Tuesday, 13 November 2012

Kisah Kecil Tentang Surga


*untuk jiwa-jiwa kecil penghuni surga

I
Aku telah menjadi kunang-kunang di surga, Bu. Setelah kau membuangku beberapa jam setelah aku melihat dunia. Aku tak pernah tahu bahwa dunia itu indah, Bu. Aku hanya tahu dunia itu indah lewat bisikan dan tawa yang sempat kudengar ketika aku masih berada di dalam kandungan.

Ibu, surga yang kini kudiami bagaikan senja yang selalu mempercantik dunia. Bahkan lebih indah dari lempengan emas yang menjadi primadona manusia. Di sini, penghuninya penuh dengan cahaya, harum dan bersih. Tidak ada kesedihan, sebab kesedihan hanya ada di dunia. Tempat dimana dulu kulihat kau hanyut dalam kesedihan yang lara.

“Melinda, maafkan Ibu ya?”


Selebihnya tangis, selebihnya duka. Hanya kata-kata itu yang kudengar terucap dari mulutmu, Bu. Melinda, namaku. Barangkali aku belum pernah mengenal dekat denganmu, Bu. Namun, aku begitu tahu kesedihanmu, ketika perlahan air mata menetes dan jatuh membasahi kain selimutku malam itu. Aku tidak pernah tahu mengapa kau begitu bersedih. Hati kecilku belum bisa menangkap dan mengerti apa yang telah kau alami.

Malam itu, aku ingat hujan yang deras turun sepanjang jalan yang kaulalui. Aku terlelap di pangkuanmu. Hujan yang geram perlahan membangunkan tidurku yang nyenyak. Ini dimana? Pikirku. Aku ingin berkata-kata,bertanya mengapa kau bawa aku saat langit tengah murka malam itu. Namun, baru beberapa jam aku melihat dunia, seketika itu pula kau bawa aku untuk melihat bagaimana langit yang katanya indah namun begitu mencekam saat itu. Ketakutanku akan hujan itu aku ucapkan dengan tangisku. Namun adakah kau mendengar tangisanku sedang hujan dan petir terus memekakkan telingamu?

Kurasakan kau begitu repot memangkuku. Tubuhmu yang lemah sehabis melahirkanku, jahitan yang belum juga kering, dan aku yang masih merah dengan ari-ari yang belum terpotong. Sebuah payung memang melindungiku dari air hujan, namun angin yang kencang berhembus nakal menggigilkan tubuhku. Aku menangis, Bu. Tapi, adakah kau mendengar suaraku?

Rasa dingin yang menusuk itu serupa pisau yang menyayat kulitku. Selimut yang menutupi tubuhku tak mempan melawan angin yang bengis. Malam semakin bertambah malam dan hujan makin bertambah deras. Langkahmu belum juga sampai ke tempat yang kau tuju. Aku sendiri tak pernah tahu akan kemana kau membawaku malam itu sementara tubuhmu yang lemah aku yakin tidak mampu bertahan melawan badai seperti ini.

Langkahmu tiba-tiba membelok ke sebuah bangunan kosong. Gelap dan perlahan tangisku terdengar olehmu. Kau membenahi letak selimutku yang mulai basah oleh angin. Tangisku nyaring dan menggema memantul di dinding bangunan itu. Gelap dan tanpa cahaya. Apakah ini rumahku? Apakah ini tempat kediamanmu, Bu?

“Melinda, maafkan Ibu…”

Tangismu belum juga usai, sementara tangisku semakin menjadi-jadi. Rasa dingin belum juga tergantikan oleh kehangatanmu.

“Semua ini gara-gara lelaki itu!” kudengar kau mulai meracau.

Apa yang kau maksud dengan lelaki, Bu? Apakah ia itu ayahku? Jika iya, dimana ia saat ini? Mengapa ia tak menolong kita yang terjebak di tengah amukan langit?

“Jika saja, aku tidak mengenalnya, barangkali aku tak akan melahirkanmu, sayang. Sungguh, lelaki bangsat itu tidak pernah mau bertanggung jawab. Aku benci dia, aku bunuh dia!” Ibuku semakin menjadi-jadi.

“Hidupku hancur setelah aku melahirkanmu, Melinda. Dan lelaki itu pergi tanpa pernah tahu bagaimana rasanya luka itu menusuk kehidupanku. Kenapa Tuhan, kenapa kau pertemukan aku dengan lelaki itu? Hidup ini rasanya tidak adil bagiku!”

