Yang slalu
bersinar di langit…*)
“Ibu bisakah aku mengambil bulan yang ada di sana ?” tanya Mentari
ketika malam kelam yang disinari rembulan. Rembulan yang putih bulat mulus
dengan siluet seperti seekor kelinci terbang melintas semesta. Rembulan yang
kadang bulat, sabit, setengah, bahkan tidak ada sama sekali di langit malam
memang diartikan lain oleh Mentari. Gadis sekecil ia sangat mencintai rembulan.
Ia selalu menunggu malam agar dapat melihat rembulan dan berkhayal kelak ia
akan berada di bulan.
“Akh, dasar anak cerewet. Mana bisa kau mengambil
bulan?” tanya ibunya sambil membelai rambut Mentari yang lembut.
“Aku bisa Bu. Akan kuambil nanti dengan tanganku
sendiri,” Mentari menengadahkan kedua tangannya ke langit ke arah rembulan yang
kala itu purnama.
“Aku bisa Bu! Aku bisa!”
Ibunya tersenyum. Ia tersenyum melihat anak perempuan
satu-satunya itu begitu bahagia melihat bulan. Ia sendiri pun takmengetahui
mengapa Mentari begitu cinta akan rembulan. Dulu sewaktu ia kecil, takpernah ia
begitu cinta begitu sayang akan sesuatu. Kalaulah harus mengaku ada, tentu ia
akan bilang sayang pada ibunya—nenek Mentari yang sebulan lalu meninggal.
Meski begitu, ia mencintai Mentari dengan sepenuh hati
tentu saja. Apa pun akan ia lakukan untuk membahagiakan anaknya itu. Mentari
sendiri sebenarnya bukan anak yang tergolong manja, ia takpernah meminta
sesuatu yang lebih dan mahal pada ibunya. Tetapi kali ini ia ingin mengambil
rembulan, memang tidak perlu mengeluarkan banyak uang—tetapi bagaimana
mengambilnya?
“Ibu, lihat rembulan itu tersenyum ke arah kita!”
Ibunya mendekati Mentari, ikut mendongakkan kepalanya ke
arah bulan yang ia tahu dari dulu bentuknya itu-itu saja.
“Mana? Ibu kok gak
lihat,” tanya ibunya.
“Liat Bu! Bulan itu betul-betul tersenyum ke kita.”
“Iya-iya Ibu lihat. Manis ya senyumnya?” sebenarnya ia
takpercaya bahwa rembulan itu tersenyum. Namun, ia hanya ingin membahagiakan
Mentari agar khayalnya itu seakan tidak dipedulikan olehnya. Ia setidaknya harus
ikut masuk juga ke dalam dunia khayal Mentari agar ia mampu merasakan bagaimana
perasaan Mentari kala itu.
Di beranda rumah, begitulah setiap malam ibunya
mendampingi Mentari melihat rembulan. Dan begitulah setiap malam Mentari akan
bahagia tiada terkira ketika rembulan yang dicintainya muncul dengan anggun di
langit malam. Ia akan bersorak senang seperti mendapat boneka baru,
menari-menari di teras sambil berdendang lagu tentang rembulan. Jika sudah
begitu, Ibunya hanya bisa melihat Mentari bahagia dengan tatapan yang nanar.
Entah mengapa jika ia telah melihat Mentari bahagia dan senang, terobatilah
sedikit betapa dulu ketika Mentari lahir ia adalah seorang anak yang takpernah
diharapkan kemunculannya.
Jika teringat masa lalunya, ia akan menangis tanpa pernah
terisak. Hanya mengeluarkan air mata saja.
“Ibu mengapa menangis?”
“Akh… tidak, Ibu hanya kelilipan.”
“Ibu jangan nangis ya? Jika aku telah dewasa, aku akan
mengambil bulan untuk Ibu.”
“Iya, kamu yakin kamu bisa mengambil bulan?”
