Tuesday, 17 January 2012

Simbol Pejuangan dalam Lakon “Mastodon dan Burung Kondor”


Apakah kesenian lebih penting dari sepotong roti?
Roti sangat penting untuk orang yang kelaparan…

Dua kalimat di atas adalah prolog pembuka dari sebuah lakon “Mastodon dan Burung Kondor” karya alm. WS. Rendra. Pertama kali dibuat dan dipentaskan pada tahun 1973 di halaman kampus ITB. Setelah 38 tahun naskah ini “membisu”, akhirnya dapat dipentaskan kembali pada tanggal 12—13 Januari 2012 di Kampus Universitas Padjadjaran.
Rendra melakukan eksperimen kontroversial melalui karya-karyanya. Barangkali tidak ada lagi sastrawan yang sebegitu kontroversial seperti dirinya. Agitasi perjuangan melawan kekuasaan melalui naskah drama—salah satunya naskah ini—pada saat itu menuai pencekalan dan dianggap terlalu keras menyinggung pemerintah. Marahkah pemerintah? Tentu sangat. Kediktatoran Orde Baru sempat menyeretnya masuk ke dalam hotel prodeo selama kurang lebih enam bulan. Dan praktis naskah drama ini dipaksa tertidur hingga akhirnya terbangun pada saat ini.
Dua kalimat prolog di atas adalah ungkapan dari gejolak kegelisahan Rendra atas nasib sebuah seni. Baginya seni bukanlah sebuah keindahan belaka, tetapi seni bisa menjadi sebuah subversi yang begitu tajam dan lugas. Kekuasaan yang diktator tidak akan memajukan sebuah peradaban bangsa, sekalipun pembangunan besar-besaran dilakukan secara serentak. Rendra berani menyatakan bahwa kebudayaan akan memajukan sebuah bangsa. Pembangunan ekonomi tidak akan menghasilkan apa-apa selain hanya gedung-gedung bertingkat. Baginya, pembangunan ekonomi bukan berarti akan menyejahterakan rakyatnya.
Seni bukan hanya memberikan hiburan, namun seni bisa mendatangkan sebuah pengertian. Pengertian di sini ialah pada hakikatnya seni lahir dari kesadaran manusia. Seni tidak akan lepas dari kehidupan manusia. Seni berujud abstrak, sehingga manusia akan selalu menginterpretasikan seni dari berbagai sisi. Di balik estetika, ia memiliki kekuatan yang sanggup dijadikan tameng bagi senimannya. Dalam naskah ini, seni dijadikan alat untuk mengagitasi perjuangan di balik keindahan dan kelembutan raganya. Seni bisa menjadi seekor burung kondor yang tinggal di bukit batu.
Dalam naskah ini kita akan menemui seorang tokoh yang bernama Jose Carlos (setting dalam naskah ini memang mengambil setting sebuah Negara Latin, namun gejolak dan polemik yang ditampilkan adalah kasus yang terjadi di negeri ini). Jose adalah seorang mahasiswa dan penyair yang peka dan mampu memaknai sebuah kehidupan dari beberapa sisi.
Melihat kekisruhan politik kekuasaan yang terjadi, ia tidak berpikir untuk melakukan sebuah pemberontakan. Jose berpikir bahwa perubahan yang baik adalah perubahan yang didasari oleh semangat kesadaran, bukan oleh penggulingan kekuasaan dengan cara pemberontakan. Pemberontakan dianggap hanya mengganti “pakaian” saja, sedangkan wajah dan sifatnya masih itu-itu saja. Pemikiran ini tentunya ditentang oleh Juan Frederico, koordinator aksi penggulingan kekuasaan. Juan menginginkan sebuah revolusi bukan evolusi. Pendapat dari Jose dianggap sebagai sebuah evolusi. Dan tentunya sebuah evolusi akan mengalam proses yang sangat panjang.
Kritik sosial ini merupakan pemikiran Rendra yang paling murni. Melalui sebuah karya, ia berjuang untuk “menggulingkan” sebuah kekuasaan. Perubahan Orde Lama menjadi Orde Baru adalah sama saja dengan mengubah sebuah pakaian. Tidak ada perubahan yang signifikan dari segi kesejahteraan rakyat. Rakyat tetap “menderita”, dalam artian mereka tidak punya kebebasan untuk berpendapat. Orang-orang kecil dibungkam mulutnya dan memang tidak akan pernah berbicara selama kekuasaan itu masih berlangsung. Pembangunan ekonomi dijadikan dalih untuk membungkan mulut mereka.
Revolusi pun seakan menjadi sia-sia, karena bisa jadi revolusi kembali dijadikan dalih untuk mendapat keuntungan yang luar biasa. Seberapa lamakah kekuatan dari sebuah revolusi? Jose meramal bahwa tindakan revolusi Juan hanya akan sia-sia belaka. Jose menganggap jika Juan kelak mampu menggulingkan kekuasaan, sifatnya tidak akan berubah dari kekuasaan yang sekarang.
Interpretasi mengenai Orde Baru begitu kuat melekat ketika menonton pementasan lakon ini. Lakon berdurasi tiga jam ini begitu kaya dengan intrik dan pertarungan kekuasaan. Revolusi telah memenjarakan Jose dengan tuduhan yang dibuat-buat oleh Juan. Ini mengisyaratkan pada kita bahwa peran orang kecil akan selalu dibungkam oleh kedok pembangunan. Jose memang menjadi kaum yang marginal, namun kenyataannya ia begitu kaya dengan pemaknaan sebuah kehidupan. Ia berpihak pada golongan petani, rakyat kecil, dan pelacur jalanan. Mereka adalah wujud marginal dari ambisi penguasa untuk melangsungkan pembangunan.
Mastodon dan Burung Kondor adalah lambang dari penguasa dan rakyat. Penguasa yang haus kekuasaan dilambangkan dengan Mastodon, yaitu binatang purba raksasa, dan rakyat yang menjadi korban kekuasaan dilambangkan dengan seekor burung kondor. Rendra melambangkan sebagai burung kondor karena memang setiap rakyat mempunyai “cakarnya” sendiri untuk melawan kezaliman. Cakar itu tersembunyi dalam kehidupan mereka dan akan dikeluarkan ketika mereka terdesak. Jose pun memiliki cakarnya, yakni seni yang ia jalankan sebagai modal utama untuk menyadarkan manusia.
Kehidupan marginal serupa dengan suasana senja menuju malam. Remang dan minim cahaya matahari. Jika ia mampu menahan kemarginalannya, senja yang muram itu akan menjadi senja yang bercahaya. Akan tetapi, jika ia tergerus dan terbawa arus semakin dalam, maka ia akan berubah menjadi malam yang gelap. Jose Carlos adalah potret manusia yang memercayai seni sebagai jalan menuju kemakmuran absolut. Meskipun pada akhirnya ia terasing di negerinya sendiri dan dibuang ke negara lain demi mempertahankan pikirannya.





Bandung, 15 Januari 2012

No comments:

Post a Comment