Aliya berlari menuju rumahnya. Ia ingin segera bertemu
ibunya. Sepulang mengaji di Ustad Nur, ia teringat akan janji ibunya yang akan
membelikan kerudung merah jambu kelak jika Ramadhan tiba. Dan kali ini,
Ramadhan tinggal beberapa hari lagi tiba. Ia ingin sekali mendapatkan kerudung
merah jambu yang baginya sangat indah dan cerah.
Di ujung gang yang sempit, ia berhenti untuk menarik nafas.
Tinggal beberapa rumah lagi ia akan sampai di rumahnya, menemui ibunya yang ia
tahu persis saat ini sedang melakukan apa. Meskipun lelah berlari sepanjang
perjalanannya, ia tidak hiraukan karena dalam pikirannya hanya ada kerudung
merah jambu. Kerudung yang suka dipakai oleh Mbak Is, guru TK Aliya yang
baginya sangat cantik dengan memakai kerudung tersebut.
“Ibuuuuuu!!!!!” Aliya membuka pintu rumahnya yang kecil dan
sangat kecil.
Seperti biasa, Marni hanya memandang dingin kepada anaknya
tersebut. Di tangan kanannya tergenggam sebatang rokok dan di tangan kirinya
segepok uang lima puluh ribuan sedang diamati olehnya. Aliya menghampiri ibunya
yang asyik dengan rokok dan segepok uang tersebut.
“Ibu, kata Ustad Nur sebentar lagi bulan Ramadhan kan?”
tanya Aliya.
“Memangnya kenapa?” jawab ibunya sambil menyedot rokoknya.
“Aliya jadi ingat, dulu kan Ibu pernah janji kalau bulan Ramadhan
datang, Ibu mau membelikan aku kerudung merah jambu. Ibu ingat gak?”
Ibunya tetap diam sambil kembali menyedot rokok dan
mengembuskan asapnya di udara, sementara segepok uang yang digenggam di tangan
kirinya perlahan disembunyikan di balik badannya.
“Ibu gak punya duit untuk beli itu!” jawab ibunya ketus.
“Lho, tadi uang Ibu banyak? Kok gak bisa belikan aku
kerudung. Aku kan mau cantik kayak Mbak Is. Mbak Is cantik karena kerudung
merah jambu itu.”
“Tau apa kamu soal cantik? Si Mbak Is itu cantik karena dia
orang baik, bukan karena masalah kerudung!” ibunya mulai kesal.
“Tapi bu, aku ingin punya kerudung merah jambu itu bu. Aku
mau pakai buat Lebaran nanti.”
“Alaah, apa pentingnya kerudung itu buat kamu kalau hanya
dipakai buat Lebaran saja. Lagipula, kalau Ibu beliin kamu kerudung itu, kita
mau makan apa nantinya? Kamu tuh mikir dong!”
“Tapi bu...”
“Sudah! Kalau kamu mau kerudung merah jambu itu, minta suruh
Mbak Is beliin kamu! Dasar anak pandir!” jawab ibunya sambil pergi meninggalkan
Aliya yang mulai mengeluarkan air mata.
***
Kerudung merah jambu itu amat
berarti bagi Aliya. Selain karena merah jambu adalah warna favorit Aliya,
kerudung tersebut juga dianggap sangat anggun bagi Aliya. Betapa tidak, sering
ia lihat Mbak Is yang cantik memakai kerudung merah jambu tersebut, dan
wajahnya semakin terlihat cantik dalam pandangan Aliya. Oleh karena itu, ia
juga ingin memakai kerudung merah jambu tersebut agar dirinya semakin terlihat
cantik. Lagipula, menurut Ustad Nur memakai kerudung itu adalah wajib bagi
seorang perempuan.
Ia pun sering disapa oleh Nano,
anak kecil yang sering bermain dengannya. Nano sering bercerita bagaimana
ibunya juga suka memakai kerudung merah jambu jika keluar rumah. Akh, Aliya
kecil masih harus bersabar menunggu kemurahan hati ibunya. Ia baru kelas dua
sekolah dasar, kalaupun harus menabung untuk membeli sendiri, mana bisa? Ibunya
saja jarang memberi uang kepadanya. Ia lebih suka mengajak Aliya jalan-jalan ke
mall dan mentraktir makan di restoran cepat saji. Tapi, membeli kerudung,
ibunya tidak pernah mengabulkan permintaannya.
Di gang yang sempit dan kumuh
itu, Aliya tumbuh dan berkembang tanpa terpengaruh oleh lingkungannya. Ia sudah
biasa melihat perempuan merokok dan bebas bergaul dengan laki-laki. Bahkan
tidak jarang ia diajak teman-temannya untuk melihat pertunjukan dangdut yang
penyanyinya sangat sensual. Bila sudah ketahuan oleh ibunya, ia pasti dimarahi
habis-habisan.
“Ibu tidak melarang kamu bergaul,
tapi kamu juga jaga diri dong!” bentak ibunya.
