Sunday, 10 June 2012

KUNANG-KUNANG



Aku tahu lelaki itu akan datang malam ini, dalam renyai hujan dan malam yang berselimut kelam, juga kunang-kunang. Ia akan selalu datang bersama kunang-kunang. Barangkali ia adalah lelaki kunang-kunang, mungkin juga ia adalah cahaya. Entahlah, namun selalu kutunggu kehadirannya pada malam-malam buta bersama kunang-kunang itu.

Sepanjang sungai kunang-kunang jantan beradu cahaya untuk memikat sang betina. Kerlap-kerlip antara kelam malam dan hujan yang selalu menyelubungi suasana. Di sanalah aku mengenalnya, antara kerlip kunang-kunang dan renyai hujan ia selalu menyapaku dengan suaranya yang lebih lembut dari desau angin. Oh, siapakah lelaki itu? Katakan aku ingin mengenalnya.



Aku tahu lelaki itu bukan berasal dari kegelapan. Bukan pula berasal dari sawah-sawah yang membisu dan hutan-hutan yang seperti hantu. Aku tahu ia lelaki biasa, manusia biasa. Kecintaannya pada malam dan kunang-kunang—bagiku adalah sesuatu yang sangat unik. Siapapun takkan pernah mengenalnya, karena seingatku ia kutemui kala malam kala kunang-kunang ada. Dan aku? Semenjak pertama kali berkenal dengannya dahulu aku selalu ingin betemu kembali dengannya. Oh, siapakah ia?

Kunang-kunang kembali bekerlap-kerlip. Aku tahu ia sangat menikmatinya. Ia akan mengejar kunang-kunang tersebut lalu mendekapnya di dalam genggamannya. Aku pun demikian. Aku juga mencintai kunang-kunang, karena hanya kunang-kunanglah yang bisa memproduksi cahaya dalam malam gelap dan kelam.

“Hati-hati kalau kau hendak menangkap kunang-kunang itu,” katanya dengan lembut pada suatu malam padaku.

“Memangnya kenapa?”tanyaku malu.

“Jika kau takhati-hati, kunang-kunang itu akan mati,” jawabnya masih dengan suara yang sangat lembut.

“Mengapa kunang-kunang takmau kutangkap?”

Ia tersenyum. Kurasakan tatapannya begitu hangat menggetarkan.

“Karena hanya kunang-kunang jantanlah yang mengeluarkan cahaya. Ia bercahaya untuk memikat betina, namun jika pagi menjelang cahaya itu akan redup dan mati karena sebagian tubuhnya telah lelah mengeluarkan cahaya. Jika kau mengagetkannya, cahaya itu akan cepat redup dan kunang-kunang yang sangat kau sukai itu mati.”

Sejak saat itu aku tahu, ia lelaki yang indah seindah kunang-kunang itu.

***
Bukannya aku takut kehilangan ia, terus terang aku seorang wanita yang lemah. Tubuhku takmampu bertahan lama. Mungkin aku sama seperti kunang-kunang itu, terlahir dan mati hanya untuk menjadi cahaya. Mungkin aku sama seperti lelaki itu, ada di kala kegelapan sahaja. Apakah aku ditakdirkan untuk mati cepat? Kubayangkan aku mati dan semua orang menangisiku. Kubayangkan bagaimana hidup setelah mati. Kubayangkan segalanya terjadi dengan begitu cepat tanpa disangka-sangka. Dan lelaki itu...

Kami bertemu dalam remang, dalam malam, dalam renyai hujan dan angin yang mendinginkan suasana. Barangkali kami bertemu untuk melepas rindu yang tiada pernah bisa terbahasakan oleh suara. Namun sampai saat ini aku masih ragu, siapa ia sebenarnya? Mengapa taksekalipun ia pernah mengenalkan namanya ataupun sekadar menanyakan namaku dan menyebutkan pula namanya?

Sungguh aku ingin mengenalnya, dalam remang malam, dalam renyai hujan dan aroma desa yang selalu tercium segar. Begitu dekat, seperti anak yang selalu menunggu kedatangan ibunya. Apakah nanti kelak kami ditakdirkan untuk bertemu dan menyatu selekat-lekatnya sampai akhir dunia? Aku selalu mengharapkan semuanya.

