Gambar : di sini
Barangkali, hujan inilah yang mengantarkan segala kenanganku padamu.
Hujan bagai tarian abadi menurunkan
airmata langit yang tidak pernah kering. Siapalah yang bisa membaca bahasa
hujan selain jiwa yang begitu mendayu-dayu? Dan hujan seakan menjadi saksi bisu
bahwa disini aku selalu termangu menatap butir-butir hujan yang jatuh bagai
airmata hingga menjadi genangan. Karena bagiku, segala yang kulihat kala hujan
adalah dirimu, bayang-bayang yang taklekang oleh usia meski zaman telah beranjak
tua dan meniadakan ragamu entah ke mana.
Titik-titik air hujan
menetes di jendela gedung bertingkat dan aku termangu di dalamnya. Tetesan itu
mengalir ditarik gravitasi bumi terus menetes dan jatuh ke bawah. Apakah ia
akan sampai di hatiku? Menjelma butir-butir kerinduan yang selalu membasuh jiwa
yang kusam manakala aku melangkah terlalu jauh ke dalam bayangan kelam. O,
betapa pun dunia telah gemerlap taklagi suram. Kota bermandi cahaya dan aku
tenggelam di dalamnya, tetapi taksatu pun terlihat jejakmu di sana. Kau
melangkah ke mana? Pertanyaan itu entah sampai kapan kuajukan padamu meski
tidak pernah kutemui jawabannya.
Langit hitam. Kota bermandi
cahaya namun terpudari oleh hujan. Sisa-sisa cahaya yang sebelumnya benderang
kini menjadi suram, taklagi memantulkan cahaya yang kemilau. Kaca jendela
menjadi beruap. Lampu ruangan menyala remang saja. AC membisu. Televisi
menyiarkan acara yang tidak terlalu menarik untuk kunikmati. Apakah tidak ada
berita tentangmu di sana? Oladalah, kau kan bukan orang terkenal, mana mungkin
orang sepertimu bisa masuk TV. Kuganti channel namun tetap tak mampu memikatku.
Dengan kesal kumatikan TV dan kubanting remote ke arah karpet. Bunyi “blug”
lembut terdengar meski lemah. Kulihat jam yang berdentang di dinding. Berdentang
duabelas kali. Akh, apakah waktu terlalu cepat berputar dan berlalu begitu saja
tanpa ada makna? Waktu berjalan tanpa makna. Hujan masih membatu di luar sana.
Kulangkahkan kakiku yang mungil menuju wastafel. Air mengalir ketika kubuka
kran. Masihkah ada aromamu di air kran ini? kubasuh wajahku dan tetap tidak
kucium aromamu yang menggetarkan, semacam sinyal semacam irama yang
menghanyutkanku ke dalam jiwamu yang lembut. Dan cermin taklagi memantulkan
ragamu. Hanya ada wajahku yang terlunta-lunta, mata yang bengkak dan pipi yang
semakin kurus. O, betapa merindumu begitu menyiksaku namun tiada lagi yang bisa
kulakukan selain mengharap kedatanganmu kembali di sini.
Tiada suara. Hanya deras
hujan yang lamat-lamat terdengar di luar. Tiada suaramu, dan o! jika kudengar
suaramu hanya menjadi bayangan saja. Tidak pernah kudengar lagi suara nyatamu
di telingaku. Apakah kau akan muncul dari kaca jendela? Haha, jangan ngaco!
Pikirku. Ini lantai limabelas, takmungkin kau akan memanjat mengetuk jendelaku
hanya untuk bertemu denganku. Setidaknya kau berani untuk mengetuk pintu dan
bertatap muka langsung denganku, jika
kau berani dan mampu.
Apakah kau memang mencintaiku?
Aku tidak pernah tahu apa
perasaanmu padaku. Namun aku terlanjur mencintaimu. Hingga kau hilang kini
entah ke mana kau selalu kucintai karena begitulah aku. Mencintai dirimu yang
jelas-jelas kini telah tiada entah kemana. Hujan masih turun dengan deras. Aku
tenggelam dalam lamunan, dalam kerinduan, dalam cinta yang tidak pernah nyata.
