Friday, 17 August 2012

RENDEH, SEPANJANG MEMORABILIA


Ia menatap stasiun yang muram oleh hujan dari balik kaca jendela kereta. Satu jam lagi ia akan sampai di kota kelahirannya, kota dimana segala kenangan mangkal di setiap sudutnya. Mungkin apabila ia kembali lagi, kenangan itu akan ia ambil lalu ia simpan di saku bajunya. Akh, kenangan, siapa yang sudi menghapus kenangan indah yang begitu banyak tersebar dalam ingatan?

Hujan masih menemani perjalanannya semenjak berangkat dari Jakarta. Dan, kini senja mulai menjadi malam. Seharusnya ia bisa menikmati senja yang indah dengan matahari bulat membara. Namun, hujan menyembunyikan segalanya, seakan tahu bahwa setiap kali ia berada di kereta, ia selalu membayangkan bayangan kekasihnya.

Sepasang kekasih berteduh di peron. Keduanya terlihat bahagia menghadapi hujan ini. Ia melihat segalanya dengan jelas dari kaca jendela, meskipun perlahan uap air memburamkan kaca. Ia tahu, kenangan bukan hanya tersebar di kotanya, melainkan di setiap penglihatannya, ia selalu menemukan kenangan itu. Betapa tidak akan pernah tidak menemukan kenangan apabila kenangan tersebut berada di sela-sela garis matanya, sehingga apa yang ia lihat selalu memunculkan kenangan.

Lantas, kemana ia harus menghapus kenangan tersebut? Kenangan kini terlalu perih baginya. Setiap yang dilihatnya, berjuta kenangan seakan siap memuntahkan air matanya. Ia selalu merasakan perihnya sunyi yang ditusuk oleh kenangan itu. Mengapa takpernah habis terurai kenangan tersebut? Pikirnya. Ia ingin mengakhiri segala kegelisahan yang ada. Namun, kenangan itu akan tetap ada. Bayangan wajah kekasihnya tetap selalu membayang di pelupuk mata.


Kereta berhenti terlalu lama di stasiun kecil ini. Kaca jendela yang mulai memburam oleh air hujan, ia seka dengan tisu. Masih samar ia baca papan nama stasiun, “Rendeh +435”. Nama yang tidak begitu asing di telinganya. Ia ingat, nama stasiun kecil ini dulu pernah menjadi awal pertemuan yang indah dengan kekasihnya.

Saat itu, secara tidak sengaja ia duduk di samping lelaki itu. Wajahnya yang teduh perlahan mulai mencuri-curi hatinya. Namun, ia malu untuk mengajak bicara. Sepanjang perjalanan dari stasiun Bandung menuju Jakarta, ia hanya bisa memandang wajah lelaki tersebut yang asyik membaca sebuah buku. Namun, segalanya perlahan mulai menghangat ketika kereta terhenti di stasiun Rendeh.

“Hmm, sudah sampai Rendeh ya?” tanya lelaki tersebut.

“Ya... Rendeh itu daerah mana ya?” jawabnya.

“Kalau tidak salah, Rendeh ini masih daerah Cikalong. Belum sampai Purwakarta. Tapi tahukah kamu kalau nama ‘Rendeh’ itu sebenarnya adalah ‘Rende’?”

“Oh iya, kok bisa ditambah huruf ‘h’?”

“Haha, aku pun tidak tahu sejarahnya. Tapi lucu juga membayangkan orang-orang sudah telanjur menyebut Rende menjadi Rendeh.”

“Haha, kalau Jakarta jadi Jakartah dong?”

“Hahaha...,” tawa lelaki itu mencairkan kebekuan yang sedari tadi ada.

Lalu, pembicaraan pun perlahan mengalir hingga tanpa terasa kereta tiba di Stasiun Jatinegara. Lelaki tersebut turun di sana, sambil taklupa menyerahkan kartu namanya.

“Namaku Dewa, ini kartu namaku. Mungkin kita bisa bertemu di lain hari.”

Tanpa berpikir panjang, wanita itu menerima kartu nama tersebut sambil menyebutkan namanya.

“Aku Mira, aku tunggu pertemuan itu.”

“Haha, mungkin orang Rende akan menyebutmu ‘Mirah’.”

“Dan kau ‘Dewah’, hahaha.”

Dengan tawa yang mengembang, lelaki itu turun dan keluar stasiun. Siapa sangka, dua bulan kemudian mereka berpacaran.

***
Kereta masih tertahan di Stasiun Rendeh. Ia mengingat nama stasiun itu dengan jelas, sejelas janji Dewa yang akan menikahinya bulan depan. Telah mereka siapkan segalanya, mulai dari baju pengantin sampai kartu undangan yang siap kirim. Namun, pertemuan selanjutnya tidak pernah disadari olehnya.

Suatu senja, ia mengantar kekasihnya ke stasiun. Jam 8 malam nanti, Dewa akan bertolak ke Solo untuk memberikan undangan pernikahan kepada eyangnya. Sebenarnya, ia ingin ikut, tapi Dewa melarang dengan alasan kepergiannya hanya sebentar. Ia tidak ingin kehilangan Dewa sebentar saja.

“Kamu baik-baik di sini ya sayang,” ucap Dewa.

“Sebenarnya aku ingin ikut. Aku kangen kamu nanti.”

