Saturday, 17 December 2011

PEMBUNUHAN DI MIDNIGHT MANSION



Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Midnight Mansion telah tutup. Satu persatu pengunjung pulang dan menyisakan gelas-gelas kotor yang terkadang ada yang pecah. Bau-bau parfum mahal dan murahan bercampur menjadi satu bersama dengan bau alkohol. Para pegawai bar sibuk membereskan semuanya sebelum pulang. Hmm, barangkali nasib pegawai bar seperti itu, tidak boleh pulang sebelum bar kembali seperti sedia kala. Para hostes sudah pulang duluan, ada yang digayut oleh orang-orang yang menyewanya dan ada pula yang pulang dengan tangan hampa. Persaingan memang selalu terjadi di dunia profesi mana pun. Jika ada satu yang tidak sigap menghadapi persaingan itu, jadilah ia tertinggal jauh dari saingannya. Begitu pula di bidang kepelacuran.
Satu persatu pegawai bar pulang. Mereka telah selesai membereskan bar dan bersiap kembali ke rumahnya yang pengap. Yang tersisa hanya aku dan pemain gitar itu. Pemain band yang lain sudah lebih dahulu membereskan alat-alat musiknya dan pulang. Namun pemain gitar itu masih diam di panggung dan memainkan lagu. Sedari tadi ia mencabik gitarnya memainkan lagu blues. Entah apa yang dipikirkannya sekarang, yang jelas permainan gitarnya begitu membuat perasaanku menjadi rawan.
Well, aku hanyalah seorang pelayan bar. Bukan bartender ataupun pemain band. Aku hanya pelayan bar biasa yang setiap malam membawa baki minuman ataupun gelas-gelas kotor. Di bar ini hanya tinggal aku saja yang masih menikmati permainan gitarnya itu. Aku tidak begitu kenal siapa ia, barangkali para pegawai yang lain pun tidak terlalu aku kenal. Kami bekerja hanya malam saja, dan tidak pernah bertemu ataupun berkumpul kala siang. Kami orang malam, mengarungi malam demi malam dalam ingar bingar sensualitas.
Pemain gitar itu kini memainkan Django Reinhardt. Lagu La Mer ia pilih untuk menghangatkan penghujung malam ini. Kudengar suara gitarnya yang begitu cekam, seakan senar-senarnya terbuat dari kesedihan. Akh, bertambah rawan lagi perasaanku kini dan mungkin pemain gitar itu pun sedang mengalami perasaan yang rawan pula. Seingatku lagu-lagu Django Reinhardt selalu diringi oleh biola. Mungkin gitaris itu juga berpikir seandainya ada seorang pemain biola di sampingnya, maka ia akan memainkan lagu tersebut dengan penuh kesenduan. Kubayangkan di sampingnya seseorang memainkan biola, oh tidak sepuluh biola, oh bukan pula seratus biola, oh tampaknya seribu biola… astaga aku lelah rupanya. Aroma bir menyesakkan pikiranku.
Pemain gitar itu terus memainkan lagunya tanpa akhir. Nada-nadanya menjadi airmata. Suara gitarnya menjelma tangisan dan raungan kesepian. Mungkin Django Reinhardt sendiri menciptakan lagu ini atas suatu bayangan yang membuatnya rawan. Lagu yang telah berumur enampuluhsatu tahun itu kini terdengar lagi dengan rawan di telingaku. Betapa tidak akan menjadi rawan jika yang memainkannya adalah seorang yang penuh dengan kesenduan.
“Hai, sudah larut malam ini kau belum pulang juga?” tanyaku.
Ia menghentikan permainannya.
“Aku sedang menunggu seorang pemain biola di sini,” jawabnya datar.
“Hoammn, ini sudah subuh kawan. Tidak mungkin ada pemain biola yang lewat sini. Lagipula aku sudah mengantuk, aku harus mengunci pintu bar ini setelah kau pergi.”
Ia terdiam, memandang ke arah pintu bar yang membisu.
“Bagaimana kawan? Bereskan saja gitarmu itu dan kita pulang.”
