*untuk jiwa-jiwa kecil penghuni surga
Aku telah menjadi kunang-kunang di surga, Bu. Setelah kau
membuangku beberapa jam setelah aku melihat dunia. Aku tak pernah tahu bahwa
dunia itu indah, Bu. Aku hanya tahu dunia itu indah lewat bisikan dan tawa yang
sempat kudengar ketika aku masih berada di dalam kandungan.
Ibu, surga yang kini kudiami bagaikan senja yang selalu
mempercantik dunia. Bahkan lebih indah dari lempengan emas yang menjadi
primadona manusia. Di sini, penghuninya penuh dengan cahaya, harum dan bersih.
Tidak ada kesedihan, sebab kesedihan hanya ada di dunia. Tempat dimana dulu
kulihat kau hanyut dalam kesedihan yang lara.
“Melinda, maafkan Ibu ya?”
Selebihnya tangis, selebihnya duka. Hanya kata-kata itu yang
kudengar terucap dari mulutmu, Bu. Melinda, namaku. Barangkali aku belum pernah
mengenal dekat denganmu, Bu. Namun, aku begitu tahu kesedihanmu, ketika
perlahan air mata menetes dan jatuh membasahi kain selimutku malam itu. Aku
tidak pernah tahu mengapa kau begitu bersedih. Hati kecilku belum bisa
menangkap dan mengerti apa yang telah kau alami.
Malam itu, aku ingat hujan yang deras turun sepanjang jalan
yang kaulalui. Aku terlelap di pangkuanmu. Hujan yang geram perlahan
membangunkan tidurku yang nyenyak. Ini dimana? Pikirku. Aku ingin
berkata-kata,bertanya mengapa kau bawa aku saat langit tengah murka malam itu.
Namun, baru beberapa jam aku melihat dunia, seketika itu pula kau bawa aku
untuk melihat bagaimana langit yang katanya indah namun begitu mencekam saat itu.
Ketakutanku akan hujan itu aku ucapkan dengan tangisku. Namun adakah kau
mendengar tangisanku sedang hujan dan petir terus memekakkan telingamu?
Kurasakan kau begitu repot memangkuku. Tubuhmu yang lemah
sehabis melahirkanku, jahitan yang belum juga kering, dan aku yang masih merah
dengan ari-ari yang belum terpotong. Sebuah payung memang melindungiku dari air
hujan, namun angin yang kencang berhembus nakal menggigilkan tubuhku. Aku
menangis, Bu. Tapi, adakah kau mendengar suaraku?
Rasa dingin yang menusuk itu serupa pisau yang menyayat
kulitku. Selimut yang menutupi tubuhku tak mempan melawan angin yang bengis.
Malam semakin bertambah malam dan hujan makin bertambah deras. Langkahmu belum
juga sampai ke tempat yang kau tuju. Aku sendiri tak pernah tahu akan kemana
kau membawaku malam itu sementara tubuhmu yang lemah aku yakin tidak mampu
bertahan melawan badai seperti ini.
Langkahmu tiba-tiba membelok ke sebuah bangunan kosong.
Gelap dan perlahan tangisku terdengar olehmu. Kau membenahi letak selimutku yang
mulai basah oleh angin. Tangisku nyaring dan menggema memantul di dinding
bangunan itu. Gelap dan tanpa cahaya. Apakah ini rumahku? Apakah ini tempat
kediamanmu, Bu?
“Melinda, maafkan Ibu…”
Tangismu belum juga usai, sementara tangisku semakin
menjadi-jadi. Rasa dingin belum juga tergantikan oleh kehangatanmu.
“Semua ini gara-gara lelaki itu!” kudengar kau mulai
meracau.
Apa yang kau maksud dengan lelaki, Bu? Apakah ia itu ayahku?
Jika iya, dimana ia saat ini? Mengapa ia tak menolong kita yang terjebak di
tengah amukan langit?
“Jika saja, aku tidak mengenalnya, barangkali aku tak akan
melahirkanmu, sayang. Sungguh, lelaki bangsat itu tidak pernah mau bertanggung
jawab. Aku benci dia, aku bunuh dia!” Ibuku semakin menjadi-jadi.
“Hidupku hancur setelah aku melahirkanmu, Melinda. Dan
lelaki itu pergi tanpa pernah tahu bagaimana rasanya luka itu menusuk
kehidupanku. Kenapa Tuhan, kenapa kau pertemukan aku dengan lelaki itu? Hidup
ini rasanya tidak adil bagiku!”
