Setiap kali melihat arakan awan, Savi selalu teringat pada Dewa, kekasihnya. Ia seakan melihat wajah Dewa tersenyum di antara arakan awan seperti itu. Langit biru, awan putih. Cakrawala yang tenang dan takpernah susut. Gumpalan awan putih yang menyerupai padang salju di Kutub, segalanya putih dan akan selalu menjadi putih. Dewa, lelaki yang ia cintai kini terpisah jauh darinya. Ia tahu, ia sangat kehilangan sosok kekasihnya itu dalam hidupnya semenjak Dewa memutuskan untuk merantau ke Alaska.
“Savi sayang, izinkan aku untuk pergi ke Alaska,” ucap Dewa tempo hari.
Savi tertawa. Dikiranya ucapan Dewa hanya sekadar lelucon saja.
“Kau lucu sayang,” jawabnya.
Namun Savi sadar ada sesuatu yang lain di mata kekasihnya itu. Entah kenapa sorot mata Dewa terlihat serius.
“Aku serius Savi sayang.”
“Kau mau apa pergi ke sana?”
“Aku ingin melihat salju. Aku ingin melihat padang salju.”
“Kau ingin menjadi orang Eskimo?”
“Ya, aku ingin merasakan bagaimana hidup di antara dingin dan kebekuan.”
Savi menghela napas.
“Lalu kau akan meninggalkan aku begitu saja?”
“Aku meninggalkanmu juga demi kau Savi sayang.”
“Maksudmu?”
“Aku ke sana mau cari uang.”
“Uang? Kamu mau cari uang di mana? Kamu mau jadi apa di sana?”
Pertanyaan Savi yang bertubi-tubi tidak langsung dijawab oleh Dewa. Dewa terdiam, berpikir. Lama meraka takberbicara satu patah kata pun jua. Setelah agak lama, barulah Dewa angkat bicara.
“Aku mau jadi tukang es lilin di sana,” jawabnya singkat.
Begitulah, Dewa akhirnya berangkat juga ke Alaska. Ia pergi entah naik apa. Kepergiannya mengundang seribusatu pertanyaan dalam diri Savi. Untuk apa kekasihnya pergi ke Alaska hanya untuk jualan es lilin? Siapa yang sudi membeli es di daerah kutub seperti itu? Semoga Dewa belum gila, pikirnya.
Ia begitu mencintai Dewa. Baginya, Dewa adalah lelaki terindah meski Dewa sangat sederhana. Yang penting bagi Savi cinta mampu menguatkan semuanya, tidak hanya materi, tetapi juga kebahagiaan. Dan Savi telah mendapatkan semua kebahagiaan hidupnya bersama Dewa meski terkadang Dewa dipenuhi pikiran-pikran yang aneh seperti yang tadi. Namun baginya, pikiran aneh itu adalah sebuah sindiran. Takheran tiga tahun sudah mereka menjalin hubungan.
Namun kini, sudah dua tahun, ya sudah dua tahun Dewa meninggalkan Savi tanpa ada kabar yang jelas. Sudah dua tahun, ya sudah dua tahun Dewa merantau ke Alaska dan takjelas bagaimana rimbanya. Bagaimana keadaan Dewa di sana, apakah ia jadi menjadi tukang es lilin? Ataukah ia sudah mati kedinginan?
Savi begitu merindukannya. Sudah dua tahun berlalu, dan selama dua tahun itu Savi habiskan dengan mengenang dan membayangkan saja. Ia membayangkan bahwa Alaska segalanya tampak putih cemerlang. Segalanya hanya terhampar padang salju belaka. Ketika ia memandang awan di cakrawala, ia selalu terbayang Alaska. Dan ketika sudah terbayang Alaska, terbayanglah pula bagaimana sosok Dewa di matanya.
