Tuesday, 27 December 2011

MENYATAKAN CINTA (Kado untuk Lelaki)

Di suatu kafe, dalam senja yang mulai tua, kurekam pembicaraan antara sepasang manusia dalam ingatan.
“Kamu tahu kenapa aku mengajakmu ke sini?” Tanya si lelaki kepada wanita di hadapannya.
Wanita itu terdiam sambil mengaduk-aduk cappuccino yang ia pesan. Barangkali jika kuterka di dalam jiwanya bergemuruh sebuah perasaan yang campur aduk, antara bahagia dan galau yang berdebar.
“Aku tidak tahu, memangnya ada apa? Ini bukan hari ulang tahunmu kan?”
Lelaki itu tersenyum dan lama tidak berkata-kata kembali. Mencoba memancing rasa penasaran si wanita.
“Ada apa sih? Kok mukamu beda?” Tanya si wanita taksabar.
“Ah, tidak apa-apa. Sebenarnya aku mengajakmu kemari karena ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
“Sesuatu apa?” Tanya si wanita sambil terus mengaduk-ngaduk sendok di cangkirnya.
“Emm… Sesuatu tentang perasaanku selama ini… padamu.”
Wanita itu berhenti memainkan sendok, menatap tajam ke arah mata si lelaki. Mencoba membaca dan mengerti isi hatinya. Aku tersenyum sambil menghirup kopiku yang mulai dingin. Pasangan itu duduk tepat di sebelah mejaku, sehingga aku dengan jelas mendengar pembicaraan mereka. Maaf, aku bukan penyadap. Barangkali jika kutulis pembicaraan mereka, akan menjadi bahan tulisan yang penuh makna.
Kuteruskan mendengar percakapan mereka.
“Ya, perasaan aneh yang akhir-akhir ini selalu mengguncangkan pikiranku. Setiap malam, aku tidak bisa tidur memikirkan perasaan aneh ini. Ia begitu asing, sampai-sampai dalam doaku hanya ada kamu…”
“Aku mencintai kamu Laras,” sambung si Lelaki. Oh, jadi wanita cantik itu namanya Laras.
Wanita yang bernama Laras itu terkejut, tidak tahu harus berkata apa. Matanya yang tadi menatap tajam ke arah lelaki seketika menunduk dan kembali memainkan sendok cappuccinonya.
“Laras?” panggil si Lelaki lembut.
Laras terkejut, “Hah? Ya? Kenapa?”
Lelaki itu tersenyum, “Kamu dengar kan perkataan aku?”
“Ya, aku dengar Ben…” Laras kembali menatap kosong ke arah lain.
“Aku mencintai kamu, Laras. Kamu mau jadi kekasih aku? Kamu mau jadi pendamping hidup aku?” Ben mencoba mengulangi perkataannya. Busyet, romantis sekali ia!
Laras kembali terdiam. Dalam hatinya terjadi peperangan antara menerima atau menolak. Ini sudah lumrah terjadi dalam setiap wanita ketika ia dinyatakan cinta oleh lelaki yang mencintainya. Istilah kekiniannya, ketika ia “ditembak” oleh lelaki. Kudengar mereka tidak lagi berbicara, masing-masing sibuk mengaduk sendok kopinya yang mungkin mulai dingin. Kuhirup kopiku, lama-lama bosan juga jika mereka tidak berbicara. Kalau mereka masing-masing membisu, apa yang harus kuceritakan?
“Ben…” tiba-tiba Laras angkat bicara. Suaranya lembut dan pelan.
“Ya, Laras? Bagaimana?”
“Kamu nunggu aku untuk menjawab?”
“Ya, kalau kamu sudah punya jawabannya.”
“Aku bingung Ben…”
Ben sabar menenangkan Laras, “Ya sudah, kalau kamu belum mau untuk menjawab cinta aku sekarang, tidak apa-apa. Aku sabar menunggu jawaban kamu.”
“Bukan itu Ben. Aku bukan bingung antara menerima atau pun menolak. Aku bingung membaca perasaan kamu.”
Ben mengernyit tidak mengerti. Ia tutupi ketidakmengertiannya dengan meminum kopi.
“Apa yang kau bingungkan Laras? Perasaan aku tulus kepadamu. Aku sungguh-sungguh mencintai kamu.”
“Hal itulah yang membuat aku bingung Ben. Aku belum memahami seberapa dalam kau membangun cintamu itu. Aku menghargai perasaanmu, dan aku sangat berterima kasih kepadamu karena kau mencintai aku. Sejujurnya aku pun menyukaimu sedari dulu. Namun, ketika perasaan suka itu datang, aku selalu dirundung kebimbangan. Bagaimana jadinya nanti jika aku mencintai kamu. Apakah cintaku akan tetap sama dari hari ke hari?
Ben, aku bukan wanita yang terburu-buru. Aku bukan wanita yang langsung menerima begitu ada seseorang yang menyatakan cinta kepadaku. Aku harus memahami dulu seperti apakah cinta yang sedang menggelayuti kita saat ini? Apakah cinta anak remaja, cinta karena kecantikan, cinta karena dorongan nafsu, ataukah memang benar cinta yang benar-benar suci. Cinta itu bukanlah sesuatu yang mudah diucapkan. Cinta butuh pengakuan yang lebih, bukan sekadar mengubah status kita menjadi sepasang kekasih saja. Cinta bagiku adalah tonggak untuk mengubah hidup. Apakah cinta itu benar-benar ada di perasaanmu saat ini Ben?”
Laras terdiam. Ben juga ikut terdiam, barangkali takmenyangka bahwa Laras memiliki pandangan seperti ini. Siapa sangka, dalam suasana kafe yang romantis ini sedang berlangsung sebuah pertarungan. Pertarungan melawan kegalauan dan kebimbangan.
“Jujur Ben,” lanjut Laras, “bukan berarti aku menolak cintamu. Hanya, aku butuh waktu untuk memahamimu. Selama ini aku belum bisa memahami perasaanmu karena kemarin-kemarin kau tidak menunjukkan padaku sebuah perhatian yang lebih, sebuah perasaan yang bukan sebuah perasaan biasa kepadaku. Kita sudah dewasa, bukan lagi remaja yang sangat mudah menyatakan cinta. Ada kalanya kita menganggap bahwa jatuh cinta itu biasa saja, namun bukan berarti kita harus menyepelekannya. Cinta yang sejati aku kira adalah cinta mampu mengubah kita dari keterpurukan menjadi kebahagiaan. Cinta yang membuat kita pantang menyerah menghadapi cobaan. Cinta sejati adalah cinta yang penuh dengan cobaan Ben, bukan cinta yang semata-mata memeluk dan mencium.”
Hmm, aku teringat nukilan sajak Chairil Anwar.

