Tuesday, 10 July 2012

KERUDUNG MERAH JAMBU


Aliya berlari menuju rumahnya. Ia ingin segera bertemu ibunya. Sepulang mengaji di Ustad Nur, ia teringat akan janji ibunya yang akan membelikan kerudung merah jambu kelak jika Ramadhan tiba. Dan kali ini, Ramadhan tinggal beberapa hari lagi tiba. Ia ingin sekali mendapatkan kerudung merah jambu yang baginya sangat indah dan cerah.
Di ujung gang yang sempit, ia berhenti untuk menarik nafas. Tinggal beberapa rumah lagi ia akan sampai di rumahnya, menemui ibunya yang ia tahu persis saat ini sedang melakukan apa. Meskipun lelah berlari sepanjang perjalanannya, ia tidak hiraukan karena dalam pikirannya hanya ada kerudung merah jambu. Kerudung yang suka dipakai oleh Mbak Is, guru TK Aliya yang baginya sangat cantik dengan memakai kerudung tersebut.


“Ibuuuuuu!!!!!” Aliya membuka pintu rumahnya yang kecil dan sangat kecil.
Seperti biasa, Marni hanya memandang dingin kepada anaknya tersebut. Di tangan kanannya tergenggam sebatang rokok dan di tangan kirinya segepok uang lima puluh ribuan sedang diamati olehnya. Aliya menghampiri ibunya yang asyik dengan rokok dan segepok uang tersebut.
“Ibu, kata Ustad Nur sebentar lagi bulan Ramadhan kan?” tanya Aliya.
“Memangnya kenapa?” jawab ibunya sambil menyedot rokoknya.
“Aliya jadi ingat, dulu kan Ibu pernah janji kalau bulan Ramadhan datang, Ibu mau membelikan aku kerudung merah jambu. Ibu ingat gak?”
Ibunya tetap diam sambil kembali menyedot rokok dan mengembuskan asapnya di udara, sementara segepok uang yang digenggam di tangan kirinya perlahan disembunyikan di balik badannya.
“Ibu gak punya duit untuk beli itu!” jawab ibunya ketus.
“Lho, tadi uang Ibu banyak? Kok gak bisa belikan aku kerudung. Aku kan mau cantik kayak Mbak Is. Mbak Is cantik karena kerudung merah jambu itu.”
“Tau apa kamu soal cantik? Si Mbak Is itu cantik karena dia orang baik, bukan karena masalah kerudung!” ibunya mulai kesal.
“Tapi bu, aku ingin punya kerudung merah jambu itu bu. Aku mau pakai buat Lebaran nanti.”
“Alaah, apa pentingnya kerudung itu buat kamu kalau hanya dipakai buat Lebaran saja. Lagipula, kalau Ibu beliin kamu kerudung itu, kita mau makan apa nantinya? Kamu tuh mikir dong!”
“Tapi bu...”
“Sudah! Kalau kamu mau kerudung merah jambu itu, minta suruh Mbak Is beliin kamu! Dasar anak pandir!” jawab ibunya sambil pergi meninggalkan Aliya yang mulai mengeluarkan air mata.
***
Kerudung merah jambu itu amat berarti bagi Aliya. Selain karena merah jambu adalah warna favorit Aliya, kerudung tersebut juga dianggap sangat anggun bagi Aliya. Betapa tidak, sering ia lihat Mbak Is yang cantik memakai kerudung merah jambu tersebut, dan wajahnya semakin terlihat cantik dalam pandangan Aliya. Oleh karena itu, ia juga ingin memakai kerudung merah jambu tersebut agar dirinya semakin terlihat cantik. Lagipula, menurut Ustad Nur memakai kerudung itu adalah wajib bagi seorang perempuan.
Ia pun sering disapa oleh Nano, anak kecil yang sering bermain dengannya. Nano sering bercerita bagaimana ibunya juga suka memakai kerudung merah jambu jika keluar rumah. Akh, Aliya kecil masih harus bersabar menunggu kemurahan hati ibunya. Ia baru kelas dua sekolah dasar, kalaupun harus menabung untuk membeli sendiri, mana bisa? Ibunya saja jarang memberi uang kepadanya. Ia lebih suka mengajak Aliya jalan-jalan ke mall dan mentraktir makan di restoran cepat saji. Tapi, membeli kerudung, ibunya tidak pernah mengabulkan permintaannya.
Di gang yang sempit dan kumuh itu, Aliya tumbuh dan berkembang tanpa terpengaruh oleh lingkungannya. Ia sudah biasa melihat perempuan merokok dan bebas bergaul dengan laki-laki. Bahkan tidak jarang ia diajak teman-temannya untuk melihat pertunjukan dangdut yang penyanyinya sangat sensual. Bila sudah ketahuan oleh ibunya, ia pasti dimarahi habis-habisan.
“Ibu tidak melarang kamu bergaul, tapi kamu juga jaga diri dong!” bentak ibunya.