Seperti cahaya kunang-kunang, kerlap-kerlip lalu akhirnya mati menyentuh bumi. Seperti pertemuan yang pasti akan menemui perpisahan. Seperti kehidupan yang pasti akan menemui kematian. Begitulah adanya, di desa ini aku mencoba menemukan makna, di pematang sawah, di bawah rembulan, di setiap malam-malam sehabis hujan dan kunang-kunang bermain riang di tepi sungai. Dan lelaki itu seakan menjadi bagian dari cerita, bagaimana di desa masih ada seorang lelaki yang mencintai kunang-kunang. Barangkali menurutnya cahaya kunang-kunang adalah cahaya lampu taman, cahaya merkuri kekuningan yang selalu menerangi jalan. Mungkin hasrat lelaki itu adalah cahaya. Atau memang ia adalah lelaki cahaya.

Begitulah, aku selalu menunggunya di suatu tepi sungai dalam renyai hujan dan cahaya kunang-kunang.

“Izinkan aku berbicara tentang kunang-kunang,” kataku.

Ia tersenyum dan berkata, “Kau akan berkata apa untungnya?”

“Tetapi—mungkin aku cuma ingin bertanya saja...”

“Hahaha, apapun itu terserahlah.”

“Sebenarnya cahaya kunang-kunang itu untuk apa?”

“Hmmm... mengapa kau tanyakan itu padaku?”

“Sepertinya kau begitu tahu tentang kunang-kunang.”

“Haha, bukannya telah kujelaskan bahwa cahaya kunang-kunang jantan itu hanya untuk menarik pasangannya?”

“Benar, tapi aku masih belum mengerti.”

“Haha, coba kau pikir, manusia pun pasti akan berusaha untuk tampil yang terbaik di depan pasangannya. Seorang lelaki akan memperhatikan penampilan untuk memikat hati orang yang dicintainya. Begitu pula kunang-kunang, semakin indah cahayanya, semakin memikat pula pasangannya itu,” jelasnya sambil mencoba menangkap kunang-kunang yang terbang di hadapannya.

Kami terdiam, tetapi bukan tidak mempunyai kata-kata lagi.

“Seandainya kau tahu kunang-kunang itu darimana, tentu kau akan lebih mencintai kunang-kunang,” katanya.

“Memang ia datang darimana?”

“Takakan kukatakan padamu. Cukup aku yang tahu saja.”

“Kau pelit!”

“Jika aku kasih tahu apakah kau akan percaya?”

“Jika itu benar, maka aku akan percaya.”

“Kau pasti tidak akan percaya.”

“Lantas bagaimana dong?”

“Kau harus percaya, tetapi terserah kau.”

“Baiklah aku percaya.”

Sunyi. Angin malam berdesir. Seperti mimpi.

Perlahan ia membuka genggaman tangannya. Seekor kunang-kunang jantan yang berhasil ia tangkap terbang dengan anggunnya, dengan cahayanya yang kerlap-kerlip bagai bintang di galaksi terjauh. Kunang-kunang itu terbang jauh, semakin jauh, dan taktelihat lagi cahayanya.

“Jika kau percaya, kunang-kunang ini datang dari orang yang mencintaimu. Nun jauh di sana.”

***
“Ibu, ceritakan padaku dongeng sebelum aku tidur,” aku merangkul ibuku karena dingin udara membuatku menggigil.

Ibu mendekapku hangat dan memulai bercerita dengan suaranya yang lembut:

“Pada suatu malam, ada seekor kunang-kunang yang terbang di tepi sungai. Ia memiliki cahaya yang sangat indah. Semua orang yang melihatnya takjub karena belum pernah mereka temui kunang-kunang seindah itu. Cahayanya berbeda dengan cahaya kunang-kunang lainnya. Ia terbang terus, kadang hinggap di dedaunan basah dan terbang lagi hingga sampailah ia di depan jendela rumah.

