Perjalanan panjang ini membuatku menjadi serasa terasing dari dunia ini. Aku rindu rumah. Aku rindu kamar. Aku rindu hangat pagi hari. Dan aku juga rindu kamu. Telah lama kutelusuri perjalanan yang barangkali aku sendiri pun takakan pernah tahu kapan akan temukan tujuannya. Aku berjalan tanpa arah mata angin. Aku berjalan tanpa mengenal waktu. Dan aku berjalan tanpa mengenal tujuan.
Bus terus melaju menembus perbukitan. Dari balik kaca jendela kulihat dunia, dunia yang sebenarnya terhampar dengan jelas di depanku yang hanya dibatasi oleh kaca sahaja. Tentunya aku tidak sedang melihat fatamorgana. Segala yang ada terlihat dengan sangat jelas di depan mataku. Bukankah kamu sendiri yang bilang jika sesuatu yang tampak di depan mata terlihat dengan sangat jelas dan dapat diraba maka itulah dunia sebenarnya yang kita pandangi?
Dari balik kaca jendela itulah aku melihat cakrawala, matahari senja yang memerah dan sepintas terlihat seperti lukisan belaka. O, jam berapakah ini? Hari sudah kembali menjadi senja. Kembali. Berarti kutemui kembali rona senja kemerah-merahan kali ini. Entah senja yang keberapa kali ini dari sekian senja yang pernah kutemui selama perjalanan ini dimulai. Dan aku pun sudah takingat lagi kapan aku memulai perjalanan ini.
Perlahan cahaya senja itu mengabur. Aku pusatkan pandangan karena aku tidak mau kehilangan senja hari ini tanpa adegan yang berarti. Setidaknya aku memperhatikan bagaimana senja ini menghilang diganti oleh kelam malam dari balik kaca jendela bus yang berdebu. Kemarilah sayang, mari kita melihat kembali bagaimana senja itu menghilang ditelan malam seperti dahulu. Bukankah kau menyukai senja?
Bus tetap melaju. Orang-orang sibuk dengan dunianya. Tidak peduli dengan penumpang lain. Mereka pun sama sepertiku, melakukan perjalanan tanpa tujuan, waktu dan arah mata angin. Mereka hanya mengikuti naluri, membawa mereka pergi entah kemana hingga tidak tahu lagi berada di mana bahkan bisa saja takakan pernah kembali lagi ke asal. Tetapi aku tidak mengikuti naluri. Aku melakukan perjalanan semata-mata hanya mengikutimu saja.
Dan di bus pun mengalun lagu lama:
Bengawan Solo
Riwayatmu kiniiii….
Kurasa aku belum mencapai Solo. Kurasa aku bukan naik bus menuju Solo, atau memang aku sedang menuju ke Solo dan aku takmenyadari akan hal itu. Hmm… Solo, aku tidak peduli jika nanti kota yang aku tuju itu bukanlah Solo, tetapi Kebumen, Lamongan, Blitar, ataupun Jember.
Bus terus melaju, senja semakin gelap. Tubuhku telah letih. Rambut telah menjadi gondrong dan wajahku kotor. Cambang mulai bertumbuhan di sekitar dagu. Heran, telah berapa lama aku berjalan? Bajuku lusuh. Tasku bau apak. Celanaku robek di sana-sini padahal dulunya paling bagus di antara celana yang lain. Ke manakah sebenarnya aku berjalan? Setiap hari, hanya bisa melihat dari balik kaca jendela bus dan seolah-olah menyapa dunia yang ada di luar agar terkesan hangat. Tapi aku takbisa mengikutimu lagi. Dan bus pun takmungkin ikuti kamu. Memangnya aku supirnya sehingga kau bisa membawa ke mana saja bus ini pergi? Bagaimana pun jauhnya perjalananku, suatu saat akan temukan tujuannya. Semoga senja esok aku telah sampai di tujuanku dan segera kutemui dirimu agar bisa melihat senja itu bersama.
Namun malam telah menjadi malam. Senja telah hilang di balik hari…
Bus tetap melaju, tanpa mengenal istirahat.
Aku terjebak di dalam kesunyian.
Di manakah ini? takkulihat satu bangunan pun dari tadi berjejer di pinggir jalan. Pom bensin terakhir yang kutemui tadi pagi sebelum perjalanan ini diteruskan kembali. Ya, bus ini memang pernah istirahat. Itupun hanya pada malam sepertiga terakhir. Setiap malam. Aku taktahu mengapa harus di sepertiga malam terakhir.
“Pak, ngomong-ngomong mengapa kita istirahatnya di sepertiga malam terakhir? Kenapa nggak pagi atau siang?” tanyaku di lain waktu.
“Kau harus tahajjud,” jawab awak bus tersebut santai.
Setiap malam semenjak perjalananku dimulai itulah aku menjadi sering bertahajjud. Barangkali doaku telah sampai padaNya, atau pula padamu juga. Kita akan bertemu, dalam jingga dan setumpuk doa yang selalu aku kirim di sepertiga malam terakhir. Perjalanan ini takjua berakhir. Sudikah kau menungguku hingga sekarang? Atau barangkali akulah yang sedang menunggumu sekarang?
“Menunggu?”
“Ya, menunggu.”
“Menunggu kamu?”
“Siapa lagi bodoh?”
“Kau mau ke mana?”
“Bukan urusanmu.”
“Kok?”
“Kau takkan pernah tahu ke mana aku pergi meski telah aku kasih tahu juga.”
“Tetapi setidaknya aku tahu nama tempat yang kau tuju.”
“Kau mau tahu?”
“Ya.”
“Bener?”
“Sumpah!”
“Kau mau tahu?”
Aku mengangguk.
“Aku ingin mememukan ujung dunia dan menemukan senja.”
“Di mana ujung dunia itu?”
“Akan kucari.”
“Lantas bagaimana dengan aku?”
“Kalau kau sanggup kau harus susul aku.”
“Ke mana aku harus mencarimu?”
“Kau pasti bisa. Aku sayang kamu!”
Bus takpernah berhenti. Orang-orang di dalamnya seakan sudah taklagi mengenal arti perjalanan itu sendiri. Mereka diam, mematung, dan taksempat menikmati kelam dari balik kaca jendela. Pandangan mereka lurus ke depan. Tanpa makan dan minum. Mereka takpernah mandi dan mencuci. Baju mereka lusuh. Wajah mereka kotor. Rambut mereka gimbal. Dan aku? Barangkali aku pun akan menyusul mereka. O, di manakah kau berada?
Malam kelam.
Aku terjebak di kubangan sunyi. Tanpa waktu.
Tiada dirimu. Hilang ditelan waktu. Perjalanan ini sungguh takada akhir. Yang ada akhir hanyalah kehidupan. Dan di sanalah kehidupan akan menemukan tujuan, bagai perjalanan kosong yang aku terlusuri hanya untuk mencarimu. Semata-mata karena kekangenanku sahaja.
Jogjakarta-Purwokerto
19 Februari 2013
22.30
No comments:
Post a Comment