Setidaknya, aku selalu memanggilmu untuk kembali ke sini berkali-kali. Apakah
suaraku sampai ke telingamu? Apakah di sana kau juga memanggil namaku
berkali-kali meski tidak pernah kudengar suaramu memanggil namaku di sini. Akh,
aku tidak bisa menerawang sehingga takbisa kulihat apa yang kau lakukan di
sana.
Kesunyian mendera. Malam semakin tua. Hujan
semakin deras. Dan aku semakin tenggelam dalam kesunyian. Ruangan ini terasa
sempit bagiku, penuh dengan bayangan dan kenangan yang tidak bisa hilang meski
telah kubuka jendela kala pagi agar mentari menguapkan segalanya. Tetap tidak
bisa. Bayangan dan kenanganmu begitu lekat di ruangan ini, terlebih dalam
ingatanku. Piano membisu tidak lagi mengalunkan nada. Suara membisu dan
membiru. Kudekati piano, piano yang dulu sering kau mainkan untuk menghibur
kesepianku. Barangkali aku bukan pemain piano yang baik, namun kau begitu
pandai memainkannya untukku. Setidaknya, nadamu bisa menyenangkan,
menggetarkan, memilukan, mendawai mendayu-dayu, menyerap ke dalam ingatan
sehingga selalu kukenang nada itu. Tuts-tuts membisu, tiada yang memainkannya
lagi. Kubuka tutup piano dan kupencet salah satu tuts.
“Ting!”
Entah nada apa itu, yang
jelas aku tidak pandai bermain piano. Namun dalam pikiranku, seribu suara piano
memainkan requiem yang indah. Seribu piano dengan seribu biola, dengan seribu
harpa, dengan seribu flute, dengan seribu xylophone, dengan seribu timpani dan
cello, dalam sebuah resital di panggung pementasan yang megah. O, haruskah aku
bermain piano untuk memanggilmu pulang? Dalam khayalku tersebut, tanpa disadari
aku telah duduk menghadap piano. Mengapa aku melakukan ini? mengapa aku terlalu
merindumu sehingga aku terjebak ke dalam ketaksadaran?
“Ting!”
Jari-jariku memainkan piano
tanpa pernah disadari olehku. Dan samar-samar kuingat suaramu bagaimana ketika
kau bermain piano.
“Ini kunci C.”
Kuikuti bagaimana kau
mempraktikkan kunci tersebut di tuts-tuts yang berdebu. Nada C berbunyi tanpa
pernah tahu bagaimana kelanjutannya.
“Jangan pernah kau memencet
tuts yang bersebelahan. Sebab jika kau memainkan bunyi yang bersebelahan secara
bersamaan. Hasilnya adalah nada sumbang yang mengganggu telinga…”
Jemariku terhenti. Betapa
kuat bayanganmu dalam ingatanku. Adakah yang sudi mencarimu dan membawamu
pulang dalam keadaan utuh? Betapa aku ingin sekali mendengar alunan pianomu
yang menggetarkan itu. Entah sudah berapa lama tak kudengar lagi piano ini
mengalunkan nada yang menggetarkan.
“Kau ingin sekali belajar
piano?”
“Ya, ajarilah aku. Ingin
sekali kumainkan sebuah lagu meski hanya lagu anak-anak.”
“Haha, iya iya. Setiap malam
aku akan mengajarimu, bagaimana?”
“Benarkah?”
“Iya, apa sih yang nggak buat kamu?”
Begitulah, aku selalu
menunggumu setiap malam. Namun kini kau takkunjung datang. Piano ini telah
berdebu, dan aku malas untuk membersihkannya. Aku tidak ingin sidik jarimu
menghilang hanya karena kau membersihkannya. Hujan tidak pernah berhenti dan
malam semakin tua. Barangkali ini sudah menjelang fajar namun aku tidak mampu
terpejam. Aku terlanjur tenggelam dalam bayangan. Aku tidak ingin menjadi lupa
dan hilang segala ketika kupejamkan mataku. Aku masih ingin melihatmu, di sini,
dalam kesunyian kota yang ramai oleh manusia.
