Aku bayangkan seandainya aku adalah John Lennon, maka aku
akan menutup diri terhadap dunia dan menghabiskan waktu menjadi petani gandum
saja. Tidak bertemu dengan Paul, George, dan Ringo untuk mendirikan The
Beatles. Mengapa aku berpikiran seperti itu? Karena aku takmau hidupku berakhir
di ujung pistol seseorang yang barangkali tergila-gila padaku namun ternyata ia
sakit jiwa.
Di senja yang selalu mendung ini aku selalu membayangkan
bisa pergi ke New York dan mengunjungi apartemen Dakota, tempat di mana John
Lennon mengembuskan napas terkahirnya di tangan Mark David Chapman. Empat biji
peluru tepat mengenai tubuhnya, tubuh siapa yang mempan ditembus dengan empat
peluru sekaligus seperti itu. John Lennon—musisi dunia yang kutahu kini menjadi
legenda—pun taksanggup menerima muntahan empat peluru seperti itu di tubuhnya.
Ia manusia biasa, sama sepertiku juga. Sama-sama berkacamata dan berambut
gondrong.
Hidup terkadang begitu menjengkelkan. Harus ada perjuangan
berat untuk mencapai apa yang kita inginkan. Namun begitu kita temui apa yang
selama ini kita inginkan, hidup begitu cepat mengakhiri segala usaha keras
tersebut tanpa pernah temui akhir yang begitu membahagiakan. Setidaknya John
bisa menjadi seorang legenda, sehingga kematiannya bukanlah menjadi kematian
yang menakutkan. Mungkin pula di ujung hidupnya ia bahagia, ia pernah hidup di
dunia ini sekali saja dan di hidupnya yang sekali itu ia menjadi legenda.
Di ujung senja yang muram ini, di mana mendung pekat
memenuhi cakrawala kutelusuri satu demi satu ruang hidupnya. Begitu banyak yang
harus kutelusuri bagai menyelami suatu samudera. John Lennon, aku tahu ia dari
kawanku. Saat itu kawanku sedang mendengarkan sebuah lagu blues zaman baheula.
Dasar kurang pergaulan, aku tidak tahu siapa yang memainkannya. Dengan
tertawanya yang khas kawanku itu bilang bahwa lagu blues ini yang
menyanyikannya adalah The Beatles, band asal Liverpool, belahan Inggris nun
jauh di ujung mata. Aku tidak pernah tahu di mana Liverpool itu, aku hanya tahu
tempat itu sebagai daerah asal The Beatles dan klub sepakbola Inggris.
Mulailah kuselami ruang-ruang hidup John Lennon, frontman
The Beatles tersebut. Antara sadar dan tidak, terkadang aku sendiri merasa
bahwa aku adalah John Lennon, vokalis dan gitaris yang memiliki gitar
Rickenbacker. Di sisa hidupku, ialah figur yang selalu kuandaikan agar aku bisa
menjadi dirinya. Mungkin aku fanatik mungkin juga gila, namun aku tidak akan
pernah segila Chapman yang atas dasar kecintaannya itu ia malah membunuh John
di depan istri John sendiri. Aku hanya membayangkan semua adegan tersebut yang
tidak akan pernah ada di adegan sinetron mana pun.
Lebih jauh menelusuri ruang hidup John aku jadi mengantuk.
Yeah, dalam tidur pun aku bisa membayangkan lebih jauh tentangnya. Dan sering
kubayangkan seandainya aku menjadi John pada Minggu malam yang dingin 08
Desember 1980.
***
New york, 08 Desember 1980
Tujuhbelas hari sebelum Natal tepatnya. Musim dingin New
York memang membuat semua orang malas untuk keluar. Kubayangkan betapa beberapa
saat kemudian mereka akan gempar dan akan kehilangan seorang legenda yang
mungkin mereka puja-puja. John bersama Yoko Ono istrinya baru saja merampungkan
sebuah rekaman tunggal baru berjudul “walkin on thin ice” di studio Record
Plant dan sempat pula berwawancara dengan RKO Radio hingga pukul 22.30, menurut
rencana, rekaman tunggal baru ini akan dirilis pada awal tahun baru. Dan lagu
tersebut akan dinyanyikan oleh Yoko dan John akan mengiringinya dengan gitar.