Akh, tahu apa Aliya mengenai menjaga diri. Ia hanya tahu arti menjaga diri itu ialah menghindarkan diri untuk tidak durhaka kepada orang tua. Itu juga kata Ustad Nur, selebihnya Aliya belum tahu.
Bagi Aliya, ibunya juga sangat cantik meskipun kerjanya hanya bangun siang dan pergi malam. ia hanya tahu ibunya sering keluar malam dengan dandanan menor dan terkadang sering dijemput oleh beberapa pria. Entah kemana. Setiap kali ditanya apa kerjanya, ibunya malah memaki dirinya sambil beralasan bahwa ibunya bekerja untuk dirinya. Ia pun sering melihat ibunya pulang larut malam sambil membawa seorang laki-laki yang dulu sering ia anggap ayahnya. Namun anggapannya sirna, pagi hari sebelum berangkat sekolah ia masih bisa menyaksikan bagaimana laki-laki itu pergi sambil memberikan sejumlah uang pada ibu yang masih tertidur nyenyak.
Namun, tentu saja Aliya sangat mencintai ibunya. Meskipun ibunya sering merokok, pergi malam, membentak, dan berkata kasar padanya, ia tetap mencintai ibunya. Kadang-kadang ibunya mengajaknya jalan-jalan di mall, pergi berbelanja, beli kosmetik, dan makan di restoran cepat saji. Terkadang ibunya membelikan ia boneka dan buku cerita, namun, sekali lagi ia tidak pernah dibelikan kerudung baru, apalagi kerudung merah jambu. Kerudung yang selama ini digunakan olehnya untuk pergi mengaji adalah kerudung putih yang sudah menguning hadiah almarhum neneknya dua tahun lalu ketika Aliya berulang tahun.
Ia pun pernah melihat ibunya menangis malam-malam sambil mendekap dirinya. Jika sudah begitu, ia akan merasakan bagaimana kehangatan yang sangat hangat, sungguh hangat, yang dipancarkan dari sosok Ibunya. Ia merasa dalam malam-malam seperti itu, ia bagaikan sedang dipeluk oleh bidadari yang tersamar dalam daster yang bolong, dan rambut yang kusut. Ia tidak tahu bagaimana rupa bidadari. Ia hanya tahu bahwa bentuk bidadari itu seperti ibunya yang sedang menangis.
“Kalau sudah besar jangan seperti ibu ya, jadilah dokter atau guru,” ujar ibunya. Dalam malam-malam seperti itu, Aliya akan merasakan bagaimana indahnya mencintai ibunya.
***
Senja belum sampai pada batasnya. Di Kota Jakarta ini, senja sangat susah untuk ditemui. Cahayanya tertutup oleh gugusan gedung-gedung yang angkuh. Menimbulkan semacam perasaan yang rawan bagi siapa saja yang kebetulan melihatnya. Dan, adakah cakrawala tersebut serupa dengan kerudung merah jambu?
Langkah Aliya lesu. Sepulang mengaji dari Ustad Nur tadi ia teringat akan ibunya. Ibunya belum juga membelikannya kerudung merah jambu. Padahal, ia lihat sendiri kemarin segepok uang digenggam oleh ibunya. Ia sangat mencintai warna tersebut. Baginya kerudung tersebut seperti warna cakrawala senja. Dalam pandangan kecilnya, warna tersebut sangat memesona. Cerah dan cocok untuk seorang wanita.
Di pengajian tadi, Ustad Nur bercerita banyak mengenai keutamaan bulan Ramadhan. Beliau pun mengharuskan Aliya dan teman-temannya untuk berpakaian yang sopan dan pantas, juga memakai kerudung, sebab katanya perempuan yang auratnya tetap terjaga selama bulan Ramadhan akan mendapat berkah kelak di akhirat nanti.
Saat itu, Aliya menjadi bingung. Ia hanya punya satu kerudung. Itu pun kerudung putih yang sudah menguning hadiah dari almarhum neneknya. Ibunya tidak pernah memberikannya sebuah kerudung, apalagi kerudung merah jambu. Lalu, bagaimana mungkin kerudung yang sudah memudar itu harus dipakainya selama 30 hari?
Pernah terpikir olehnya untuk pergi ke desa tempat almarhum neneknya dulu tinggal. Bermain riang di sawah, mandi di kali yang jernih, dan bercanda dengan burung-burung. Dulu sekali ia pernah diajak ibunya ke desa tersebut, nun jauh dari Kota Jakarta. Pertama kali ia bertemu dengan perempuan tua yang disebut nenek oleh ibunya. Dengan penuh rasa haru, nenek itu merangkulnya dengan erat seolah Aliya sudah lama dinanti-nantikan kedatangannya. Dan ia pun tidak tahu mengapa ibunya begitu menangis dengan sikap neneknya tersebut.