Petir semakin menyambar-nyambar. Hujan dan angin seakan menjadi jawaban Tuhan. Ibuku hanyut dalam airmata yang juga menderas sementara tangisku mencari kehangatanmu tidak jua mengubah sikapmu.
Perlahan kau tatap wajah kecilku. Kau cium keningku untuk mencoba menenangkanmu. Nyaman rasanya kurasa ketika bibirmu mengecup keningku untuk pertama kali. Kecupan hangat dari seorang ibu yang sempat kurasakan di dunia ini. Namun, kecupan itu nyatanya menjadi kecupan terakhir yang kau berikan padaku.
Kau menurunkan aku dari pangkuanmu. Meletakannya di lantai bangunan yang kotor dan jijik. Kilatan cahaya petir sesekali terlihat menerangi bangunan itu. Seekor tikus bercericit di sudut yang gelap. Puluhan kecoa kurasakan berada tidak jauh dari tempatku.

“Maafkan aku, Melinda. Ibu harus membuangmu. Ibu takmau menanggung malu hanya karena melahirkanmu. Maafkan aku…,” perlahan kau bangkit meninggalkanku. Sendiri dalam gelap dan ancaman malam.

“Ibu jangan tinggalkan aku bu! Jangan tinggalkan aku!!!” teriakku lewat tangis yang sedari tadi kukeluarkan.
Di ujung bangunan, kau pandangi aku sekali lagi. Namun, gelap. Aku tidak bisa melihat wajahmu. Gelap dan dingin. Tikus-tikus perlahan mulai mendekatiku.

“Maafkan aku…” kau pun kembali menerobos hujan. Entah kemana. Perlahan tangisku melemah dan hilang sama sekali.

II
Bunda, apa kabarmu di sana? Aku tahu, dunia yang kau diami tidak seindah surga yang kudiami kini. Sungai susu mengalir di sepanjang waktu, segar dan enak. Bidadari cantik selalu menghiburku, mengajakku terbang menjelajahi tanah surga yang tiada terkira indahnya. Dan aku kini bisa terbang Bunda, sebab aku punya sayap yang terbuat dari doamu. Doa yang selalu teralun sepanjang waktu.

Bunda, aku rindu belaian tanganmu. Walaupun aku hanya ditakdirkan melihat wajahmu sebentar saja, aku senang sebab kau lebih cantik dari bidadari yang selalu menghiburku. Tidak sampai 24 jam aku melihatmu. Senyum yang selalu mengembang meski tubuhmu rapuh dan berjuang melawan kematian yang akrab dengan kehidupanmu. Namun, Tuhan sayang padamu. Ia mengujimu lewat kematianku, anak semata wayang yang sedari dulu kau dambakan kehadirannya.

“Ayu… namamu Ayu, cantik kan?” ujarmu pelan di telingaku.

Aku mendengar suaramu seperti aku mendengar nyanyian bunga-bunga. Mengalun seirama detak waktu yang terus merambat maju. Kau ambil tubuh mungilku dari inkubator, menggendongku sambil bernyanyi riang meskipun aku tahu luka bekas kelahiranku belum juga kering. Kau bahagia, sekaligus merana. Kesedihan memang berbanding tipis dengan kebahagiaan.

Seorang perempuan berbaju putih menghampirimu. Ia membantu menahan sambil mengelus kepalaku. Lalu kau pun menangis lirih di hadapannya. Aku tidak tahu mengapa kau menangis begtu lirih melihat keadaanku?
“Semua ini adalah ujian dari Sang Pencipta,” ujarnya sambil melingkarkan tangannya di bahumu.

Tak beberapa lama kemudian, seorang lelaki bergegas menghampirimu. Dialah ayahku yang tengah resah menanti kelahiranku. Dilihatnya sosokku yang masih lemah dan mencari kehangatan di pelukan Bunda.

“Inikah anakku?” Tanya Ayah.

Sambil membopong Bunda kembali ke tempat tidurnya, Ayah takhenti-henti mengucap istigfar. Bunda dengan tenang memberikan puting susunya kepadaku. Aku pun meminum ASI dari tubuhnya, cairan yang akan menjadi tolok ukur kehidupanku apabila aku ditakdirkan hidup lebih lama. Ayah memandang Ibu dengan penuh haru.