Sudah dua tahun, ya sudah dua tahun Savi tenggelam dalam mimpi yang mungkin tidak pernah menjadi nyata. Savi yang cantik, Savi yang sendu, Savi yang malang. Wajahnya makin hari makin murung saja. Taklagi kini ia habiskan setiap senja di antara pematang sawah dan cahaya senja akan menyepuh dirinya bersama Dewa. Begitu indah begitu bercahaya. Sudah dua tahun, ya sudah dua tahun Savi tidak pernah keluar rumah. Yang ia lakukan hanyalah duduk termangu di jendela kamarnya melihat arakan awan sambil terus menanti kedatangan Dewa di hadapannya.
Savi takpernah tahu bahwa selama dua tahun ini pematang sawah yang sering ia datangi bersama Dewa kala senja kini telah berganti menjadi bangunan perumahan yang angkuh. Savi takkan pernah tahu.
Apakah Savi harus tenggelam dalam kematisuriannya? Suatu hari, barangkali merupakan hari yang selama ini ditunggu-tunggu oleh Savi. Suatu hari datanglah sepucuk surat dari Dewa. Sepucuk surat dari Alaska. Alangkah berbahagianya Savi. Surat itu ia dekap dan ia bawa masuk ke dalam kamarnya. Ketika ia dekap terasalah bagaimana hawa di Alaska. Begitu dingin di tubuh Sari, maklum surat dari kutub. Tanpa pikir panjang lagi ia langsung membuka surat itu dengan hati-hati agar tidak robek. Dilihatnya, di dalam amplop putih yang selalu beku dan dingin itu terdapat satu lembar kertas dan bungkusan. Ternyata Dewa mengirimkan es lilin buatannya juga.
Beginilah nukilan surat Dewa untuk Savi:
Alaska, (aku taktahu ini tanggal berapa)
Savi tercinta,
Untuk pertama kali inilah aku menulis surat untukmu. Surat yang telah lama kau nantikan bukan? Aku taktahu telah berapa lama aku tinggal di Alaska, di sini aku takbisa melihat waktu. Di sini takada waktu. Barangkali aku lupa hitungan waktu. Namun aku takpernah lupa akan dirimu, Savi sayang.
Bagaimana kabarmu? Aku harap kau sehat-sehat saja di sana. Bagaimana kabar desa? Bagaimana kabar pematang sawah, tempat kenangan kita? Aku selalu ingin ke sana lagi bersamamu. Di sini tidak ada pematang sawah. Di sini hanya ada hamparan putih berkilauan, dan matahari sangat jarang bersinar di sini. Hanya hamparan putih, dan semuanya putih. Barangkali aku pun akan segera menjadi putih. Oh iya, kabarku baik selama di sini. Kau pasti bertanya bagaimana aku bisa sampai ke sini? Haha, jika kuceritakan pasti kau takkan percaya. Ya, aku sampai di sini tidak dengan pesawat ataupun kapal ataupun mobil ataupun sesuatu yang bergerak lainnya. Aku bisa sampai sini dengan berenang, Savi. Ya, berenang. Menyusuri samudera Pasifik dengan berenang dan terus berenang. Aku pasti lelah tentunya, namun apakah untuk mencapai sebuah hasrat kita harus kalah oleh rasa lelah? Dengan tegas kukatakan tidak!
Ya, aku berenang menyusuri samudera. Mula-mula dari desa aku menumpang truk ke arah pantai utara. Dan ketika sampai di sana, kubuka bajuku dan aku langsung mencebur ke laut. Aku berenang sekuat tenaga hingga sampailah aku di pulau Kalimantan. Di sana aku beristirahat sejenak dan berenang kembali. Kali ini aku berenang memutari Kalimantan dan nyebrang ke Pulau Sulawesi. Aku singgah di Makassar. Di sana aku kembali istirahat dan kembali melanjutkan perjalananku. Aku kembali berenang hingga sampai di pantai Sulawesi Tengah, aku taktahu nama daerah itu. Yang jelas aku kembali beristirahat di sana. Perjalananku kulanjutkan hingga sampai Menado, kepulauan Sangihe, menyeberang ke kepulauan Mindanao, sampai ke Filiphina, terus lagi berenang hingga singgah di kepulauan kecil di samudera Pasifik. Di sinilah tantanganku dimulai. Derasnya arus samudera hampir saja membuatku mati, namun aku tetap bertahan. Aku terus berenang hingga sampai kepulauan Hawaii. Di Hawaii sejenak aku berpikir, apakah tetap kuteruskan perjalananku ini atau aku tinggal saja di Hawaii? Ternyata aku tetap pada pendirianku semula, mencapai Alaska. Akhirnya kuteruskan lagi perjalananku ke utara, terus ke utara. Laut pun berubah, segalanya berubah, udara berubah, samudera pun berubah. Hawa menjadi dingin tiada terkira. Aku menggigil dan lagi-lagi hampir mati. Namun aku tahu, takdir akan selalu baik, aku tetap melaju sepanjang samudera Arktik dan akhirnya sampai juga di Alaska. Di ujung dunia.