“Nanti saja kuajaknya. Setelah menikah nanti aku akan mengajakmu kemanapun kamu mau.”

Ia memeluk Dewa dengan erat. Malam memang belum menjelang. Senja masih menghadirkan suasana romantik di stasiun Bandung. Rel yang menjadi berkilau dan kursi peron yang bercahaya keemas-emasan. Ada yang membaca puisi. Ada yang menangis ditinggal pergi. Ada juga yang berfoto dengan latar cakrawala senja. Banyak kekasih yang menyukai senja di stasiun, meskipun sebentar lagi mereka akan berpisah. Seperti dirinya sekarang, ia sangat menikmati senja ini bersama Dewa, meskipun jam 8 nanti Dewa akan meninggalkannya untuk sementara waktu.

“Ini kali pertama kau meninggalkan aku sendiri. Tapi aku suka, setidaknya kangenku semakin bertambah besar.”

Ia pun mengecup kening Dewa, dan Dewa membalasnya. Perlahan, senja mulai turun ke permukaan.  Bunyi kereta api yang bising memudarkan suaranya. Ia hanya bisa melihat gerakan bibirnya yang mengucap sesuatu padanya. Gerakan bibirnya yang lembut, hingga ia selalu membayangkan bahwa bibir tersebut akan habis melumat tubuhnya nanti di malam pertama. Lalu ia pun akan merasakan bagaimana menjadi seorang wanita yang mampu terbang dalam nuansa yang hangat dan membara. Ya, sebulan lagi ia akan merasakan hal itu.
Mereka duduk di kursi peron. Senja telah berganti menjadi malam. Lampu-lampu stasiun mulai menyala. 

Kereta datang dan pergi, ada yang singgah sebentar, lalu pergi lagi. Kehidupan adalah sebuah perjalanan.
Ia bersandar di bahu Dewa. Menikmati cinta yang terbangun kokoh di stasiun ini. Jemari mereka tidak pernah terlepas sedari tadi. Mereka saling berpegangan tangan, memeluk, dan berciuman. Tidak peduli dengan keadaan sekitar, cinta telah mengubah cara berpikir mereka.

“Kau mau dibawakan apa dari Solo?” tanya Dewa.

Ia menggeliat.

“Apa saja. Aku cuma ingin kamu selamat dan kembali lagi ke sini.”

“Aku sayang kamu,” ujar Dewa.

Ucapan itulah yang selalu ditunggu olehnya. Bukan sekadar ucapan yang kosong, tapi ia yakin Dewa tidak pernah main-main dengan cinta. Betapa bahagianya membayangkan sebulan lagi ia akan menjadi seorang wanita yang utuh. Wanita yang menjaga cinta lelakinya. Wanita yang mampu membagi waktu untuk cinta dan rumah tangga. Ia ingin membangunkan Dewa, membuatkan sarapan dan segelas kopi di pagi hari. Membereskan tempat tidur, ruang tengah, ruang tamu, dan pekarangan. Mencuci piring. Berbelanja di pasar. Memasak. Menunggu suami pulang. Mengecup kening suami ketika ia pulang, dan memberinya kehangatan yang takbiasa di ranjang.

Malam perpisahan itu, ia bahagia sekali merasakan kerinduan yang dalam kepada Dewa. Menjelang pukul 8, mereka kembali berpelukan, hangat dan erat.

“Jangan lupa doakan aku,” ujar Dewa.

“Aku akan selalu mendoakanmu. Kamu baik-baik di jalan ya?”

Sudah berapa pasang kekasih yang mengalami perpisahan di stasiun? Malam yang sendu. Bulan yang malu-malu mengintip mereka di sela-sela atap stasiun. Peluit mulai ditiupkan, dan perlahan kereta Lodaya mulai merangkak menuju timur, membawa laki-laki pujaannya ke tempat matahari terbit.

Ia melambaikan tangan ke arah kereta, seperti dalam film-film drama. Sesaat kemudian, kereta mulai menghilang dari pandangannya. Hanya ada sepi dan rindu yang masih bermain di peron, serta kenangan yang masih diingatnya di luar kepala. Ia melangkah pulang dengan wajah yang berseri. Ya, sebulan lagi mereka akan menikah.

Ia bahagia membayangkan bagaimana pernikahan tersebut. Malam semakin bertambah malam. Ia tidak pernah menyangka bahwa kematian selalu lebih dekat dari masa depan. Kereta yang ditumpangi Dewa takpernah sampai di Solo.

***

Ketukan di jendela membuyarkan lamunannya. Segerombolan anak kecil mengetuk-ngetuk jendela berharap penumpang membagi sedikit recehan kepadanya. Hujan sudah menjadi renyai. Kereta masih tertahan di stasiun Rendeh. Membayangkan Dewa adalah surga terindah baginya, meski bayangan pernikahan tersebut tidak pernah terwujud. Baju pengantinnya membisu, dan kekasihnya terlalu cepat meninggalkannya.
Kisah tersebut terjadi tujuh tahun lalu. Namun, ia masih merasakan bagaimana kenangan dan kesepian tersebut terus menusuk-nusuk hatinya. Setiap kali melihat stasiun, ia selalu merasakan bagaimana kenangan tersebut perlahan-lahan bermekaran dan memunculkan wangi kesepian.


Bandung, 17 Agustus 2012
05.30



Sumber foto : di sini

No comments:

Post a Comment