Ia masih membisu sambil memeluk gitar listriknya dan memandang sekeliling. Kupandangi sekeliling, sesuatu apakah yang dilihatnya di bar ini? di sini tidak akan pernah mendapatkan makna. Di sini hanya ada ringkih tawa dan hal-hal yang berbau murahan. Tidak pernah ada sesuatu yang indah. Tidak pernah ada cinta. Persetan dengan kenangan.
Takkudengar lagi suara gitarnya. Ia keluar dari pintu bar dan pulang dengan langkah berat dan penuh kesedihan.

***
Aku takpernah tahu siapa ia. Yang jelas pemain gitar itu selalu melakukan hal yang sama setiap malam sebelum aku mengunci pintu bar. Mengarungi malam kelam dengan raungan gitarnya yang selalu sendu. Baru-baru ini kukenal ia. Ia adalah pemain gitar baru yang menggantikan pemain gitar sebelumnya yang terjerat kasus narkotik. Saat itu band membutuhkan seorang pemain gitar untuk menggantikan Mark, gitaris yang terjerat kasus narkotik itu. Dan entah darimana datangnya, tahu-tahu ia masuk ke bar sambil menenteng koper gitarnya dan memesan segelas whisky tanpa banyak bicara. Barangkali ia mencuri dengar perbincangan para pemain band. Seketika itu juga ia langsung bergabung dan menawarkan diri untuk mengisi departemen gitar untuk band tersebut.
 Tanpa banyak basa basi lagi band menyetujui ia menjadi gitarisnya karena sebentar lagi mereka akan manggung. Kulihat permainan gitarnya sangat bagus dan enak untuk dinikmati. Permainannya pun serasi dengan personil band lain meski mereka belum pernah latihan bersama sebelumnya. Kukira-kira ia penganut aliran jazz blues klasik, ia banyak sekali memainkan partitur-partitur blues dan jazz.
Jadilah ia gitaris band di Midnight Mansion ini. Meski personil band yang lain sangat menyukai permainan gitarnya, mereka takpernah mengetahui siapa namanya, di mana alamatnya, bahkan nomor HP-nya pun tidak ada yang tahu. Ia selalu datang beberapa jam sebelum bar dibuka, bahkan sebelum pemain band datang ia sudah datang untuk mempersiapkan gitarnya di panggung. Untuk latihan band pun, ia hanya cukup dikasih tahu jadwal latihan dan dimana tempatnya, maka ia akan datang lebih awal sebelum para pemain band yang lain tiba.
Midnight Mansion memang tempat orang-orang yang beragam. Multikultur. Semua orang ada di dalamnya. Dari pejabat kelas tinggi sampai orang rendahan pun bisa masuk ke sana asalkan tidak membawa senjata tajam. Dan kini setelah pemain gitar tersebut masuk, makin ramailah pengunjung bar karena mereka sangat menyukai band tersebut. mereka terpesona akan alunan gitarnya selain dari teknik scat singing yang dimiliki oleh vokalisnya dan kemampuan individu pemain lain. Bahkan suatu hari, pernah ada seseorang yang menyuruhnya membawakan suatu lagu dengan hanya memainkan gitar saja.
“Aku ingin memesan lagu Misty. Tolong bawakan hanya dengan gitarmu saja,” katanya.
Tanpa banyak berpikir lagi ia langsung “menyanyikan” lagu Misty lewat gitarnya. Bagiku suara gitarnya bukan lagi menjadi bunyi gitar saja, tetapi seperti nyanyian dari seorang vokalis saja terdengarnya. Semua orang hanyut dalam irama, terbuai dalam nada. Nada-nada menjelma di langit bar menjadi semacam cahaya muram, menguapkan bau-bau alkohol dan parfum-parfum beraneka rasa.
Setelah selesai memainkan gitarnya, riuh tepuk tangan menggewa di setiap penjuru bar. Teriakan-teriakan orang-orang yang berebut ingin meminta lagu terdengar. Hmm, kadang manusia serakah, pikirku. Baru saja menyaksikan sesuatu yang baru, semua ingin memilikinya. Namun jika sudah terbiasa keadaan akan berubah menjadi biasa lagi seolah-olah tidak pernah mengalami kebaruan.
“Aku ingin lagu Blue Moon!”
“Aku ingin lagu Just the Way You Look Tonight!”
“Aku ingin lagu My Way!”
“Aku ingin lagu Strangers in The Night!”
“Bisakah kau main musik rock?”
“Akh… jangan rock! Bising! Sudah dangdut saja!”
“Akh… jangan dangdut! Aku ingin lagu Bengawan Solo atau Jembatan Merah!”
Begitulah, setiap malam bar riuh oleh teriakan orang-orang untuk meminta lagu. Bahkan Marina, si ratu penari ular yang menjadi andalan di Midninght Mansion kalah pamor. Di tengah bau alkohol yang meruap, mereka terlena dengan alunan gitar gitaris itu. Aku hanya bisa melihat ulah mereka dari pojok pintu bar saja. Sinting, pikirku. Ya, betapa aku tidak akan menyebut mereka sinting melihat tingkah mereka yang seperti itu. Takjarang adegan rebutan ini selalu berujung pada perkelahian ataupun paling banter lempar-lempar gelas. Busyet, takterhitung berapa gelas yang pecah dalam satu malam saja. Takjarang keamanan selalu sibuk mengamankan mereka. Dan jika telah begini suasana seperti di dalam arena sabung ayam saja. Kacau balau.
Selalu jika suasana telah berubah kacau seperti itu, ia akan mengehntikan permainan gitarnya dan menyuruh pemain band yang lain turun panggung sedang ia tetap bertahan di panggung. Lambat laun kericuhan pun mereda entah oleh kekuatan apa yang mampu melerainya. Gitaris yang tidak diketahui namanya itu diam terpaku di posisinya, mengangkat kedua tangan sebatas kepalanya dan seakan memancarkan suatu perintah gaib, penonton pun menjadi tenang kembali dan menikmati sajian bar sambil tertawa seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Wanita-wanita hostes bergelayutan di pundak laki-laki berkantong tebal. Kaum-kaum gay dan lesbi menarik pasangannya masing-masing ke pojok bar.
Seandainya aku diberi kesempatan kedua untuk mengubah nasib, maka akan kuubah nasibku tidak lagi menjadi seorang pelayan bar. Barangkali kernet Metromini masih layak untukku…
***
Suatu malam terjadi sebuah insiden yang mengejutkan. Pemain gitar itu ditemukan tewas di gudang Midnight Mansion. Gudang tempat biasa menyimpan makanan dan bir. Belum diketahui secara pasti siapa yang membunuhnya. Yang jelas, kematiannya membuat para penggemarnya kaget dan tidak percaya. Mereka serentak datang ke bar hanya untuk melihat tempat pemain gitar itu dibunuh. Masalah kembali terjadi. Pada awalnya mereka hanya melakukan semacam tabur bunga di tempat pembunuhan itu terjadi, namun lama kelamaan mereka menjadi jengkel dan serentak menyalahkan pihak bar atas kematian pemain gitar itu.
“Kami ingin dia kembali!!!” teriak orang-orang itu. Buset! Orang sudah mati kok disuruh hidup lagi. Sinting, ya sinting!
Manager bar hanya tersenyum kecut mendengar teriakan omong kosong mereka. Aku sendiri pun segera menjauh dari kerumunan. Mayat pemain gitar tersebut sudah dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi. Di samping jasadnya tergeletak giatr kesayangannya yang masih utuh. Gitar Epiphone Joe Pass yang begitu legendaris. Aku taktahu darimana ia mendapatkan gitar yang secara khusus dibuat untuk seorang gitaris jazz yang bernama Joe Pass itu. Aku masih menyimpan rekamannya, dan salah satu album yang sangat sering kudengar ialah debutnya bersama penyanyi Ella Fitzgerald[1]. Meskipun lagu-lagunya hanya bermodal permainan gitar Joe dan aluna suara indah Ella, bagiku album itu memiliki kekuatan yang tersembunyi di setiap lirih suara Ella dan sendunya permainan gitar Joe Pass.