Sesampainya di sini aku segera mencari pakaian. Brrhh, tubuhku lelah dan takkuat lagi menahan hawa dingin. Membuat api pun sangat susah di sini. Kau tahu, butuh waktu yang lama bagiku untuk beradaptasi dengan dinginnya udara Alaska.
Dan kini aku betah tinggal di sini, sayang. Begitu damai, tenteram seperti desa kita. Aku berharap kau pun akan menyusulku dan tinggal di sini. Mungkin nanti aku akan pulang dan menjemputmu seperti janjiku dahulu. Oh iya aku lupa, di sini aku telah sukses menjadi tukang es lilin, sayang. Hahaha. Tidak dapat dipercaya. Mulanya aku bingung apakah aku akan tetap berjualan es di sini sementara hawa begitu dingin. Namun aku takpeduli. Aku ingin mengenalkan es lilin kepada orang-orang Eskimo. Sekali lagi kebingungan datang. Akan aku buat dari apa es tersebut sementara di sini hanya padang salju saja. Dalam kebingungan itu kulihat seekor beruang kutub yang sedang berjalan. Persoalan pun terpecahkan. Kenapa tidak kubuat saja es lilin dari darah beruang itu? Toh soal rasa sama saja, sama-sama beku dan darah pun berwarna merah seperti es-es kebanyakan. Jadi kubunuh beruang itu dan darahnya kuambil. Jadilah es lilin. Kujual dengan harga seribu perak saja. Di luar dugaan orang-orang menikmati esku. Mereka bilang esku enak. Tidak dapat dipercaya. Maka untuk memperbanyak pasokan esku, kubunuh setiap beruang yang ada di sini dan darahnya kuambil. Takterhitung berapa banyak beruang yang telah aku bunuh. Taklupa kukirimkan pula untukmu es lilin darah beruang hasil kerjaku. Cicipilah, kata orang enak kok, segar. Cicipilah.
Savi yang cantik, Savi yang manis.
Rasanya masih banyak yang ingin kuceritakan padamu. Namun aku telah bingung hendak menulis apa di kertas ini, mungkin kucukupkan dulu suratku ini. Kapan-kapan akan kukirimnkan kembali kabarku padamu. Semoga kau takterlalu lama menungguku. Terimalah surat dan sepotong es lilin ini. Baca dan cicipilah, maka kau akan tahu bagaimana besarnya pengorbananku untuk bisa sampai sini. Bila ada waktu, aku akan kembali ke sana dan meminangmu sesuai dengan janjiku dulu padamu.
Semoga Tuhan selalu melindungi kita semua.
Kekasihmu selalu,
Dewa
NB. Aku selalu sayang, cinta dan kangen kamu.
Hmm… Es lilin dari darah beruang. Entah kenapa Savi begitu ingin mencobanya, tetapi ia ragu karena ini adalah darah. Bagaimana rasanya darah? Ia belum pernah mencobanya. Ia ingat perkataan Dewa bahwa es ini enak. Dengan penuh rasa penasaran ia cicipi es lilin itu…
***
Setahun kemudian surat dari Dewa datang lagi. Surat sebelumnya telah Savi balas yang secara garis besar ia ungkapkan bahwa ia pun kangen padanya dan telah merasakan bagaimana rasa es lilin itu. Ternyata Savi ketagihan. Dan setahun kemudian Dewa kembali mengiriminya surat dan sepotong es lilin.