“Namanya Ayu, dia cantik kan?” jawab Ibu sampai membelai lembut kepalaku.

“Hati-hati, jangan terlalu keras membelainya,” perempuan berbaju serba putih itu mengingatkan.

Ayah terdiam, memandang kosong kepadaku. Takhenti-henti ia mengucap doa untuk keselamatanku. Ibu masih tenang, mencoba tegar menghadapi semuanya. Menghadapi kenyataan yang tidak pernah mereka sangka sebelumnya.

Ayah pun berbicara dengan perempuan berbaju putih itu. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas karena aku sibuk meminum ASI punya Bunda. Sesekali Ayah menangis dan perempuan berbaju putih itu menenangkannya.

“Harapan hidupnya tidak lama,” ujar perempuan berbaju putih itu lirih.

Aku taktahu apa yang kualami. Hanya saja, kepalaku berat dan penuh dengan cairan. Bunda bersenandung menghiburku, mencoba mengalihkan pendengaranku. Aku pun terlena dengan nyanyiannya. Dunia begitu indah ketika Bunda bernyanyi.

“Kalau tetap hidup, kepalanya akan terus membesar. Ia terkena Hydrocephallus. Harus segera dioperasi.”

Ibu semakin menguatkan nyanyiannya dan aku pun terus menyedot ASI. Namun, perlahan-lahan ruangan menjadi benderang oleh cahaya. Udara menjadi harum dan segar. Sayup-sayup seseorang memanggil namaku yang diberikan oleh Bunda.

“Ayu… Ayu…,” seseorang itu memanggil namaku, lembut sekali.

Aku menghentikan minumku. Tiba-tiba aku merasa menjadi dewasa saat ini. Aku bisa bangun dan berjalan menuju seseorang yang memanggilku. Tubuhnya penuh dengan cahaya, dan di punggungnya sepasang sayap yang indah membelai wajahku.

“Ayu, ikut yuk!”

Aku pun dibawa terbang oleh makhluk itu, jauh meninggalkan Bunda, meninggalkan Ayah, dan meninggalkan dunia yang baru saja kunikmati dengan indah.

III
“Maaf bu, kami harus menggugurkan kandungan Anda. Ini demi keselamatan Ibu juga.”

Aku tidak pernah mengenal dunia. Aku hanya mendengar suara-suara yang terucap di dunia. Bahkan mungkin aku tidak diberi kesempatan untuk melihat dunia. Kudengar ibu menangis sambil mengelus-ngelus ruang-ruang kehidupanku.

Aku adalah anak pertama ibu. Namun, rahimnya terlalu lemah untuk melahirkanku, sehingga mau tidak mau aku pun harus dikorbankan agar keselamatan ibu tetap terjaga. Sebenarnya, ibu bersikeras untuk melahirkanku meskipun kematian akan menjemputnya. Sayang, dokter berkata lain.

Begitulah, aku ditakdirkan tercipta ke dunia tanpa pernah merasakan bagaimana dunia tersebut. Aku hanya mendengar suara-suara yang selama ini membahagiakanku. Aku mendengar bagaimana alunan orkestra yang indah didengarkan di dinding-dinding dunia kecilku. Aku pun merasakan lembutnya belaian ibu yang selalu mengelus dinding-dinding tersebut setiap kali ibu ingat kepadaku.

Jika aku lahir nanti, ibu akan menamaiku Senja, sebab ibu sangat menyukai langit senja. Baginya, senja itu adalah waktu dimana kesedihan mengendap lalu tergantikan oleh kebahagiaan dan kenangan yang indah. Ibu menyukai senja, sebab senja ialah kenangan dimana ia pertama kali bertemu dengan Ayah. Aku mengetahui semua sebab Ibu sering menceritakan perasaan tersebut saat ia sedang mengelus-elus kandungannya.

Sayang, aku tak ditakdirkan melihat wajah Ibu. Dan Ibu juga belum sempat memberikan nama Senja itu kepadaku. Aku tahu, ibu pasti bersedih dengan keputusan ini. Andai ia tahu, nama Senja itu tetap melekat kepadaku. Sebab kini, aku lebih indah dari senja yang selalu membuat ibu bahagia. Aku lebih bercahaya dari senja, Bu. Sebab, di surgaNya, manusia akan lebih indah dari senja.


Bandung, 13 November 2012

No comments:

Post a Comment