“Di jendela rumah itu, seorang gadis sedang menatap langit malam yang gelap. Langit kala itu tidak ada rembulan, mendung menutupi cahaya rembulan tersebut. Gadis itu termangu di jendela rumah itu dan sesekali airmatanya mengalir membasahi pipinya. Tidak disadarinya seekor kunang-kunang terbang di sekelilingnya, seakan memperhatikan dan ingin mengajak bercanda. Gadis itu masih larut dalam lamunannya, kadang sesekali ia berucap:

‘“ibu...”’

“Kunang-kunang itu hinggap di depan wajahnya. Barulah ia sadar bahwa ada seekor kunang-kunang yang sangat indah berada di sekitarnya.  Cahayanya brbeda dengan cahaya kunang-kunang lain. Gadis itu sejenak melupakan kesedihannya, dan takjub melihat kunang-kunang tersebut. Seperti kebanyakan orang.

‘“Aduhai, indah sekali kunang-kunang ini,”’ katanya.

‘“Belum pernah kutemui kunang-kunang seindah ini.”’

“Kunang-kunang itu terbang lagi dan berputar-putar di sekelilingnya. Gadis itu tertawa, seakan kunang-kunang itu sangat lucu. Kunang-kunang itu terbang lagi dan gadis itu beranjak untuk mengejarnya. Ia melupakan semua kesedihannya. Segala kesedihannya seolah-olah hilang oleh kunang-kunang itu. Gadis itu tertawa riang sambil mencoba menangkap kunang-kunang tersebut yang ternyata takkalah gesit untuk menghindar dari tangkapannya. Begitulah, sepanjang malam gadis itu tertawa senang melupakan semua kesedihannya, melupakan segala lara yang ia rasakan karena kematian ibunya. Ia tidak pernah tahu bahwa kunang-kunang itu...”

“Bahwa kunang-kunang itu apa ibu?” tanyaku.

“Menurutmu kunang-kunang itu siapa?” ibu balik bertanya padaku.

Aku menggaruk-garuk kepalaku, berpikir sebenarnya siapakah kunang-kunang itu. Namun berpikir membuatku mengantuk.

Ibu tersenyum padaku dan membelai kepalaku mesra.

“Sayang, apakah kau percaya jika kunang-kunang yang bermain dengan gadis itu adalah jelmaan ibunya yang sudah tiada?” tanya ibuku.

Tidak kujawab pertanyaan ibu. Aku mendengkur pelan sekali.

***
Cerita itu terngiang kembali. Kenangan terkuak dan berputar-putar dalam ingatan. Jika lelaki itu benar, maka kunang-kunang yang kulihat sekarang adalah jelmaan dari orang yang menyayangiku. Siapakah ia? Terkadang menguak sebuah miseri memang tidak semudah membicarakannya.

Di tepi sungai adalah tempat biasa aku bertemu dengannya. Entahlah, mendadak aku selalu menunggu kedatangannya. Setiap malam kucuri waktu untuk keluar dan pergi ke tepi sungai. Selalu kujumpai ia sedang berjongkok ataupun duduk di hamparan tanaman kecil yang menjalar ke sungai. Dan kunang-kunang selalu menjadi saksi pertemuan kami. Siapa yang sudi melarang kami untuk bertemu?

Malam ini, kami bertemu dalam remang dan purnama yang kadang tertutup mega mendung.

“Kau datang lagi?” tanyanya.

“Memangnya kenapa jika aku sering ke sini?”

“Kau ingin bertemu denganku ya?” ia bercanda atau barangkali serius.

“Tidak, aku hanya ingin bertemu dengan kunang-kunang saja,” jawabku. Tidak mungkin aku katakan bahwa aku merindunya.

“Kau suka kunang-kunang?”

“Ya.”

“Apakah kau bisa merawatnya?”

“Aku bisa. Aku bisa.”

“Yakin?”

“Kau meremehkanku.”

“Sudah kubilang, kunang-kunang tidak berumur lama.”

“Setidaknya aku mencoba!”

“Haha, baiklah...” ia menangkap salah satu kunang-kunang, menggenggamnya dan memberikannya padaku.

