Sunday, 10 June 2012

PELANGI KELABU



I

Aku adalah pelangi yang selalu memancarkan tatawarna dan pesona pada bumi yang kerontang. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Akan tetapi haruskah pelangi memiliki tujuh warna tersebut agar bisa disebut sebagai pelangi? Jika ada pelangi yang tak memancarkan salah satu saja dari warna di atas, apakah masih bisa disebut sebagai pelangi? Jika tidak—ya barangkali manusia terlalu statis pikirannya untuk menentukan bahwa pelangi harus memiliki warna semacam tersebut.

Aku tak seperti pelangi-pelangi kebanyakan yang selalu muncul ketika terbias permukaan air di tanah oleh sinar mentari. Aku bukan seperti pelangi indah begitu menawan yang melengkung bagaikan Keong Mas sehingga orang-orang ingin berselancar di sana, bercanda tawa, dan berkejar-kejaran bagai gelombang bagai arus yang terus menerus mengalir dengan riang seperti tak pernah merasakan sebuah penderitaan. Manusia kadang lupa ketika ia bahagia. Lupa bahwa kebahagiaan datang hanya sepintas, lalu diganti oleh kesedihan dan kemuraman yang membuat manusia hilang tawanya, hilang cerianya menyisakan tangis, duka, kepiluan. Manusia pelupa, lupa bagaimana dulu ia pernah menangis sejadi-jadinya, jatuh sejatuh-jatuhnya dan gugur bagai daun kering yang terombang-ambing angin lepas hingga jatuh ke tanah. Ketika Sang Pencipta memberikan kebahagiaan pada manusia, mereka akan bersyukur dan berkata, “Inilah nikmat Tuhan! Inilah nikmat Sang Pencipta!”. Tetapi ketika manusia dirundung duka dan musibah—sebenarnya itu adalah nikmat Tuhan sendiri yang berbeda maknanya, manusia sering mengadu bahwa Tuhan tak adil padanya, Tuhan tak peduli padanya. Bukankah musibah dan duka juga sebuah kenikmatan? Kenikmatan yang bisa kita rasakan jika kita bersabar dan mencari hikmah yang tersembunyi di setiap helai dari duka dan musibah tersebut.


Sering manusia menganggapku bukan termasuk pelangi karena aku sangat berbeda. Aku adalah pelangi yang hanya memiliki satu warna, yakni kelabu. Warnaku memang kelabu sehingga banyak yang berpendapat aku bukan termasuk pelangi. Tetapi semenjak dicipta, aku telah ditakdirkan untuk menjadi pelangi meskipun warnaku hanya kelabu. Kelabu bukankah warna juga? Kelabu bisa dibentuk dari campuran warna putih dan hitam yang merupakan warna dasar dan induk dari warna-warna yang ada di dunia. Jika begitu justru akulah pelangi tertinggi dari ribuan bahkan jutaan pelangi yang ada di bumi ini karena warnaku alami, yakni hanya tercampur dari dua warna dasar yang masing-masing tidak tercampur dari campuran warna lain. Akulah pelangi tertinggi di jagat raya ini—sebenarnya. Hanya manusia kadang berpikir statis dan praktis, tidak pernah bisa tuntas mengkaji semua keganjilan dan nadir dengan akal sehatnya.

Aku, dan pelangi-pelangi lain yang serupa denganku memang tidak pernah bisa merasa tenang ketika memayungi bumi. Dan harus kami akui juga, kami adalah golongan pelangi yang diasingkan bahkan terbuang hanya karena kami hanya memiliki satu warna. Kami bisa dibilang sebagai kaum yang cacat dan tidak indah untuk kadar pelangi yang sempurna dan loyal. Kelabu identik dengan muram dan suram. Kelabu identik dengan duka dan nestapa. Kelabu identik dengan hujan dan tangisan. Banyak lagi definisi-definisi tentang kami yang sangat tidak etis untuk kubicarakan di sini. Kami laksana sampah yang dibuang di tempat pembuangan akhir menyatu dengan bangkai-bangkai, tulang ikan, ribuan bakteri, jutaan lalat, dan tentu saja bau busuk menyengat. Setiap harinya kami harus rela untuk dikorek-korek oleh pemulung yang mencoba mengadu keberuntungan dengan mencari sesuap nasi di sela-sela tubuh kami. Akh…, kalian para pemulung yang tidak pernah merasakan nikmatnya sirloin steak, berendam di bath tub, makan keju yang dipadu dengan roti empuk dan segelas susu, tidur di kasur yang juga seperti roti, empuk, nyaman, yang diselimuti bed cover sehingga terlindung dari hawa dingin yang menusuk, berjalan-jalan di mall bergengsi dan di pusat perbelanjaan terkenal ibukota, naik mobil mewah sopir pribadi, dan segala kenikmatan lainnya yang hanya bisa diujudkan dalam mimpi malam hari kala terlelap.

