“Adakah kau merasa tertarik
akan bunyi guguran daun?” tanyanya ketika ia melihat selembar daun kering gugur
di depannya. Aku terdiam, angin berhembus agak kencang ikut memandangi guguran
daun-daun pohon yang jatuh begitu saja ke tanah.
“Memangnya, kau tertarik?”
tanyaku.
"Aku merasa seperti
menemukan cinta,” jawabnya lembut.
“Maksudmu?”
“Kau takpernah mengerti jika
guguran daun itu adalah cinta.”
Aku memang tidak pernah
mengerti perkataannya. Pikirannya berbeda dengan oranglain. Tetapi, di balik
jalan pikirannya yang aneh, ia teramat lembut dan anggun. Barangkali ia ingin
menjadi daun yang berjatuhan atau entah apa. Tetapi bagiku, guguran daun yang
kulihat kutafsirkan sebagai ia yang begitu lembut dan selalu membuai.
Kami mencoba memahami pikiran
masing-masing. Bukankah ketika kata-kata tidak mampu lagi membahasakan pikiran,
pikiranlah yang menjadi bahasa? Ia seorang wanita yang anggun dalam semesta
yang disepuh berjuta cahaya. Namun aku tidak pernah bisa menyelami samudera
pikirannya, karena barangkali pikirannya jauh melebih pikiranku. Ia peka dan
perasa. Namun aku tidak.
“Kau terdiam, ada apa?”
tanyanya memecah kesunyian.
“Akh tidak, aku mencoba
membayangkan pernyataanmu itu,” jawabku.
Ia tersenyum. Langit senja
kemerahan menjadi lebih berwarna dibuatnya.
“Kau tidak usah memikirkan
itu. Bukankah aku sudah menjawab pertanyaanku sendiri?”
“Memang, tetapi aku ingin
memahami lebih dalam.”
“Kau ada-ada saja!”
“Kau juga ada-ada saja!”
Kami tertawa. Di taman yang
lengang ini, kami habiskan waktu dengan canda dan tawa. Bukankah tiada yang
lebih indah selain berdua dalam tatawarna senja kemerahan yang selalu menjadi
latar cakrawala senja? Guguran daun yang dilihatnya kini menarik hatinya. Ia
selalu menyukai hal-hal yang tidak pernah diperbincangkan orang. Taman lengang,
guguran daun makin banyak menghempas ke bawah diterpa angin yang segar.
Barangkali daun adalah
layar, barangkali daun adalah perahu. Dan barangkali daun adalah dirinya. Daun
yang terhempas jatuh ke bawah diterpa angin dan gravitasi bumi, siapa yang sudi
membicarakannya selain dia? Ia sangat
menyukainya, mengapa tidak? Aku memandang wajahnya yang cantik, meski tidak
sadar aku pandangi. Ia begitu memperhatikan guguran daun-daun yang jatuh ke bumi
berserakan.
Wajahnya yang cantik semakin
menimbulkan pesona.
“Daun-daun kering, apakah
memang kau sudah takpantas menghiasi pohonmu?” tanyanya.
Kupandangi selalu wajahnya
yang cantik karena aku mencintainya. Kami terdiam. Ia sibuk dengan pikirannya
dan aku pun sibuk memandanginya. Waktu menunjukkan pukul lima, matahari senja
telah menjadi emas menyepuh jalanan sehingga jalanan bagaikan terbuat dari emas
dan guguran daun itu bagaikan permata yang meghiasi jalan emas tersebut. Betapa
cahaya keemasan begitu anggun dan kemilau sehingga segalanya menjadi tenang dan
sendu. Kami berdua saja dalam taman itu dan yang lebih indah selain berdua
dalam taman kala senja. Hanya aku dan dia.
“Hei aku ingat,” katanya
dengan suara yang lembut.
“Ingat apa?” tanyaku.
“Coba kau injak daun-daun
kering itu. Dengarkan suaranya.”
Aku menginjak guguran
daun-daun kering yang berserakan di jalan. Bunyi “krak” terdengar ketika aku
menginjaknya.
“Kau suka tidak suaranya?”
tanyanya.
“Hmm… ya suaranya enak
didengar. Kering dan renyah, haha…”
“Kau menyukainya?”
“Aku suka. Kau bagaimana?”
“Lihat aku,” katanya sambil
berjalan mendekati guguran daun-daun kecil yang berserakan. Ia menginjak
daun-daun itu dengan riang sehingga terdengar bunyi “krak” yang nyaring dan
renyah. Ia injak semua daun-daun kering yang berserakan di sana sehingga
terdengar bunyi “krak” berkali-kali. Kadangkala ia teramat lembut untuk
disakiti, jiwanya penuh dengan mimpi. Mimpinya begitu gilang gemilang dan
selalu berbeda. Apakah ia kelak akan menjadi cahaya bersama mimpinya? Semoga.
“Kau dengar? Aku senang mendengar
bunyinya sayang!” teriaknya senang.
Aku tersenyum melihatnya.
Wajahnya yang anggun tersepuh cahaya keemasan matahari senja.
“La la la! Aku ingin
menciptakan lagu untuk mengenangnya!”
Guguran daun kering itu
hampir semua telah diinjak olehnya. Ia bahagia sekali. Belum pernah kulihat ia
sebahagia ini. Wajahnya merah penuh cahaya keemasan. Dan senja semakin
menampakkan kemilaunya.
