Aku ingin mengucap rindu padamu, setelah itu kau boleh melupakan kenangan tentangku...
Kafe kala senja. Orang-orang datang dan pergi untuk
menikmati senja. Sedang di depan kafe, laut dengan genit bermain dengan pasir
pantai. Orang-orang memesan makanan dan minuman di kafe itu. Ada yang datang
karena lapar, berkumpul bersama keluarga, teman, dan kerabat, hingga sekadar
menikmati senja yang indah. Aku menunggumu, di meja itu, dengan bangku di
depanku yang kelak akan diduduki olehmu.
Ini sudah berapa kali kita bertemu? Hari dimakan kenangan.
Bulan dimakan rindu, dan tahun demi tahun terlewati dengan penuh perasaan.
Seakan hidup adalah mengejar sebuah kenangan. Waktu memang terlampau singkat
bagiku, sebab setiap pertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan. Namun,
setidaknya pertemuan denganmu akan selalu menjadi pertemuan berharga dan selalu
kutunggu saat-saat itu.
Pelayan memberikan menu padaku. Kafe ini memang kafe
langganan kita. Sudah berapa senja kita habiskan di kafe ini. Bercanda dan bercerita
tentang cinta yang tidak pernah tuntas kita bicarakan. Lalu, kita akan selalu
mengulang itu, terus menerus dan takpernah bosan untuk kita ulang kembali. Aku
tahu, pelayan kafe ini pun pasti hafal dengan menu kesukaan kita. Mereka pasti
sudah tahu menu apakah yang sering kita nikmati kala senja seperti ini.
“Pacarnya belum datang, Mas?” tanya pelayan itu dengan
ramah.
“Belum, sebentar lagi sampai,” jawabku.
“Senja di kafe ini memang khusus disediakan untuk pengunjung
sini. Tidak pernah ada senja seindah di kafe ini,” ucapnya.
Aku tersenyum. Perkataan tersebut entah benar atau tidak.
Senja memang indah, tapi apakah benar senja di kafe ini lebih indah dari senja
di luar sana? Kupikir, memang senja di kafe ini selalu terlihat indah. Entah
karena aku melihat senja itu bersamamu, ataukah sebab lain yang tidak
kupikirkan sebelumnya.
“Mbak suka senja ya?” tanyaku.
“Hahaha. Setiap orang pasti bertemu dengan senja. Kalau
orang itu benci senja, ya tinggal saja di planet yang tidak ada senja.”
Aku tertawa mendengar perkataannya. Di kafe ini, segalanya
menjadi serba mungkin. Meja yang berkilauan. Riuh orang-orang yang datang dan
pergi. Para pelayan mengenakan celemek yang terbuat dari sekerat cakrawala
senja. Aku tidak tahu darimana mereka bisa menjahit senja yang demikian indah
itu menjadi sebuah seragam kafe.
Kupesan dua gelas coklat hangat. Kutahu minuman ini adalah
minuman favoritmu. Kau takpernah melewatkan senja yang indah ini tanpa ditemani
oleh secangkir coklat hangat. Kubayangkan bagaimana bibirmu yang tipis itu
menyeruput coklat yang masih mengeluarkan uap panas. Lalu dengan senyum yang
manis, kita akan memulai pembicaraan kita. Apa saja.
Kuingat, terakhir kita berbicara tentang cinta. Wajahmu
kukenang sebagai bagian dari cinta itu. Kita begitu asyik membicarakan apa yang
kata orang adalah anugerah terindah bagi manusia. Kita tertawa, dan selalu
berbicara tentang cinta dari berbagai sisi. Selalu ada sudut pandang yang
menarik untuk kita bicarakan dari cinta. Dan semua itu hanya bersamamu.
“Hayo, ngelamunin apa?”
Suara itu, ya itu adalah suaramu. Bertahun-tahun selalu
kukenang suaramu. Dalam setiap perjalananku, yang kutahu suaramu telah menjelma
menjadi arah untuk mencapai tujuanku. Ya, hanya suaramu. Kulihat wajahmu,
semakin cantik kukira.
“Kau semakin cantik saja, sayang,” godaku.
Kau hanya tersenyum tipis. Aku tahu, gombalanku sudah
terlalu usang buatmu. Akan tetapi, kupikir kebanyakan wanita justru
mengharapkan gombalan-gombalan usang seperti itu.
“Sudah lama nunggu? Maaf tadi di jalan macet.”
“Tidak apa. Pemandangan senja di sini selalu menghapus rasa
bosan,” kataku.
Lalu kita pun memulai kembali petualangan kata-kata kita.
