I
“Kelak jika aku kembali kesini. Akan kukumpulkan semua kenangan-kenangan kita yang terserak di beberapa tempat, lalu aku simpan di sebuah ruangan yang akan kuberi nama Museum Kenangan,” ujar seorang lelaki kepada kekasihnya, sesaat sebelum waktu memisahkan mereka di kota Jogja.
Malam yang dingin, angin membawa hujan. Sepasang kekasih itu
berjalan di sepanjang trotoar yang mulai sepi. Satu persatu orang-orang pulang,
pedagang kaki lima membereskan dagangannya. Beberapa turis masih ingin
menikmati malam dengan sekadar berjalan-jalan, ataupun makan di warung-warung
yang bertengger di pinggir jalan. Pengamen memainkan lagu cinta.
Sepasang kekasih itu mendengar lagu yang dinyanyikan oleh
pengamen itu. Keduanya saling menatap bahagia, seakan belum pernah menemukan
kebahagiaan seperti itu selama hidupnya. Ada rasa yang takbisa diucap oleh
kata. Keduanya terdiam, namun dalam hati mereka masing-masing tengah
berlangsung percakapan yang mesra dan lembut.
“Aku bahagia,” ujar si wanita sambil menggenggam erat tangan
lelakinya.
“Aku tidak ingin kemesraan kita berlalu begitu saja,” si
wanita melanjutkan perkataannya.
“Bersabarlah, waktu
pasti akan mempertemukan kita kembali.”
“Tapi untuk berapa lama? Kapan lagi kita bisa seperti ini?”
“Kau percaya takdir?”
Wanita muda itu terdiam. Perlahan air mata meleleh membasahi
pipinya.
“Kau percaya takdir?” lelaki itu mnegulangi pertanyaannya.
“Ya,” jawab si wanita lemah.
“Kalau kau percaya takdir, kita pasti akan bertemu lagi. Sebab,
takdirlah yang telah mempertemukan kita saat ini.”
Malam, Jogja, dan
kamu. Adakah yang lebih berbahagia dari itu?
II
Malam bertambah malam. Dingin mulai
turun di dinding-dinding bangunan tua kota Jogja.Beberapa orang masih menikmati
malam dengan duduk-duduk di sepanjang Malioboro. Pedagang wedang ronde menjamur
mencoba mengalahkan rasa dingin dengan dagangan mereka. Beberapa pengamen
mengadu suara, mencoba memberikan kenangan kepada setiap wisatawan agar kelak
bisa kembali lagi ke kota itu.
Sepasang kekasih itu masih
berjalan menyusuri jalan Malioboro. Tangan mereka saling tergenggam, seakan
tidak mau dipisahkan oleh waktu yang selalu membuntuti. Sepanjang jalan
tersebut, banyak hal yang bisa dilihat dan dikenang. Semua kenangan tersebut
akan mengendap di jejak yang telah mereka torehkan, dan akan kembali bangun
tatkala mereka kembali ke kota itu.
“Dingin?” tanya si lelaki.
Wanita itu hanya menggelengkan
kepalanya sembari senyum manis tersungging di bibirnya.
“Capek?” tanya si lelaki kembali.
“Tidak, aku tidak capek. Aku sedang
bahagia. Aku tidak mungkin merasa capek.”
Secara diam-diam, lelaki itu pun
tahu apa yang dirasakan kekasihnya. Ia tahu, saat-saat seperti inilah yang
ditunggu olehnya. Menikmati malam berdua, di antara renyai hujan dan dingin
yang menusuk. Dan mereka terus melangkah, tanpa berpikir akan menuju kemana
langkah mereka. Mereka hanya ingin berjalan berdua saja menikmati malam tanpa
ada hambatan apa pun yang merintanginya.
“Kau tahu, banyak sekali pasangan
yang bahagia di kota ini.”
“Apakah mereka seperti kita? Berjalan
berdua di antara malam.”
“Barangkali. Yang jelas, kita
sendiri sudah banyak membuat kenangan di sini. Tanpa kita sadari.”
“Lalu, akan dikemanakan kenangan
itu?”
“Haha, sudah kukatakan tadi, aku
ingin mengumpulkan semua kenangan kita kelak ketika aku kembali ke kota ini.
