Saturday, 15 December 2012

Abah Ayud, “Begitu Mudahnya Menebang, Begitu Susahnya Menanam”



Usianya sudah tua, sekitar 65 tahun. Namun, ia masih dipercaya untuk menjadi penjaga Taman Buru Masigit Kareumbi sekaligus menjadi penanggung jawab dalam kegiatan “Wali Pohon”, program konservasi penanaman lahan di sekitar gunung Masigit, Kareumbi. Siapa nyana, di usianya yang menjelang senja ia masih aktif mengonservasi lahan rusak untuk menjadi hutan kembali.

Siang itu, udara Taman Buru Masigit Kareumbi cukup dingin. Matahari malu-malu mengintip di sela-sela pohon pinus. Saya bersama rombongan dari Fakultas Teknologi Industri Pertanian (FTIP) Unpad berencana akan melakukan kegiatan penanaman 400 pohon di kawasan tersebut, tepatnya di Kampung Cimulu Desa Pengerenan, Kecamatan Limbangan, Garut, sekitar 4 kilometer dari pintu masuk Taman Kareumbi.
Seorang bapak tua menyambut kami setibanya di sana. Senyumnya yang hangat khas orang pribumi yang terkenal dengan citra ramahnya. Meskipun sudah tua, tubuhnya masih tegap dan sehat. Tidak tampak sedikit pun tanda-tanda “penyakit tua” yang tampak pada dirinya.


Bapak tua tersebut bernama Yudi Al Wahyu, atau masyarakat sekitar biasa memanggilnya Abah Ayud. Sambil bercerita tentang lokasi yang akan menjadi tempat penanaman pohon kami, ia pun bersiap-siap menaiki Land Rover tua tahun 1960 miliknya. “Mobil saya kosong, barangkali ada yang mau ikut naik mobil saya?” tanyanya ramah.

Tanpa pikir panjang, saya pun langsung membuka pintu mobil dan duduk di samping Abah. Menaiki Land Rover memang menjadi keunikan tersendiri. Betapa tidak, mobil yang telah dirancang khusus untuk jalan berbatu dan terjal ini cocok dijadikan kendaraan untuk mengantar kami menuju tempat konservasi. Jalan terjal dan licin serta hutan yang menghiasi pinggiran jalan memang menjadi daya tarik untuk merasakannya lewat Land Rover.

Sebelumnya saya sempat sangsi, mampukah Abah yang usianya telah lanjut tersebut masih mampu mengendalikan laju mobil si “tua bangka” tersebut? Ditambah lagi, bukan hanya saya saja yang ikut naik, namun mahasiswa pun ikut naik dengan menumpang di bagasi dan duduk di atap mobil. Total penumpang yang ikut berjumlah 8 orang. “Tenang saja, asal pegangan biar gak jatuh,” ujar Abah meyakinkan.

Jalan yang terjal mau tidak mau mengocok perut juga. Sayangnya, saya ingin merasakan hal yang lebih menantang lagi, yakni duduk di atap mobil. Namun, urung dilakukan mengingat penumpang yang duduk di atap sudah banyak. Sambil menikmati perjalanan yang mengocok perut, saya pun ngobrol dengan Abah yang memang seseorang yang enak diajak berbicara. Perjalanan yang meskipun hanya berjarak 4 kilometer tapi dengan kondisi jalan seperti itu mau tidak mau harus diimbangi dengan kesadaran yang penuh.

“Sudah lama pak menjadi petugas di sini?” tanya saya membuka pertanyaan.

“Wah, saya dari kecil sudah tinggal di sini. Tahun 1965 saya masuk Wanadri dan sejak 2 tahun yang lalu saya dipercaya untuk mengurus Taman Nasional ini,” kata Abah seraya membanting setir untuk menghindari kubangan lumpur.

Lalu Abah pun bercerita mengenai program konservasi lahan yang digagas oleh Wanadri ini. Beliau menuturkan, sebelumnya, hutan-hutan di Kawasan Kareumbi masih terjaga dengan baik. Pasca gejolak reformasi 14 tahun yang lalu, masyarakat sekitar banyak melakukan klain sepihak terhadap area hutan-hutan sehingga aksi eksploitasi lahan besar-besaran pun dilakukan. Kawasan hutan yang dulunya rimbun tersebut akhirnya menjadi kawasan ladang yang ditanami berbagai macam tanaman palawija. Sayangnya, masyarakat pascapanen tidak mereboisasi area tersebut sehingga lahan pun menjadi gundul dan kritis.

Abah Ayud, sebagai warga asli Kampung Cimulu yang juga seorang anggota Wanadri sadar bahwa kelangsungan hidup manusia sepenuhnya bergantung pada alam. Berdasarkan data yang dimiliki oleh pengelola Taman Kareumbi, sekitar 750 hektar lahan di kawasan tersebut merupakan lahan kritis akibat penebangan besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat. Apabila dibiarkan, kerusakan hutan tersebut akan meluas sehingga mengancam biodiversitas di kawasan tersebut.

Oleh karena itu, Wanadri dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat sebagai pengelola taman tersebut berupaya untuk melakukan reforestasi. Namun, upaya tersebut tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Partisipasi aktif dari pihak luar, dalam hal ini adalah publik merupakan upaya yang baik untuk mendukung program yang bernama “Wali Pohon” tersebut.

Sejak tahun 2008, program tersebut telah berjalan dan banyak pihak/instansi turut terlibat dalam kegiatan tersebut. Dengan memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat umum untuk berpartisipasi, sekitar 30 hektar lahan telah selesai dikonservasi. Bahkan, luas lahan untuk direlokasi pun meluas menjadi 2000 hektar lahan.