Akh, tahu apa Aliya mengenai
menjaga diri. Ia hanya tahu arti menjaga diri itu ialah menghindarkan diri
untuk tidak durhaka kepada orang tua. Itu juga kata Ustad Nur, selebihnya Aliya
belum tahu.
Bagi Aliya, ibunya juga sangat
cantik meskipun kerjanya hanya bangun siang dan pergi malam. ia hanya tahu
ibunya sering keluar malam dengan dandanan menor dan terkadang sering dijemput
oleh beberapa pria. Entah kemana. Setiap kali ditanya apa kerjanya, ibunya
malah memaki dirinya sambil beralasan bahwa ibunya bekerja untuk dirinya. Ia pun
sering melihat ibunya pulang larut malam sambil membawa seorang laki-laki yang
dulu sering ia anggap ayahnya. Namun anggapannya sirna, pagi hari sebelum
berangkat sekolah ia masih bisa menyaksikan bagaimana laki-laki itu pergi
sambil memberikan sejumlah uang pada ibu yang masih tertidur nyenyak.
Namun, tentu saja Aliya sangat
mencintai ibunya. Meskipun ibunya sering merokok, pergi malam, membentak, dan
berkata kasar padanya, ia tetap mencintai ibunya. Kadang-kadang ibunya
mengajaknya jalan-jalan di mall, pergi berbelanja, beli kosmetik, dan makan di
restoran cepat saji. Terkadang ibunya membelikan ia boneka dan buku cerita,
namun, sekali lagi ia tidak pernah dibelikan kerudung baru, apalagi kerudung
merah jambu. Kerudung yang selama ini digunakan olehnya untuk pergi mengaji
adalah kerudung putih yang sudah menguning hadiah almarhum neneknya dua tahun
lalu ketika Aliya berulang tahun.
Ia pun pernah melihat ibunya
menangis malam-malam sambil mendekap dirinya. Jika sudah begitu, ia akan
merasakan bagaimana kehangatan yang sangat hangat, sungguh hangat, yang
dipancarkan dari sosok Ibunya. Ia merasa dalam malam-malam seperti itu, ia
bagaikan sedang dipeluk oleh bidadari yang tersamar dalam daster yang bolong,
dan rambut yang kusut. Ia tidak tahu bagaimana rupa bidadari. Ia hanya tahu
bahwa bentuk bidadari itu seperti ibunya yang sedang menangis.
“Kalau sudah besar jangan seperti
ibu ya, jadilah dokter atau guru,” ujar ibunya. Dalam malam-malam seperti itu,
Aliya akan merasakan bagaimana indahnya mencintai ibunya.
***
Senja belum sampai pada batasnya.
Di Kota Jakarta ini, senja sangat susah untuk ditemui. Cahayanya tertutup oleh
gugusan gedung-gedung yang angkuh. Menimbulkan semacam perasaan yang rawan bagi
siapa saja yang kebetulan melihatnya. Dan, adakah cakrawala tersebut serupa
dengan kerudung merah jambu?
Langkah Aliya lesu. Sepulang
mengaji dari Ustad Nur tadi ia teringat akan ibunya. Ibunya belum juga
membelikannya kerudung merah jambu. Padahal, ia lihat sendiri kemarin segepok
uang digenggam oleh ibunya. Ia sangat mencintai warna tersebut. Baginya
kerudung tersebut seperti warna cakrawala senja. Dalam pandangan kecilnya,
warna tersebut sangat memesona. Cerah dan cocok untuk seorang wanita.
Di pengajian tadi, Ustad Nur
bercerita banyak mengenai keutamaan bulan Ramadhan. Beliau pun mengharuskan
Aliya dan teman-temannya untuk berpakaian yang sopan dan pantas, juga memakai
kerudung, sebab katanya perempuan yang auratnya tetap terjaga selama bulan
Ramadhan akan mendapat berkah kelak di akhirat nanti.
Saat itu, Aliya menjadi bingung.
Ia hanya punya satu kerudung. Itu pun kerudung putih yang sudah menguning
hadiah dari almarhum neneknya. Ibunya tidak pernah memberikannya sebuah
kerudung, apalagi kerudung merah jambu. Lalu, bagaimana mungkin kerudung yang
sudah memudar itu harus dipakainya selama 30 hari?
Pernah terpikir olehnya untuk
pergi ke desa tempat almarhum neneknya dulu tinggal. Bermain riang di sawah,
mandi di kali yang jernih, dan bercanda dengan burung-burung. Dulu sekali ia
pernah diajak ibunya ke desa tersebut, nun jauh dari Kota Jakarta. Pertama kali
ia bertemu dengan perempuan tua yang disebut nenek oleh ibunya. Dengan penuh
rasa haru, nenek itu merangkulnya dengan erat seolah Aliya sudah lama
dinanti-nantikan kedatangannya. Dan ia pun tidak tahu mengapa ibunya begitu
menangis dengan sikap neneknya tersebut.
