Usianya sudah tua, sekitar 65 tahun. Namun, ia masih dipercaya untuk menjadi penjaga Taman Buru Masigit Kareumbi sekaligus menjadi penanggung jawab dalam kegiatan “Wali Pohon”, program konservasi penanaman lahan di sekitar gunung Masigit, Kareumbi. Siapa nyana, di usianya yang menjelang senja ia masih aktif mengonservasi lahan rusak untuk menjadi hutan kembali.
Siang itu, udara Taman Buru Masigit Kareumbi cukup dingin.
Matahari malu-malu mengintip di sela-sela pohon pinus. Saya bersama rombongan
dari Fakultas Teknologi Industri Pertanian (FTIP) Unpad berencana akan
melakukan kegiatan penanaman 400 pohon di kawasan tersebut, tepatnya di Kampung
Cimulu Desa Pengerenan, Kecamatan Limbangan, Garut, sekitar 4 kilometer dari
pintu masuk Taman Kareumbi.
Seorang bapak tua menyambut kami setibanya di sana.
Senyumnya yang hangat khas orang pribumi yang terkenal dengan citra ramahnya. Meskipun
sudah tua, tubuhnya masih tegap dan sehat. Tidak tampak sedikit pun tanda-tanda
“penyakit tua” yang tampak pada dirinya.
Bapak tua tersebut bernama Yudi Al Wahyu, atau masyarakat
sekitar biasa memanggilnya Abah Ayud. Sambil bercerita tentang lokasi yang akan
menjadi tempat penanaman pohon kami, ia pun bersiap-siap menaiki Land Rover tua
tahun 1960 miliknya. “Mobil saya kosong, barangkali ada yang mau ikut naik
mobil saya?” tanyanya ramah.
Tanpa pikir panjang, saya pun langsung membuka pintu mobil
dan duduk di samping Abah. Menaiki Land Rover memang menjadi keunikan
tersendiri. Betapa tidak, mobil yang telah dirancang khusus untuk jalan berbatu
dan terjal ini cocok dijadikan kendaraan untuk mengantar kami menuju tempat
konservasi. Jalan terjal dan licin serta hutan yang menghiasi pinggiran jalan
memang menjadi daya tarik untuk merasakannya lewat Land Rover.
Sebelumnya saya sempat sangsi, mampukah Abah yang usianya
telah lanjut tersebut masih mampu mengendalikan laju mobil si “tua bangka”
tersebut? Ditambah lagi, bukan hanya saya saja yang ikut naik, namun mahasiswa
pun ikut naik dengan menumpang di bagasi dan duduk di atap mobil. Total
penumpang yang ikut berjumlah 8 orang. “Tenang saja, asal pegangan biar gak
jatuh,” ujar Abah meyakinkan.
Jalan yang terjal mau tidak mau mengocok perut juga.
Sayangnya, saya ingin merasakan hal yang lebih menantang lagi, yakni duduk di
atap mobil. Namun, urung dilakukan mengingat penumpang yang duduk di atap sudah
banyak. Sambil menikmati perjalanan yang mengocok perut, saya pun ngobrol dengan
Abah yang memang seseorang yang enak diajak berbicara. Perjalanan yang meskipun
hanya berjarak 4 kilometer tapi dengan kondisi jalan seperti itu mau tidak mau
harus diimbangi dengan kesadaran yang penuh.
“Sudah lama pak menjadi petugas di sini?” tanya saya membuka
pertanyaan.
“Wah, saya dari kecil sudah tinggal di sini. Tahun 1965 saya
masuk Wanadri dan sejak 2 tahun yang lalu saya dipercaya untuk mengurus Taman
Nasional ini,” kata Abah seraya membanting setir untuk menghindari kubangan
lumpur.