“Aku bisa Bu! Aku bisa!”
Perkataan dan semangatnya itulah yang menghibur hati
ibunya yang penuh lara dan nestapa. Ia bersyukur untung Mentari lahir meski ia
tahu kelahirannya menjadi sebuah aib baginya. Anak adalah titipan dariNya walau
kelahirannya direstui atau tidak. Bukan begitu?
“Kamu harus jadi anak yang pintar dan baik jika mau
mengambil bulan.”
“Iya Bu, aku akan jadi anak yang baik biar bisa
mengambil bulan.”
Sekali lagi ibunya tersenyum.
“Dan kamu akan membawakannya untuk Ibu kelak.”
***
Di langit bulan
benderang
Cahyanya sampai ke
bintang…
Suatu pagi Mentari bangun dari tidurnya. Semalam dalam
tidurnya ia bermimpi memegang rembulan di tangannya. Tentu saja mimpi yang
indah ini ia ceritakan pada Ibunya, pada teman-teman sekolahnya, pada tukang
bakso langganannya, pada ibu guru Rahma yang sangat baik, pada supir mobil
jemputan sekolah yang selalu bercanda, pada siapa saja yang ia kenal dan ia
sayang.
“Benar lho! Aku tadi malam bermimpi memegang bulan.”
Dan hampir semua orang yang ia beritahu sangat antusias
dan senang mendengar ia bercerita seperti itu. Tentu saja, Mentari adalah anak
yang disenangi oleh siapa saja yang kenal padanya. Mereka seakan takpeduli
Mentari adalah anak siapa, keturunan siapa dan siapa ayahnya. Mereka hanya tahu
bahwa Mentari anak yang baik Titik.
“Aku senang sekali bisa bermimpi pegang bulan.”
“Mimpi itu indah sekali! Moga aku mimpi bulan lagi nanti
malam.”
“Aduh senangnya…”
Dari sekian banyak orang yang ia ajak cerita, hanya satu
orang yang tidak bisa mengeluarkan senyumnya. Hanya satu orang yang menitikkan
airmatanya ketika Mentari bercerita. Orang itu adalah ibunya. Entah mengapa
ibunya bisa menjadi begitu sedih begitu lara ketika mendengar ia bercerita
dengan menggebu-gebu. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan besar bagi Mentari.
“Mengapa ibu menangis? Tidak senang ya aku cerita
tentang mimpiku itu bu?”
Ibunya tak menjawab. Ia takbisa membendung airmatanya
seperti kemarin-kemarin. Tanpa ia sadari, airmata terus-menerus menetes
membasahi pipinya, mengalir bagai sungai deras tak ada penghalang membuat jalur
di pipinya yang putih mulus itu. Airmata yang ia jatuhkan semakin menambah rasa
kepenasaran Mentari. Mengapa ibunya begitu menangis tersedu ketika mendengar ia
bercerita tentang mimpinya sedang oranglain tak begitu.
“Ibu mengapa menangis?”
“Ibu marah sama aku?”
“Maafkan aku Bu?”
Akh… Mentari begitu lugu dan lucu, pikir ibunya. Ia
terlalu polos untuk mengerti semua deritanya. Dan bahkan ia belum siap
memberitahu Mentari perihal semua deritanya. Ia belum siap memberitahu
bagaimana ketika pertama kali Mentari hidup, ketika ia lahir di tempat sampah
dan tidak ada seorang pun yang membantunya. Ia belum siap memberitahu bagaimana
ia diusir oleh ibunya yang ia bisa temui lagi ketika kematiannya karena tahu ia
mengandung Mentari. Dan ia belum siap memberitahu Mentari tentang siapa
ayahnya.
“Ayahmu orang baik,” kata ibunya ketika Mentari bertanya
mengenai ayahnya tempo hari.
“Ibu kok diam? Jangan nangis gara-gara Mentari ya?”