Lalu akan kubuat museum kenangan. Semua orang boleh masuk untuk melihat
bagaimana indahnya kenangan kita di sini,” ujar si lelaki.
Wanita itu terdiam mendengar
ucapan si lelaki mengenai museum kenangan itu. Baginya, ia tidak pernah ambil
soal tentang kenangan. Ia hanya berpikir, bagaimana untuk sebanyak-banyaknya
membuat kenangan yang ia bisa kenang setelah waktu memisahkan mereka.
“Bagaimana, kau tertarik dengan
rencanaku?” tanya si lelaki.
“Apa pun yang akan kau lakukan
dengan kenangan kita. Aku akan selalu percaya bahwa kenangan itu akan terus ada
meskipun tidak kau museumkan,” jawabnya lembut.
“Kenangan kita akan tetap ada di
dalam ingatanku. Selama aku hidup, aku akan terus mengenangmu dan juga
mengenang kota ini,” si wanita melanjutkan perkataannya.
“Apa yang akan kau kenang?”
“Semuanya. Segala hal tentangmu. Segala
hal tentang kita. Segala hal tentang malam.”
Si lelaki tersenyum bahagia. Inilah
malam yang paling ia tunggu-tunggu. Malam dimana segalanya terungkap, menjelma
menjadi kebahagiaan yang tidak pernah ia lupakan. Kebahagiaan yang kelak akan
menjadi kenangan pula.
“Terima kasih. Aku bahagia malam
ini bersamamu,” ujar si wanita.
III
Malam yang indah tersebut, si
lelaki menggumamkan sebuah puisi:
Jika kau kembali lewati jalan ini suatu hari nanti, maka akan kau
temukan senja yang sendu, malam yang indah, dan kenangan yang tersembunyi di
setiap tanda jalan.
Bulan berwarna merah jambu, angin yang memudar, dan kau yang manis
dalam ingatan.
Sepanjang jalan ini, udara menjadi asing bagi kita. Debu perlahan
mengendap di bibir jalan, jalan yang takpernah berubah.
Lampu kota membisu. Malam yang dingin menuju pagi. Airmata yang
perlahan menjadi beku oleh kata-katamu. Dan jalan ini akan tetap sama. Lurus dan
takberujung.
Sudahkah mampu jalan ini menghubungkan ke alamatmu? Alamat dimana kau
tinggal, berteduh, terlelap memeluk mimpi yang kau reka.
Sudah berakhirkah perjalanan ini? Sudahkah kau temukan apa yang kau
cari dari perjalanan ini? Sudahkah kau rasakan betapa perjalanan ini bukanlah
perjalanan yang biasa?
Lupakan sejenak masa lalu kita masing-masing. Hanya ada kita berdua, di
jalan ini di kota ini. Kota yang kini tidak absen dalam sejarah peradaban kita.
Jalan perlahan mengendapkan malam. Kita berdua diam dalam kenangan yang
asing.
Menjadilah dirimu sendiri. Makhluk yang mampu menjadi kenangan yang
membekas. Segar dalam ingatan.
Jalan ini akan tetap menjadi milik kita. Menjadi kenangan kita...
“Kenapa diam saja?” tanya si
wanita.
Si lelaki hanya tersenyum,
berusaha menyimpan puisi itu ke dalam ingatannya.
“Tidak, hanya ingin menikmati
malam ini tanpa bualan. Aku ingin menikmati semuanya dengan murni.”
Malam terus merangkak menjadi
tua. Apakah perjalanan ini akan menemukan akhir? Pikir si lelaki. Sekuat apa
pun ia akan menghentikan waktu untuk terus bersama kekasihnya, perpisahan akan
selalu ada. Sebab, sebuah pertemuan akan selalu berujung perpisahan. Sehebat apa
pun kita bersembunyi menghindari perpisahan yang menyedihkan, ia akan selalu
datang.
“Aku tidak ingin berpisah dari
kamu,” wanita itu perlahan mulai menangis.
“Aku juga. Semoga pagi tidak cepat
datang. Malam ini adalah milik kita,” ujar si lelaki.
Langkah mereka terhenti di bawah
lampu merkuri taman Benteng Vredeburg. Wajah mereka menjadi sendu di bawah
lampu.
“Aku sayang kamu,” kata si
lelaki.