“Kuberikan kunang-kunang ini padamu. Pulanglah, hari sudah terlalu malam,” katanya.

“Tetapi aku masih ingin berada di sini,” kataku.

“Pulanglah,” nada suaranya bijak dan aku takbisa memaksa.

“Pulanglah...”

Aku pulang dengan wajah sayu dengan seekor kunang-kunang dalam genggaman.

“Tunggu...” ia memanggilku.

Aku menoleh, mencoba membahasakan apa maksudnya memanggilku kembali.

“Jika esok kunang-kunang itu mati, jangan pernah lagi ke sini,” katanya sambil tersenyum. Manis sekali.

***
Aku telah membuat kesalahan. Kunang-kunang yang ia beri untukku mati. Cahayanya redup dan ya sudah itu pertanda kematiannya. Maafkan aku, aku tidak sengaja melakukan itu. Dan baiklah, kupenuhi permintaanmu untuk tidak datang ke tepi sungai untuk menemuimu lagi.

Begitulah kesalahanku. Tetapi aku tetap tidak bisa berpaling dari lelaki itu. Aku sungguh-sunggu merindukannya. Tetapi aku sudah terlanjur membuat kesalahan padanya. Entah kenapa aku jadi tidak berani bertemu dengannya. Ia pasti akan bertanya tentang kunang-kunang itu dan aku tidak bisa berbohong.

Perlahan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertemu dengannya. Aku terlanjur merindukannya. Aku terlanjur menaruh hati padanya. Apakah bisa kulanggar perjanjiannya itu untuk bertemu kembali dengannya dan meminta maaf atas segala kesalahanku? Apakah ia akan memaafkanku? Apakah ia mau bertemu denganku lagi?

Hanya aku yang tahu saja siapa ia, bagaimana ia berbicara, bagaimana rupanya dalam remang, orang lain tidak ada yang tahu. Harus bertanya pada siapakah untuk mencari siapa dirinya? Oladalah, dunia membuatku terkunci mati.

Sesampainya di tepi sungai, takkujumpai lagi dirinya. Dalam renyai hujan, dalam remang malam, dan dalam kerlip kunang-kunang ia tidak ada lagi di sana. Ke manakah ia? Mengapa ia takada di sini padahal tempat inilah yang ia suka? Ke manakah ia? Ke manakah ia?

Ia hilang, dalam kelam. Ia hilang ketika kunang-kunang yang dicintainya mati di tanganku sendiri. Siapakah ia? Mengapa aku selalu memikirkannya? Mengapa aku selalu merindukannya? Ia sangat bijak dan aku menyukainya. Mungkin. Namun dengan kepergiannya yang mengungkap tanya, segudang kesalahan ada di dalam pikiranku. Barangkali ini adalah kesalahan terbesar, membunuh sesuatu yang dicintainya.

Ke manakah ia? Apakah ia tidak mengetahui betapa aku sangat merindukannya? Apakah harus kutanyakan pada kunang-kunang itu siapa dirinya?




Karanganyar, 09 Juli 2010
10.58

Sumber gambar yosotravel

3 comments:

  1. Dulu, waktu Mint kecil, dan waktu itu Arif lebih kecil lagi ... ada lagu begini:

    Kunanti dirimu sampai aku ketiduran
    Kumimpi dikejar kunang-kunang
    Taringnya keluar, kepalanya membesar
    Kutakut dikejar kunang-kunang ...

    Liriknya absurd, tapi tetep aja populer. Yah, namanya juga lagu...

    ReplyDelete
  2. Wah, kok saya gak tau lagu itu?haha

    ReplyDelete
  3. http://reretaipan88.blogspot.com/2018/07/asiataipan-taipanqq-taipanbiru-7-cara_21.html

    Taipanbiru
    TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
    BandarQ
    AduQ
    Capsasusun
    Domino99
    Poker
    BandarPoker
    Sakong
    Bandar66

    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : E314EED5

    Daftar taipanqq

    Taipanqq

    taipanqq.com

    Agen BandarQ

    Kartu Online

    Taipan1945

    Judi Online

    AgenSakong

    ReplyDelete