Telefon berbunyi. Siapa sih
malam-malam begini menelefonku? Dengan berat kudekati telefon yang berdering
memecah kesunyian. Kuangkat gagang telefon, mencoba menerka siapa yang berani
menelefon selarut begini. Apakah ini telefon darimu? Apakah ini telefon darimu?
Semoga saja, kau masih ingat padaku dan merasakan hal yang sama dengan apa yang
kamu rasakan padaku.
“Halo?” sapaku.
Tidak ada suara di seberang
sana.
“Halo?” kataku mengulangi.
Kembali tidak ada jawaban.
Hanya terdengar desah nafas yang lembut seperti menahan beban yang dalam.
“Halo?”
“Halo? Siapa di sana?”
Hening. Hujan mereda.
“Engkaukah itu?” tanyaku
lirih.
“Aku tahu, ini pasti kau…”
“Bicaralah sayang, sudah
lama kunanti kau kembali padaku…”
Tidak ada jawaban. Hujan
tinggal renyai bercampur embun.
“Kau di mana? Bicaralah.”
“Aku ingin mendengar
suaramu… bicaralah aku tahu ini kau!”
Aku terisak lirih, takkuasa
menahan airmata.
“Aku sayang kamu. Bahkan
melebihi rasa sayang istrimu…”
“Pulanglah padaku, aku ingin
melihatmu sebentar saja. Biarkan aku memelukmu dan setelah itu kau boleh
kembali ke kehidupanmu. Aku hanya singgah di hatimu, tetapi kau telah menetap
di lubuk hatiku.”
Hening, hanya desahan nafas
yang semakin berat kudengar di seberang.
Kumatikan telefon dan aku
tenggelam dalam airmata yang menderai. Tidak bisa kulupakan bagaimana rupamu.
Barangkali aku takut untuk melupakanmu karena kau adalah segalanya. Dentang jam
berbunyi tiga kali. Hujan telah berhenti dan kurasa hawa sangat dingin. Kota
kembali bermandi cahaya dalam keheningan dan kemuraman. Dan piano itu taklagi
mengalunkan nada-nada indah, segala nada telah kaku dalam pikiranku. Betapa kau
tidak punya nyali untuk menemuiku, apa salahnya jika kau meluangkan waktumu
sebentar saja untuk menemuiku dan berkata ‘aku menyayangimu’. Katakan lagi
kalimat tersebut, seperti dulu kau bilang padaku dalam remang antara tubuh dan
jiwa yang berbicara. Dan piano itu menjadi saksi bagaimana kau mengatakan semuanya
padaku. Katakan lagi, sayang. Katakan lagi, betapa sangat
susah bagimu untuk berkata seperti itu lagi padaku.
Pagi buta hendak menjelang,
aku masih terhanyut dalam kesunyian. Mengenang semua yang menjadi luka menjadi
duka. Apa harus airmata menggenangi pipiku untuk mengharap kedatanganmu? Kau
tidak akan datang sampai kapan pun. Dan piano itu tidak akan kembali
mengalunkan nada-nada dari jiwamu yang hangat dan penuh makna. Tidak akan
pernah lagi karena nada-nada telah mati, mati oleh luka dan namamu yang selalu
kuucap dalam tangisan lirih.
Apakah kau memang mencintaiku?
Aku tidak pernah tahu apa
perasaanmu padaku. Namun aku terlanjur mencintaimu.
Detik jam terus beranjak
pergi tanpa bisa kembali ke belakang. Ini sudah pagi, pikirku. Namun apalah
pembeda antara pagi dan malam jika aku terus berada dalam kesepian yang erat?
Apakah pembedanya jika antara malam dan pagi aku tetap tidak bisa menemukan dimana
keberadamu sekarang?
Apakah kau memang mencintaiku?
Aku tidak pernah tahu apa
perasaanmu padaku. Namun aku terlanjur mencintaimu.
Dari dalam kamar kudengar
tangis bayi memecah kesunyian. Anakku bangun mencari kehangatan dan kasih
sayangku. Ia menangis, ingin mencari kehangatan ayahnya yang entah berada dimana
sekarang.
Bandung, 05 Desember 2009
No comments:
Post a Comment