Untuk sementara kulupakan dulu Joe Pass, karena pikiranku masih terbayang tentang kematian gitaris malang itu. Penyelidikan sementara diduga kematiannya dibunuh oleh seseorang yang tega meracuninya dengan sianida[2]. Hal ini terlihat dari adanya busa yang keluar dari mulutnya. Setelah mati, jasadnya dibawa ke gudang oleh pembunuhnya. Mungkin, pembunuhnya salah satu dari penggemarnya. Hal ini terlihat dari diletakkannya gitar miliknya tersebut di samping jasadnya. Semacam penghormatan atas kepiawannya bermain gitar, pikirku.
Bar terpaksa ditutup lebih awal. Polisi mulai memasang garis kuning di depan bar. Aku memtuskan untuk pulang, karena tiada yang lagi kukerjakan selain menjadi pelayan bar. Malam sangat mudah menjadi tua di Jakarta. Kehidupan sangat mudah menjadi berakhir sekarang. Manusia dengan sangat mudah membunuh manusia lainnya, semudah manusia membunuh kecoa dan nyamuk. Dengan sekali tepukan satu nyawa bisa melayang. Aku sering melihat dan mendengar berita ada manusia yang membantai manusia lainnya, dan ia tidak lagi merasa bersalah atas tindakannya bahkan ia menganggap bahwa tindakannya ialah benar. Membantai banyak orang untuk menyelamatkan satu orang. Dimana-mana orang berkelahi, bersengketa. Dimana-mana terjadi perselisihan, kerusuhan. Dan dimana-mana orang mati sia-sia. Seorang ayah yang sedang bermain dengan anak-anaknya tiba-tiba didatangi beberapa orang yang mengaku aparat. Mereka membawanya lalu menyembelihnya di depan anak dan istrinya. Seorang pengendara motor yang berjalan di sebuah lahan sengketa perkebunan tiba-tiba dihadang dan kemudian dibunuh. Manusia menggenosida manusia lainnya. Dan genosida yang paling parah kukira adalah genosida yang sering dilakukan oleh pribumi kepada bangsanya sendiri.[3]
Ada orang yang dibunuh bukan oleh seorang penjahat, tetapi oleh aparat dari sebuah partai atau organisasi[4]. Kukira ini adalah salah satu dari permainan kekuasaan politik yang tai kucing itu. Pembunuhan adalah wacana yang paling tepat untuk mempertahankan sebuah kekuasaan. Orang bisa memesan pembunuh bayaran untuk membunuh saingannya atau orang yang menentangnya dengan segepok uang. Semuanya menjadi suram, aku tidak bisa menemukan cahaya yang sangat terang ketika memikirkan arti kekuasaan.
Apabila kuingat kematian gitaris jazz itu, pikiranku terbayang kepada kelicikan dalam permainan kekuasaan. Betapa tidak, mungkin saja ia mati karena ada yang merasa tersaingi di Midnight Mansion. Namun, siapakah yang berani membunuhnya? Selama ini pamor Midnight Mansion menjadi naik berkat pemain gitar tersebut. Tentunya setiap pegawai pun mendapat bonus lebih karena bar menjadi lebih untung daripada biasanya. Malam bertambah malam. Kehidupan malam akan selalu muram dan suram meski ia hidup dalam kerlip lampu disko dan bar. Aku merasakannya, karena aku orang malam. Apakah ia sudah beristri? Apakah ia sudah punya anak? Apakah orang tuanya—jika ia masih hidup—tahu akan kematian anaknya yang misterius itu? Kematian akan selalu berujung tanya, karena kematian itu sendiri adalah sebuah pertanyaan sebenarnya.
Kunyalakan sebatang rokok, ketika melewati tikungan aku dihadang oleh seorang wanita. Ia menatapku sendu dengan matanya yang indah. Kuperhatikan wanita itu, ia Marina, penari ular di Midnight Mansion. Cantik memang, tapi siapa sangka ia wanita baik-baik? Kecantikannya menjadi modal utama sehingga ia menjadi panas di atas panggung dengan ular yang membelit tubuhnya yang telanjang. Rambut indahnya tergerai ditiup angin. Tanpa banyak kata, aku menadangnya tajam.
