Saturday, 17 December 2011

MEMANDANG JAKARTA




Jakarta. Sebuah kota yang dahulu bernama Batavia, dan dahulunya lagi bernama Sunda Kelapa. Dalam usianya yang sudah tua, fungsi Jakarta tidak berubah sejak dahulu, yakni sebagai kota perdagangan. Kini merambat menjadi kota industri, pusat pemerintahan, perkantoran, hingga pusat kemegahan dan kesejahteraan manusia Indonesia. Berduyun-duyun orang ke Jakarta, mengadu nasib dan berusaha mencari arti kesejahteraan dan berduyun-duyun pula Jakarta dimasuki oleh masalah-masalah sosial baru yang seperti sengaja dikirim dari kota-kota tempat manusia pencari kerja itu berasal.

Akan sangat menyenangkan jika kita membahas masalah Jakarta bukan dalam situasi yang formal, tetapi dalam obrolan-obrolan ringan di warung kopi sambil mereguk kopi atau bir plethok, makan pisang goreng dan sebatang rokok kretek. Betapa tidak, masalah Jakarta sudah menjadi santapan sehari-hari bagi manusia Jakarta yang mau tidak mau harus terjun ke dalam jurang masalah tersebut. Ya, Jakarta adalah satu dari sekian kota besar lainnya di Indonesia yang memiliki jurang-jurang masalah yang jika dibiarkan terus menerus bisa menjadi semakin dalam dan semakin dalam.

Dalam umur yang tidak lagi muda, Jakarta sudah seharusnya terbiasa untuk membenahi jurang-jurang tersebut. Apalagi dengan menyandang status sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta seharusnya menjadi panutan bagi kota-kota lainnya di Indonesia dalam hal menata kota sebagai pusat aktivitas manusia. Jakarta perlu membutuhkan ruang—bukan hanya ruang terbuka hijau, namun butuh juga ruang untuk berpikir.  Kita perlu konsepsi ulang untuk membangun struktur kota, karena konsepsi-konsepsi terdahulu sudah saatnya untuk dikembangkan kembali sesuai dengan perkembangan zaman.

Manusia semakin berkembang, dan kita pasti yakin bahwa setiap pikiran manusia akan berkembang. Manusia akan selalu mengembangkan diri, mengembangkan pikiran (mengembangkan badan juga?) karena manusia bersifat dinamik. Manusia Jakarta tidak akan selamanya betah berlama-lama terjebak macet di jalan. Manusia Jakarta tidak akan selamanya kuat menahan hawa panas Jakarta yang bisa mencapai suhu 40° Celsius setiap harinya. Manusia Jakarta tidak akan selamanya betah dikirimi banjir dari Bogor. Oleh karena itulah perlu diadakan semacam konsepsi ulang mengenai Jakarta.

Apa itu konsepsi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsepsi adalah rancangan yang ada di dalam pikiran. Sederhana saja. Kita tidak perlu capek-capek membuat Ruang Terbuka Hijau, toh ujung-ujungnya ia tidak akan terawat dan malah menjadi semacam hal yang mubazir belaka. Pembangunan-pembangunan yang dilaksanakan terkadang menjadi tidak tepat guna, dan menjadi kado untuk kelompok tertentu saja. Tengoklah pembangunan Banjir Kanal. Setelah proyek mega tersebut rampung, belum musim hujan saja bantaran di sekitar kanal malah menjadi ladang kangkung darat oleh warga sekitar. Kita lihat bagaimana pembangunan monorail yang terpaksa terhenti di tengah jalan hanya karena pergantian Gubernur. Kini, tiang-tiang beton penyangga monorail tersebut hanya menjadi tiang-tiang berkarat dimakan waktu di Jalan Sudirman.

Saya percaya manusia Jakarta adalah manusia yang dinamik (kalau tidak percaya lihat saja ketika mereka mengejar-ngejar Metro Mini, berebut naik Bus Trans Jakarta, KRL, dsb., J), dan tentunya dinamik itu sendiri dibutuhkan untuk merancang konsepsi tersebut. Kita perlu ubah paradigma kita, jangan cuma maunya protes dan protes. Jika banjir datang, mereka protes sambil berenang-renang ria karena pemerintah kota dinilai lamban untuk menangani banjir. Jika busway telat datang, kita protes bahwa kinerja bus Trans Jakarta buruk. Paradigma itulah yang kebanyakan melanda manusia Jakarta, barangkali manusia-manusia lainnya di Indonesia.

Paradigma terlalu menuntut dan terlalu protes adalah solusi yang tidak baik untuk mewujudkan sebuah perubahan. Jika Anda berprotes untuk mengubah sesuatu, jangan harap perubahan itu akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Benahi pikiran, ubah cara pandang. Kedua hal itulah yang menjadi konsepsi teranyar untuk mengubah kota Jakarta. Apakah bisa dua hal yang sangat sederhana itu bisa mengubah kota yang demikian luasnya? Akal manusia tidak akan pernah terhenti, ia selalu tidak puas dengan apa yang ada. Manusia Jakarta akan selalu tidak puas dengan kondisi transportasi Jakarta. Siapa yang salah? Semua bisa menjadi penyebab semua kesalahan. Pemilik bus, supir, dan penumpang bisa menjadi penyebab buruknya kinerja transportasi Jakarta.

Bung, Nona, dan Nyonya…

Kiranya kita harus selalu mawas diri. Ulama-ulama pun banyak yang bilang seperti itu. Tujuannya agar kita tahu, seberapa besar posisi kita di antara manusia-manusia lainnya. Ketika kita dengan lantang membicarakan kesalahan-kesalahan orang, mungkin orang lain akan berpikir, “memangnye ente udeh jadi orang alim ape?”. Begitulah, kata orang Jakarta adalah kota yang romantis. Namun, kini perlahan keromantisan tersebut hilang seiring dengan berubahnya sikap masyarakat Jakarta yang keras karena terbiasa menjalani kehidupan Jakarta yang keras. Kita mencintai Jakarta, maka kita seharusnya ikut memikirkan solusi apakah yang paling baik untuk membuat Jakarta menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali, menjadi kota yang bisa membuat sembilan juta warganya sejahtera, bukan malah menghujat dan berprotes ria.

 Tiba-tiba saya ingin dengar Gambang Kromong. Nyok bang kite mainin lagi!!



Jakarta 26—27 Nopember 2011

1 comment: