Friday, 21 September 2012

Ada yang Hilang Saat Senja Tiba




Setiap senja tiba, ibu selalu duduk di beranda rumah. Mengamati bunga-bunga yang tumbuh subur di halaman rumah. Orang-orang yang berlalu lalang di depan rumah selalu menyapanya dan ibu pun akan membalas sapaan mereka sambil tersenyum. Manis sekali. Terkadang ibu pun mengamati anak-anak yang berlarian di pematang sawah, beberapa meter di hadapan rumahku. Ada yang mengejar layangan, atau bermain kucing-kucingan.

Langit senja berwarna jingga. Matahari yang bulat membara seakan sudah tahu bahwa setiap kali senja tiba, ibu akan selalu menyambutnya layaknya tamu karib yang lama tidak berjumpa.


Setiap senja tiba, ibu selalu meminum teh. Secangkir teh tubruk yang diseduh oleh air panas. Ibu tidak pernah suka teh celup. Baginya, teh celup menghilangkan kualitas dari teh itu sendiri. Teh menjadi tidak alami dan banyak tercampur zat kimia. Aku pernah membelikannya satu kotak teh celup merk terkenal untuk ibu, namun ibu menolaknya secara halus dengan alasan ia sudah gandrung mencintai teh tubruk.

Ibu akan selalu menikmati senja dengan penuh suka cita. Terkadang apabila tidak ada kesibukan, aku selalu menemani ibu duduk-duduk di beranda, berbincang tentang apa saja. Tentang harga bahan pokok yang semakin naik, minyak tanah yang sudah langka, hingga masalah percintaan.

“Ibu tahu kalau kamu lagi naksir sama Asih,” Ibu tersenyum sambil membelai kepalaku.

Aku tertunduk malu. Aku selalu saja menjadi biang gosip di sekolah, hanya karena dulu aku pernah membonceng Asih ketika pulang sekolah. Sialnya, teman-temanku melihat adegan tersebut dan—kau tahu—esoknya satu sekolah ramai bergosip tentang diriku. Ah, bahkan ibu pun sudah tahu. Ini pasti gara-gara ulah teman-temanku!

“Ibu senang kok lihat kamu suka sama perempuan. Tapi, ingat jangan berbuat macam-macam,” ibu menyentil hidungku.

“Ah ibu itu kan hanya gosip saja,” aku mencoba membela.

Ibu tertawa. Sambil minum tehnya, ibu menceritakan kisahnya sewaktu pertama kali bertemu dengan mendiang ayahku. Aku melihat ekspresi bahagia ibu apabila ia mengenang percintaannya dulu. Ia menceritakan bagaimana dulu ia pernah dimarahi oleh kakekku karena membolos mengaji untuk sekadar bertemu Ayah. Aku melihat keceriaan ibu manakala Ayah dulu melamarnya dengan tingkah yang lugu. Selalu apabila ibu menceritakan hal-hal tersebut, aku sering melihat wajah ibu begitu bahagia.

 Ibu begitu mencintai Ayah. Sayang, Ayah terlalu cepat meninggalkan kami. Secepat senja yang terlalu cepat berubah menjadi malam.
***
Setiap senja tiba, ibu selalu duduk di beranda rumah terkadang sambil menjelujur pakaian. Dengan senandung yang sering ia nyanyikan, aku mendengar nyanyian ibu yang menenteramkan jiwa. Seperti senja yang mendamaikan semesta,bagiku ibu adalah senja yang mendamaikan semesta kehidupanku.

Usianya taklagi muda. Rambut yang memutih dan wajah yang berkeriput. Ibu pun taklagi kuat menahan hawa dingin senja di Kaliurang. Matanya pun sudah tidak awas lagi saat memasukkan benang ke dalam lubang jarum. Namun, kebiasaannya duduk di beranda ketika senja sambil minum teh tubruk tidak pernah ditinggalkan.

Di rumah ini, aku hanya tinggal berdua dengan ibu. Semenjak kematian Ayah setahun yang lalu, Ibu mencoba bertahan dan membiayai sekolahku dengan menjahit pakaian dan membuat kue. Ibu juga selalu meminta Kadir, tetangga sebelah untuk mengurus sawah peninggalan Ayahku. Alhamdulillah, rezeki Ibu selalu dimudahkan. Aku bisa menyelesaikan jenjang sekolahku berkat kerja keras ibu selama ini.

Hari ini adalah hari kelulusanku. Betapa bahagianya aku. Kerja keras selama ini akhirnya terbayar sudah dan aku lulus dengan nilai ujian tertinggi di sekolahku. Kabar gembira ini ingin kurayakan bersama Ibu. Kubelikan sekotak teh tubruk untuk kita seduh bersama.

“Bagaimana, kamu lulus?” tanya Ibu.

“Aku lulus bu, terima kasih doanya,” Aku bersimpuh di kaki ibu, menangis sejadi-jadinya.

Ibu pun lalu mengangkat wajahku. Senyumnya yang manis di wajahnya yang keriput adalah cerminan ketabahannya selama ini.

“Alhamdulillah, Ibu senang lihat kamu lulus. Semoga kamu bisa membahagiakan ibu terus,” ibu mengecup keningku. Kurasakan ciumannya yang hangat dan damai.