“Maukah ikut denganku? Aku mau bicara,” katanya dengan suara yang menahan tangis. Aku taktahu harus berbuat apa. Kuikuti ia dan masuk ke dalam sebuah bar kecil.

***
“Setiap kali melihat mayat selalu takut. Aku selalu takut membayangkan bahwa kelak aku juga akan menjadi mayat,” ujarnya dalam pengaruh Tequilla. Marina tertawa lepas, Tequilla itu telah memabukkannya. Sudah tiga gelas lebih ia menenggak minuman keras tersebut, dan ketika ia hendak mengenggak kembali kucegah ia.
“Katanya kau mau bicara, sekarang bicaralah. Aku lelah ingin cepat pulang,” kataku.
Ia kembali tertawa dan tidak mengindahkan laranganku. Sambil menenggak Tequilla ia kembali bicara.
“Kita orang malam. Jam segini kau sudah mau pulang. Ha ha ha!”
Aku diam. Sangat menyebalkan memang bicara dengan orang yang mabuk.
“Aku baru saja melihat mayat. Aku takut sekali, aku takbisa tidur. Makanya aku ajak kau untuk temani aku. Aku takut melihat mayat orang itu. Aku takut.”
Lagu blues terdengar dari panggung bar. Bar ini kecil tapi orang-orangnya tampak lebih sopan dari orang-orang di Midnight Mansion. Kutatap Marina, usianya taklebih dari dua puluh tiga tahun. Rambutnya coklat panjang, kulitnya putih, dan tubuhnya sintal. Sebetulnya aku suka dia, tetapi sayangnya ia telah digaet oleh banyak lelaki.
“Gitaris itu meninggal, aku bisa menari ular lagi. Aku bisa menari tentang kematian. Wajahnya, ya wajahnya yang misterius dan permainan gitarnya yang memesona. Aku suka dia, aku suka permainan gitarnya. Tapi sayangnya aku kalah saing dengannya. Orang-orang lebih sering menunggu permainannya daripada melihat tarian ularku. Aku butuh uang, aku butuh uang banyak. Jika tidak ada yang melihatku menari, aku tidak dapat uang padahal kau tahu? Aku butuh uang banyaaaaaak. Aku ingin beli mobil mewah. Aku ingin uang banyaak!”
“Kau tahu, aku sudah bilang ke bos kalau aku ingin meminta jadwal yang lebih untuk acara tari ularku. Tapi dia bilang si gitaris itu lebih menguntungkan daripada tari ularmu. ‘Ini kesempatan emas!’ katanya. Kesempatan taik kucing! Aku ingin bunuh dia, aku ingin bunuh dia!” katanya sambil mengambil pemecah es dan mengacung-acungkannya di atas kepalanya.
“Kau yang membunuh gitaris itu?”
Marina tertawa, entah apa yang ada di pikirannya.
“Aku ingin membunuhnya, tapi ia sudah mati duluan. Sayang ya? Padahal aku sudah siapkan pisau yang tajam untuk membunuhnya.”
“Bohong!”
“Kau tidak percaya perkataanku?” tanya Marina.
Aku terdiam. Marina ingin membunuh gitaris itu tetapi belum sempat ia melakukannya, gitaris itu telah lebih dahulu dibunuh oleh seseorang yang mungkin memiliki maksud yang sama seperti dia. Siapakah yang telah membunuhnya?
Setelah membayar bill, kuseret Marina keluar bar. Ia mabuk berat. Jika tidak kuseret dia keluar, barangkali ia masih ingin minum lagi. Wanita itu terlalu banyak minum alkohol. Di sudut jalan yang gelap kulepaskan ia, ia tersungkur tanpa daya di jalan. Tubuhnya yang indah membuatku ingin bercinta dengannya. Tapi perasaan itu kuhilangkan seketika. Aku sedang tidak ingin membuat masalah.
“Ajak aku sayang. Kita berdua akan menikmati malam yang panjaaang,” ujar Marina manja.