Lalu Abah pun bercerita mengenai program konservasi lahan
yang digagas oleh Wanadri ini. Beliau menuturkan, sebelumnya, hutan-hutan di
Kawasan Kareumbi masih terjaga dengan baik. Pasca gejolak reformasi 14 tahun
yang lalu, masyarakat sekitar banyak melakukan klain sepihak terhadap area
hutan-hutan sehingga aksi eksploitasi lahan besar-besaran pun dilakukan.
Kawasan hutan yang dulunya rimbun tersebut akhirnya menjadi kawasan ladang yang
ditanami berbagai macam tanaman palawija. Sayangnya, masyarakat pascapanen
tidak mereboisasi area tersebut sehingga lahan pun menjadi gundul dan kritis.
Abah Ayud, sebagai warga asli Kampung Cimulu yang juga
seorang anggota Wanadri sadar bahwa kelangsungan hidup manusia sepenuhnya
bergantung pada alam. Berdasarkan data yang dimiliki oleh pengelola Taman
Kareumbi, sekitar 750 hektar lahan di kawasan tersebut merupakan lahan kritis
akibat penebangan besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat. Apabila
dibiarkan, kerusakan hutan tersebut akan meluas sehingga mengancam
biodiversitas di kawasan tersebut.
Oleh karena itu, Wanadri dan Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA) Jawa Barat sebagai pengelola taman tersebut berupaya untuk
melakukan reforestasi. Namun, upaya tersebut tentunya membutuhkan dana yang
tidak sedikit. Partisipasi aktif dari pihak luar, dalam hal ini adalah publik
merupakan upaya yang baik untuk mendukung program yang bernama “Wali Pohon”
tersebut.
Sejak tahun 2008, program tersebut telah berjalan dan banyak
pihak/instansi turut terlibat dalam kegiatan tersebut. Dengan memberikan
peluang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat umum untuk berpartisipasi,
sekitar 30 hektar lahan telah selesai dikonservasi. Bahkan, luas lahan untuk
direlokasi pun meluas menjadi 2000 hektar lahan.
Abah Ayud sendiri yang turun langsung merawat dan mengamati
perkembangan dari setiap pohon yang telah ditanami. Dibantu dengan beberapa
pekerja yang berasal dari desa sekitar, setiap hari Abah Ayud merawat,
memonitor hingga melaporkan perkembangannya kepada pihak donatur. Hal ini
merupakan upaya lanjutan yang menjadi bagian dari program “Wali Pohon” ini
sehingga keberlangsungan dari suatu pohon yang ditanam tetap terjaga.
“Setiap tahun saya memberikan laporan kepada pihak donatur
mengenai perkembangan pohon yang telah ditanam. Misalnya, dari 100 pohon yang
ditanam, berapa pohon yang hidup dan berapa pohon yang mati itu laporannya
pasti ada,” ujar Abah.
Satu bibit pohon yang akan ditanam dihargai sebesar 50 ribu
rupiah. Jenisnya pun merupakan jenis endemik daerah Kareumbi seperti, Manglid,
Rasamala, Puspa, Kisireum, Kicangkudu, dan tanaman rimba lainnya. Uniknya,
setiap pohon yang ditanam diberi nama sesuai dengan nama donatur yang
memberikan. “Apabila pohon tersebut mati, kami akan melaporkan langsung kepada
donaturnya,” lanjut Abah.
Tindak lanjut dari pelaporan tersebut, Abah pun menunggu persetujuan
dari pihak donatur apakah pohon tersebut akan diganti atau tidak. Sejauh ini,
sudah banyak instansi baik negeri maupun swasta ikut berpartisipasi merimbakan
kawasan kritis Kareumbi. FTIP Unpad sendiri pun telah menanam sekitar 400 bibit
pohon di area seluas 100 hektar. “Tahun depan kami rencanakan akan menanam lagi
sekitar 1000 bibit pohon di area tersebut,” ujar Dekan FTIP Unpad, Ir. Mimin
Muhaemin, M.Eng., Ph.D.