Kita mengembara mengarungi samudera kata dengan tenang dan terarah. Berbicara
tentang hal apapun, bahkan kau sering memintaku menceritakan petualanganku
mengarungi lautan. Aku pelaut, dan kau adalah pendengar setia dari segala
pengalaman-pengalamanku.
“Aku baru pulang dari Alaska,” kataku. “Dan kau harus tahu
orang Eskimo itu baik-baik.”
“Baik-baik bagaimana?”
“Mereka akan menjamu tamu dengan sangat istimewa. Bahkan
budaya mereka menganjurkan untuk mempersilakan istri-istri mereka untuk
menemani tamunya. Kau tahu? Aku sampai harus mencari cara yang halus untuk
menolak penawaran itu, karena aku selalu ingat kamu,” kataku.
Kau tertawa . Renyah sekali.
“Hahaha. Kau kan pelaut. Bukankah pelaut selalu menemukan
cinta setiap kali ia singgah di darat? Dan aku tidak bisa melarang itu karena
kau adalah pelaut. Cinta bagi pelaut adalah cinta yang singkat.”
“Tapi cintaku telah terpaut di sini. Barangkali aku pelaut
yang kesepian. Saat teman-teman yang lain sibuk mencari cinta, aku justru
menguatkan cinta dengan selalu mengirimu kartu pos kemana pun aku pergi. Kau
masih simpan kartu pos dariku kan?”
“Ya, selalu aku simpan. Setiap kali kuterima kartu pos
darimu, aku selalu tahu kemana kau pergi. Arab, Madagaskar, Afrika Selatan,
Maroko, hingga Alaska. Itu kenangan berharga darimu.”
Begitulah, setiap senja, setiap kali aku singgah di kotamu,
kita selalu bertemu di kafe ini. Kita tidak bisa pindah ke kafe lain, karena
kenangan telah banyak tersimpan di kafe ini. Dan setiap senja tiba, kita akan
selalu berbicara tentang cinta, tentang kenangan yang sempat kita timbun selama
aku pergi. Meskipun sebentar, tapi suaramu menggema selalu dalam
dinding-dinding pendengaranku.
***
Aku selalu belajar mencintai laut. Sebab, disanalah
kehidupanku bermula. Mengarungi tujuh lautan dan sembilan samudera. Entah sudah
kali keberapa aku belajar mencintaimu di setiap daratan yang kusinggahi.
Bagiku, laut adalah ayah dari duniaku dan aku harus mengarunginya selama apapun
itu agar kutahu bahwa laut selalu menyimpan lembar masa depan untukku.
Menjadi pelaut memang tidak mudah, salah satunya ialah
sering meninggalkanmu. Aku masih ingat ketika pertama kali kau mengenalku. Aku
pelaut, dan ternyata kau suka dengan profesiku. Lalu pertemuan demi pertemuan
mengalir bagai sungai, bermuara pada sebuah jawaban yaitu kita menjadi sepasang
kekasih yang terpisah oleh lautan. Ketika aku pergi meninggalkanmu melaut untuk
pertama kali, kulihat matamu basah menyimpan kenangan. Sabar, kita pasti
bertemu lagi, ucapku. Dan sejak saat itu, cinta yang seumur jagung itu perlahan
mulai membesar dan terus meluas hingga akhirnya setiap kali aku melihat lautan,
wajahmu yang sendu itu akan selalu terbayang di wajahku.
Kenangan memang tidak pernah bisa dihapus oleh waktu. Ia
selalu ada, meski pikiran tidak mampu mengingatnya lagi. Kukirim kartu pos dan
sedikit cinderamata untukmu agar kau selalu tahu kabarku. Setiap senja tiba,
aku selalu mengingat pertemuan kita, pembicaraan kita, dan cinta kita. Senja di
lautan memang indah, namun selalu ada keperihan kesepian yang hinggap di
benakku. Setiap kali lautan itu bercahaya, nelayan berjuang melawan ombak, dan
matahari yang sebentar lagi tenggelam ke lautan, aku selalu mengingat bagaimana
kau menyukai senja.
“Setiap senja tiba, aku selalu ingin mendengarkan suaramu,”
katamu dulu sebelum aku pergi melaut.
Seindah apapun itu, laut akan tetap menjadi misteri. Aku
tidak bisa menerka pertemuan selanjutnya setiap kali aku pergi melaut. Sebab,
belum tentu dalam perjalanan ini akan bisa kutuntaskan dengan sempurna. Aku
mencintaimu, dan kukira cinta itu menjadi berharga apabila tidak kita bayangkan
secara berlebihan. Aku hanya bisa mengenangmu setiap kali senja tiba di lautan.
