Terminal Mendolo, Wonosobo |
Beberapa orang duduk di bangku terminal. Rata-rata mereka
menyelimuti tubuhnya dengan sarung, layaknya orang-orang Tengger di ketinggian
Bromo. Tidak ada warung yang buka 24 jam. Hal ini tentunya menyulitkan
orang-orang yang pertama kali tiba di Wonosobo kala malam. Hal yang bisa
dilakukan... menunggu sampai pagi tiba.
Sedikit bercerita mengenai perjalanan yang telah saya
tempuh. Pukul 00.30 saya terbangun dari tidur saya ketika bus memasuki kota
Purwokerto. Beberapa penumpang turun di Purwokerto. Selepas Purwokerto, bus pun
melewati Purbalingga dan Banjarnegara. Selepas Banjarnegara, penumpang yang
tersisa tinggal saya.
Bus melaju dengan santai di jalanan sepi antara
Banjarnegara-Wonosobo. Saya pun pindah ke bangku belakang sopir. Basa-basi
mengobrol apakah Wonosobo masih jauh atau tidak. “Lumayan jauh,” kata kernet
bus dengan logat Sunda yang kental.
Sepanjang perjalanan menembus perbukitan, sopir asyik
mengobrol dengan kernet.Mungkin keduanya mencoba mengalahkan rasa kantuk.
Obrolan mereka berkisah tentang apa saja. Sopir pun bercerita tentang
pengalamannya menyusuri jalan hutan di kawasan Ciwidy, dimana jalan tersebut
masih didominasi hutan liar.
“Saya lihat babi hutan, macan, hingga ular besar melintas di
jalan,” kata sopir.
“Wah, ekstrim pisan!”
sahut kernet.
“Iyalah, itu kan kawasan hutan lindung.”
“Berarti kalau di hutan lindung, macannya jinak atuh?”
“Ya enggaklah. Tapi hewannya dilindungi.”
Obrolah mereka pun berlanjut ke soal kehidupan rumah tangga.
Kernet mengeluh istrinya yang ditinggal di rumah, sementara ia tidak membawa
alat komunikasi sama sekali. Mendengar penuturan tersebut, sang sopir pun
menyahut:
“Kasih kabar lah, nanti dia marah.”
“Kami sering bertengkar,” jawab kernet lirih.
“Bertengkar mah
wajar, ‘kan pernikahan mah harus tahu
watak masing-masing pasangan. Itu kan hakikatnya?”
“Iya, makanya saya masih bingung mengenai apa saja kesalahan
suami dan apa kesalahan istri yang ada di buku nikah.”
Saya amati keduanya. Usianya jauh lebih muda dibanding saya.
Sopir bahkan terlihat seperti remaja tanggung. Namun, tangannya sudah cekatan
memegang kemudi bus di jalanan berkelok.
Begitulah, keduanya adalah manusia malam. Mencari nafkah
dengan menjadi awak bus malam. Mereka menghabiskan malam-malamnya di jalan, dan
bahkan harus menunggu beberapa waktu untuk pulang ke rumah bertemu orang-orang
yang dicintainya.
Kembali ke terminal, saya pun dapat pengalaman sekaligus
pelajaran unik. Hidup adalah perjuangan, perjuangan untuk tetap bertahan.
Perjuangan untuk menjalani takdir yang telah digariskan. Semua kehidupan telah
digariskan, dan selalu ada jalan untuk menjalaninya.
No comments:
Post a Comment