Saturday, 19 May 2012

Guguran Daun




“Adakah kau merasa tertarik akan bunyi guguran daun?” tanyanya ketika ia melihat selembar daun kering gugur di depannya. Aku terdiam, angin berhembus agak kencang ikut memandangi guguran daun-daun pohon yang jatuh begitu saja ke tanah.

“Memangnya, kau tertarik?” tanyaku.

"Aku merasa seperti menemukan cinta,” jawabnya lembut.

“Maksudmu?”

“Kau takpernah mengerti jika guguran daun itu adalah cinta.”

Aku memang tidak pernah mengerti perkataannya. Pikirannya berbeda dengan oranglain. Tetapi, di balik jalan pikirannya yang aneh, ia teramat lembut dan anggun. Barangkali ia ingin menjadi daun yang berjatuhan atau entah apa. Tetapi bagiku, guguran daun yang kulihat kutafsirkan sebagai ia yang begitu lembut dan selalu membuai.

Kami mencoba memahami pikiran masing-masing. Bukankah ketika kata-kata tidak mampu lagi membahasakan pikiran, pikiranlah yang menjadi bahasa? Ia seorang wanita yang anggun dalam semesta yang disepuh berjuta cahaya. Namun aku tidak pernah bisa menyelami samudera pikirannya, karena barangkali pikirannya jauh melebih pikiranku. Ia peka dan perasa. Namun aku tidak.

“Kau terdiam, ada apa?” tanyanya memecah kesunyian.

“Akh tidak, aku mencoba membayangkan pernyataanmu itu,” jawabku.

Ia tersenyum. Langit senja kemerahan menjadi lebih berwarna dibuatnya.

“Kau tidak usah memikirkan itu. Bukankah aku sudah menjawab pertanyaanku sendiri?”

“Memang, tetapi aku ingin memahami lebih dalam.”

“Kau ada-ada saja!”

“Kau juga ada-ada saja!”

Kami tertawa. Di taman yang lengang ini, kami habiskan waktu dengan canda dan tawa. Bukankah tiada yang lebih indah selain berdua dalam tatawarna senja kemerahan yang selalu menjadi latar cakrawala senja? Guguran daun yang dilihatnya kini menarik hatinya. Ia selalu menyukai hal-hal yang tidak pernah diperbincangkan orang. Taman lengang, guguran daun makin banyak menghempas ke bawah diterpa angin yang segar.

Barangkali daun adalah layar, barangkali daun adalah perahu. Dan barangkali daun adalah dirinya. Daun yang terhempas jatuh ke bawah diterpa angin dan gravitasi bumi, siapa yang sudi membicarakannya selain dia?  Ia sangat menyukainya, mengapa tidak? Aku memandang wajahnya yang cantik, meski tidak sadar aku pandangi. Ia begitu memperhatikan guguran daun-daun yang jatuh ke bumi berserakan.

Wajahnya yang cantik semakin menimbulkan pesona.

“Daun-daun kering, apakah memang kau sudah takpantas menghiasi pohonmu?” tanyanya.

Kupandangi selalu wajahnya yang cantik karena aku mencintainya. Kami terdiam. Ia sibuk dengan pikirannya dan aku pun sibuk memandanginya. Waktu menunjukkan pukul lima, matahari senja telah menjadi emas menyepuh jalanan sehingga jalanan bagaikan terbuat dari emas dan guguran daun itu bagaikan permata yang meghiasi jalan emas tersebut. Betapa cahaya keemasan begitu anggun dan kemilau sehingga segalanya menjadi tenang dan sendu. Kami berdua saja dalam taman itu dan yang lebih indah selain berdua dalam taman kala senja. Hanya aku dan dia.

“Hei aku ingat,” katanya dengan suara yang lembut.

“Ingat apa?” tanyaku.

“Coba kau injak daun-daun kering itu. Dengarkan suaranya.”

Aku menginjak guguran daun-daun kering yang berserakan di jalan. Bunyi “krak” terdengar ketika aku menginjaknya.

“Kau suka tidak suaranya?” tanyanya.

“Hmm… ya suaranya enak didengar. Kering dan renyah, haha…”

“Kau menyukainya?”

“Aku suka. Kau bagaimana?”

“Lihat aku,” katanya sambil berjalan mendekati guguran daun-daun kecil yang berserakan. Ia menginjak daun-daun itu dengan riang sehingga terdengar bunyi “krak” yang nyaring dan renyah. Ia injak semua daun-daun kering yang berserakan di sana sehingga terdengar bunyi “krak” berkali-kali. Kadangkala ia teramat lembut untuk disakiti, jiwanya penuh dengan mimpi. Mimpinya begitu gilang gemilang dan selalu berbeda. Apakah ia kelak akan menjadi cahaya bersama mimpinya? Semoga.

“Kau dengar? Aku senang mendengar bunyinya sayang!” teriaknya senang.

Aku tersenyum melihatnya. Wajahnya yang anggun tersepuh cahaya keemasan matahari senja.

“La la la! Aku ingin menciptakan lagu untuk mengenangnya!”

Guguran daun kering itu hampir semua telah diinjak olehnya. Ia bahagia sekali. Belum pernah kulihat ia sebahagia ini. Wajahnya merah penuh cahaya keemasan. Dan senja semakin menampakkan kemilaunya.

“Aku ingin membuat lagu. Aku ingin membuat puisi!”

“Kau bahagia sekali sayang,” kataku.

“Aku bahagia mendengar suara ini. Aku mendengar semuanya, termasuk suaramu juga,” jawabnya manis.

Aku kembali tersenyum.

“Aku menyayangimu,” katanya.

Ia memang wanita yang indah. Wanita, senja, dan guguran daun, barangkali akan kuabadikan selalu wajahnya dalam semesta kala senja dan kutulis namanya dalam guguran daun dimana ia begitu menyukainya. Setidaknya itulah hubungan antara ketiganya.

Sehelai daun jatuh di depanku. Masih baru. Kuambil daun tersebut sebagai kenang-kenangan yang terindah selama hidupku. Kudekati dirinya yang masih asyik menginjak daun-daun yang berserakan.

“Aku juga menyayangimu,” itulah kata-kata terindah yang kuucapkan senja itu padanya.

***
Ada yang salah dengan waktu? Atau kita yang salah menafsirkan waktu itu sendiri terlalu sibuk menyibuk-nyibukkan diri dengan kesibukan yang sebenarnya tak terlalu sibuk tak terlalu berat untuk disibukkan. Lalu kau pun hilang di antara lenguh angin yang membelai taman ini taman tempat aku menunggumu selama beratus-ratus tahun hingga guguran daun di sini pun menjadi beratus-ratus beribu-ribu berjuta-juta bahkan bermiliar-miliar menumpuk menggunung takada yang peduli takada yang iba karena memang hanya guguran daun bukan guguran rupiah bukan guguran emas yang selalu mereka puja mereka sembah mereka gilai hormati mungkin saja kau pun seperti mereka.

Apakah memang waktu sendiri lupa melupa-lupa berlupa-lupa pura-pura lupa sehingga semua orang menjadi lupa, lupa akan waktu lupa akan tubuh dan akhirnya mati meranggas seperti daun-daun yang kulihat selalu gugur menggugurkan dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya dan sesampainya di bawah hanya tinggal seonggok sampah seperti manusia seperti jiwa seperti setan yang selalu menyampah dan takpernah mau membersihkan karena memang kotor dan sangat kotor terlalu kotor untuk dibersihkan. Senja takada yang abadi takada yang menyapaku saat menunggumu di taman beratus-ratus tahun takkenal musim takkenal waktu takkenal usia takkenal pagi siang bahkan remang malam yang selalu menutup senja dengan selubung hitam dengan gemintang muramnya yang hanya kelap-kelip bagai kunang-kunang yang redup cahayanya seperti koma seperti sakaratul kelap-kelip remang akhirnya hilang padam redup sepertimu. Mati suri.

Akh, ini hanya gurauan belaka atau nyata memang? Di mana kau?

“Papa! Lihat guguran daunnya banyak!”

Senja kembali hadir dalam cakrawala dan menjadikan jalan yang kulalui berkilau bagai terbuat dari emas. Dan guguran daun-daun kering itu lebih banyak dari apa yang kulihat bersamanya dulu. Samar-samar kenangan tersebut kembali berputar-putar dalam ingatan.

“Papa! Suaranya nyaring kalau aku injak!” anakku tertawa riang sambil menginjak daun-daun kering itu. Bunyi “krak”, apakah akan tetap sama sampai aku beranjak renta nanti? Barangkali daun adalah drumset, barangkali daun adalah perkusi sehingga mengeluarkan bunyi nyaring semacam itu. Aku tenggelam dalam kenangan. Kenangan tentang guguran daun dan juga wanita itu. Dulu.

“Kok diam saja? Anakmu kau biarkan sendiri tuh,” istriku membuyarkan lamunanku.

Aku diam tak menjawab. Kupandangi anakku yang asyik menginjak guguran daun. Seperti wanita itu.

“Kau ingat sesuatu?” istriku bertanya kembali.

“Akh, tidak. Aku hanya melamun saja.”

“Melamun tetapi tidak ada yang dilamuni. Aneh.”

Aku diam. Senja semakin kemilau. Kulihat waktu, pukul lima. Sama dengan apa yang kulakukan dulu bersamanya. Mengapa harus kuingat kembali masa lalu itu?

  Akh, ini hanya gurauan belaka atau nyata memang? Di mana kau?

Aku masih diam, tenggelam dalam kenangan. Tidak kusadari istriku memperhatikan segala tingkahku yang aneh. Ia mendengus.

“Kau pasti teringat dengan Lara. Heran, ia kan sudah mati! Mengapa kau masih mengenangnya? Untung saja ia sudah mati, kalau tidak kau pasti akan menikah lagi dengannya. Laki-laki memang aneh!” kata istriku memberengut.

Senja keemasan sebentar lagi meremang. Aku masih terpaku akan guguran daun, bunyi daun kering, jalanan yang kulalui bersama istri dan anak-anakku, juga Lara, wanita terindah yang bisa kucintai secara sembunyi saja.



Bandung, 05 Desember 2009
20.14


sumber foto :di sini

No comments:

Post a Comment