Sebagai perawat sekaligus penanggung jawab lapangan program
Wali Pohon, banyak kendala yang dihadapi saat merawat pohon-pohon tersebut.
Pertama, beliau mengakui bahwa jumlah SDM perawat terbilang sangat sedikit.
Abah hanya mempekerjakan orang-orang di desa terdekat untuk merawat
pohon-pohon. Sebenarnya, bisa saja mempekerjakan orang-orang dari luar, namun
karena akses jalan menuju Taman Kareumbi sangat sulit dan lokasinya yang
terlalu jauh, Abah pun hanya bergantung sepenuhnya pada kesadaran orang-orang
desa untuk kembali menanam lahan hutan setelah dibabati habis-habisan.
“Saya mah lebih senang
mempekerjakan orang-orang sini biar membuka juga lapangan kerja,” ujarnya.
Kendala lain adalah faktor cuaca yang tidak menentu.
Seringkali Abah harus gigit jari ketika hujan menghalangi kegiatan perawatan
ataupun penanaman. Sebab, cuaca paling baik untuk menanam pohon adalah ketika
hari cerah atau tidak hujan. “Di sini pun masih banyak satwa-satwa, seperti
halnya macam tutul dan monyet Jawa. Terkadang juga mereka menjadi kendala bagi
kami,” tambahnya.
Lahir, besar, dan hidup di Kampung Cimulu, kampung terujung
di Taman Buru Masigit Kareumbi memang suatu kebanggaan bagi Abah. Kampung yang
telah ada sejak zaman Belanda ini sejak dulu hanya didiami sekitar 10 kepala
keluarga saja. Ini diakibatkan letak kampung yang terpencil sehingga membuat
sebagian generasi muda kampung tersebut “hijrah” dan bekerja di kampung
terdekat ataupun di kota. Abah sendiri telah malang melintang hidup di Kota
Bandung, hingga akhirnya kembali ke Kampung Cimulu dan merawat lahan-lahan yang
ada. Baginya, bekerja di alam adalah kebanggaan. Sejak dulu pun Abah sudah
akrab dengan alam, terutama saat ia bergabung dengan Wanadri.
“Menjaga alam itu sudah menjadi the way of life bagi Abah, sehingga pekerjaan pun tidak jauh-jauh
dari alam,” ungkap Abah.
Abah pun berharap agar masyarakat pun dapat ikut
berpartisipasi menjaga kelestarian alam. Oleh karena itu, Abah pun mengajak
seluruh pihak untuk ikut berpartisipasi dalam program Wali Pohon ini. Dengan
mengikuti program semacam itu, masyarakat juga turut menjadi bagian dalam
melestarikan hutan sehingga lama kelamaan pun masyarakat akan mempunyai rasa
memiliki terhadap alam. Dengan sendirinya, masyarakat pun akan menjaga
lingkungannya apabila telah mempunyai rasa tersebut.
“Begitu mudahnya kita nebang, tapi begitu susahnya kita
menanam,” ujar Abah mengakhiri pembicaraan.
Tanpa terasa, siang di lereng Gunung Masigit itu perlahan
bergerak menuju sore. Kami pun kembali ke mobil masing-masing dan bersiap-siap
untuk pulang. Perbincangan hangat dengan Abah menyadarkan saya bahwa alam
semesta sampai kapanpun akan selalu memberikan manfaat kepada kita. Dengan
turut menjaganya, kita telah menjadi bagian dari alam dan segala kesombongan
yang melekat dalam diri pun luluh dan tak berdaya. Inilah alam, karunia Tuhan
yang harus selalu kita jaga.
Land Rover tua pun siap untuk mengantar kami pulang. Kali
ini saya duduk di atap agar bisa bersentuhan langsung dengan alam sembari
memikirkan petualangan apa lagi yang akan dihadapi.
Bandung, 16 Desember
2012
No comments:
Post a Comment