“Pergilah, aku selalu sabar menunggu kepulanganmu. Jangan
lupa kirimi kabar setiap kali kau menemui daratan.”
Aku telah berlayar mengarungi lautan dan sembilan samudera.
Ini dunia yang takmemiliki ujung, bagiku. Di hadapanku kini terbentang badai
yang mengoyak kenangan itu. Aku harus berjuang mengalahkan badai ini agar aku
bisa mengirimimu kartu pos di pulau terdekat sana. Para awak sibuk berbenah,
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang timbul akibat badai ini. Baru
kemarin kurasa aku melihat senja yang berkilauan bersamamu. Dan kini, badai
yang angkuh menantang perjalananku ini.
Laut bergemuruh, menggoyangkan kapal yang riuh oleh doa.
Ombak menghantam di beberapa sisi kapal. Bahkan ia nyaris melemparkan salah
satu anak buahku. Cakrawala gelap, angin kencang, hujan menusuk tajam, dan
lautan mengamuk. Samar-samar aku mendengar nyanyianmu di sela-sela gemuruh itu.
Itu adalah nyanyian kerinduanmu. Mungkin, senja ini kau baru selesai mandi dan
rambutmu meruapkan wangi yang memabukkan. Sementara di sini aku harus berjuang
melawan badai dengan sayup-sayup kudengar nyanyianmu.
Nenek moyangku seorang
pelaut, gemar mengarung luas samudera...
Seketika nyanyianmu hilang. Aku kembali dihadapkan pada
ombak setinggi kapal yang siap mengempas. Dimana nyanyianmu itu? aku butuh
suaramu kini, aku butuh semangatmu saat ini, dalam badai dan ombak yang
mengamuk. Kudengar salah seorang awak berteriak padaku.
“Kapten, lambung kapal bocor!”
Perlahan, suaramu kembali muncul, bahkan dapat kudengar
dengan jelas. Bersama dengan suara-suara orang-orang yang berusaha mencari
sekoci dan pelampung. Lalu tiba-tiba ombak yang besar itu menghantam segala
kenangan tentangmu.
***
Di kafe ini, kita kembali
bertemu. Matamu yang bengkak dan airmata yang tak henti mengalir. Senja masih
bersandar pada cakrawala, tenang dan syahdu. Sedang di depan kafe, laut bermain
dengan pasir. Beberapa anak kecil berlari mengejar ombak yang nakal menggoda
kaki mereka. Namun,kau tetap diam, memandang lautan yang terhampar di
hadapanmu. Diam dan resah.
Aku duduk di sampingmu, mencoba
menghibur kesepianmu. Aku tahu, kesepian menjadi begitu perih apabila rindu
menjadi dalam dan semakin meluas. Kulihat di sekitar kita berjuta kenangan
mengendap di lantai, dinding, meja, kursi, langit-langit, bahkan pada makanan dan
minuman yang dipesan. Seorang pelayan datang menghampirimu. Dengan hati-hati ia
menatapmu iba.
“Mbak, barang-barang ini mau
dikemanakan?” tanyanya.
“Buang saja ke laut, aku ingin
barang-barang itu sampai padanya.”
Kulihat bungkusan itu. Ada topi,
seragam, cinderamata, dan kartu pos yang sering kukirimkan padamu. Lalu sepucuk
surat beramplop merah tersimpan rapi di atasnya. Dengan berat, pelayan
mengambil bungkusan itu dan membawanya ke belakang. Ia tidak tahu harus
dikemanakan bungkusan itu. Kalaupun dilarung ke laut, ia takkuasa melarungkan
kenangan manis yang telah tersimpan di sana selama bertahun-tahun.
Kau kembali diam, menatap kosong
dengan sisa-sisa matamu yang basah. Aku duduk di sampingmu, tapi kutahu kau
takbisa melihatku. Aku ingin menyapamu dengan suara lembut lalu kita akan mulai
pembicaraan tentang apa saja. Aku takbisa. Sebab, kenangan telah mengunci
mulutku sehingga aku takmampu lagi berbicara tentang cinta kepadamu.
Lalu perlahan senja menjadi
gelap. Suasana kafe menjadi muram. Senja kesukaanmu telah berakhir, dan aku
takbisa memelukmu.
“Aku ingin mengucap rindu padamu,
setelah itu kau boleh melupakan kenangan tentangku,” ucapku sebelum aku pergi.
Bandung, 15 Agustus
2012
No comments:
Post a Comment