Karna
Seda
Di padang Kurusetra itu, Karna terkapar perlaya menanti
ajal…
Beberapa saat yang lalu, Arjuna berhasil mengalahkannya
dalam duel satu lawan satu di padang berdarah tersebut. Baratayudha akan selalu
menyisakan darah, kematian, jerit kesakitan tubuh yang ditembus panah, teriakan
kematian saat kepala manusia dihantam gada mahaberat Bima, dan tangis perempuan
yang menanti anaknya kembali dengan selamat dari peperangan itu.
Nun jauh dalam keremangan malam, Dewi Kunti menangis
dalam samadinya. Hatinya hancur. Perasaannya remuk redam. Ia rindu kelima
Pandawa. Dan ia juga rindu Karna, anak yang selama ini terbuang dari tahta
Pandawa melarung jauh hingga sampai di rumah Adirata yang kelak akan menjadi
ayahnya. Ia menjerit, memohon pada dewa
agar menyelamatkan kesemua anaknya di perang saudara terhebat sepanjang sejarah
pewayangan.
“Dewata, selamatkanlah anakku.”
Ia ingin lupa bahwa sebelum berangkat ke Kurusetra ia
pernah berjumpa dan berbicara dengan Karna untuk pertama kalinya. Karna, anak
agung Batara Surya yang terlahir dengan sepasang anting-anting dan baju tamsir
yang melekat di bajunya, takdinyana adalah anaknya sendiri. Ia adalah saudara
tertua Pandawa, lahir sebelum dirinya dijadikan sayembara. Dan pertemuan yang
teramat singkat itu hanya akan hadir dalam ingatan dan kenangan Dewi Kunti
saja.
“Anakku Karna, adakah engkau tahu bahwa aku adalah
ibumu?” tanya Dewi Kunti suatu senja.
Jantung Karna berdesir kencang, taksangka bahwa sosok
cantik jelita ayu kemayu itu ialah ibunya. Ibu dari Pandawa lima itu adalah
ibunya pula. Jadi, adakah sebenarnya ia adalah saudara Pandawa?
“Maksud Ibu Yang Mulia?”
Dewi Kunti menghela nafas panjang, seakan berat untuk
berucap.
“Ya, kau adalah saudara tertua dari kelima anakku,
Pandawa.”
Karna diam. Roman mukanya pucat. Namun, keteguhan
hatinya menguatkan keterkejutan itu.
“Jadi, Arjuna adalah adikku?”
“Ya.”
“Arjuna adalah adikku?”
“Ya, anakku.”
“Arjuna adalah adikku?”
“Ya.”
“Arjuna, yang tempo hari pernah menghinaku karena aku
hanyalah anak kusir yang takpantas bertanding dengannya, adalah adikku?”
Dewi Kunti menjawab dengan tangisan, “dan kini setelah
kau tahu semuanya, maukah kau mendengar kata-kataku?”
Karna bersujud pada wanita itu. Sujud hormat sebagai
seorang anak untuk pertama kali padanya, “Permintaan apakah yang akan Ibunda
katakan?”
“Maukah kau berpihak pada Pandawa saat perang nanti?”
Permintaan tersebut membuat Karna membisu seakan ia
terlahir tanpa suara.
“Maukah kau berpihak pada Pandawa dan jangan sekali-kali
kau membunuh mereka?”
Untuk beberapa saat Karna terdiam. Lalu, masih dalam
sujudnya ia berkata. Pelan sekali.
“Ibunda, permintaanmu itu sungguh mulia sekali kau
ucapkan padaku. Namun, bukannya aku seorang anak durhaka. Bukannya aku takmau
mengabulkan permintaanmu itu. Betapa sering kita bertemu, tetapi baru sekarang
kuketahui bahwa kau adalah ibu kandungku. Kini aku mengakui kau ibuku dan para
Pandawa adalah saudaraku. Tapi, ketahuilah ibu, selama ini aku sudah banyak
diberi nikmat oleh kaum Kurawa. Pasca penghinaan Bima dan Arjuna dulu, aku
masih belum bisa melupakan betapa aku sungguh nista di depan mereka. Ayahku
berkasta Waisya, dan aku takpantas beradu panah dengan Arjuna. Apakah karena
perbedaan derajat lantas mereka bisa menjatuhkanku begitu saja. Aku cinta
Drupadi dan merekalah yang mendapatkannya, hanya karena aku bukanlah seorang
berkata Ksatria.
Ibuku, jika kau tahu kini aku bisa menjadi Adipati di
Awangga itu semata-mata karena kaum Kurawa. Mereka mengangkatku dari sumur
nista dan menempatkanku layaknya saudara mereka. Kini, kau memintaku berpihak
pada Pandawa yang notabene tidak pernah menganggapku ada selama ini. Berdosakah
aku pada Kurawa? Apa balas budiku pada mereka jikalau aku berpihak pada
Pandawa? Sungguh, tidak ada yang berdosa, tidak ada yang salah, dan tidak ada
yang menyesali segala tingkah dan laku yang pernah terjadi di masa lampau.
Takdirlah yang menjadikan semuanya seperti ini…”
Karna terdiam melihat Ibundanya menangis.
“Maaf Ibunda, aku takbisa melaksanakan titahmu ini.”
Bergetar tubuh Dewi Kunti mendengar penolakan halus
Karna. Ia tidak ingin kehilangan anak-anaknya. Ibu mana yang tega melihat
anak-anaknya mati dibunuh saudaranya sendiri?
“Ibundaku,” kata Karna lagi, “Ibunda takusah khawatir,
dalam peperangan nanti aku tidak akan membunuh semua Pandawa. Aku hanya
membunuh satu orang saja. Dan aku akan memilih Arjuna sebagai lawan hidup dan matiku.”
