22.00
Aku ingin tidur lelap malam ini, setelah siang melelahkanku dengan cahayanya. Aku ingin memejamkan mata dengan kamar yang gelap tanpa lampu dan kau yang membelai kepalaku sambil mendengarkan dongeng yang kau ceritakan untukku. Biarlah aku seperti anak kecil yang dibacakan cerita dan dinyanyikan nina bobo sebelum tidurnya karena aku memang ingin merasakannya kembali.
Sudah sekian tahun waktu melaju dan rinduku selalu berujung kepadamu. Sudah sampaikah doa-doa yang kupanjatkan padamu sebelum tidurku? Sudah diterimakah salam dan rindu yang menggebu yang selalu kukirim ketika angin malam membelai wajahku? Dan sudah terdengarkah alunan lagu yang menyerupai gelombang di telingamu? Kuharap semuanya akan selalu sampai di hatimu tepat pada waktunya.
22.30
Mataku belum mau terpejam, meski lampu kamar sudah kumatikan. Aku ingat, beberapa hari yang lalu aku bermimpi kehilanganmu. Kulihat kau berjalan menuju lautan, menuju senja yang meremang tempat kita pernah bertemu dan bermimpi. Aku memanggilmu berkali-kali, kau hanya menoleh kepadaku sambil tersenyum.
“Mira! Mira!” jeritku memanggili namamu.
Kau tetap berjalan, takmengindahkan seruanku. Di ujung pantai, ombak melingkar manja di pergelangan kakimu seolah-olah ingin mengajakmu masuk ke dalam lautan. Aku berlari menujumu, menuju senyuman tragis yang kau sunggingkan kepadaku.
Tiba-tiba aku kehilangan arah, tidak bisa mencapai ke tempatmu. Kakiku tetap berlari menyusuri pantai karang yang membuatku lecet. Tetapi langkahku taktentu arah. Aku takberlari ke arahmu. Aku berlari ke arah kegelapan malam. Menuju timur yang kelam. Dan kau berjalan ke tengah lautan, seolah-olah lautan adalah daratan yang enak dipijaki.
“Miraaaaaaaaaa!!!!”
Kau tenggelam ke dalam lautan. Seperti matahari senja yang tenggelam ke balik laut. Segalanya gelap. Aku masih ingat mimpi itu.
23.00
Bayangan mimpi buruk itu membuatku takut. Aku takut untuk memejamkan mata tanpa sosokmu di sampingku. Aku takut kehilanganmu, kehilangan cintamu, kehilangan senyumanmu. Kenangan demi kenangan tentang dirimu hadir dalam sudut gelap kamarku. Seperti beberapa film yang kutonton sekaligus, kenangan itu berputar dan berputar hingga akhirnya kembali berujung pada mimpi buruk itu. Tubuhku berkeringat, ngeri membayangkan jika mimpi itu benar-benar terjadi.
Tuhan, selamatkan selalu ia.
23.36
Ini sudah jam berapa? tanyaku. Malam semakin tua, dan tubuhku panas sekali. Sebetulnya aku sedang sakit. Aktivitas yang padat membuat tubuhku lelah. Sangat lelah. Kubayangkan kelak kematianku serupa dengan kematian Gie yang dalam kelelahan menghirup gas beracun di kawah Mahameru. Ah, ya. Aku ingin sekali naik gunung. Terakhir kali aku naik gunung bersamamu, bersama kawan-kawan yang lain mendaki sebuah gunung di Jawa Barat. Tiada eidelwis, tiada kawah beracun. Hanya angin gunung yang bertiup sangat kencang dan suatu saat bisa menjatuhkan kita tanpa halangan ke lembah. Kau memelukku takut. Aku pun takut menghadapi angin kencang itu di puncak. Tetapi jika aku takut, aku akan dengan mudah ditaklukkan oleh angin itu. Aku ingin menaklukkan ketakutan akan angin itu. Dan aku berdoa agar semuanya tetap baik-baik saja sampai pagi tiba. Aku tetap memelukmu, menenangkanmu.
23.45
Telah kuseru kau dalam keheningan
Malam tenang, ‘tuk memandang kegemilangan
Bulan terang, serta keagungan
Hamparan cemerlang bintang-bintang
Aku ingat potongan sajak Gibran itu dan aku ingin membacakannya untukmu jika kau ada di sini. Pertemuan hanyalah hampa belaka. Mengapa aku harus bertemu denganmu? Pertanyaan itulah yang selalu membuat hatiku bergetar. Mengapa aku harus bertemu denganmu jika pertemuan itu harus berujung pada perpisahan? Aku tersenyum pahit. Itu adalah jalan pikiran orang-orang yang bodoh. Orang-orang bodoh mengharapkan agar pertemuan itu abadi. Tiada pertemuan yang abadi di dunia ini.
Kepalaku pusing. Sebetulnya aku harus banyak istirahat. Tetapi kerinduanku padamu mana bisa beristirahat? Mungkin malam ini kau telah tidur lelap. Tiada salahnya, apapun yang kau lakukan adalah manusiawi. Hanya, pernahkah dalam tidurmu kau bermimpi tentangku?
