Wednesday, 18 January 2012

TENTANG MENULIS #2 Menjadi Penulis (Tak)Lepas

Dewasa ini kita mengenal istilah penulis lepas, yang berarti seorang penulis yang tidak terikat kontrak oleh perusahaan atau penerbitan tertentu. Istilah lainnya adalah freelance. Penulis lepas biasanya tersebar di surat kabar maupun media-media online. Mereka biasanya menulis di beberapa media atau web tanpa terikat kontrak. Penulis lepas biasanya menulis sesuai pesanan dari pihak publisher dengan tenggak waktu yang telah ditentukan.

Penulis lepas biasa mengerjakan tulisannya di rumah atau di area mana pun yang meungkinkan ia bisa menulis, lalu mengirimkan tulisannya melalui email atau surat ke publisher. Karena kebebasan pengerjaan inilah penulis lepas banyak diminati oleh sebagian kalangan penulis. Alasannya, tinggal ngetik di rumah sudah bisa dapat duit.

Namun, tuntutan untuk menjadi penulis lepas adalah sanggup menulis artikel dengan tema yang ditentukan dan dengan referensi yang tepat. Bahkan, seorang penulis lepas profesional sanggup membuat artikel sampai delapan artikel setiap harinya. Sebab, semakin banyak mengirimkan tulisan, maka semakin besar pula honor yang diterimanya. Berat memang, tapi inilah seninya seorang penulis lepas.

Hal penting yang harus dibutuhkan seorang penulis lepas (penulis pada umumnya) adalah keterampilan menulis dan konsistensi. Penulis lepas, seperti halnya penulis yang lain, dituntut untuk membuat sebuah karya yang segar, informatif, dan asli bukan jiplakan dari tulisan lain. Jika memang membutuhkan referensi, penulis akan mencantumkan identitas darimana kutipan tersebut berasal. Hal yang kedua adalah konsistensi.

Konsisten sangat dibutuhkan ketika kita menjadi penulis. Penulis bukan hanya profesi selintas saja, jika ada ide segar baru menulis. Rata-rata penulis pemula memang bermasalah dengan konsistensi. Ia terlalu terpaku dengan ide, sebab bagi mereka menulis adalah mencurahkan ide. Jika ide tidak muncul, apakah kita harus berhenti menulis?

Menulis bukan hanya berpacu pada ide, tetapi ia juga berpacu pada keadaan. Penulis yang baik adalah penulis yang sadar akan keadaannya. Ketika seorang penulis peka pada keadaan, maka ia akan menuliskan keadaan tersebut sesuai dengan apa yang dirasakannya. Menurut saya, menulis dari sebuah keadaan yang terjadi akan lebih menginformatif dan inspiratif kepada pembacanya daripada menulis dengan mengutamakan ide. Sebab, belum tentu ide seseorang akan diterima oleh orang lain. Kita akan tahu apa yang terjadi di sekitar kita, di pulau lain, keadaan di daerah konflik perang, dan lain-lain, lewat tulisan. Bagaimana kita akan mengetahui Pulau Buru jika Pram tidak menuliskan pengalamannya menjadi novel tetralogi? Bagaimana kita akan mengetahui keadaan Jakarta pada tahun 1950-an jika Mochtar Lubis tidak menulis novel Senja di Jakarta?

Ide akan muncul setelah kita peka terhadap keadaan di sekeliling kita. Inspirasi akan membayang ketika kita melihat, mendengar, dan merasakan sebuah peristiwa. Buku anekdot Nguping Jakarta lahir akibat fenomena kebahasaan yang sedikit nyeleneh di masyarakat Jakarta. Kita selalu terlena pada kekayaan ide, karena anggapan kita bahwa ide akan melahirkan sesuatu yang bagus. Jika ide mati, apakah kreativitas kita harus mati pula?

Ketika kita mempunyai bakat menulis dan memang ingin menjadi penulis, kita haruslah menjadi penulis yang (tidak) lepas. Tidak lepas dalam artian, kita harus selalu melahirkan sebuah tulisan yang—bukan hanya—terpaku pada ide saja. Fenomena di sekeliling adalah kekayaan tema yang harus ditangkap oleh indera penulis dan merepresentasikannya melalui tulisan. Menjadi penulis lepas, penulis novel, atau pun  penulis di media cetak hanyalah spesifikasi dari penulis saja. Pada dasarnya yang harus dibutuhkan adalah keterampilan dan konsistensi menulis. Jangan takut kehabisan ide, karena ide akan setali tiga uang ketika kita sudah bisa peka terhadap keadaan dan peristiwa di sekeliling kita.

No comments:

Post a Comment