Petir semakin menyambar-nyambar. Hujan dan angin seakan
menjadi jawaban Tuhan. Ibuku hanyut dalam airmata yang juga menderas sementara
tangisku mencari kehangatanmu tidak jua mengubah sikapmu.
Perlahan kau tatap wajah kecilku. Kau cium keningku untuk
mencoba menenangkanmu. Nyaman rasanya kurasa ketika bibirmu mengecup keningku
untuk pertama kali. Kecupan hangat dari seorang ibu yang sempat kurasakan di
dunia ini. Namun, kecupan itu nyatanya menjadi kecupan terakhir yang kau
berikan padaku.
Kau menurunkan aku dari pangkuanmu. Meletakannya di lantai
bangunan yang kotor dan jijik. Kilatan cahaya petir sesekali terlihat menerangi
bangunan itu. Seekor tikus bercericit di sudut yang gelap. Puluhan kecoa
kurasakan berada tidak jauh dari tempatku.
“Maafkan aku, Melinda. Ibu harus membuangmu. Ibu takmau
menanggung malu hanya karena melahirkanmu. Maafkan aku…,” perlahan kau bangkit
meninggalkanku. Sendiri dalam gelap dan ancaman malam.
“Ibu jangan tinggalkan aku bu! Jangan tinggalkan aku!!!”
teriakku lewat tangis yang sedari tadi kukeluarkan.
Di ujung bangunan, kau pandangi aku sekali lagi. Namun,
gelap. Aku tidak bisa melihat wajahmu. Gelap dan dingin. Tikus-tikus perlahan
mulai mendekatiku.
“Maafkan aku…” kau pun kembali menerobos hujan. Entah
kemana. Perlahan tangisku melemah dan hilang sama sekali.
II
Bunda, apa kabarmu di sana? Aku
tahu, dunia yang kau diami tidak seindah surga yang kudiami kini. Sungai susu
mengalir di sepanjang waktu, segar dan enak. Bidadari cantik selalu
menghiburku, mengajakku terbang menjelajahi tanah surga yang tiada terkira
indahnya. Dan aku kini bisa terbang Bunda, sebab aku punya sayap yang terbuat
dari doamu. Doa yang selalu teralun sepanjang waktu.
Bunda, aku rindu belaian
tanganmu. Walaupun aku hanya ditakdirkan melihat wajahmu sebentar saja, aku
senang sebab kau lebih cantik dari bidadari yang selalu menghiburku. Tidak
sampai 24 jam aku melihatmu. Senyum yang selalu mengembang meski tubuhmu rapuh
dan berjuang melawan kematian yang akrab dengan kehidupanmu. Namun, Tuhan
sayang padamu. Ia mengujimu lewat kematianku, anak semata wayang yang sedari
dulu kau dambakan kehadirannya.
“Ayu… namamu Ayu, cantik kan?”
ujarmu pelan di telingaku.
Aku mendengar suaramu seperti aku
mendengar nyanyian bunga-bunga. Mengalun seirama detak waktu yang terus
merambat maju. Kau ambil tubuh mungilku dari inkubator, menggendongku sambil
bernyanyi riang meskipun aku tahu luka bekas kelahiranku belum juga kering. Kau
bahagia, sekaligus merana. Kesedihan memang berbanding tipis dengan
kebahagiaan.
Seorang perempuan berbaju putih
menghampirimu. Ia membantu menahan sambil mengelus kepalaku. Lalu kau pun
menangis lirih di hadapannya. Aku tidak tahu mengapa kau menangis begtu lirih
melihat keadaanku?
“Semua ini adalah ujian dari Sang
Pencipta,” ujarnya sambil melingkarkan tangannya di bahumu.
Tak beberapa lama kemudian,
seorang lelaki bergegas menghampirimu. Dialah ayahku yang tengah resah menanti
kelahiranku. Dilihatnya sosokku yang masih lemah dan mencari kehangatan di
pelukan Bunda.
“Inikah anakku?” Tanya Ayah.
Sambil membopong Bunda kembali ke
tempat tidurnya, Ayah takhenti-henti mengucap istigfar. Bunda dengan tenang
memberikan puting susunya kepadaku. Aku pun meminum ASI dari tubuhnya, cairan
yang akan menjadi tolok ukur kehidupanku apabila aku ditakdirkan hidup lebih
lama. Ayah memandang Ibu dengan penuh haru.