Di desa itu, ia juga sering bertemu dengan perempuan-perempuan berkerudung merah jambu. Berjalan bersama-sama di pematang sawah sambil mengepit kitab suci. Sambil bernyanyi riang mereka melompat menghindari genangan air di tanah saat senja. Aliya sangat merindukan suasana itu. Ia ingin kembali ke sana.
Namun, ia tidak yakin ibunya akan mengajaknya kembali ke desa itu. Lagipula, kata ibunya neneknya sudah meninggal tiga bulan yang lalu tanpa sekalipun mengunjungi makamnya. Ia harus puas tinggal di gang kumuh dan sempit itu, dimana perempuan sangat bebas merokok dan lelaki bertato mudah dijumpai di setiap sudut gang. Ia tidak hafal nama kota. Yang ia tahu hanya Jakarta. Itu ia tidak mengetahui semuanya.
“Kupu-kupu yang lucu, kemana engkau terbang...”
Aliya mencoba bernyanyi layaknya teman-teman sebayanya dulu lakukan di desa. Ia bernyanyi sepanjang jalan, tidak peduli cemoohan orang-orang. Bahkan Nano pun juga menggodanya.
“Cie, Aliya lagi senang ya?” canda Nano.
Aliya tersenyum setiap kali disapa Nano. Akh, Nano yang baik selalu membagi coklatnya kepada Aliya. Di gang itu, hanya Nanolah teman yang akrab dengan Aliya. Sebenarnya, Nano tinggal di kompleks perumahan di seberang gang tersebut, namun kedekatannya dengan Aliya membuatnya betah bermain lama-lama di gang kumuh dan sempit itu.
“Nano punya coklat gak?” tanya Aliya riang.
“Aku selalu punya dong,” Nano pun membagi coklatnya kepada Aliya.
“Nano, Ustad Nur tadi bilang kalau aku harus pakai kerudung selama bulan puasa.”
“Oh ya? Terus gimana?” tanya Nano.
“Tapi... Aku gak punya lagi kerudung. Aku mau kerudung merah jambu,” jawab Aliya lesu.
“Sudah bilang ke ibumu?”
“Sudah, tapi dia diam aja...”
Nano merasa Aliya mau menangis. Ia lebih tua dua tahun dari Aliya. Perbedaan itulah yang menyebabkan Nano menganggap Aliya sebagai adiknya. Adik yang harus ia lindungi, lebih dari sekadar teman bermain.
“Mungkin nanti ibumu beliin kamu, kamu sabar aja ya?” Nano mencoba menghibur Aliya.
Akh, Nano memang bisa menghiburnya. Meskipun masih kecil, tapi Aliya merasakan itu.
***
Sehabis Isya, Aliya melihat ibunya sudah berdandan dan memakai gaun yang super tipis. Di balik buku pelajarannya, Aliya melihat wajah ibunya yang terus memandanginya.
Aliya tidak tahu makna pandangan ibunya, yang ia lihat hanya senyum manis dari bibir merah ibunya sebelum ia pergi bekerja. Di ambang pintu, tiba-tiba Marni terhenti seperti mengingat sesuatu. Diambilnya bungkusan yang tersimpan di meja, dan bergegas kembali ke Aliya.
“Aliya, Ibu mau kamu tambah cantik dengan kerudung merah jambu ini,” kata Marni sambil mengecup kening Aliya yang takmenyangka akan diberi kerudung impiannya.
Belum sempat Aliya mengucap terima kasih, ibunya sudah pergi meninggalkannya.  Betapa bahagianya ia. Inilah kebahagiaan yang begitu dirasakan oleh Aliya. Ibunya yang suka merokok, memaki, dan membentak itu ternyata sangat menyayanginya. Dibukanya bungkusan tersebut. Sebuah kerudung merah jambu yang manis diberikan ibunya. Ingin rasanya ia mengejar ibunya, memeluk tubuhnya dan menangis dalam pelukannya. Namun, ia tahu, ibunya tidak akan suka diperlakukan seperti itu, apalagi di depan semua orang.
Aliya kecil sangat menyayangi ibunya. Ia pun tidak mau membuat ibunya marah gara-gara kesalahannya. Yang ia mau hanya senyum ibunya yang manis seperti tadi. Yang ia mau hanyalah kecupan sayang ibunya untuk menenteramkan hatinya.
Malam semakin bertambah malam, Aliya kecil tertidur pulas dengan mendekap kerudung merah jambu pemberian ibunya. Ia tidur dengan harapan akan bertemu dengan ibunya esok pagi sebelum ia berangkat sekolah. Namun, ibunya takpernah lagi datang padanya. Ia telah menjadi bidadari yang sebenarnya untuk Aliya.



Bandung, 08 Juli 2012

No comments:

Post a Comment