I
Aku adalah pelangi yang selalu memancarkan tatawarna dan pesona pada
bumi yang kerontang. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Akan
tetapi haruskah pelangi memiliki tujuh warna tersebut agar bisa disebut sebagai
pelangi? Jika ada pelangi yang tak memancarkan salah satu saja dari warna di
atas, apakah masih bisa disebut sebagai pelangi? Jika tidak—ya barangkali
manusia terlalu statis pikirannya untuk menentukan bahwa pelangi harus memiliki
warna semacam tersebut.
Aku tak seperti pelangi-pelangi kebanyakan yang selalu muncul ketika
terbias permukaan air di tanah oleh sinar mentari. Aku bukan seperti pelangi
indah begitu menawan yang melengkung bagaikan Keong Mas sehingga orang-orang
ingin berselancar di sana, bercanda tawa, dan berkejar-kejaran bagai gelombang
bagai arus yang terus menerus mengalir dengan riang seperti tak pernah
merasakan sebuah penderitaan. Manusia kadang lupa ketika ia bahagia. Lupa bahwa
kebahagiaan datang hanya sepintas, lalu diganti oleh kesedihan dan kemuraman
yang membuat manusia hilang tawanya, hilang cerianya menyisakan tangis, duka,
kepiluan. Manusia pelupa, lupa bagaimana dulu ia pernah menangis
sejadi-jadinya, jatuh sejatuh-jatuhnya dan gugur bagai daun kering yang
terombang-ambing angin lepas hingga jatuh ke tanah. Ketika Sang Pencipta
memberikan kebahagiaan pada manusia, mereka akan bersyukur dan berkata, “Inilah
nikmat Tuhan! Inilah nikmat Sang Pencipta!”. Tetapi ketika manusia dirundung
duka dan musibah—sebenarnya itu adalah nikmat Tuhan sendiri yang berbeda maknanya,
manusia sering mengadu bahwa Tuhan tak adil padanya, Tuhan tak peduli padanya.
Bukankah musibah dan duka juga sebuah kenikmatan? Kenikmatan yang bisa kita
rasakan jika kita bersabar dan mencari hikmah yang tersembunyi di setiap helai
dari duka dan musibah tersebut.
Sering manusia menganggapku bukan termasuk pelangi karena aku sangat
berbeda. Aku adalah pelangi yang hanya memiliki satu warna, yakni kelabu.
Warnaku memang kelabu sehingga banyak yang berpendapat aku bukan termasuk
pelangi. Tetapi semenjak dicipta, aku telah ditakdirkan untuk menjadi pelangi
meskipun warnaku hanya kelabu. Kelabu bukankah warna juga? Kelabu bisa dibentuk
dari campuran warna putih dan hitam yang merupakan warna dasar dan induk dari
warna-warna yang ada di dunia. Jika begitu justru akulah pelangi tertinggi dari
ribuan bahkan jutaan pelangi yang ada di bumi ini karena warnaku alami, yakni
hanya tercampur dari dua warna dasar yang masing-masing tidak tercampur dari
campuran warna lain. Akulah pelangi tertinggi di jagat raya ini—sebenarnya.
Hanya manusia kadang berpikir statis dan praktis, tidak pernah bisa tuntas
mengkaji semua keganjilan dan nadir dengan akal sehatnya.
Aku, dan pelangi-pelangi lain yang serupa denganku memang tidak
pernah bisa merasa tenang ketika memayungi bumi. Dan harus kami akui juga, kami
adalah golongan pelangi yang diasingkan bahkan terbuang hanya karena kami hanya
memiliki satu warna. Kami bisa dibilang sebagai kaum yang cacat dan tidak indah
untuk kadar pelangi yang sempurna dan loyal. Kelabu identik dengan muram dan
suram. Kelabu identik dengan duka dan nestapa. Kelabu identik dengan hujan dan
tangisan. Banyak lagi definisi-definisi tentang kami yang sangat tidak etis
untuk kubicarakan di sini. Kami laksana sampah yang dibuang di tempat
pembuangan akhir menyatu dengan bangkai-bangkai, tulang ikan, ribuan bakteri,
jutaan lalat, dan tentu saja bau busuk menyengat. Setiap harinya kami harus
rela untuk dikorek-korek oleh pemulung yang mencoba mengadu keberuntungan
dengan mencari sesuap nasi di sela-sela tubuh kami. Akh…, kalian para pemulung
yang tidak pernah merasakan nikmatnya sirloin steak, berendam di bath
tub, makan keju yang dipadu dengan roti empuk dan segelas susu, tidur di
kasur yang juga seperti roti, empuk, nyaman, yang diselimuti bed cover
sehingga terlindung dari hawa dingin yang menusuk, berjalan-jalan di mall
bergengsi dan di pusat perbelanjaan terkenal ibukota, naik mobil mewah sopir
pribadi, dan segala kenikmatan lainnya yang hanya bisa diujudkan dalam mimpi
malam hari kala terlelap.