“Namanya Ayu, dia cantik kan?”
jawab Ibu sampai membelai lembut kepalaku.
“Hati-hati, jangan terlalu keras
membelainya,” perempuan berbaju serba putih itu mengingatkan.
Ayah terdiam, memandang kosong
kepadaku. Takhenti-henti ia mengucap doa untuk keselamatanku. Ibu masih tenang,
mencoba tegar menghadapi semuanya. Menghadapi kenyataan yang tidak pernah
mereka sangka sebelumnya.
Ayah pun berbicara dengan
perempuan berbaju putih itu. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas karena aku
sibuk meminum ASI punya Bunda. Sesekali Ayah menangis dan perempuan berbaju
putih itu menenangkannya.
“Harapan hidupnya tidak lama,”
ujar perempuan berbaju putih itu lirih.
Aku taktahu apa yang kualami.
Hanya saja, kepalaku berat dan penuh dengan cairan. Bunda bersenandung
menghiburku, mencoba mengalihkan pendengaranku. Aku pun terlena dengan
nyanyiannya. Dunia begitu indah ketika Bunda bernyanyi.
“Kalau tetap hidup, kepalanya
akan terus membesar. Ia terkena Hydrocephallus.
Harus segera dioperasi.”
Ibu semakin menguatkan
nyanyiannya dan aku pun terus menyedot ASI. Namun, perlahan-lahan ruangan
menjadi benderang oleh cahaya. Udara menjadi harum dan segar. Sayup-sayup
seseorang memanggil namaku yang diberikan oleh Bunda.
“Ayu… Ayu…,” seseorang itu
memanggil namaku, lembut sekali.
Aku menghentikan minumku.
Tiba-tiba aku merasa menjadi dewasa saat ini. Aku bisa bangun dan berjalan
menuju seseorang yang memanggilku. Tubuhnya penuh dengan cahaya, dan di
punggungnya sepasang sayap yang indah membelai wajahku.
“Ayu, ikut yuk!”
Aku pun dibawa terbang oleh
makhluk itu, jauh meninggalkan Bunda, meninggalkan Ayah, dan meninggalkan dunia
yang baru saja kunikmati dengan indah.
III
“Maaf bu, kami harus menggugurkan
kandungan Anda. Ini demi keselamatan Ibu juga.”
Aku tidak pernah mengenal dunia.
Aku hanya mendengar suara-suara yang terucap di dunia. Bahkan mungkin aku tidak
diberi kesempatan untuk melihat dunia. Kudengar ibu menangis sambil
mengelus-ngelus ruang-ruang kehidupanku.
Aku adalah anak pertama ibu.
Namun, rahimnya terlalu lemah untuk melahirkanku, sehingga mau tidak mau aku
pun harus dikorbankan agar keselamatan ibu tetap terjaga. Sebenarnya, ibu
bersikeras untuk melahirkanku meskipun kematian akan menjemputnya. Sayang,
dokter berkata lain.
Begitulah, aku ditakdirkan
tercipta ke dunia tanpa pernah merasakan bagaimana dunia tersebut. Aku hanya
mendengar suara-suara yang selama ini membahagiakanku. Aku mendengar bagaimana
alunan orkestra yang indah didengarkan di dinding-dinding dunia kecilku. Aku
pun merasakan lembutnya belaian ibu yang selalu mengelus dinding-dinding
tersebut setiap kali ibu ingat kepadaku.
Jika aku lahir nanti, ibu akan
menamaiku Senja, sebab ibu sangat menyukai langit senja. Baginya, senja itu
adalah waktu dimana kesedihan mengendap lalu tergantikan oleh kebahagiaan dan
kenangan yang indah. Ibu menyukai senja, sebab senja ialah kenangan dimana ia
pertama kali bertemu dengan Ayah. Aku mengetahui semua sebab Ibu sering
menceritakan perasaan tersebut saat ia sedang mengelus-elus kandungannya.
Sayang, aku tak ditakdirkan
melihat wajah Ibu. Dan Ibu juga belum sempat memberikan nama Senja itu
kepadaku. Aku tahu, ibu pasti bersedih dengan keputusan ini. Andai ia tahu,
nama Senja itu tetap melekat kepadaku. Sebab kini, aku lebih indah dari senja
yang selalu membuat ibu bahagia. Aku lebih bercahaya dari senja, Bu. Sebab, di
surgaNya, manusia akan lebih indah dari senja.
Bandung, 13 November
2012
No comments:
Post a Comment