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah


Pada akhirnya, Ben pun bicara.
“Aku tahu maksudmu Laras, dan aku menyetujui semua kata-katamu. Aku sadar, selama ini aku tidak pernah memberi perhatian yang lebih padamu. Aku hanya selalu terjebak dalam delusi. Setiap malam bayangmu hadir dalam mimpiku. Wujudmu utuh hadir di setiap aktivitasku. Aku tidak tahu perasaan apakah yang hinggap di jiwaku ini, begitu asing dan misteri. Aku hanya menerka-nerka perasaan asing itu. Jawabannya adalah aku mencintai kamu.
Aku memang terjebak dalam cinta, entah cinta apa. Tetapi, dalam pikiranku aku selalu berusaha mewujudkan cinta itu menjadi sebuah cinta yang nyata, cinta yang bernilai kepadamu. Aku sadar, kita sudah dewasa. Seharusnya kita harus berhati-hati ketika mengucap cinta, karena kini cinta bukanlah menjadi barang yang mudah untuk diperjualbelikan. Dan kau, kaulah wanita yang aku harap mampu menjawab cintaku. Bukan siapa-siapa. Dan aku yakin bahwa cintaku ini benar kepadamu.”
“Ben, dalam hidup kita harus memilih. Dalam cinta pun aku harus memilih, mana cinta yang baik untukku. Aku bisa merasakan makna cintamu, begitu aku melihat matamu yang dalam. Matamu memancarkan kebimbangan yang luar biasa ketika aku mencoba memahamimu. Rasa bimbang kehilangan aku. Aku tahu, kita sama-sama terjebak oleh sebuah perasaan yang asing, yang kita namakan cinta. Kau mencintaiku, dan aku pun mencintaimu. Tetapi kita tidak lantas berpedoman pada cinta itu. Jalanilah dulu sekuat apa pun usaha kita, suatu saat nanti cinta yang ada di antara kita saat ini menjadi kuat dan kokoh dan itulah saatnya kita untuk menyatu. Aku yakin cinta kita kuat Ben sampai kapan pun,” kata Laras.
“Jadi kesimpulannya?” Tanya Ben.
“Kita jalani dulu hidup kita seperti kemarin ya Ben?”
Ben tersenyum.
“Aku siap menjalaninya Laras.”
“Kamu percaya kan cinta kita akan menjadi kuat?”
Ben mengangguk.
“Kamu yakin kan, suatu saat nanti kamu akan ikat aku lewat cintamu?”
“Aku yakin, karena aku mencintai wanita yang tepat, Laras.”
Laras tersenyum, memegang tangan Ben erat seolah-olah dunia akan menjadi hancur jika Laras tidak menggenggam tangannya. Hmm, pasangan yang sudah mengerti hakikat percintaan. Aku tersenyum dan kuhabiskan kopiku. Malam tampak membayang di jendela kafe. Aku larut dalam perbincangan mereka. Ben bahagia dan Laras pun bahagia. Tidak ada yang kecewa karena mereka tidak memutuskan untuk pacaran. Sepertinya mereka bahagia menjalani hubungan meraka yang mereka sendiri tidak mengetahui apa nama hubungan mereka.
Itulah cinta. Itulah kasih sayang. Cinta yang suci adalah cinta yang tidak dikotori oleh nafsu duniawi. Seringkali orang bertemu untuk menyatakan cinta dan seringkali pula mereka mengakhiri sebuah cinta dan membuangnya ke tempat yang tidak terjamah manusia. Manusia membutuhkan cinta, dan cinta bukanlah barang yang tersedia di warung-warung mudah untuk diperjualbelikan. Aku menulis ini bukan karena sok tahu tentang cinta. Aku hanya mendokumentasikan sebuah pemikiran yang begitu asing tentang cinta.
Ben dan Laras beranjak dari mejanya. Setelah membayar, mereka berdua pergi meninggalkan kafe. Kebahagiaan selalu terpancar jelas di wajah mereka. Aku tersenyum melihat kepergian mereka. Meskipun aku tidak mengenal mereka, aku mengenal bagaimana kekuatan cinta mereka.
Semoga ada hal menakjubkan lain tentang cinta yang bisa kutulis di luar sana. Dan aku menulis semua ini untukmu, Mira.



Dalam Kafe, 12 November 2011

No comments:

Post a Comment