Tadi malam ibunya bermimpi. Mimpi yang sebenarnya hampir
sama dengan apa yang dimimpikan Mentari. Ia bermimpi ia sedang bersama Mentari
di sebuah tempat yang asing namun begitu asri. Heran, meski ia tahu bahwa hari
sudah malam, keadaan langit dan semesta begitu benderang dan kemilau seperti
senja yang selalu kemilau. Ia lihat langit bertabur bintang yang
bermiliar-miliar banyaknya tersebar memenuhi semesta. Bertabur di setiap
sela-sela langit sehingga langit menjadi berkilau dan kerlap-kerlip
Malam begitu benderang. Tetapi benderang bukan karena
kerlap-kerlip bintang-bintang yang jutaan dan miliaran itu saja.
Bintang-bintang itu hanya membuat malam begitu berkilau begitu kerlap-kerlip
namun benderangnya bukan karena mereka. Ketika ia melihat ke depan, rembulan
yang begitu besar, bundar dan putih mulus sebesar Keong Mas berada di hadapannya.
Begitu berkilau, benderang, dan indah. Mentari yang ia gandeng di sampingnya
sangat bersorak dan dan senang.
“Ibu Aku lihat bulan! Aku lihat bulan!”
Langit malam semburat ungu. Di bagian langit yang lain
terlihat aurora yang bagai disapu oleh kuas besar di kanvasnya yang berwarna
semburat ungu itu. Ia heran, apakah ia berada di Kutub utara sehingga ia bisa
melihat aurora yang begitu indah begitu berkilau takkalah dengan bintang dan
bulan. Mentari ingin sekali mendekati rembulan yang jaraknya taklebih dari
jarak rumah ke sekolahnya. Mentari yang ada di gandengannya berlari mendekati
rembulan itu. Ia hanya bisa mengikuti ke mana Mentari pergi yang kini gantian
menuntun tangannya.
Begitu sampai di hadapan rembulan yang begitu benderang
itu, Mentari melepaskan tangannya. Ia berlari lebih mendekat ke bulan yang
benderang dan berkilau tersebut.
“Hati-hati Mentari! Bulan itu begitu besar nak!”
“Ibu jangan takut!Aku bisa kok mengambilnya,” teriak
Mentari kegirangan.
Benar saja! Ajaib! Begitu menakjubkan!
Mentari bisa menggenggam rembulan itu dengan tangannya.
Dan seketika itu, rembulan yang begitu besar sebesar Keong Mas itu berubah
mengecil menyesuaikan diri dengan genggaman Mentari. Dengan mudahnya Mentari
mengambil rembulan tersebut dan kini rembulan itu telah berada di genggamannya.
Meski rembulan itu mengecil dan ada di genggaman Mentari, malam tetap benderang
dan berkilau. Bahkan lebih benderang dan berkilau karena cahaya rembulan
sebagian menyepuh tubuh Mentari hingga Mentari begitu bercahaya dan berkilau
karena sinar rembulan tersebut.
“Ibu lihat! Aku mengambil rembulan. Rembulan yang aku
sayang ada di genggamanku!”
Ibunya taksadar dengan apa yang dilihat dalam mimpinya.
Ia juga takyakin apakah ini mimpi atau nyata. Di dunia mimpi segalanya bisa
menjadi begitu nyata bahkan begitu jelas.
“Mentari…”
Dilihatnya tubuh anaknya begitu bercahaya dan seakan
bulan yang digenggamnya itu menyatu seutuhnya dengan tubuh Mentari. Ia
terkesima melihat anaknya seperti itu. Meski dalam mimpi, tetapi rasa takjub
dan terkesima begitu menawan seperti dalam dunia nyata. Ia juga begitu takjub
dan tak percaya ketika di punggung Mentari yang bercahaya itu muncul sepasang
sayap mungil yang lama-lama membesar dan indah. Sepasang sayap putih, lembut
seperti kapas dan juga berkilau itu membuat Mentari sedikit demi sedikit
melayang di udara. Mentari mengepakkan sayapnya yang indah itu dan seketika ia
melayang jauh di udara. Makin jauh, makin jauh, makin jauh. Meninggalkan ibunya
yang takjub dan ternganga atas apa yang dilihatnya.