“Aku ingin membuat lagu. Aku
ingin membuat puisi!”
“Kau bahagia sekali sayang,”
kataku.
“Aku bahagia mendengar suara
ini. Aku mendengar semuanya, termasuk suaramu juga,” jawabnya manis.
Aku kembali tersenyum.
“Aku menyayangimu,” katanya.
Ia memang wanita yang indah.
Wanita, senja, dan guguran daun, barangkali akan kuabadikan selalu wajahnya
dalam semesta kala senja dan kutulis namanya dalam guguran daun dimana ia
begitu menyukainya. Setidaknya itulah hubungan antara ketiganya.
Sehelai daun jatuh di
depanku. Masih baru. Kuambil daun tersebut sebagai kenang-kenangan yang
terindah selama hidupku. Kudekati dirinya yang masih asyik menginjak daun-daun
yang berserakan.
“Aku juga menyayangimu,”
itulah kata-kata terindah yang kuucapkan senja itu padanya.
***
Ada yang salah dengan
waktu? Atau kita yang salah menafsirkan waktu itu sendiri terlalu sibuk
menyibuk-nyibukkan diri dengan kesibukan yang sebenarnya tak terlalu sibuk tak
terlalu berat untuk disibukkan. Lalu kau pun hilang di antara lenguh angin yang
membelai taman ini taman tempat aku menunggumu selama beratus-ratus tahun
hingga guguran daun di sini pun menjadi beratus-ratus beribu-ribu berjuta-juta
bahkan bermiliar-miliar menumpuk menggunung takada yang peduli takada yang iba
karena memang hanya guguran daun bukan guguran rupiah bukan guguran emas yang
selalu mereka puja mereka sembah mereka gilai hormati mungkin saja kau pun
seperti mereka.
Apakah memang waktu
sendiri lupa melupa-lupa berlupa-lupa pura-pura lupa sehingga semua orang
menjadi lupa, lupa akan waktu lupa akan tubuh dan akhirnya mati meranggas
seperti daun-daun yang kulihat selalu gugur menggugurkan dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya
dan sesampainya di bawah hanya tinggal seonggok sampah seperti manusia seperti
jiwa seperti setan yang selalu menyampah dan takpernah mau membersihkan karena
memang kotor dan sangat kotor terlalu kotor untuk dibersihkan. Senja takada yang
abadi takada yang menyapaku saat menunggumu di taman beratus-ratus tahun
takkenal musim takkenal waktu takkenal usia takkenal pagi siang bahkan remang
malam yang selalu menutup senja dengan selubung hitam dengan gemintang muramnya
yang hanya kelap-kelip bagai kunang-kunang yang redup cahayanya seperti koma
seperti sakaratul kelap-kelip remang akhirnya hilang padam redup sepertimu.
Mati suri.
Akh, ini hanya gurauan
belaka atau nyata memang? Di mana kau?
“Papa! Lihat guguran daunnya
banyak!”
Senja kembali hadir dalam
cakrawala dan menjadikan jalan yang kulalui berkilau bagai terbuat dari emas.
Dan guguran daun-daun kering itu lebih banyak dari apa yang kulihat bersamanya
dulu. Samar-samar kenangan tersebut kembali berputar-putar dalam ingatan.
“Papa! Suaranya nyaring
kalau aku injak!” anakku tertawa riang sambil menginjak daun-daun kering itu.
Bunyi “krak”, apakah akan tetap sama sampai aku beranjak renta nanti? Barangkali
daun adalah drumset, barangkali daun adalah perkusi sehingga mengeluarkan bunyi
nyaring semacam itu. Aku tenggelam dalam kenangan. Kenangan tentang guguran
daun dan juga wanita itu. Dulu.
“Kok diam saja? Anakmu kau
biarkan sendiri tuh,” istriku membuyarkan lamunanku.
Aku diam tak menjawab.
Kupandangi anakku yang asyik menginjak guguran daun. Seperti wanita itu.
“Kau ingat sesuatu?” istriku
bertanya kembali.
“Akh, tidak. Aku hanya
melamun saja.”
“Melamun tetapi tidak ada
yang dilamuni. Aneh.”
Aku diam. Senja semakin
kemilau. Kulihat waktu, pukul lima. Sama dengan apa yang kulakukan dulu bersamanya.
Mengapa harus kuingat kembali masa lalu itu?
Akh, ini hanya gurauan belaka atau
nyata memang? Di mana kau?
Aku masih diam, tenggelam
dalam kenangan. Tidak kusadari istriku memperhatikan segala tingkahku yang
aneh. Ia mendengus.
“Kau pasti teringat dengan
Lara. Heran, ia kan sudah mati! Mengapa kau masih mengenangnya? Untung saja ia
sudah mati, kalau tidak kau pasti akan menikah lagi dengannya. Laki-laki memang
aneh!” kata istriku memberengut.
Senja keemasan sebentar lagi meremang. Aku masih terpaku akan guguran daun, bunyi daun kering, jalanan yang kulalui bersama istri dan anak-anakku, juga Lara, wanita terindah yang bisa kucintai secara sembunyi saja.
Bandung, 05
Desember 2009
20.14
sumber foto :di sini
No comments:
Post a Comment