STASIUN KECIL
*oleh-oleh untuk calon istri
Di stasiun kecil ini kunanti kereta yang akan membawaku pulang malam ini. Pulang menuju kota tempat kita selalu bertemu, berjalan-jalan, dan bertamasya bersama. Sambil menunggu kereta, kunyalakan rokok dan kunanti hal-hal yang serba mungkin ketika kelak kita bertemu. Sebab, rindu dan kenangan selalu tiba-tiba muncul manakala kita selalu menghadirkan kemungkinan-kemungkinan yang terlukis dalam imajinasi.
Sejauh apakah rel ini menghubungkan aku denganmu? Perjalanan yang tidak akan pernah berakhir, rembulan yang tertutup kelabu, dan deru kereta memecah kesunyian malam. Aku sengaja pulang malam agar tidak mengagetkanmu. Aku takut ketika aku memberi kabar kepulanganku, kau akan buru-buru pergi ke pasar, membeli bahan-bahan untuk dimasak menjadi makanan kesukaanku, merapikan rumah, mengganti sprei, dan pekerjaan lainnya. Aku taksuka hal-hal yang berbau istimewa. Aku suka kesederhanaan, cukup dengan mengetuk pintu rumah dan kau akan membukanya. Betapa terkejut dan bahagianya kau melihat siapa yang mengetuk pintu rumah malam-malam begini. Lalu, kau pun akan memelukku. Aku lebih suka disambut dengan kehangatan seperti itu.
Malam semakin beranjak tua, tetapi kereta belum kunjung tiba. Hanya akulah penumpang yang naik dari stasiun ini. Selebihnya kesunyian. Hanya aku dan rasa rinduku padamu, menemani kesunyianku seperti kau yang selalu menemani malam-malamku. Seperti benih-benih anak kita yang kelak hadir melalui rahimmu. Rasa rindu itu adalah kebahagiaan terindah dan sanggup mengalahkan segala kesunyian yang selalu tiba-tiba muncul dimanapun dan kapanpun. Kulihat peron, petugas stasiun terkantuk-kantuk menunggu kereta datang, tangannya siap membunyikan lonceng ketika sinyal memberitahu kedatangan kereta. Apakah ia akan tetap membunyikan lonceng ketika sinyal yang masuk bukanlah sinyal kedatangan kereta, melainkan sinyal kematian?
Ah, istriku. Seandainya kau ada di sini, tentunya aku tidak akan sendiri. Meskipun kau pasti akan tertidur entah di bahuku atau di pahaku, tetap saja hatimu selalu berbicara. Matamu terpejam dan hatimu berbicara tentang masa depan dan anak-anak yang akan mengisi hari-hari kita nanti. Bukan tubuh kita yang terikat oleh perkawinan, akan tetapi hati kitalah yang terikat oleh perkawinan. Bila usia kita sudah renta atau barangkali maut menjemput kita sebelum tua, kita tidak akan berpisah. Hati kita akan tetap menyatu dengan ikatan yang tidak akan pernah bisa dibuka oleh siapa pun. Aku memilihmu bukan karena kecantikan, tetapi karena Tuhan telah menanamkan sebagian takdirku di balik matamu. Dan aku harus menjemput sebagian dari takdir kehidupanku itu padamu.
Kita terpisah, tetapi relakah aku ketika aku memutuskan untuk pergi bekerja mencari penghasilan yang baik? Kau mengantarku dengan air mata di stasiun itu dan kini kuharap bukan lagi air mata yang kuterima, tetapi senyum yang mengembang seperti bunga yang baru mekar setelah lama menguncup. Aku telah membawa sedikit rezeki untukmu sayang, untuk calon anak-anak kita dan untuk kehidupan kita menuju renta. Kau pun bisa membeli baju yang kau inginkan, baju untuk anak-anak mungil kita, popok, dan makanan yang lezat. Kita menjadi keluarga kecil yang bahagia, dengan rumah sederhana dan halaman yang asri. Akan kita isi dengan setangkai kebahagiaan yang selalu merona di setiap sudut di rumah kita, selain mawar-mawar yang kau tanam dan selalu kau siram ketika senja.
Anak-anak berlarian di halaman, bermain bola, bermain dengan kita sambil tertawa tanpa beban. Semoga kelak mereka menjadi cahaya dalam kubur kita, menjadi pelindung kala raga telah renta dan lemah, menjadi penopang ketika langkah sudah goyah seperti waktu kita menopang langkah goyah mereka sewaktu bayi.
Pernikahan bukanlah sebatas upacara. Ia akan menjadi pedoman kehidupan kita hingga ajal menjemput. Setidaknya, kau dan aku akan membina kehidupan bersama, menanam masa depan dan impian yang sering kita ucapkan di masa muda. Melangkah bersama dalam bukit terjal kehidupan. Aku menggandengmu menuju puncak, dan sesekali kau pun membopongku kala aku kelelahan. Menjadi cahaya dalam kabut. Menjadi tonggak yang kokoh ketika angin puyuh memorak-porandakan bahtera. Dan ketika kita telah sampai di puncak, kau dan aku tegak berdiri laksana mentari yang baru muncul di ufuk timur, memandang jutaan kenangan yang tampak berseri dan mekar seindah eidelwis. Dan pernikahan, mutiaraku, kata itulah yang membuatmu tergetar, yang membuatmu berbinar, yang membuat pipimu merona, yang membuatmu tersenyum penuh bahagia ketika pertama kali kuucap dari mulutku.
Kereta malam pun akhirnya muncul dari barat. Lampu pantograf yang memantul di kaca stasiun membuat perasaanku menjadi rawan. Betapa tidak, sudah lama aku meninggalkanmu, tentunya banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu sebelum aku kembali lagi ke stasiun kecil ini. Stasiun di antara jejeran bukit-bukit meninggi dan hutan-hutan yang muram. Selalu ada air mata yang keluar setiap kali aku berada di sini, entah pergi untuk bertemu denganmu atau ketika kembali dari kotamu. Sebab, aku ingin membawamu ke stasiun kecil ini dan memandang bersama gugusan bukit-bukit pemalu itu. Siapa tahu kau akan merekamnya dalam kenangan, dan stasiun kecil ini akan semakin berharga bila ia telah ada dalam ingatanmu.
Kunaiki kereta yang akan membawaku menuju kotamu ini. Ada rasa rindu bercampur takut untuk bertemu denganmu. Rindu karena aku sudah lama tidak bertemu denganmu, dan takut karena bisa jadi pertemuan kita hanyalah singkat belaka. Kereta melaju pelan sebelum akhirnya hilang ditelan malam. Sejauh apakah cinta bisa menghangatkan pertemuan kita? Secepat apakah laju kereta ini sebelum ia dikalahkan oleh laju maut?
Istriku, wanita cantik semanis madu…
Aku pulang, tanpa membawa apa-apa. Namun, aku membawa segudang cerita untuk aku ceritakan nanti padamu, dan nanti pada anak-anak kita di masa depan. Sebuah cerita tentang bagaimana stasiun kecil ini menjadi saksi bisu akan kerinduanku yang sangat mendalam kepadamu. Di sini, di kota yang takpernah terjamah waktu.
Bandung, 27 November 2011
dengan ingatan yang kuat kepada Stasiun Rendeh, Purwakarta
No comments:
Post a Comment