Setiap senja tiba, ibu selalu duduk di beranda rumah.
Mengamati bunga-bunga yang tumbuh subur di halaman rumah. Orang-orang yang
berlalu lalang di depan rumah selalu menyapanya dan ibu pun akan membalas
sapaan mereka sambil tersenyum. Manis sekali. Terkadang ibu pun mengamati
anak-anak yang berlarian di pematang sawah, beberapa meter di hadapan rumahku.
Ada yang mengejar layangan, atau bermain kucing-kucingan.
Langit senja berwarna jingga. Matahari yang bulat membara
seakan sudah tahu bahwa setiap kali senja tiba, ibu akan selalu menyambutnya layaknya
tamu karib yang lama tidak berjumpa.
Setiap senja tiba, ibu selalu meminum teh. Secangkir teh
tubruk yang diseduh oleh air panas. Ibu tidak pernah suka teh celup. Baginya,
teh celup menghilangkan kualitas dari teh itu sendiri. Teh menjadi tidak alami
dan banyak tercampur zat kimia. Aku pernah membelikannya satu kotak teh celup
merk terkenal untuk ibu, namun ibu menolaknya secara halus dengan alasan ia
sudah gandrung mencintai teh tubruk.
Ibu akan selalu menikmati senja dengan penuh suka cita.
Terkadang apabila tidak ada kesibukan, aku selalu menemani ibu duduk-duduk di
beranda, berbincang tentang apa saja. Tentang harga bahan pokok yang semakin
naik, minyak tanah yang sudah langka, hingga masalah percintaan.
“Ibu tahu kalau kamu lagi naksir sama Asih,” Ibu tersenyum
sambil membelai kepalaku.
Aku tertunduk malu. Aku selalu saja menjadi biang gosip di
sekolah, hanya karena dulu aku pernah membonceng Asih ketika pulang sekolah.
Sialnya, teman-temanku melihat adegan tersebut dan—kau tahu—esoknya satu
sekolah ramai bergosip tentang diriku. Ah, bahkan ibu pun sudah tahu. Ini pasti
gara-gara ulah teman-temanku!
“Ibu senang kok lihat kamu suka sama perempuan. Tapi, ingat
jangan berbuat macam-macam,” ibu menyentil hidungku.
“Ah ibu itu kan hanya gosip saja,” aku mencoba membela.
Ibu tertawa. Sambil minum tehnya, ibu menceritakan kisahnya
sewaktu pertama kali bertemu dengan mendiang ayahku. Aku melihat ekspresi
bahagia ibu apabila ia mengenang percintaannya dulu. Ia menceritakan bagaimana
dulu ia pernah dimarahi oleh kakekku karena membolos mengaji untuk sekadar
bertemu Ayah. Aku melihat keceriaan ibu manakala Ayah dulu melamarnya dengan
tingkah yang lugu. Selalu apabila ibu menceritakan hal-hal tersebut, aku sering
melihat wajah ibu begitu bahagia.
Ibu begitu mencintai
Ayah. Sayang, Ayah terlalu cepat meninggalkan kami. Secepat senja yang terlalu
cepat berubah menjadi malam.
***
Setiap senja tiba, ibu selalu
duduk di beranda rumah terkadang sambil menjelujur pakaian. Dengan senandung
yang sering ia nyanyikan, aku mendengar nyanyian ibu yang menenteramkan jiwa.
Seperti senja yang mendamaikan semesta,bagiku ibu adalah senja yang mendamaikan
semesta kehidupanku.
Usianya taklagi muda. Rambut yang
memutih dan wajah yang berkeriput. Ibu pun taklagi kuat menahan hawa dingin senja
di Kaliurang. Matanya pun sudah tidak awas lagi saat memasukkan benang ke dalam
lubang jarum. Namun, kebiasaannya duduk di beranda ketika senja sambil minum
teh tubruk tidak pernah ditinggalkan.
Di rumah ini, aku hanya tinggal
berdua dengan ibu. Semenjak kematian Ayah setahun yang lalu, Ibu mencoba
bertahan dan membiayai sekolahku dengan menjahit pakaian dan membuat kue. Ibu
juga selalu meminta Kadir, tetangga sebelah untuk mengurus sawah peninggalan
Ayahku. Alhamdulillah, rezeki Ibu selalu dimudahkan. Aku bisa menyelesaikan
jenjang sekolahku berkat kerja keras ibu selama ini.
Hari ini adalah hari kelulusanku.
Betapa bahagianya aku. Kerja keras selama ini akhirnya terbayar sudah dan aku
lulus dengan nilai ujian tertinggi di sekolahku. Kabar gembira ini ingin
kurayakan bersama Ibu. Kubelikan sekotak teh tubruk untuk kita seduh bersama.
“Bagaimana, kamu lulus?” tanya
Ibu.
“Aku lulus bu, terima kasih
doanya,” Aku bersimpuh di kaki ibu, menangis sejadi-jadinya.
Ibu pun lalu mengangkat wajahku.
Senyumnya yang manis di wajahnya yang keriput adalah cerminan ketabahannya
selama ini.
“Alhamdulillah, Ibu senang lihat
kamu lulus. Semoga kamu bisa membahagiakan ibu terus,” ibu mengecup keningku.
Kurasakan ciumannya yang hangat dan damai.