Malam semakin bertambah tua. John dan Yoko keluar dari
studio.
“Apa kita akan makan malam dulu di luar, John?” tanya Yoko.
Terlihat John berpikir sejenak sebelum menjawab.
“Yeah, tadinya aku mau ajak kamu makan di luar. Tetapi aku
ingin kita langsung pulang ke apartemen saja.”
“Hmm… Tumben kau ingin segera pulang.”
“Hmm… Aku rindu Sean. Aku ingin melihat anak kita sebelum ia
tidur.”
“Haha, kau rindu anak kita ya?”
“Yoko, aku begitu rindu melihat Sean. Kita terlalu sibuk
dengan rekaman.”
Yoko menggenggam tangan suaminya.
“Baiklah, kita pulang saja John. Biar kupesankan makanan
untuk diantar ke apartemen.”
Mereka pun melangkah menuju limousine sewaan mereka selama
berada di New York. Namun, sebelum mereka masuk mobil, John kembali terdiam dan
cemas.
“Kenapa sayang?” tanya Yoko.
“Akh, tapi aku tidak yakin kita akan sampai sebelum Sean
tidur, sayang.”
Yoko tersenyum manis sambil membopong suaminya masuk mobil.
“Kita usahakan sayang. Lagipula kau kan masih bisa mengecup
keningnya jika Sean sudah tidur,” katanya sambil menutup pintu mobil.
Limousine pun melaju dalam udara dingin dan kelam malam.
Menembus malam. Siapa sangka keinginan John untuk melihat anaknya itu adalah
kata-kata terakhir dirinya pada Desember 1980. Tidak ada yang tahu.
***
Dua hari sebelumnya, 06 Desember 1980.
Seorang pemuda dari Hawaii tiba di New York hanya untuk
melihat John Lennon yang sedang berada di sana. John Lennon, adalah obsesi
terbesar untuk pemuda Mark David Chapman. Ia datang dari Hawaii hanya untuk
melihat John yang sedang berada di New York, well, barangkali hanya sekadar
meminta tandatangannya saja.
Chapman pun menginap di penginapan murah YMCA, kurang lebih
sembilan blok jaraknya dari apartemen Dakota, gedung yang ditempati oleh John
dan istrinya. Tentu mudah baginya untuk bisa bertemu John kapan saja, karena ia
tahu John pasti orang super sibuk. Ia takkan mungkin bisa bertatap muka secara
langsung dengan John di acara-acara. Ia ingin bertetap dengan John empat mata
saja. Oleh karena itu ia putuskan untuk memilih penginapan yang dekat dengan
kediaman John.
Kubayangkan bagaimana perasaan Chapman kala itu. Antara
bahagia dan deg-degan ketika obsesinya sebentar lagi terwujudkan. Ia pun naik
taksi menuju ke Greenwich Village, berharap akan bertemu John di sana. Namun
usahanya belum terwujud. John tidak ada di sana.
Selama dua hari itu ia selalu mondar-mandir di depan
apartemen Dakota, berharap bertemu John secara langsung. Akhirnya pada hari
naas tersebut, 08 Desember 1980, Chapman kembali mondar-mandir di sana dan
bertemu dengan Paul Goresh, pemuja John Lennon pula sekaligus fotografer amatir
asal North Arlington, New Jersey.
Aku tidak pernah bisa menerka bagaimana percakapan mereka
selama di sana. Yang bisa kubayangkan mungkin mereka bicara tentang John
Lennon. Namun seingatku Chapman telah berhasil mendapatkan tandatangan John
selama ia berada di New York. Kuketahui ini dari pencarianku tentang John.