Senja itu, kami merayakan kebahagiaan ini dengan menikmati teh bersama. Ibu pun takkalah bahagianya. Hari ini semua kue buatannya dipesan oleh Ibu Dibyo, Ketua PKK desa kami, untuk konsumsi rapat di balai desa. Alhasil, ibu pun takperlu menitipkan kuenya di warung-warung. Untung yang diterimanya lumayan banyak juga.

“Ibu mau kamu teruskan sekolahmu. Ibu mau kamu jadi sarjana,” kata Ibu.

Aku berpikir, universitas mana yang akan aku masuki nanti? Sekilas timbul keinginan untuk melanjutkan sekolah di Jakarta. Sebab, teman-teman yang lain pun memiliki keinginan yang sama. Namun, apakah ibu akan mengizinkannya?

“Aku mau kuliah di Jakarta bu, bareng teman-teman,” kataku.

Ibu terdiam menghela nafas. Sejenak pandangannya ia lepas jauh ke Gunung Merapi. Dua ekor burung jalak terbang melintas dengan cepat, berlomba mencapai sarangnya sebelum senja menjadi malam.

“Kenapa ndak kamu teruskan saja di Jogja? Kan di sini juga kampusnya ndak kalah bagus tho?”

Sejenak aku berpikir, benar juga apa yang dikatakan Ibu. Lagipula, kalau aku kuliah di Jakarta, siapa yang menemani Ibu? Siapa yang akan menemani Ibu menikmati senja? Tapi, keinginan untuk pergi ke Jakarta sangat kuat. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya kuliah di Universitas terkenal di negara ini.

“Bu, maaf jika aku mesti memilih ini. Tapi, jujur aku ingin kuliah di sana. Sejak sekolah dulu aku sudah bercita-cita ingin kuliah di Jakarta, dan aku sudah telanjur janji dengan teman-temanku kalau lulus nanti kita akan pergi ke Jakarta,” aku mencoba mencari bahasa sehalus mungkin.

Ibu masih terdiam, keceriaannya yang sebelumnya ada, kini perlahan menghilang. Ibu meneguk tehnya yang mendingin. Tersirat kekhawatiran di wajahnya yang berubah sendu. Senja pun meremang secara perlahan.
Tentu saja ibu khawatir kepadaku. Hidup di Jakarta bukan perkara mudah, apalagi bagi orang yang baru pertama kali menginjak sana. Namun, hal itulah yang ingin kurasakan saat ini. Mempertaruhkan nasib di kota orang, apakah masih tetap dengan niat semula, yakni menuntut ilmu, ataukah mencari kesenangan lainnya.

“Jogja itu kota yang cocok buat kamu, Dimas,” ibu berusaha membujukku.

“Aku tahu bu, tapi aku ingin sekali kuliah di sana. Soal biaya, biar Dimas cari sendiri,” Aku membelai tangan ibu.

“Jangan nak, biar ibu saja yang biayai kuliah kamu. Ibu masih punya sawah untuk biaya kuliahmu, ibu juga masih punya warisan dari mendiang ayahmu. Jangan, biar ibu saja yang biayai kamu.”

“Tapi bu...”

Wis wis, kalau kamu mau kuliah di Jakarta terserah. Cuma, pesan ibu jangan pernah kamu melupakan ibu di sini,” sahut Ibu sambil meletakkan cangkirnya.

Apa yang mesti kukatakan kepada Ibu? Berterimakasihkah atau mesti meminta maaf? Ibu adalah satu-satunya wanita hebat yang kumiliki. Meski sudah tua, ia masih mampu mengerti perasaan anaknya. Meski berat, ibu tahu sifatku. Sifat keras yang tidak bisa diubah.

“Kamu seperti ayahmu. Bila sudah ada maunya, pasti akan tetap dipertahankan.”

Di sisa-sisa senja aku memeluk ibu. Kurasakan air matanya jatuh mengalir di bahuku. Memang berat melepaskanku untuk menuntut ilmu di Jakarta. Namun, ibu percaya, semangatku untuk menuntut ilmu tidak akan pernah padam.

“Jadilah laki-laki yang kuat,” begitu pesan Ibu sebelum senja benar-benar lenyap.

***
Lempuyangan suatu senja.

Hujan menyambut kedatanganku kembali ke kota ini. Kota yang sempat aku tinggalkan. Kota yang menyimpan kenangan masa kecilku, dan juga ibu. Ibu yang beberapa waktu lalu sempat kutinggal untuk belajar di Jakarta. Namun, belum genap sebulan pasca kepergianku, sebuah kabar yang cukup mengejutkan kuterima.

Ibu meninggal di saat aku tepat menjadi mahasiswa baru. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa ibu akan terkena serangan jantung. Selama ini ia takpernah mengeluh apa-apa, bahkan sekadar pilek pun ia takpernah. Atau mungkinkah ibu sengaja menyembunyikannya dariku?

Sepanjang perjalanan Jakarta-Jogja aku menangis mengenang senyumnya, tawanya, hingga mengenang hangat kecupannya. Aku teringat bagaimana wajahnya yang resah saat melepasku pergi di stasiun Lempuyangan 2 minggu yang lalu.

Hujan cukup deras senja ini. Tak ada lagi ibu yang duduk di beranda sambil menikmati teh dan bernyanyi merdu. Perlahan air mata serupa hujan, membasahi kenangan.



Bandung, 20 september 2012

No comments:

Post a Comment