Karna yang selalu bersamadi saat pagi dan senja itu
menatap Ibundanya dengan perasaan sayang. Inilah kali pertama dirinya menatap
sayang pada Dewi Kunti.
“Aku memilih Arjuna karena hanya dialah yang
berkemampuan sebanding denganku. Maka izinkanlah aku untuk melawan Arjuna,”
kata Karna dengan suara yang sangat halus.
Dewi Kunti terdiam. Kepalanya tertunduk malu. Apa daya
keteguhan hati Karna takkan bisa ia ubah.
“Baiklah, aku sudah tidak bisa mengubah keteguhan hatimu
itu. Berangkatlah ke medan perang, dan lawanlah Arjuna saja. Kuharap takada
yang menjadi korban dalam perlawanan itu. Aku… aku takingin…” Dewi Kunti tidak
bisa meneruskan kalimatnya. Ia begitu tertekan. Perasaannya kacau. Membuncah. Hatinya
remuk, dan ia harus terima segala.
Karna memeluk ibunya dengan perasaan sayang. Senyuman
manis tersungging di bibirnya yang bercahaya.
“Barangkali inilah baktiku kepadamu Ibu. Aku takkan
membuatmu tersiksa kehilangan banyak anakmu. Tetapi, keteguhan hati laksana
matahari bagiku. Akan selalu muncul di timur dan hilang di barat, dan kau kan
bersamadi memujanya. Begitu bercahaya, begitu menghangatkan dunia yang
kerontang.”
Dewi Kunti memeluk erat Karna. Begitu hangat.
“Apa pun yang terjadi, siapa pun yang kembali, anak ibu
akan tetap lima seperti sedia kala…”
***
Rembulan bercahaya merah di padang Kurusetra…
Takterhitung barapa jumlah mayat yang berserakan di
padang itu. Tanah berubah menjadi merah, udara beraroma anyir, dan cahaya
rembulan menjadi merah karena darah-darah itu menguap kala siang dan mengendap
menjadi awan. Seluruhnya merah, seluruhnya hitam. Dan diantara mayat-mayat yang
berserakan itu, akan ada sosok Karna yang menanti ajal menanti waktu untuk
direnggut sang maut.
Dewi Kunti keluar dari tempatnya, mencari-cari siapa
yang menang dalam pertarungan hidup dan mati itu. Ia berkelana, berlari dan
berharap bumi menyatukan semua.
“Biarkan kami bersama!!” rintih Dewi Kunti.
Sesampainya di padang Kurusetra dilihatnya Karna
terkapar bersimbah darah. Ia kalah setelah Arjuna dengan mudah mengalahkannya tanpa
senjata, tanpa baju tamsir yang selama ini melekat di tubuhnya. Baju tamsir
tersebut ia beri kepada seorang pendeta yang taklain ialah Batara Indra. Dengan
mudah ia menyerahkan baju tamsir tersebut dengan syarat ia harus mendapatkan
Konta dari pendeta itu. Senjata Konta tersebut ia maksudkan untuk membunuh
Arjuna nanti, namun apa daya, rencananya berhasil digagalkan oleh strategi
Kresna. Senjata Konta yang hanya bisa digunakan sekali itu malah mengenai Gatot
Kaca yang seda demi menyelamatkan Arjuna. Ia mati ditusuk Konta di angkasa
sehingga tubuhnya hancur dan jatuh ke bumi membentuk kubangan raksasa seperti
kubangan meteor.
“Biarkan kami bersama!!”
Dewi Kunti memeluk jasad Karna dan mendekapnya di dada.
Di antara tubuhnya yang merah tersebut ia melihat senyuman Karna yang
bercahaya, sangat bercahaya, seperti cahaya kematian.
“Ibu, seperti janjiku kemarin, anakmu akan tetap lima,”
kata Karna lembut.
Dewi Kunti menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya ikut
memerah karena darah Karna melekat di baju, tangan dan kakinya. Ia begitu
menyesal membuang Karna dahulu, tetapi, apa daya itu adalah titah Batara Surya.
Benar, takdir yang membuat semuanya seperti skenario naskah yang harus
dijalani.
“Kau anak Ibu. Kau anakku yang paling indah.”
Dan Karna tersenyum untuk kesekian kali. Senyuman
penghabisan. Senyuman menghadapi maut.
“Kau anakku yang paling indah! Kau jangan mati Karna…”
Matanya mendelik, seluruh tubuhnya kaku. Suaranya lemah
dan terbata-bata.
“Kematian itu indah, seindah nirwana Ibu…”
KaRna diam takada gerakan lagi. Ia seda. Dewi Kunti
mendekap erat sosok kesatria yang agung itu. Rembulan cahaya merah memayungi
mereka. Semua diam. Semua membisu. Semua membiru.
Rembulan merah di padang Kurusetra
Lembayung kematian dalam bingkai samadhi
Izinkanlah aku dewata, izinkanlah!
Izinkanlah aku masuk ke perut bumi, melayang ke
angkasa
Memasuki mayapada, memasuki nirwana, dan membawanya
kembali…
Bandung, 11 Februari 2011
21.12
terima kasih sudah menceritakan ttg Karna. sy senang dengan wayang, tapi seringkali lebih senang bila ada yg menceritakan daripada membaca. entah kenapa, mungkin sisi lain dari seorang perempuan.
ReplyDeleteTerima kasih juga sudah mau menyimak, :)
Deletehehe, memang benar. Perempuan pada dasarnya senang diceritakan, karena diceritakan akan menghasilkan imajinasi yang lebih kuat daripada membaca, serta ia akan selalu ingat terus cerita itu karena mendengar jauh lebih mudah mengingat daripada membaca :)