gambar disini
Diubah seperlunya dari tulisan saya di website unpad
Lampu ruangan meredup, cahaya remang menerangi panggung
pertanda pertunjukan akan dimulai. Satu persatu pemain telah siap dengan alat
musiknya masing-masing. Penyanyi mengucapkan salam pembuka kepada seluruh
penonton dengan gaya bahasa yang formal.
Itulah gambaran pertunjukan yang saya rangkum ketika melihat
Kelompok Musik Sunya (Ҫunya,
bahasa Sanskerta yang berarti “sunyi”). Kumpulan Bunyi “Sunya” menggelar
pertunjukan musik kontemporer bertajuk “ Karuhun Baru di Ruang Tamu”. Sebanyak tujuh
lagu dibawakan oleh kelompok yang digawangi oleh S. Lawe Samagaha, Didit
Alamsyah, Fika Adhiswara, Yuni Purwanti, Tommy Setiawan, Syechabudin Akbar,
Maryam Supraba, Teguh Nagasena, dan Theo A.M. Ratumakin. Tentunya, penikmat
seni ingin mengetahui bagaimana eksplorasi musik yang dibawakan oleh kelompok
musik ini.
Saya pernah menonton pertunjukan kelompok ini, suatu malam
di sebuah geudng pertunjukan di salah satu kampus. Sebuah pertunjukan yang
berirama ritmis, sendu, dan dibalut dengan konsep kesederhanaan. Butuh
imajinasi dan pemaknaan yang baik untuk bisa “menikmati” komposisi yang
dimainkan Sunya. Jika Anda masih menganggap sebuah lagu yang baik adalah
lagu-lagu yang biasa diputar di televisi, lebih baik jangan menonton
pertunjukan ini.
Lagu pertama yang
dibawakan oleh Sunya adalah Doa karya
S. Lawe. Sedikit menyitir dari konsep keragaman agama, doa yang dilantunkan
dalam lagu ini adalah keseluruhan doa dari berbagai agama besar di Indonesia.
Lagu yang sempat menjadi komposisi untuk pertunjukan teater “Mastodon dan
Burung Kondor” ini sukses membawa penonton ke dalam atmosfir pertunjukan yang dibawakan
oleh Sunya.
Lagu kedua, Puitika
Autis karya S. Lawe merupakan komposisi lagu yang tidak mengindahkan harmonisasi
musik populer. Lawe terlihat asyik memukul instrumen perkusi dan gamelan dengan
ketukan yang absurd dan sekenanya. Kritik mengenai musik populer tergambar
jelas melalui kata-kata yang terpampang di kaus Lawe, yaitu, “You can’t do it!”
dan “Musik aing kumaha gue!”.
“Rampak perkusi ini adalah potongan irama ritmik dari idiom
barat dan timur yang diolah dengan mengatur dinamika tempo, volume, dan timbre,
serta merupakan pengembangan bentuk dari konvensi umum, “ tutur Lawe mengenai
konsep lagu ini.
Pertunjukan pun semakin sarat makna dengan komposisi Turun Padi. Lagu merupakan kolaborasi
instrumen Suling Sunda Salendro dengan penjelajahan bunyi-bunyi yang luar
biasa. Di bagian awal, aksen bunyi menampilkan bunyi-bunyi dari alat musik
tradisional Sunda yang biasa digunakan untuk mengusir burung di sawah. Namun,
semakin lama bunyi-bunyi yang dihasilkan adalah bunyi-bunyi dari suara pistol
mainan, mobil-mobilan, dan robot-robotan. Hal ini merupakan kritik bagi
generasi muda, khususnya Sunda, yang semakin meninggalkan tradisi karuhunya.
Kegelisahan kelompok Sunya tentang modernisasi global diwujudkan dengan
memasukkan aksen bunyi mainan ke dalam komposisi dan berujung pada aksi Lawe
yang membanting semua mainan tersebut dengan canang (gong kecil dalam satuan
alat musik bonang) hingga rusak.
“Sebenarnya judul lagu ini tuh Turun Padi dari Huma hingga Alfamart,” sindir Lawe yang disusul
dengan gelak tawa penonton.
Pertunjukan pun semakin memanas dengan komposisi Batas Terbias,dan dilanjutkan dengan
komposis Ajeg yang merupakan eksplorasi dari kesenian Cianjuran dengan
memainkan tiga buah metronom dengan tempo yang berbeda. Yang menarik dari
komposisi ini adalah vokal Yuni yang hanya menriakkan tiga buah huruf konsonan
Sunda, yakni [a], [e], dan [eu]. Sepintas teriakan Yuni seperti main-main,
namun ini sebenarnya adalah eksplorasi
dari teknik ornamen vokal pada tembang Sunda Cianjuran. Dua lagu penutup, yakni
Trance dan Manjak yang merupakan interpretasi dari kesenian Gambang Kromong
dari Jakarta. Sesuai dengan judulnya, setiap pemain menjadi trance dalam permainan gambang kromong
yang dimainkan. Sebelum mengakhiri pertunjukan, Lawe sengaja menyuguhkan aksi
pantun yang dibalas oleh pemain musik lainnya. “Namanya Gambang Kromong, ya
harus ada pantunnya cenah,” ujar Lawe.
Eksplorasi
Harmonisasi
Pertunjukan “Karuhun Baru di Ruang Tamu” ini sukses
menampilkan eksplorasi musik yang dikolaborasikan dengan seni rupa, teater, dan
tari. Meski terkesan absurd, Sunya sebenarnya sedang bermain-main dengan
harmonisasi musik yang stagnan. Nada-nada yang dihasilkan merupakan
pengejawantahan Sunya terhadap nada-nada yang kaku menjadi musik yang “nakal’.
Dikemas dengan aksi koreografi, komposisi yang minus lirik ini diharapkan dapat
menumbuhkan wacana musik kontemporer yang eksploratif.
“Ini adalah semacam pertunjukan musik kontemporer, dimana
pemusik bisa menjadi crew juga ketika
di panggung,” canda Lawe mengenai jenis musik yang dibawakan oleh Sunya.*
No comments:
Post a Comment