Demkian bunyinya:
Alaska
Saviku tersayang,
Suratmu dulu telah sampai padaku. Ternyata waktu begitu cepat berlalu. Sudah dua tahun, ya sudah dua tahun aku meninggalkanmu. Mungkin kau sudah tampak dewasa. Aku semakin merindukanmu, sayang. Dan terimakasih kau telah mengirmkan pula fotomu untukku. Akan kusimpan sebagai penyemangat hidupku selama berada di sini.
Soal es lilin itu, aku sangat senang kau menyukainya. Memang kedengarannya menjijikkan, namun jangan lihat sesuatu dari luarnya saja. Kita baru berkata jika kita sudah mencobanya. Dan kau telah mencobanya, enak bukan? Hahaha.
Kau menginginkannya lagi? Baiklah kukirimkan kembali sepotong es lilin sebagai oleh-oleh yang indah dariku. Namun perlu kau tahu, jumlah beruang di sini telah habis aku bunuh semua. Aku bingung, sayang. Populasi beruang kutub telah punah di sini karena semuanya habis kubunuh sementara pesanan es lilinku tetap banyak. Aku bingung, dengan cara apa lagi aku bisa mendapatkan darah? Tiba-tiba ideku kembali muncul. Tebak, dengan cara apa aku bisa membuatnya lagi? Jika kuberitahu kau akan terkejut.
Baiklah, kuberitahu sekarang juga. Es lilin yang kukirim untukmu ini bukan dari darah beruang lagi, melainkan es lilin dari darah manusia. Ya, itu adalah darah orang-orang Eskimo. Aku terpaksa membunuh salah satu dari mereka untuk kuambil darahnya. Awalnya aku juga tidak tega membunuh rekan baruku itu, tapi apa daya pemesanan terus meningkat, bukan lagi di sekitar Alaska tetapi seluruh dunia memesan es lilinku itu. Terpaksa kubunuh satu persatu dari mereka. Aku sangsi apakah rasa darah mereka sama dengan rasa darah beruang? Ketika kucicipi rasanya hampir sama, malah lebih manis ini sayang. Cobalah lagi, jika kau suka atau tidak suka. Balaslah surat ini segera.
Semoga Tuhan mengampuni kita berdua, Saviku tercinta.
Kekasihmu
Dewa
NB. Di dalam es lilin itu ada cintaku untukmu.
Terkejut Savi membaca surat Dewa yang kedua. Gila! Haruskah Dewa membunuh manusia untuk diambil darahnya dan dibuat es lilin? Di hadapannya, es lilin darah manusia itu begitu merah, begitu pekat, seolah-olah mengajak Savi untuk tergoda dan menyantapnya. Savi sempat jijik lagi melihat es lilin itu, terlebih setelah ia tahu es lilin itu terbuat dari apa. Tapi lama kelamaan air liur Savi menetes. Yeah, ia memang mudah tergoda, apalagi menyangkut soal makanan. Perlahan-lahan diambilnya es lilin yang berwarna pekat merah itu dan secara perlahan-lahan pula ia menyantap es lilin darah manusia tersebut…
***
Setelah melahap habis es lilin itu, barulah Savi membalas surat dari Dewa:
Dewaku yang tersayang,
Suratmu yang kedua telah sampai padaku. Aku harus menunggu lagi setahun untuk mendapatkan suratmu. Apakah membalas surat bagimu harus memakan waktu yang lama? Setahun, dua tahun, tiga tahun, akh aku lupa lagi sudah berapa tahun aku menantimu di sini.