Senja itu, kami merayakan
kebahagiaan ini dengan menikmati teh bersama. Ibu pun takkalah bahagianya. Hari
ini semua kue buatannya dipesan oleh Ibu Dibyo, Ketua PKK desa kami, untuk
konsumsi rapat di balai desa. Alhasil, ibu pun takperlu menitipkan kuenya di
warung-warung. Untung yang diterimanya lumayan banyak juga.
“Ibu mau kamu teruskan sekolahmu.
Ibu mau kamu jadi sarjana,” kata Ibu.
Aku berpikir, universitas mana
yang akan aku masuki nanti? Sekilas timbul keinginan untuk melanjutkan sekolah
di Jakarta. Sebab, teman-teman yang lain pun memiliki keinginan yang sama.
Namun, apakah ibu akan mengizinkannya?
“Aku mau kuliah di Jakarta bu,
bareng teman-teman,” kataku.
Ibu terdiam menghela nafas.
Sejenak pandangannya ia lepas jauh ke Gunung Merapi. Dua ekor burung jalak
terbang melintas dengan cepat, berlomba mencapai sarangnya sebelum senja
menjadi malam.
“Kenapa ndak kamu teruskan saja di Jogja? Kan di sini juga kampusnya ndak kalah bagus tho?”
Sejenak aku berpikir, benar juga
apa yang dikatakan Ibu. Lagipula, kalau aku kuliah di Jakarta, siapa yang
menemani Ibu? Siapa yang akan menemani Ibu menikmati senja? Tapi, keinginan
untuk pergi ke Jakarta sangat kuat. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya
kuliah di Universitas terkenal di negara ini.
“Bu, maaf jika aku mesti memilih
ini. Tapi, jujur aku ingin kuliah di sana. Sejak sekolah dulu aku sudah
bercita-cita ingin kuliah di Jakarta, dan aku sudah telanjur janji dengan
teman-temanku kalau lulus nanti kita akan pergi ke Jakarta,” aku mencoba
mencari bahasa sehalus mungkin.
Ibu masih terdiam, keceriaannya
yang sebelumnya ada, kini perlahan menghilang. Ibu meneguk tehnya yang
mendingin. Tersirat kekhawatiran di wajahnya yang berubah sendu. Senja pun
meremang secara perlahan.
Tentu saja ibu khawatir kepadaku.
Hidup di Jakarta bukan perkara mudah, apalagi bagi orang yang baru pertama kali
menginjak sana. Namun, hal itulah yang ingin kurasakan saat ini. Mempertaruhkan
nasib di kota orang, apakah masih tetap dengan niat semula, yakni menuntut
ilmu, ataukah mencari kesenangan lainnya.
“Jogja itu kota yang cocok buat
kamu, Dimas,” ibu berusaha membujukku.
“Aku tahu bu, tapi aku ingin
sekali kuliah di sana. Soal biaya, biar Dimas cari sendiri,” Aku membelai
tangan ibu.
“Jangan nak, biar ibu saja yang
biayai kuliah kamu. Ibu masih punya sawah untuk biaya kuliahmu, ibu juga masih
punya warisan dari mendiang ayahmu. Jangan, biar ibu saja yang biayai kamu.”
“Tapi bu...”
“Wis wis, kalau kamu mau kuliah di Jakarta terserah. Cuma, pesan ibu
jangan pernah kamu melupakan ibu di sini,” sahut Ibu sambil meletakkan
cangkirnya.
Apa yang mesti kukatakan kepada
Ibu? Berterimakasihkah atau mesti meminta maaf? Ibu adalah satu-satunya wanita
hebat yang kumiliki. Meski sudah tua, ia masih mampu mengerti perasaan anaknya.
Meski berat, ibu tahu sifatku. Sifat keras yang tidak bisa diubah.
“Kamu seperti ayahmu. Bila sudah
ada maunya, pasti akan tetap dipertahankan.”
Di sisa-sisa senja aku memeluk
ibu. Kurasakan air matanya jatuh mengalir di bahuku. Memang berat melepaskanku
untuk menuntut ilmu di Jakarta. Namun, ibu percaya, semangatku untuk menuntut
ilmu tidak akan pernah padam.
“Jadilah laki-laki yang kuat,”
begitu pesan Ibu sebelum senja benar-benar lenyap.
***
Lempuyangan suatu senja.
Hujan menyambut kedatanganku
kembali ke kota ini. Kota yang sempat aku tinggalkan. Kota yang menyimpan
kenangan masa kecilku, dan juga ibu. Ibu yang beberapa waktu lalu sempat
kutinggal untuk belajar di Jakarta. Namun, belum genap sebulan pasca
kepergianku, sebuah kabar yang cukup mengejutkan kuterima.
Ibu meninggal di saat aku tepat
menjadi mahasiswa baru. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa ibu akan
terkena serangan jantung. Selama ini ia takpernah mengeluh apa-apa, bahkan
sekadar pilek pun ia takpernah. Atau mungkinkah ibu sengaja menyembunyikannya
dariku?
Sepanjang perjalanan
Jakarta-Jogja aku menangis mengenang senyumnya, tawanya, hingga mengenang
hangat kecupannya. Aku teringat bagaimana wajahnya yang resah saat melepasku
pergi di stasiun Lempuyangan 2 minggu yang lalu.
Hujan cukup deras senja ini. Tak
ada lagi ibu yang duduk di beranda sambil menikmati teh dan bernyanyi merdu.
Perlahan air mata serupa hujan, membasahi kenangan.
Bandung, 20 september
2012
No comments:
Post a Comment