudi bus di jalanan berkelok.

Begitulah, keduanya adalah manusia malam. Mencari nafkah dengan menjadi awak bus malam. Mereka menghabiskan malam-malamnya di jalan, dan bahkan harus menunggu beberapa waktu untuk pulang ke rumah bertemu orang-orang yang dicintainya.

Kembali ke terminal, saya pun dapat pengalaman sekaligus pelajaran unik. Hidup adalah perjuangan, perjuangan untuk tetap bertahan. Perjuangan untuk menjalani takdir yang telah digariskan. Semua kehidupan telah digariskan, dan selalu ada jalan untuk menjalaninya.

Ya, hidup adalah perjuangan. Seperti halnya saya yang harus berjuang untuk dapat tidur selama 2 jam di bangku terminal Mendolo. Selamat malam, selamat tidur.



No comments:

Post a Comment