Bisa dibilang kami sama dengan golongan pemulung tersebut,
tersisihkan dan terbuang padahal mereka adalah pahlawan, adalah guru, adalah
ibu dari semua anak-cucu yang mengisi kota dengan hura-hura. Kami, pelangi
kelabu harus menerima semua dengan tetap tersenyum bahwa kami adalah golongan
yang terbuang dan tersisihkan.
***
Pernahkah dalam mimpi-mimpi Anda, kalian melihat pelangi tatawarna
indah berkilau menghias langit senja yang kemerahan? Lalu di antara sela-sela
warna di pelangi tersebut berdirilah seorang wanita cantik berujud wanita yang
selalu Anda damba, Anda idam-idamkan, dan tersenyum manis melambaikan tangan
halusnya. Wanita itu bergaun putih, dengan mahkota bunga-bunga di kepalanya. Di
tangannya digenggam sebuah biola atau harpa yang siap dimainkan dan tentu saja
di punggungnya sepasang sayap putih nan lembut berkepak-kepak sekali lagi
dengan sangat lembut dan terus berkepak-kepak berirama dengan arus angin.
Pernahkah selama hidup Anda bermimpi seperti itu? Kalau sudah, bagus, kalau
belum mungkin kelak di masa depan Anda akan bermimpi yang sama.
Akan tetapi, pernahkah Anda bermimpi tentang pelangi kelabu kala
senja yang memerah karena darah. Ya, darah yang dikucurkan oleh para dewata,
benar-benar merah sehingga membuat senja menjadi benar-benar merah semerah-merahnya
darah. Lalu di sela-sela pelangi tersebut meneteslah sedikit demi sedikit air
mata yang mengalir membentuk sungai kecil yang terus menerus mengalir menuju ke
tanah yang kerontang dan retak-retak. Tak ada wanita seperti dalam mimpi
pelangi yang lain, tak ada biola, harpa dan sayap lembut keemasan yang terbias
mentari senja. Yang ada hanya senja merah darah, mentari yang seperti kuning
telur, tanah yang kerontang, air mata yang menggenang, dan tentu saja mayat.
Seandainya bisa kami mengubah latar dalam mimpi, ingin kami ubah
latar tempat untuk tampilan kami. Ingin kami juga disamakan dengan pelangi
beraneka warna lainnya karena kami juga sama-sama pelangi. Ingin kami
disetarakan dengan pelangi bercahaya, namun apalah daya kami yang hanya bisa
menatap kosong ke arah masa depan, tanpa pernah bisa berucap karena memang kami
ditakdirkan untuk tidak bisa berbicara karena tak ada bahasa di dunia pun yang
bisa mengerti isi hati kami. Tak pernah kutemui bahasa pelangi karena memang
pelangi tak pernah berbicara dengan mulut, akan tetapi berbicara dengan
keindahan dan lekuk tubuh kami.
Sayangnya pelangi jenis kami takbisa membahasakan dengan keindahan
atau pun dengan lekuk tubuh. Kami
memang bisu, gagu, bahkan tidak bisa untuk berbicara sepatah kata pun. Tidak
bisa bersuara bernyanyi riang seperti burung yang selalu berkicau dan berkicau.
Tetapi kami punya jiwa, jiwa yang selalu membahana dan selalu mengerti keadaan
dunia yang semakin keras. Kami punya jiwa yang berwarna kelabu. Kelak jika kami
memiliki generasi penerus yang ternyata sama-sama berpelangi kelabu, kami akan
turunkan semangat kami yang pantang menyerah melawan penyesalan mengapa kami
harus terlahir seperti ini. Kami, aku dan pelangi-pelangi kelabu, selalu
menyampaikan salam yang terindah untuk semesta. Meskipun kami tak mengucap
kata, kami tak bersuara, tetapi generasi pelangi kelabu akan terus mencoba
memperindah langit di mana selalu bertebaran hikmah dan rahasia-Nya. Kelak di
masa datang, kami akan menjadi ada dan bercahaya dengan cahaya kelabu kami.
No comments:
Post a Comment