Monday, 21 May 2012

Ambilkan Bulan Bu




Ambilkan bulan Bu, Ambilkan bulan Bu
Yang slalu bersinar di langit…*)

“Ibu bisakah aku mengambil bulan yang ada di sana?” tanya Mentari ketika malam kelam yang disinari rembulan. Rembulan yang putih bulat mulus dengan siluet seperti seekor kelinci terbang melintas semesta. Rembulan yang kadang bulat, sabit, setengah, bahkan tidak ada sama sekali di langit malam memang diartikan lain oleh Mentari. Gadis sekecil ia sangat mencintai rembulan. Ia selalu menunggu malam agar dapat melihat rembulan dan berkhayal kelak ia akan berada di bulan.

“Akh, dasar anak cerewet. Mana bisa kau mengambil bulan?” tanya ibunya sambil membelai rambut Mentari yang lembut.

“Aku bisa Bu. Akan kuambil nanti dengan tanganku sendiri,” Mentari menengadahkan kedua tangannya ke langit ke arah rembulan yang kala itu purnama.

“Aku bisa Bu! Aku bisa!”

Ibunya tersenyum. Ia tersenyum melihat anak perempuan satu-satunya itu begitu bahagia melihat bulan. Ia sendiri pun takmengetahui mengapa Mentari begitu cinta akan rembulan. Dulu sewaktu ia kecil, takpernah ia begitu cinta begitu sayang akan sesuatu. Kalaulah harus mengaku ada, tentu ia akan bilang sayang pada ibunya—nenek Mentari yang sebulan lalu meninggal.

Meski begitu, ia mencintai Mentari dengan sepenuh hati tentu saja. Apa pun akan ia lakukan untuk membahagiakan anaknya itu. Mentari sendiri sebenarnya bukan anak yang tergolong manja, ia takpernah meminta sesuatu yang lebih dan mahal pada ibunya. Tetapi kali ini ia ingin mengambil rembulan, memang tidak perlu mengeluarkan banyak uang—tetapi bagaimana mengambilnya?

“Ibu, lihat rembulan itu tersenyum ke arah kita!”

Ibunya mendekati Mentari, ikut mendongakkan kepalanya ke arah bulan yang ia tahu dari dulu bentuknya itu-itu saja.

“Mana? Ibu kok gak lihat,” tanya ibunya.

“Liat Bu! Bulan itu betul-betul tersenyum ke kita.”

“Iya-iya Ibu lihat. Manis ya senyumnya?” sebenarnya ia takpercaya bahwa rembulan itu tersenyum. Namun, ia hanya ingin membahagiakan Mentari agar khayalnya itu seakan tidak dipedulikan olehnya. Ia setidaknya harus ikut masuk juga ke dalam dunia khayal Mentari agar ia mampu merasakan bagaimana perasaan Mentari kala itu.

Di beranda rumah, begitulah setiap malam ibunya mendampingi Mentari melihat rembulan. Dan begitulah setiap malam Mentari akan bahagia tiada terkira ketika rembulan yang dicintainya muncul dengan anggun di langit malam. Ia akan bersorak senang seperti mendapat boneka baru, menari-menari di teras sambil berdendang lagu tentang rembulan. Jika sudah begitu, Ibunya hanya bisa melihat Mentari bahagia dengan tatapan yang nanar. Entah mengapa jika ia telah melihat Mentari bahagia dan senang, terobatilah sedikit betapa dulu ketika Mentari lahir ia adalah seorang anak yang takpernah diharapkan kemunculannya.

Jika teringat masa lalunya, ia akan menangis tanpa pernah terisak. Hanya mengeluarkan air mata saja.

“Ibu mengapa menangis?”

“Akh… tidak, Ibu hanya kelilipan.”

“Ibu jangan nangis ya? Jika aku telah dewasa, aku akan mengambil bulan untuk Ibu.”

“Iya, kamu yakin kamu bisa mengambil bulan?”

“Aku bisa Bu! Aku bisa!”

Perkataan dan semangatnya itulah yang menghibur hati ibunya yang penuh lara dan nestapa. Ia bersyukur untung Mentari lahir meski ia tahu kelahirannya menjadi sebuah aib baginya. Anak adalah titipan dariNya walau kelahirannya direstui atau tidak. Bukan begitu?

“Kamu harus jadi anak yang pintar dan baik jika mau mengambil bulan.”

“Iya Bu, aku akan jadi anak yang baik biar bisa mengambil bulan.”

Sekali lagi ibunya tersenyum.

“Dan kamu akan membawakannya untuk Ibu kelak.”


***

Di langit bulan benderang
Cahyanya sampai ke bintang…

Suatu pagi Mentari bangun dari tidurnya. Semalam dalam tidurnya ia bermimpi memegang rembulan di tangannya. Tentu saja mimpi yang indah ini ia ceritakan pada Ibunya, pada teman-teman sekolahnya, pada tukang bakso langganannya, pada ibu guru Rahma yang sangat baik, pada supir mobil jemputan sekolah yang selalu bercanda, pada siapa saja yang ia kenal dan ia sayang.