Abah Ayud sendiri yang turun langsung merawat dan mengamati perkembangan dari setiap pohon yang telah ditanami. Dibantu dengan beberapa pekerja yang berasal dari desa sekitar, setiap hari Abah Ayud merawat, memonitor hingga melaporkan perkembangannya kepada pihak donatur. Hal ini merupakan upaya lanjutan yang menjadi bagian dari program “Wali Pohon” ini sehingga keberlangsungan dari suatu pohon yang ditanam tetap terjaga.

“Setiap tahun saya memberikan laporan kepada pihak donatur mengenai perkembangan pohon yang telah ditanam. Misalnya, dari 100 pohon yang ditanam, berapa pohon yang hidup dan berapa pohon yang mati itu laporannya pasti ada,” ujar Abah.

Satu bibit pohon yang akan ditanam dihargai sebesar 50 ribu rupiah. Jenisnya pun merupakan jenis endemik daerah Kareumbi seperti, Manglid, Rasamala, Puspa, Kisireum, Kicangkudu, dan tanaman rimba lainnya. Uniknya, setiap pohon yang ditanam diberi nama sesuai dengan nama donatur yang memberikan. “Apabila pohon tersebut mati, kami akan melaporkan langsung kepada donaturnya,” lanjut Abah.

Tindak lanjut dari pelaporan tersebut, Abah pun menunggu persetujuan dari pihak donatur apakah pohon tersebut akan diganti atau tidak. Sejauh ini, sudah banyak instansi baik negeri maupun swasta ikut berpartisipasi merimbakan kawasan kritis Kareumbi. FTIP Unpad sendiri pun telah menanam sekitar 400 bibit pohon di area seluas 100 hektar. “Tahun depan kami rencanakan akan menanam lagi sekitar 1000 bibit pohon di area tersebut,” ujar Dekan FTIP Unpad, Ir. Mimin Muhaemin, M.Eng., Ph.D.

Sebagai perawat sekaligus penanggung jawab lapangan program Wali Pohon, banyak kendala yang dihadapi saat merawat pohon-pohon tersebut. Pertama, beliau mengakui bahwa jumlah SDM perawat terbilang sangat sedikit. Abah hanya mempekerjakan orang-orang di desa terdekat untuk merawat pohon-pohon. Sebenarnya, bisa saja mempekerjakan orang-orang dari luar, namun karena akses jalan menuju Taman Kareumbi sangat sulit dan lokasinya yang terlalu jauh, Abah pun hanya bergantung sepenuhnya pada kesadaran orang-orang desa untuk kembali menanam lahan hutan setelah dibabati habis-habisan.

“Saya mah lebih senang mempekerjakan orang-orang sini biar membuka juga lapangan kerja,” ujarnya.

Kendala lain adalah faktor cuaca yang tidak menentu. Seringkali Abah harus gigit jari ketika hujan menghalangi kegiatan perawatan ataupun penanaman. Sebab, cuaca paling baik untuk menanam pohon adalah ketika hari cerah atau tidak hujan. “Di sini pun masih banyak satwa-satwa, seperti halnya macam tutul dan monyet Jawa. Terkadang juga mereka menjadi kendala bagi kami,” tambahnya.

Lahir, besar, dan hidup di Kampung Cimulu, kampung terujung di Taman Buru Masigit Kareumbi memang suatu kebanggaan bagi Abah. Kampung yang telah ada sejak zaman Belanda ini sejak dulu hanya didiami sekitar 10 kepala keluarga saja. Ini diakibatkan letak kampung yang terpencil sehingga membuat sebagian generasi muda kampung tersebut “hijrah” dan bekerja di kampung terdekat ataupun di kota. Abah sendiri telah malang melintang hidup di Kota Bandung, hingga akhirnya kembali ke Kampung Cimulu dan merawat lahan-lahan yang ada. Baginya, bekerja di alam adalah kebanggaan. Sejak dulu pun Abah sudah akrab dengan alam, terutama saat ia bergabung dengan Wanadri.

“Menjaga alam itu sudah menjadi the way of life bagi Abah, sehingga pekerjaan pun tidak jauh-jauh dari alam,” ungkap Abah.

Abah pun berharap agar masyarakat pun dapat ikut berpartisipasi menjaga kelestarian alam. Oleh karena itu, Abah pun mengajak seluruh pihak untuk ikut berpartisipasi dalam program Wali Pohon ini. Dengan mengikuti program semacam itu, masyarakat juga turut menjadi bagian dalam melestarikan hutan sehingga lama kelamaan pun masyarakat akan mempunyai rasa memiliki terhadap alam. Dengan sendirinya, masyarakat pun akan menjaga lingkungannya apabila telah mempunyai rasa tersebut.

“Begitu mudahnya kita nebang, tapi begitu susahnya kita menanam,” ujar Abah mengakhiri pembicaraan.

Tanpa terasa, siang di lereng Gunung Masigit itu perlahan bergerak menuju sore. Kami pun kembali ke mobil masing-masing dan bersiap-siap untuk pulang. Perbincangan hangat dengan Abah menyadarkan saya bahwa alam semesta sampai kapanpun akan selalu memberikan manfaat kepada kita. Dengan turut menjaganya, kita telah menjadi bagian dari alam dan segala kesombongan yang melekat dalam diri pun luluh dan tak berdaya. Inilah alam, karunia Tuhan yang harus selalu kita jaga.

Land Rover tua pun siap untuk mengantar kami pulang. Kali ini saya duduk di atap agar bisa bersentuhan langsung dengan alam sembari memikirkan petualangan apa lagi yang akan dihadapi.

Bandung, 16 Desember 2012

No comments:

Post a Comment