“Mentari…”
“Ibu, aku bisa mengambil bulan dan aku juga bisa
terbang.”
“Mentari…”
Sayap Mentari menebarkan serbuk-serbuk emas yang
menyebar ketika ia mengepakkan sayapnya. Serbuk-serbuk terbang dan hinggap di
mana saja. Di tanah, di sekujur tubuh ibunya sehingga ia menjadi kemilau begitu
rupa ditaburi oleh serbuk dari sayap Mentari.
“Mentari, kau mau ke mana?”
“Ibu, aku bisa mengambil bulan dan aku punya sayap. Aku
mau jadi bidadari di surga.”
“Mentari…!!!”
“Aku sayang ibu!”
“Mentari…!!!
“Dan aku juga sayang ayah!”
“Mentari!!!!!”
Ia tersadar dari lamunannya. Dilihatnya Mentari masih
berada di hadapannya sama seperti ketika ia bercerita tentang mimpinya. Mimpi
Mentari dan mimpinya tadi malam seakan sama. Namun ia takberani bertanya pada
Mentari apakah dalam mimpinya ia punya sayap atau tidak. Ia takberani karena ia
takingin mimpinya menjadi nyata. Ia masih belum ingin menjadikan Mentari
sebagai bidadariNya.
Airmatanya terus menetes sehingga matanya bengkak dan
sembab. Ia tak mau kehilangan Mentari. Ya, ia sangat menyayangi Mentari—anak
yang sebenarnya dulu takmau ia terima.
“Ibu? Ibu baik-baik saja kan ?” tanya Mentari.
Ibunya memeluk tubuh Mentari yang mungil dan polos itu.
“Ibu sayang kamu Mentari.”
***
Ambilkan bulan Bu,
untuk menerangi
Tidurku yang lelap
di malam gelap…
“Mentari bangun!Hari sudah siang. Walaupun liburan tapi
kamu harus bangun pagi!”
Pagi yang cerah itu merupakan hari liburan. Saatnya
orang untuk bermalas-malasan berleha-leha sejenak melupakan aktivitas yang
mungkin begitu menyita. Mentari masih terlelap dalam tidur ketika ibunya
memasuki kamarnya untuk membangunkan. Ia tersenyum, Mentari takbiasanya
terlelap senyenyak ini meski pagi sudah semakin siang.
“Mentari bangun!” ibunya menggoyang-goyangkan tubuh
Mentari dengan lembut. Namun, Mentari tak kunjung bangun juga. Ia heran,
mengapa Mentari sangat susah dibangunkan hari ini. Sejenak ia melihat wajah
Mentari yang tertidur pulas. Wajahnya sangat tenang, tidur dengan pulas dan
senyum manis tersungging di wajahnya.
“Barangkali ia bermimpi mengambil bulan lagi,” pikir
ibunya.
Ia meninggalkan kamar Mentari dan membebaskannya untuk
bermimpi yang indah lagi agar Mentari menjadi bahagia selalu, karena ia sangat
sayang Mentari. Melebihi apa pun yang ada di dunia ini.
Hingga siang, Mentari masih tertidur pulas dengan
senyuman manis di bibirnya. Begitu juga ketika senja, malam, dan keesokan
paginya pun ia masih tertidur pulas masih dengan senyuman manis di wajahnya.
*) semua teks yang bergaris miring adalah lirik lagu Ambilkan Bulan Bu, gubahan A.T. Mahmud
yang dinyanyikan oleh penyanyi cilik Tasya.
Sumber :Di sini
vAgen Slot Terpercaya
ReplyDelete