“Benar lho! Aku tadi malam bermimpi memegang bulan.”

Dan hampir semua orang yang ia beritahu sangat antusias dan senang mendengar ia bercerita seperti itu. Tentu saja, Mentari adalah anak yang disenangi oleh siapa saja yang kenal padanya. Mereka seakan takpeduli Mentari adalah anak siapa, keturunan siapa dan siapa ayahnya. Mereka hanya tahu bahwa Mentari anak yang baik Titik.

“Aku senang sekali bisa bermimpi pegang bulan.”

“Mimpi itu indah sekali! Moga aku mimpi bulan lagi nanti malam.”

“Aduh senangnya…”

Dari sekian banyak orang yang ia ajak cerita, hanya satu orang yang tidak bisa mengeluarkan senyumnya. Hanya satu orang yang menitikkan airmatanya ketika Mentari bercerita. Orang itu adalah ibunya. Entah mengapa ibunya bisa menjadi begitu sedih begitu lara ketika mendengar ia bercerita dengan menggebu-gebu. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan besar bagi Mentari.

“Mengapa ibu menangis? Tidak senang ya aku cerita tentang mimpiku itu bu?”

Ibunya tak menjawab. Ia takbisa membendung airmatanya seperti kemarin-kemarin. Tanpa ia sadari, airmata terus-menerus menetes membasahi pipinya, mengalir bagai sungai deras tak ada penghalang membuat jalur di pipinya yang putih mulus itu. Airmata yang ia jatuhkan semakin menambah rasa kepenasaran Mentari. Mengapa ibunya begitu menangis tersedu ketika mendengar ia bercerita tentang mimpinya sedang oranglain tak begitu.

“Ibu mengapa menangis?”

“Ibu marah sama aku?”

“Maafkan aku Bu?”

Akh… Mentari begitu lugu dan lucu, pikir ibunya. Ia terlalu polos untuk mengerti semua deritanya. Dan bahkan ia belum siap memberitahu Mentari perihal semua deritanya. Ia belum siap memberitahu bagaimana ketika pertama kali Mentari hidup, ketika ia lahir di tempat sampah dan tidak ada seorang pun yang membantunya. Ia belum siap memberitahu bagaimana ia diusir oleh ibunya yang ia bisa temui lagi ketika kematiannya karena tahu ia mengandung Mentari. Dan ia belum siap memberitahu Mentari tentang siapa ayahnya.

“Ayahmu orang baik,” kata ibunya ketika Mentari bertanya mengenai ayahnya tempo hari.

“Ibu kok diam? Jangan nangis gara-gara Mentari ya?”

Tadi malam ibunya bermimpi. Mimpi yang sebenarnya hampir sama dengan apa yang dimimpikan Mentari. Ia bermimpi ia sedang bersama Mentari di sebuah tempat yang asing namun begitu asri. Heran, meski ia tahu bahwa hari sudah malam, keadaan langit dan semesta begitu benderang dan kemilau seperti senja yang selalu kemilau. Ia lihat langit bertabur bintang yang bermiliar-miliar banyaknya tersebar memenuhi semesta. Bertabur di setiap sela-sela langit sehingga langit menjadi berkilau dan kerlap-kerlip

Malam begitu benderang. Tetapi benderang bukan karena kerlap-kerlip bintang-bintang yang jutaan dan miliaran itu saja. Bintang-bintang itu hanya membuat malam begitu berkilau begitu kerlap-kerlip namun benderangnya bukan karena mereka. Ketika ia melihat ke depan, rembulan yang begitu besar, bundar dan putih mulus sebesar Keong Mas berada di hadapannya. Begitu berkilau, benderang, dan indah. Mentari yang ia gandeng di sampingnya sangat bersorak dan dan senang.

“Ibu Aku lihat bulan! Aku lihat bulan!”

Langit malam semburat ungu. Di bagian langit yang lain terlihat aurora yang bagai disapu oleh kuas besar di kanvasnya yang berwarna semburat ungu itu. Ia heran, apakah ia berada di Kutub utara sehingga ia bisa melihat aurora yang begitu indah begitu berkilau takkalah dengan bintang dan bulan. Mentari ingin sekali mendekati rembulan yang jaraknya taklebih dari jarak rumah ke sekolahnya. Mentari yang ada di gandengannya berlari mendekati rembulan itu. Ia hanya bisa mengikuti ke mana Mentari pergi yang kini gantian menuntun tangannya.

Begitu sampai di hadapan rembulan yang begitu benderang itu, Mentari melepaskan tangannya. Ia berlari lebih mendekat ke bulan yang benderang dan berkilau tersebut.

“Hati-hati Mentari! Bulan itu begitu besar nak!”

“Ibu jangan takut!Aku bisa kok mengambilnya,” teriak Mentari kegirangan.

Benar saja! Ajaib! Begitu menakjubkan!