00.00
Mimpi buruk itu kembali terlintas dalam benakku. Senyummu yang tragis dan tatapan matamu yang sayu menyiratkan perpisahan. Ruang kamarku tiba-tiba berubah menjadi pantai tempat mimpi buruk itu terjadi. Laut yang berwarna merah darah, angin yang bergaram, dan matahari bulat merah yang bertengger di ujung lautan. Aku memejamkan mata, takingin melihat suasana kesedihan seperti itu. Aku memanggilmu dalam suasana yang gaib itu. Apakah kau kini hidup dalam dunia mistik yang terus menghantuiku? Berarti aku akan mengingatmu sebagai sebuah anggapan belaka, karena kuyakini mistik itu sendiri adalah anggapan. Aku ingin bertemu denganmu secara nyata dan dalam suasana yang indah. Bukan dalam mimpi, maupun dalam imajinasi. Aku ingin bertemu denganmu. Hanya kita berdua.
00.23
Aku ingin tidur sayang, aku ingin tidur. Kemarilah dalam wujudmu yang nyata. Kemarilah dalam kesepianku. Kemarilah dalam ketidakberdayaanku.
00.45
Tiba-tiba kuingat syair lagu dangdut.
Selamat malam duhai kekasih,
Sebutlah namaku menjelang tidurmu
Bawalah aku dalam mimpi yang indah
Di malam yang dingin sesunyi ini…
Dulu kita pernah berdiskusi tentang lagu dangdut. Pendapatmu, lagu dangdut adalah identitas bangsa. Ia bisa masuk ke dalam salah satu produk budaya. Kupikir, dangdut bukanlah produk asli bangsa kita. Ia adalah asimilasi dari kesenian gambus dari Timur Tengah. Lho? Bukankah orang Jakarta juga memiliki kesenian gambus? Katamu. Ya, Jakarta kan multietnis. Segala kesenian melebur ke dalam lingkungan sosialnya. Tanpa ada asimilasi dari masyarakat Arab yang bermukim di Jakarta, mungkin takakan ada kesenian gambus di Jakarta. Kau bertanya lagi, memangnya asimilasi itu apa? Kujawab, asimilasi adalah penyesuaian atau peleburan sifat asli yang dimiliki dari suatu kebudayaan dengan sifat lingkungan sekitarnya. Kau tersenyum dan berkata, kau tahu banyak ya tentang budaya? Kujawab, tidak juga. Tetapi aku sedang mempelajari budaya.
Kau lagi-lagi tersenyum sambil menatap wajahku, seolah-olah kau berkata dalam hati, “Apakah kau tahu tentang perasaanku padamu?”
00.59
Satu menit lagi waktu menuju pukul satu dini hari. Malam sedingin kulkas dan tubuhku semakin panas. Selimutku kutarik, namun dingin itu tetap kurasa. Perlahan-lahan menjalari ujung kakiku. Aku sakit. Aku butuh kamu. Aku butuh cinta kamu. Aku rindu berbincang denganmu. Aku rindu menggenggam tanganmu ketika kita melewati pematang sawah yang sempit. Aku rindu menarik ranting pohon setelah hujan sehingga ranting itu memercikkan air di kepalamu.
Di luar kudengar rintik hujan memecah kesunyian…
01.30
Bahasa apa yang tepat untuk mengungkapkan kesunyian? Tata bahasa yang sunyi. Huruf yang kaku dan ejaan yang bisu. Aku seperti tidak punya bahasa untuk mengungkapkan betapa aku sangat kesepian malam ini kepadamu. Namun, apakah cinta masih membutuhkan bahasa? Kita pernah bertemu dan hanya saling bertatap mata, tidak lebih dari itu. Tatapan mata kita mengisyaratkan sebuah kalimat yang hanya kita berdua saja yang tahu dan mengerti makna dari tatapan mata kita masing-masing. Lantas, apakah kau masih belum mengerti juga jika aku mengungkapkan kesepianku bukan lewat kata-kata?
Barangkali dulu kita bersatu bukan karena kata-kata juga, tetapi karena waktu.
02.00
Hujan turun semakin deras. Mimpi buruk itu tidak kuasa untuk kuhapus. Aku ingin melarungkannya bersama aliran air hujan, sejauh mungkin agar ia tidak kembali lagi ke dalam alam mimpiku. Aku masih terlalu rawan untuk bermimpi tentangmu. Segala mimpi bisa menjadi mimpi buruk karena setiap saat aku tidak mau kehilanganmu. Kau di mana? Apakah kau terjebak di masa laluku?
Namamu terdengar dengan sangat jelas dalam keinsomniaanku. Perlukah aku untuk tidur jika memang dalam tidurku malah mimpi buruk yang keluar ketika aku memimpikanmu? Kau, yang hadir dalam ruang nyata dan khayalku adalah visual yang nyata, bahkan lebih nyata dari anggapan orang-orang mengenai bentuk seorang bidadari. Kita ditakdirkan untuk bermimpi, dan mimpiku menjadi sedikit mengerikan manakala kau hadir dan mengisi kekosongan jiwaku. Mimpi kehilangan kamu. Mimpi berpisah denganmu.
03.00
Antara sadar dan tidak, aku menulis puisi.
Aku hanya ingin ke hatimu,
sekadar berkunjung dan bermain-main di halamannya;
menitipkan sebuah cinta agar kau tanam dan kau rawat
hingga suatu nanti aku kembali:
sudahkah ia bermekaran di hatimu?
Aku hanya ingin ke hatimu,
Tidur yang lelap di tikar yang sahaja
Dalam senandung merdu dan kecupan hangat:
“Tidurlah yang lelap,” katamu.
Aku hanya ingin ke hatimu
Melupakan waktu dan kematian yang selalu memburu.
Bandung, 10—13 Desember 2011
No comments:
Post a Comment