Tuesday, 17 January 2012

KOPI DAN IDENTITAS BANGSA


Indonesia adalah surga dunia kuliner. Hal ini dibuktikan dengan dipilihnya rendang sebagai salah satu warisan budaya dunia versi UNESCO. Rendang pula merupakan salah satu makanan terenak di dunia, disusul kemudian dengan nasi goreng. Betapa tidak akan melupakan Indonesia ketika lidah para turis asing telah mengecap cita rasa kuliner Nusantara. Mereka selalu akan kembali lagi ke Indonesia, di samping eksotisme alam dan budayanya.
Salah satu kuliner yang menjadi kebanggan manusia Indonesia adalah kopi. Siapa yang tidak mengenal kopi? Orang-orang di seluruh dunia mengenal kopi. Konon, minuman ini telah ada sejak zaman Romawi Kuno. Kopi biasanya dinikmati para manusia Indonesia ketika pagi, siang, sore, dan malam hari. Ketika pagi, kopi diminum sebagai teman sarapan. Ketika siang, kopi dinikmati sebagai teman ketika berkumpul, dan untuk menghilangkan kantuk. Ketika sore, kopi dinikmati sebagai teman bersantai. Dan ketika malam tiba, kopi dinikmati sebagai pengusir kantuk sekaligus pemberi gairah bagi orang yang sedang begadang.
Kopi tidak pernah memandang gender. Ia diminum oleh laki-laki dan perempuan. Meskipun pada zaman dahulu, wanita terkenal dengan keanggunan sehingga ia lebih pantas untuk meminum teh daripada kopi (kapan-kapan saya akan berbicara tentang teh). Seiring berjalannya waktu, pemikiran manusia Indonesia berubah. Kopi bukanlah sebagai alat untuk mengukur kelembutan seorang manusia. Tua, muda, laki-laki, perempuan, tidak akan tidak pernah meminum kopi (kecuali jika ia memang kena penyakit diabetes).
Dalam penyebarannya, perkembangan kopi di Indonesia tidak lepas dari tangan kolonial. Pascapenghapusan Sistem Tanam Paksa oleh Belanda, karena dinilai tidak berperikemanusiaan oleh rakyat Belanda, Pribumi Indonesia diwajibkan menanam kopi sebagai komoditas yang akan diangkut ke negeri Ratu Wilhelmina itu. Setidaknya, kopi menjadi sumber komoditas utama Belanda dalam pasar internasional di Eropa, selain beras, garam, dan rempah-rempah. Sistem penanaman kopi di Hindia Belanda ini dikenal dengan nama Koffie-Stelsel. Pribumi diwajibkan menanam kopi dan harus pula menjualnya kepada para Kompeni. Tidak heran jika akhirnya VOC—yang sebelumnya terancam bangkrut karena korupsi—bisa membiayai pemerintahannya, baik pemerintahan di Belanda maupun di Hindia Belanda.
Jika dewasa ini kita mengenal ada kopi Aceh, kopi Medan, kopi Lampung, kopi Dili, dan lain-lain, itu adalah dampak dari sistem koffie-stelsel ini. Penanaman kopi secara besar-besaran ini membawa dampak bagi cita rasa kopi di masing-masing daerah. Setiap daerah di Indonesia memiliki cita rasa kopi tersendiri, baik itu dari aroma maupun rasa. Tidak heran kan jika akhirnya di Benua Eropa sana kopi Hindia Belanda banyak sekali disukai orang?
Sistem tanam paksa kopi ini sangat merugikan bagi Pribumi. Mereka sedikit sekali mendapatkan hasil dari tanaman kopinya. Sebenarnya pihak Kompeni pun telah memberikan upah yang sepadan kepada para petani. Namun, korupsi yang merajalela di kalangan Bupati dan bawahannya inilah yang menjadikan para petani menjadi tambah sengsara. Oleh karena itu, muncul berbagai macam serangan-serangan yang dilakukan oleh para petani Pribumi kepada Kompeni.