Mentari bisa menggenggam rembulan itu dengan tangannya. Dan seketika itu, rembulan yang begitu besar sebesar Keong Mas itu berubah mengecil menyesuaikan diri dengan genggaman Mentari. Dengan mudahnya Mentari mengambil rembulan tersebut dan kini rembulan itu telah berada di genggamannya. Meski rembulan itu mengecil dan ada di genggaman Mentari, malam tetap benderang dan berkilau. Bahkan lebih benderang dan berkilau karena cahaya rembulan sebagian menyepuh tubuh Mentari hingga Mentari begitu bercahaya dan berkilau karena sinar rembulan tersebut.

“Ibu lihat! Aku mengambil rembulan. Rembulan yang aku sayang ada di genggamanku!”

Ibunya taksadar dengan apa yang dilihat dalam mimpinya. Ia juga takyakin apakah ini mimpi atau nyata. Di dunia mimpi segalanya bisa menjadi begitu nyata bahkan begitu jelas.

“Mentari…”

Dilihatnya tubuh anaknya begitu bercahaya dan seakan bulan yang digenggamnya itu menyatu seutuhnya dengan tubuh Mentari. Ia terkesima melihat anaknya seperti itu. Meski dalam mimpi, tetapi rasa takjub dan terkesima begitu menawan seperti dalam dunia nyata. Ia juga begitu takjub dan tak percaya ketika di punggung Mentari yang bercahaya itu muncul sepasang sayap mungil yang lama-lama membesar dan indah. Sepasang sayap putih, lembut seperti kapas dan juga berkilau itu membuat Mentari sedikit demi sedikit melayang di udara. Mentari mengepakkan sayapnya yang indah itu dan seketika ia melayang jauh di udara. Makin jauh, makin jauh, makin jauh. Meninggalkan ibunya yang takjub dan ternganga atas apa yang dilihatnya.

“Mentari…”

“Ibu, aku bisa mengambil bulan dan aku juga bisa terbang.”

“Mentari…”

Sayap Mentari menebarkan serbuk-serbuk emas yang menyebar ketika ia mengepakkan sayapnya. Serbuk-serbuk terbang dan hinggap di mana saja. Di tanah, di sekujur tubuh ibunya sehingga ia menjadi kemilau begitu rupa ditaburi oleh serbuk dari sayap Mentari.

“Mentari, kau mau ke mana?”

“Ibu, aku bisa mengambil bulan dan aku punya sayap. Aku mau jadi bidadari di surga.”

“Mentari…!!!”

“Aku sayang ibu!”

“Mentari…!!!

“Dan aku juga sayang ayah!”

“Mentari!!!!!”

Ia tersadar dari lamunannya. Dilihatnya Mentari masih berada di hadapannya sama seperti ketika ia bercerita tentang mimpinya. Mimpi Mentari dan mimpinya tadi malam seakan sama. Namun ia takberani bertanya pada Mentari apakah dalam mimpinya ia punya sayap atau tidak. Ia takberani karena ia takingin mimpinya menjadi nyata. Ia masih belum ingin menjadikan Mentari sebagai bidadariNya.

Airmatanya terus menetes sehingga matanya bengkak dan sembab. Ia tak mau kehilangan Mentari. Ya, ia sangat menyayangi Mentari—anak yang sebenarnya dulu takmau ia terima.

“Ibu? Ibu baik-baik saja kan?” tanya Mentari.

Ibunya memeluk tubuh Mentari yang mungil dan polos itu.

“Ibu sayang kamu Mentari.”

***
Ambilkan bulan Bu, untuk menerangi
Tidurku yang lelap di malam gelap…

“Mentari bangun!Hari sudah siang. Walaupun liburan tapi kamu harus bangun pagi!”

Pagi yang cerah itu merupakan hari liburan. Saatnya orang untuk bermalas-malasan berleha-leha sejenak melupakan aktivitas yang mungkin begitu menyita. Mentari masih terlelap dalam tidur ketika ibunya memasuki kamarnya untuk membangunkan. Ia tersenyum, Mentari takbiasanya terlelap senyenyak ini meski pagi sudah semakin siang.

“Mentari bangun!” ibunya menggoyang-goyangkan tubuh Mentari dengan lembut. Namun, Mentari tak kunjung bangun juga. Ia heran, mengapa Mentari sangat susah dibangunkan hari ini. Sejenak ia melihat wajah Mentari yang tertidur pulas. Wajahnya sangat tenang, tidur dengan pulas dan senyum manis tersungging di wajahnya.

“Barangkali ia bermimpi mengambil bulan lagi,” pikir ibunya.

Ia meninggalkan kamar Mentari dan membebaskannya untuk bermimpi yang indah lagi agar Mentari menjadi bahagia selalu, karena ia sangat sayang Mentari. Melebihi apa pun yang ada di dunia ini.

Hingga siang, Mentari masih tertidur pulas dengan senyuman manis di bibirnya. Begitu juga ketika senja, malam, dan keesokan paginya pun ia masih tertidur pulas masih dengan senyuman manis di wajahnya.






Bandung, 30 Juli 2009, 22.36


*) semua teks yang bergaris miring adalah lirik lagu Ambilkan Bulan Bu, gubahan A.T. Mahmud yang dinyanyikan oleh penyanyi cilik Tasya.

Sumber :Di sini

1 comment: