Sunday, 10 June 2012

KARUHUN DAN MUSIK KONTEMPORER



gambar disini

Diubah seperlunya dari tulisan saya di website unpad 


Lampu ruangan meredup, cahaya remang menerangi panggung pertanda pertunjukan akan dimulai. Satu persatu pemain telah siap dengan alat musiknya masing-masing. Penyanyi mengucapkan salam pembuka kepada seluruh penonton dengan gaya bahasa yang formal.

Itulah gambaran pertunjukan yang saya rangkum ketika melihat Kelompok Musik Sunya (Ҫunya, bahasa Sanskerta yang berarti “sunyi”). Kumpulan Bunyi “Sunya” menggelar pertunjukan musik kontemporer bertajuk “ Karuhun Baru di Ruang Tamu”. Sebanyak tujuh lagu dibawakan oleh kelompok yang digawangi oleh S. Lawe Samagaha, Didit Alamsyah, Fika Adhiswara, Yuni Purwanti, Tommy Setiawan, Syechabudin Akbar, Maryam Supraba, Teguh Nagasena, dan Theo A.M. Ratumakin. Tentunya, penikmat seni ingin mengetahui bagaimana eksplorasi musik yang dibawakan oleh kelompok musik ini.


Saya pernah menonton pertunjukan kelompok ini, suatu malam di sebuah geudng pertunjukan di salah satu kampus. Sebuah pertunjukan yang berirama ritmis, sendu, dan dibalut dengan konsep kesederhanaan. Butuh imajinasi dan pemaknaan yang baik untuk bisa “menikmati” komposisi yang dimainkan Sunya. Jika Anda masih menganggap sebuah lagu yang baik adalah lagu-lagu yang biasa diputar di televisi, lebih baik jangan menonton pertunjukan ini.

 Lagu pertama yang dibawakan oleh Sunya adalah Doa karya S. Lawe. Sedikit menyitir dari konsep keragaman agama, doa yang dilantunkan dalam lagu ini adalah keseluruhan doa dari berbagai agama besar di Indonesia. Lagu yang sempat menjadi komposisi untuk pertunjukan teater “Mastodon dan Burung Kondor” ini sukses membawa penonton ke dalam atmosfir pertunjukan yang dibawakan oleh Sunya.
Lagu kedua, Puitika Autis karya S. Lawe merupakan komposisi lagu yang tidak mengindahkan harmonisasi musik populer. Lawe terlihat asyik memukul instrumen perkusi dan gamelan dengan ketukan yang absurd dan sekenanya. Kritik mengenai musik populer tergambar jelas melalui kata-kata yang terpampang di kaus Lawe, yaitu, “You can’t do it!” dan “Musik aing kumaha gue!”.

“Rampak perkusi ini adalah potongan irama ritmik dari idiom barat dan timur yang diolah dengan mengatur dinamika tempo, volume, dan timbre, serta merupakan pengembangan bentuk dari konvensi umum, “ tutur Lawe mengenai konsep lagu ini.

Pertunjukan pun semakin sarat makna dengan komposisi Turun Padi. Lagu merupakan kolaborasi instrumen Suling Sunda Salendro dengan penjelajahan bunyi-bunyi yang luar biasa. Di bagian awal, aksen bunyi menampilkan bunyi-bunyi dari alat musik tradisional Sunda yang biasa digunakan untuk mengusir burung di sawah. Namun, semakin lama bunyi-bunyi yang dihasilkan adalah bunyi-bunyi dari suara pistol mainan, mobil-mobilan, dan robot-robotan. Hal ini merupakan kritik bagi generasi muda, khususnya Sunda, yang semakin meninggalkan tradisi karuhunya. Kegelisahan kelompok Sunya tentang modernisasi global diwujudkan dengan memasukkan aksen bunyi mainan ke dalam komposisi dan berujung pada aksi Lawe yang membanting semua mainan tersebut dengan canang (gong kecil dalam satuan alat musik bonang) hingga rusak.

“Sebenarnya judul lagu ini tuh Turun Padi dari Huma hingga Alfamart,” sindir Lawe yang disusul dengan gelak tawa penonton.

Pertunjukan pun semakin memanas dengan komposisi Batas Terbias,dan dilanjutkan dengan komposis  Ajeg yang merupakan eksplorasi dari kesenian Cianjuran dengan memainkan tiga buah metronom dengan tempo yang berbeda. Yang menarik dari komposisi ini adalah vokal Yuni yang hanya menriakkan tiga buah huruf konsonan Sunda, yakni [a], [e], dan [eu]. Sepintas teriakan Yuni seperti main-main, namun  ini sebenarnya adalah eksplorasi dari teknik ornamen vokal pada tembang Sunda Cianjuran. Dua lagu penutup, yakni Trance dan Manjak yang merupakan interpretasi dari kesenian Gambang Kromong dari Jakarta. Sesuai dengan judulnya, setiap pemain menjadi trance dalam permainan gambang kromong yang dimainkan. Sebelum mengakhiri pertunjukan, Lawe sengaja menyuguhkan aksi pantun yang dibalas oleh pemain musik lainnya. “Namanya Gambang Kromong, ya harus ada pantunnya cenah,” ujar Lawe.

Eksplorasi Harmonisasi

Pertunjukan “Karuhun Baru di Ruang Tamu” ini sukses menampilkan eksplorasi musik yang dikolaborasikan dengan seni rupa, teater, dan tari. Meski terkesan absurd, Sunya sebenarnya sedang bermain-main dengan harmonisasi musik yang stagnan. Nada-nada yang dihasilkan merupakan pengejawantahan Sunya terhadap nada-nada yang kaku menjadi musik yang “nakal’. Dikemas dengan aksi koreografi, komposisi yang minus lirik ini diharapkan dapat menumbuhkan wacana musik kontemporer yang eksploratif.

“Ini adalah semacam pertunjukan musik kontemporer, dimana pemusik bisa menjadi crew juga ketika di panggung,” canda Lawe mengenai jenis musik yang dibawakan oleh Sunya.*

No comments:

Post a Comment