Di senja itu akhirnya John dan Yoko keluar dari apartemen
untuk pergi ke studio Record Plant. Dengan takdisia-siakan lagi Chapman pun
mendekati John sambil menyorongkan album baru Double Fantasy. John menerimanya
dan mencoretkan tandatangannya yang tertulis:
John Lennon 1980
Tandatangan itu John bubuhkan di atas sampul album tersebut
dan Goresh pun sedari tadi telah menjepretkan kameranya beberapa kali. Betapa
bahagianya Chapman kurasa. Aku pun bisa merasakannya.
Dengan wajah yang tampak
berseri-seri, Chapman berkata pada Goresh.
“John Lennon menandatangani album ini,” katanya pada
Goresh,’Takkan seorang pun di Hawaii akan percaya padaku.”
Chapman yang pembual. Chapman yang fanatik. Chapman yang
sakit jiwa.
Apakah membunuh seseorang yang dicintainya bisa dikatakan
gila?
Hingga dua jam kemudian, kedua pemuja John Lennon tersebut
masih berdiri di depan apartemen Dakota.
Hawa semakin dingin membuat Goresh
memutuskan untuk pulang. Namun Chapman berusaha
mencegahnya.
“Jangan dulu pulang, kawan. John Lennon akan segera kembali,
kau bisa meminta tanda tangannya. Bukan hanya sekadar foto saja. Lihatlah aku,
aku telah berhasil mendapatkan tandatangan John. Kau pun pasti ingin
mendapatkan apa yang telah kudapatkan bukan?” ujar Chapman kepada rekan barunya
itu.
“No, barangkali ini bukan nasib baikku. Aku ingin pulang
saja. Mungkin esok hari aku bertemu John lagi dan akan kuminta tandatanganya,”
kata Goresh.
“Well, akan aku tunggu. Kau takkan tahu kapan kau bisa
menjumpainya lagi.”
Goresh pun pulang meninggalkan Chapman dalam hawa dingin
yang menusuk. Goresh takkan pernah tahu bahwa ia takkan pernah bisa bertemu
dengan John Lennon untuk selama-lamanya. Karena takkan ada yang mengira,
Chapman akan menembaknya beberapa kali. Takdir takkan pernah tahu, seperti
kematian. Ia selalu bersembunyi di balik waktu.
Malam itu, pukul sebelas kurang sepuluh John baru saja
melangkahkan kaki keluar dari limousine menuju apartemen Dakota. Sesaat sebelum
masuk ke gedung tersebut, Mark David Chapman, seorang Fans John Lennon dan The
Beatles, yang sedari tadi menunggu kemunculannya kembali di sana, menyapanya
dengan sangat hangat dan sopan dari belakang.
“Mr. Lennon!” sapanya ramah.
John pun berbalik badan untuk melihat siapa yang menyapanya
tersebut. Angin malam musim dingin membuat semuanya beku. John melihat Chapman
berdiri mematung di belakangnya. Dengan senyuman manis dan sepucuk pistol yang
telah diacungkan pada John. Waktu terasa begitu cepat, begitu menggetarkan.
Chapman membidikkan pistol dengan kedua tangannya ke arah John. Pistol tersebut
menyalak beberapa kali. Lima peluru telah dimuntahkan dari Revolver 38, yang
satu meleset namun empat lainnya menembus punggung dan pundak John. Dia tak
langsung ambruk, ia masih sempat berjalan sebanyak enam langkah sambil berkata.
“Aku tertembak.aku tertembak!!”
Kemudian John Lennon pun terjatuh dan bersimbah darah.
***
Membayangi John Lennon terkadang membuat hatiku miris.
Betapa tidak, ia mati di tangan pemujanya sendiri. Akh, membayanginya saja sudah
membuatku merinding, apalagi jika aku memang benar-benar terlahir sebagai John
Lennon. Oleh karena itu, aku hanya bisa berandai-andai saja seandainya aku
adalah John Lennon. Aku tidak ingin mati dengan proses yang seperti itu. Aku
ingin kematianku begitu indah, sangat indah, indah dan menggetarkan. Kematian,
terbuat dari apakah ia?
Kubayangkan seandainya aku menjadi John Lennon, aku akan
tinggal saja di Indonesia dan memainkan lagu keroncong.
Bandung, 07 Desember 2012
19.54
No comments:
Post a Comment