Namun, kita tengok keadaan manusia Indonesia pada zaman sekarang. Kita  sangat menikmati minum kopi, dimana pun dan kapan pun. Pernahkah kita berpikir bahwa kopi dalam sejarah Indonesia telah menyengsarakan jutaan rakyat pribumi Jika kita mengaku sebagai pencinta kopi, ya mau tidak mau kita harus berterima kasih kepada pemerintah kolonial Belanda, karena atas kebijakan merekalah akhirnya kopi bisa tumbuh subur di bumi Indonesia. Toh, pada zamannya juga bibit kopi itu sendiri dibawa langsung dari benua Eropa!
Manusia Indonesia adalah manusia berbudaya. Apa pun yang ada di sekitarnya lambat laun bisa menjadi tradisi ataupun menjadi sebuah bentuk kebudayaan. Minum kopi pun begitu. Kopi sudah menjadi tradisi yang tidak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia. Orang akan mudah akrab jika berbincang sambil meminum kopi. Warung kopi bukan hanya sekadar sebagai tempat penyedia kopi. Di warung-warung kopi, manusia Indonesia akan mudah untuk berbincang dan bertukar pikiran. Di warung kopi tidak pernah memandang derajat. Tukang becak, sopir angkot, sopir taksi, mahasiswa, bahkan hingga bos-bos sekalipun ketika masuk dan minum kopi di sana, jangan harap derajat masih akan menjadi jurang pemisah.
Saya mengambil pepatah Jawa, “Hidup cuma untuk mampir minum”. Kehidupan untuk minum, salah satunya ya kehidupan minum kopi. Takheran jika iklan-iklan kopi menyuarakan bahwa kopi adalah simbol sebuah semangat yang dibarukan. Simbol semangat untuk mengubah Indonesia. Di balik kandungannya, kopi memang seakan menjadi sebuah “pendoktrin” manusia Indonesia untuk bangkit dan melek. Bangkit melihat dunia-dunia baru yang bertebaran di hadapannya. Secara tidak langsung, iklan tersebut juga mengisyaratkan bahwa kopi sudah menjadi budaya yang melekat di setiap manusia Indonesia.
Akan tetapi, jika kita memasukkan kopi ke dalam bagian dari kebudayaan, pertanyaan yang muncul adalah sudahkah kopi telah menyatukan bangsa Indonesia? di luar area warung kopi, tradisi membedakan derajat ternyata masih melekat di manusia Indonesia. Saya dan teman-teman pernah mengundang seorang sastrawan besar di negeri ini. Kami pun menjamunya dengan segelas kopi. Karena terdesak akhirnya kami pun memberikan kopi dengan gelas dari Aqua plastik sambil meminta maaf karena keterdesakan kami. Kami pikir seorang sastrawan mampu memahami dan tidak membedakan derajat. Akhirnya sastrawan itu menyindir kami dengan argumen bahwa kopi dengan gelas plastik itu sama saja dengan menghidangkan segelas kopi kepada kasta Sudra, yang dalam ajaran Hindu adalah kasta yang rendah. Betapa malu dan terkejutnya kami. Tetapi kami pikir, kami juga yang bodoh. Sastrawan kan manusia biasa juga yang ingin dihormati!
Itulah kekuatan sebuah kopi, minuman hitam yang mampu membangkitkan semangat. Dan tentunya kita harus sadar pula bahwa kopi takkan pernah lepas dari sejarah kelam bangsa Indonesia, yang harus mengorbankan segala demi penanaman kopi di Indonesia. Oleh karena itu, setidaknya tradisi warung kopi adalah bentuk kebudayaan pererat persatuan bangsa. Karena akan selalu muncul gagasan baru yang tercipta—baik sengaja atau pun tidak sengaja—dari warung kopi yang tentunya masing-masing telah mengoreksi pendapat tersebut hingga tercapai kata mufakat. Kopi dan warung kopi merupakan wujud asli dari keragaman bangsa Indonesia dengan mengabaikan status dan derajat tiap-tiap manusia Indonesia.
Saya suka kopi Luwak. Anda suka kopi apa di negeri ini?
Bandung, 10 Januari 2012

No comments:

Post a Comment