Di desa itu, ia juga sering
bertemu dengan perempuan-perempuan berkerudung merah jambu. Berjalan
bersama-sama di pematang sawah sambil mengepit kitab suci. Sambil bernyanyi
riang mereka melompat menghindari genangan air di tanah saat senja. Aliya
sangat merindukan suasana itu. Ia ingin kembali ke sana.
Namun, ia tidak yakin ibunya akan
mengajaknya kembali ke desa itu. Lagipula, kata ibunya neneknya sudah meninggal
tiga bulan yang lalu tanpa sekalipun mengunjungi makamnya. Ia harus puas
tinggal di gang kumuh dan sempit itu, dimana perempuan sangat bebas merokok dan
lelaki bertato mudah dijumpai di setiap sudut gang. Ia tidak hafal nama kota.
Yang ia tahu hanya Jakarta. Itu ia tidak mengetahui semuanya.
“Kupu-kupu yang lucu, kemana
engkau terbang...”
Aliya mencoba bernyanyi layaknya
teman-teman sebayanya dulu lakukan di desa. Ia bernyanyi sepanjang jalan, tidak
peduli cemoohan orang-orang. Bahkan Nano pun juga menggodanya.
“Cie, Aliya lagi senang ya?”
canda Nano.
Aliya tersenyum setiap kali
disapa Nano. Akh, Nano yang baik selalu membagi coklatnya kepada Aliya. Di gang
itu, hanya Nanolah teman yang akrab dengan Aliya. Sebenarnya, Nano tinggal di
kompleks perumahan di seberang gang tersebut, namun kedekatannya dengan Aliya
membuatnya betah bermain lama-lama di gang kumuh dan sempit itu.
“Nano punya coklat gak?” tanya
Aliya riang.
“Aku selalu punya dong,” Nano pun
membagi coklatnya kepada Aliya.
“Nano, Ustad Nur tadi bilang
kalau aku harus pakai kerudung selama bulan puasa.”
“Oh ya? Terus gimana?” tanya
Nano.
“Tapi... Aku gak punya lagi
kerudung. Aku mau kerudung merah jambu,” jawab Aliya lesu.
“Sudah bilang ke ibumu?”
“Sudah, tapi dia diam aja...”
Nano merasa Aliya mau menangis.
Ia lebih tua dua tahun dari Aliya. Perbedaan itulah yang menyebabkan Nano
menganggap Aliya sebagai adiknya. Adik yang harus ia lindungi, lebih dari
sekadar teman bermain.
“Mungkin nanti ibumu beliin kamu,
kamu sabar aja ya?” Nano mencoba menghibur Aliya.
Akh, Nano memang bisa
menghiburnya. Meskipun masih kecil, tapi Aliya merasakan itu.
***
Sehabis Isya, Aliya melihat ibunya sudah berdandan dan
memakai gaun yang super tipis. Di balik buku pelajarannya, Aliya melihat wajah
ibunya yang terus memandanginya.
Aliya tidak tahu makna pandangan ibunya, yang ia lihat hanya
senyum manis dari bibir merah ibunya sebelum ia pergi bekerja. Di ambang pintu,
tiba-tiba Marni terhenti seperti mengingat sesuatu. Diambilnya bungkusan yang
tersimpan di meja, dan bergegas kembali ke Aliya.
“Aliya, Ibu mau kamu tambah cantik dengan kerudung merah
jambu ini,” kata Marni sambil mengecup kening Aliya yang takmenyangka akan
diberi kerudung impiannya.
Belum sempat Aliya mengucap terima kasih, ibunya sudah pergi
meninggalkannya. Betapa bahagianya ia.
Inilah kebahagiaan yang begitu dirasakan oleh Aliya. Ibunya yang suka merokok,
memaki, dan membentak itu ternyata sangat menyayanginya. Dibukanya bungkusan
tersebut. Sebuah kerudung merah jambu yang manis diberikan ibunya. Ingin
rasanya ia mengejar ibunya, memeluk tubuhnya dan menangis dalam pelukannya.
Namun, ia tahu, ibunya tidak akan suka diperlakukan seperti itu, apalagi di
depan semua orang.
Aliya kecil sangat menyayangi ibunya. Ia pun tidak mau
membuat ibunya marah gara-gara kesalahannya. Yang ia mau hanya senyum ibunya
yang manis seperti tadi. Yang ia mau hanyalah kecupan sayang ibunya untuk
menenteramkan hatinya.
Malam semakin bertambah malam,
Aliya kecil tertidur pulas dengan mendekap kerudung merah jambu pemberian
ibunya. Ia tidur dengan harapan akan bertemu dengan ibunya esok pagi sebelum ia
berangkat sekolah. Namun, ibunya takpernah lagi datang padanya. Ia telah
menjadi bidadari yang sebenarnya untuk Aliya.
Bandung, 08 Juli 2012
No comments:
Post a Comment