Kubaca sampai habis suratmu dan aku terkejut. Apakah benar yang kau bicarakan itu? Apakah benar es lilinmu itu kini terbuat dari darah manusia? Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu, sayang? Aku berharap semoga kau masih waras di sana. Aku tidak mau melihatmu membunuh begitu banyak orang hanya untuk es lilin itu. Maaf jika aku lancang berbicara seperti itu, aku kekasihmu! Aku tidak mau kau menjadi pembunuh!
Dewaku yang indah,
Jika aku ingin meminta sesuatu padamu sekarang, bolehkan aku mengutarakannya? Jika kau sayang padaku, kau cinta padaku, kau masih ingin bertemu denganku, maka kembalilah kau ke sini. Pulanglah padaku, pulanglah ke pelukanku. Jangan kau membuat es lilin lagi di sana, jika ternyata kau harus membunuh orang-orang Eskimo untuk kauambil darahnya dan kaubuat es lilin. Pulanglah, lupakan saja bahwa kau harus cari uang di sana. Aku lebih bahagia jika kau hidup melarat tetapi kau bukan seorang pembunuh. Pulanglah, pulanglah…
Semoga Tuhan menyadarkan kita berdua.
Wanitamu
Savitri
NB. Aku sudah menyantap es lilin itu. Aku suka memang, tetapi lebih suka lagi jika kau berhenti membuatnya.
***
Dua tahun kemudian, surat balasan dari Dewa pun tiba:
Saviku yang selalu indah,
Maaf jika kau harus menunggu terlalu lama untuk membaca balasanku. Sekarang aku sibuk Savi, atau mungkin aku sengaja menyibuk-nyibukkan diri untuk membuatku selalu hangat. Suratmu telah kubaca dan aku paham maksudmu. Namun hanya sekadar paham saja. Aku paham kau begitu mengkhawatirkanku, tetapi apa daya aku telah telanjur berbisnis seperti ini. Pesanan esku selalu banyak setiap harinya, dan kau tahu, kini Alaska penuh dengan kapal yang akan mengekspor es lilinku ke seluruh dunia. Aku kaya raya, Savi! Aku kaya raya! Aku mampu membeli apa yang aku inginkan. Dan kelak jika waktuku senggang aku akan pulang dan menjemputmu dengan pesawat pribadiku, dan kita akan tinggal dengan nyaman di sini.
Mengenai pembunuhan itu, aku sudah telanjur membunuh banyak orang Eskimo di sini. Maafkan aku, jika kau mencapku sebagai pembunuh, silakan. Tetapi aku membunuh untuk mendapatkan uang. Uang, Savi! Uang! Dengan uang kita bisa membeli apa saja. Aku ingin mendapatkan uang di sini sesuai dengan tekadku dulu padamu. Dan kini aku telah dapatkan uang itu meski aku harus membunuh banyak orang Eskimo di sini. Dan lagi-lagi jumlah orang Eskimo semakin berkurang sementara pesanan masih terus datang. Dari mana lagi kuperoleh darah itu?
Saviku,
Aku janji secepatnya aku akan datang menemuimu. Aku akan membawa apa yang kau inginkan. Dan aku akan melamarmu, Savi. Maaf jika kau harus menunggu lama demi lamaranku ini. Tetapi sekarang kau boleh bahagia, karena kini kekasihmu sudah menjadi orang, bukan lagi Dewa yang dulu kau kenal.
Semoga Tuhan selalu menyelamatkan kita.
Lelaki terindahmu
Dewa
NB: Seperti perkataanku di atas, lagi-lagi aku kekurangan darah untuk es lilinku. Kalau boleh Saviku tercinta, aku ingin meminta sesuatu darimu. Bolehkah aku meminta darahmu sedikit saja untuk kujadikan es lilin? Maafkan aku, jika kau berkenan maka kau balas surat ini sambil mengirimkan darahmu. Namun jika tidak, kau tinggal bilang saja.
Savi merobek surat itu dan melemparnya ke luar jendela.
“Gila! Betul-betul Gila!!!” bentaknya.
Langensari-Karanganyar-Bandung, 08 Agustus 2010
10.39
No comments:
Post a Comment