IV
Ada yang salah dengan waktu? Waktu
yang menjadikan kenangan ada. Waktu yang membuat kenangan menjadi cahaya. Dan waktu
yang membuat pertemuan akan berujung kepada perpisahan.
Semalam, mereka masih bersama
menikmati Jogja dengan nuansa yang sederhana. Sama-sama membuka hati untuk
menerima kenangan yang indah. Paginya, mereka masih tertawa menikmati matahari
pagi yang ceria. Beberapa jam yang lalu, mereka masih lupa dengan perpisahan. Cinta,
perlahan telah mendekatkan jiwa mereka.
Namun kini, saat kereta malam
membawa mereka pulang ke rumah masing-masing, ada perasaan kehilangan yang
memuncak, rindu yang kelu, dan suara yang hilang oleh kenangan yang terlalu
banyak di pikiran. Mereka tahu, esok pagi mereka sudah taklagi membuat kenangan
di Jogja. Si wanita kembali ke kotanya nun jauh di balik malam, sementara si
lelaki pun harus kembali ke kotanya.
“Kita masih bisa bertemu kan?”
tanya si wanita.
Mereka saling menghitung waktu,
berapa jam lagi mereka akan sampai di kota yang akan memisahkan mereka. Kereta melaju
dalam rel yang asing, seasing pikiran mereka tentang kenangan.
“Tinggal beberapa jam lagi kita
bisa bertemu,” ujar si lelaki.
“Aku tidak mau kita berpisah. Aku
hanya ingin bersamamu,” ujar si wanita sambil bersandar di bahu si lelaki.
Seperseribu detik menuju pagi. Masih
adakah upaya untuk menghentikan laju waktu?
“Kita harus kuat. Kita masih
percaya pada takdir. Nanti, takdirlah yang akan mempertemukan kita kembali.”
Hening. Wanita itu menangis di
bahu si lelaki.
“Aku sayang kamu,” ujar si lelaki
sambil mengecup lembut kening si wanita.
“Aku juga sayang kamu,” suaranya
lirih kalah oleh deru kereta malam.
Kereta terus melaju menuju pagi.
Jogjakarta-Kutoarjo-Kebumen-Kroya-Purwokerto-Brebes-Cirebon-Cikampek-Bekasi, lalu
sampai di Jatinegara.
“Masih ada waktu untuk bersamamu,”
ujar si lelaki ketika turun di stasiun Jatinegara.
“Berapa lama lagi?”
“Sampai kau merasa bahwa
kenanganmu sudah cukup untuk kau bawa pulang.”
Pagi itu, Jakarta diguyur hujan. Dalam
mendung yang menggantung, si lelaki melihat wajah kekasihnya. Sendu dan muram.
Apakah kenangan tentang Jogjalah yang membuat wajahnya seperti itu?
Samar-samar ia mendendangkan
sebuah lagu
Aku ingin berdua denganmu, di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu, tapi aku hanya melihat keresahanmu.*
V
Hening. Waktu telah memisahkan
mereka. Perjalanan masih terlalu panjang bagi sepasang kekasih tersebut. Si
lelaki masih berusaha mengumpulkan fragmen-fragmen kenangan yang sempat dibawa
saat pulang. Dalam serpihan kenangan tersebut, wajah kekasihnya sangat kuat
melekat di pikirannya. Bahkan, ia masih mencium wangi tubuh kekasihnya saat
bersandar di bahunya.
“Kelak, takdir akan mempertemukan
kita kembali. Percayalah, dan tunggulah saat-saat itu,” ujarnya.
Ia masih mengigat malam itu. Malam
dimana mereka banyak menghabiskan waktu dengan membuat kenangan.
Malam, Jogja, dan kamu. Adakah
yang lebih indah dari itu?
Yogyakarta-Jakarta-Bandung,
16 – 23 Februari 2013
“Sampai kau merasa bahwa kenanganmu sudah cukup untuk kau bawa pulang.”
ReplyDeleteEaaaaa si kk rip :))
Eeeaaaa... Lalala yeyeye :))
ReplyDeleteini ceritanya saya banget. boleh di kopas ke blog saya ngga, nanti saya cantumin link ke sini. hehehe
ReplyDeleteSilakan, selamat mengenang :)
Delete