Bisa dibilang kami sama dengan golongan pemulung tersebut, tersisihkan dan terbuang padahal mereka adalah pahlawan, adalah guru, adalah ibu dari semua anak-cucu yang mengisi kota dengan hura-hura. Kami, pelangi kelabu harus menerima semua dengan tetap tersenyum bahwa kami adalah golongan yang terbuang dan tersisihkan.

***

Pernahkah dalam mimpi-mimpi Anda, kalian melihat pelangi tatawarna indah berkilau menghias langit senja yang kemerahan? Lalu di antara sela-sela warna di pelangi tersebut berdirilah seorang wanita cantik berujud wanita yang selalu Anda damba, Anda idam-idamkan, dan tersenyum manis melambaikan tangan halusnya. Wanita itu bergaun putih, dengan mahkota bunga-bunga di kepalanya. Di tangannya digenggam sebuah biola atau harpa yang siap dimainkan dan tentu saja di punggungnya sepasang sayap putih nan lembut berkepak-kepak sekali lagi dengan sangat lembut dan terus berkepak-kepak berirama dengan arus angin. Pernahkah selama hidup Anda bermimpi seperti itu? Kalau sudah, bagus, kalau belum mungkin kelak di masa depan Anda akan bermimpi yang sama.

Akan tetapi, pernahkah Anda bermimpi tentang pelangi kelabu kala senja yang memerah karena darah. Ya, darah yang dikucurkan oleh para dewata, benar-benar merah sehingga membuat senja menjadi benar-benar merah semerah-merahnya darah. Lalu di sela-sela pelangi tersebut meneteslah sedikit demi sedikit air mata yang mengalir membentuk sungai kecil yang terus menerus mengalir menuju ke tanah yang kerontang dan retak-retak. Tak ada wanita seperti dalam mimpi pelangi yang lain, tak ada biola, harpa dan sayap lembut keemasan yang terbias mentari senja. Yang ada hanya senja merah darah, mentari yang seperti kuning telur, tanah yang kerontang, air mata yang menggenang, dan tentu saja mayat.

Seandainya bisa kami mengubah latar dalam mimpi, ingin kami ubah latar tempat untuk tampilan kami. Ingin kami juga disamakan dengan pelangi beraneka warna lainnya karena kami juga sama-sama pelangi. Ingin kami disetarakan dengan pelangi bercahaya, namun apalah daya kami yang hanya bisa menatap kosong ke arah masa depan, tanpa pernah bisa berucap karena memang kami ditakdirkan untuk tidak bisa berbicara karena tak ada bahasa di dunia pun yang bisa mengerti isi hati kami. Tak pernah kutemui bahasa pelangi karena memang pelangi tak pernah berbicara dengan mulut, akan tetapi berbicara dengan keindahan dan lekuk tubuh kami.

Sayangnya pelangi jenis kami takbisa membahasakan dengan keindahan atau pun dengan lekuk tubuh. Kami memang bisu, gagu, bahkan tidak bisa untuk berbicara sepatah kata pun. Tidak bisa bersuara bernyanyi riang seperti burung yang selalu berkicau dan berkicau. Tetapi kami punya jiwa, jiwa yang selalu membahana dan selalu mengerti keadaan dunia yang semakin keras. Kami punya jiwa yang berwarna kelabu. Kelak jika kami memiliki generasi penerus yang ternyata sama-sama berpelangi kelabu, kami akan turunkan semangat kami yang pantang menyerah melawan penyesalan mengapa kami harus terlahir seperti ini. Kami, aku dan pelangi-pelangi kelabu, selalu menyampaikan salam yang terindah untuk semesta. Meskipun kami tak mengucap kata, kami tak bersuara, tetapi generasi pelangi kelabu akan terus mencoba memperindah langit di mana selalu bertebaran hikmah dan rahasia-Nya. Kelak di masa datang, kami akan menjadi ada dan bercahaya dengan cahaya kelabu kami.

No comments:

Post a Comment