Aku tidak banyak bicara. Kunyalakan sebatang rokok dan aku pergi meninggalkan dia yang masih tergeletak tidak punya tenaga untuk bangun. Aku tidak peduli akan keselamatannya, toh kalau pun ada yang memerkosanya, bukannya pekerjaannya pun “diperkosa” banyak orang? Aku jadi kasihan kepadanya, kepada setiap perempuan yang telah mengikat dirinya untuk menjadi seorang wanita malam. Demi uang, demi kekayaan yang basi, mereka rela menjadi wanita yang basi. Hidup seperti gelas-gelas kaca yang mudah pecah, ketika kita salah menaruh gelas tersebut, ia akan jatuh ke lantai, pecah dan tidak bisa dipakai kembali.
Aku pulang menuju kontrakanku. Aku masih terngiang-ngiang akan pikiranku yang tadi, pembunuhan untuk kekuasaan. Aku tersenyum sendiri ketika menggumamkan kalimat tersebut. Pembunuhan untuk kekuasaan. Pembunuhan untuk kekayaan.
Sepanjang perjalanan, kuingat permainan gitarnya yang berkesan itu. Orang-orang terhipnotis dan tiba-tiba berubah labil. Mereka menjadi sering berselisih dan berkelahi hanya karena keindahan permainan gitarnya. Mereka menjadi gila seperti manusia yang bisa menjadi gila ketika uang dijadikan kekuasaan olehnya. Suara gitar yang sendu, bukan meraung-raung seperti suara gitar rock, tetapi tetap saja membuat pendengarnya menjadi meraung-raung.
Malam telah larut. Jakarta akan menjadi misteri ketika malam tiba. Aku pulang dengan suara gitar yang merintih dalam bayanganku.

***
Aku lelah sekali. Begitu sampai di kontrakan, kubuka jaketku, kubuka dasi kupu-kupuku, kubuka sepatu dan kaus kakiku. Aku ingin tidur pulas sebelum aku tidak bisa tidur pulas selamanya. Kutaruh sebuah botol kecil yang kusimpan di saku celana ke atas meja. Aku telah menyelesaikan tugasku dengan botol kecil itu, pikirku. Saatnya tidur pulas dan mimpi yang indah sambil melupakan alunan musik jazz yang mengalun dari gitar gitaris tersebut dan melupakan racun sianida yang kini tersimpan pada sebuah botol kecil di atas meja.

Bandung, Juni 2010—Desember 2011





[1] Ini adalah album yang fenomenal, Joe Pass dan Ella Fitzgerald, Take Love Easy yang rilis tahun 1973. meskipun sudah 38 tahun dibuat, masih banyak orang yang memperbincangkannya hingga kini
[2] Sianida merupakan racun yang berpotensi mematikan, karena zat ini membuat tubuh tidak dapat menggunakan oksigen untuk mempertahankan tubuhnya. Zat ini bisa berbentuk gas seperti hidrogen sianida atau dalam bentuk kristal seperti potasium sianida atau sodium sianida.Gas sianida dapat diserap melalui inhalasi (paru-paru), kulit atau ingesti (mulut menuju perut) dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Jika zat ini masuk ke dalam tubuh bisa menghambat kerja enzim tertentu di dalam sel, mengganggu penggunaan oksigen oleh sel dan dapat menyebabkan kematian sel. Pada dosis tertentu, zat ini dapat menyebabkan kematian dalam waktu 15 menit saja akibat kekurangan oksigen.

Racun sianida biasanya dioleskan pada pinggir gelas, botol minum atau disuntikkan ke dalam batu es. Sianida hanya bereaksi sebagai hidrogen sianida bebas, oleh karena itu garam-garam yang ditelan harus bertemu dengan air atau asam lambung sebelum membebaskan asam hidro-sianida, proses ini hanya butuh waktu beberapa detik. Sumber Science.org.au
[3] Pernyataan ini mengacu kepada pernyataan Pramoedya yang mengungkap kasus-kasus genosida untuk mendirikan Orde Baru yang oleh kalangan internasional dianggap sebagai “berita baik” bagi mereka untuk menanamkan neo-kolonialisme di Indonesia. Lihat Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos Jalan Daendels, 2007 h. 72--73
[4] Suryawan, I Ngurah, 2005. Sandyakalaning Tanah Dewata h. 52.

No comments:

Post a Comment