Sunday, 21 July 2013

SUBANG, DULU DAN SEKARANG

Syahdan, jikalau tidak ada sosok Nyi Subang Larang, istri Prabu Siliwangi yang beragama Islam, maka takakan ada nama kota “Subang” di Jawa Barat ini. Tatkala nama Subang sering dikaitkan dengan peristiwa Perjanjian Kalijati, Maret 1942, sebuah perjanjian dimana untuk pertama kalinya Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, saya justru menemukan bahwa Subang adalah nama untuk menghormati almarhumah Nyi Subang Larang.
Tugu Padi, mungkin tugu Selamat Datangnya kota Subang


Nyi (bhs. Sunda: Putri) Subang Larang adalah julukan dari seorang perempuan bernama Kubang Kencana Ningrum, seorang istri dari Prabu Siliwangi yang beragama Islam. Lahir tahun 1404, putri Ki Gendeng Tapa ini merupakan seorang srikandi yang juga penyebar Agama Islam di tatar Pasundan.

Hal ini dibuktikan dengan didirikannya sebuah pondok pesantren besar bernama “Kobong Amparan Alit” di kawasan Teluk Agung yang secara geografis kini terletak di Desa Nanggerang, kecamatan Binong, kecamatan Subang.


Sebelum mendirikan pondok pesantren, Kubang Kencana Ningrum berguru agama pada Syeikh Qurra’, penyebar agama Islam di daerah Karawang. Melalui Syeikh Qurra’, Kubang Kencana Ningrum pun mendapat julukan “Sub Ang” yang berarti “Pahlawan Berkuda”.

Dari rahim Nyi Subang Larang-lah kemudian lahir tokoh dan peristiwa yang berpengaruh dalam sejarah Pasundan. Sebut saja Raden Kian Santang, adalah anak dari Nyi Subang Larang dengan Prabu Silliwangi. Nama Raden Kian Santang harum sebagai nama pendiri Kerajaan Cirebon.

Semasa menikah dengan Prabu Siliwangi, Nyi Subang Larang pun tinggal di kawasan Pakuan Pajajaran, yang saat ini dikenal dengan kota Bogor. Meninggalkan Teluk Agung taklantas membuat Nyi Subang Larang bak kacang lupa akan kulitnya. Beliau pun masih berkunjung ke Teluk Agung untuk mengajarkan agama Islam kepada anak didiknya.

Berdasarkan catatan sejarah, ketika wafat jasad Nyi Subang Larang dimakamkan di Teluk Agung. Untuk menghormati jasa-jasanya, “Subang” pun dijadikan nama kota yang kini tengah berkembang di Provinsi Jawa Barat.

Perhiasan yang Terpendam

Ada banyak sebenarnya riwayat yang menjelaskan asal usul nama Subang. Mulai dari kepanjangan dari kata “Asu Abang” (Anjing merah) hingga kesalahan pengucapan kata “kubang” menjadi “subang” oleh orang Belanda. Namun, riwayat Nyi Subang Larang sendiri sangat menggelitik saya. Betapa tidak, kota tersebut lahir nama julukan seorang putri yang sering disebut-sebut dengan Srikandi Pasundan.

Dalam Bahasa Melayu yang diadaptasi ke Bahasa Indonesia, ada sebuah morfem “Subang”, yaitu perhiasan cuping telinga wanita yang biasanya berbentuk bundar pipih, terbuat dair emas, dan ada yang bermata berlian. Pengertian lainnya adalah potongan kecil-kecil dan pendek-pendek dari daun tebu atau lontar yang dimasukkan dl cuping telinga sebagai perhiasan bagi seorang wanita.

Jika dianalogikan, kata “Subang” selalu menjurus pada sebuah keindahan. “Subang” berarti Pahlawan Berkuda, dapat ditafsirkan sebagai sosok yang memiliki keindahan sifat, tingkah laku, hingga akhlak. Keindahan tersebut dilambangkan dengan kegagahan bak seorang pahlawan yang mengenakan kuda.

Berdasarkan riwayat sejarah, di tatar Pasundan sendiri gelar Srikandi itu hanya diberikan kepada dua orang, yaitu Nyi Subang Larang dan Dewi Parwati. Namun, Nyi Subang Larang bukanlah seorang panglima perang, ia hanyalah seorang wanita biasa. Pengaruhnya dalam perkembangan Islam di tatar Pasundanlah yang menjadikan ia menyandang gelar Srikandi “Subang” yang berarti pahlawan wanita yang berkuda.

Sementara, kata “Subang” yang kedua diambil dari Bahasa Melayu.Bermakna keindahan, Subang adalah sebuah perhiasan yang dulu menjadi simbol keindahan seorang wanita. Dalam gambaran kebudayaan, seorang wanita akan terlihat lebih cantik dengan perhiasan yang dikenakannya. Hal inilah yang menjadikan subang menjadi perhiasan penting yang dimiliki wanita dari jenis anting-anting.

Pertanyaanya, apakah nama kota “Subang” sendiri merupakan harapan masyarakat Sunda Buhun agar kota tersebut selalu menampakkan keindahannya? Jika iya, maka tidak heran apabila ada salah satu riwayat kota Subang merupakan kawasan penyimpanan harta raja-raja Sunda, sehingga kata “Subang” sendiri berasal dari kata Swiss (Suis dalam lafal Sunda) dan Bang (Bank), yang berarti Bank Dunia-nya Indonesia.

Lantas, keindahan apa yang sebenarnya terpendam dari Subang?

Kota yang berkembang
Saya baru saja mengunjungi secara singkat kota ini. Kota yang terletak di utara kota Bandung ini dapat ditempuh sekitar 2 jam perjalanan darat dari Bandung. Dihimpit oleh kawasan pegunungan dan perbukitan teh yang membujur dari tenggara-selatan-barat daya, serta Laut Jawa di sebelah utara.

Tiba di kota Subang, saya pun ditemani seorang kenalan alumni Sastra Sunda Unpad, Euis Ramdani namanya, Gadis asli Subang ini dengan senang hati mengajak saya untuk berkeliling kota Subang, berharap menemukan sedikitnya bukti keindahan yang terpendam tersebut.

Secara kondisi sosial, kota Subang jauh lebih sepi dari kota-kota lainnya yang ada di Jabar. Berkali-kali Euis pun mengingatkan, tidak ada tempat wisata menarik di kota Subang. Namun, apakah keindahan itu selalu identik dengan tempat wisata?

Selama berkeliling, kawasan Subang ternyata banyak didominasi oleh lahan persawahan, ladang, dan perkebunan. Euis pun mengajak saya ke daerah bekas Pabrik PT Morelli Makmur, yaitu pabrik pengolahan nenas kaleng milik klan Cendana. Sudah tidak ada lagi bekasnya, yang ada hanya ilalang dan jalanan yang sepi.

Mujurnya, Subang masih menyimpan beberapa bangunan peninggalan Belanda yang masih tegak berdiri, seperti yang terlihat oleh saya yaitu Wisma Karya, Gedong Gede, dan rumah bekas perjanjian Kalijati.

Subang adalah kota yang berkembang, hal ini terlihat dari banyaknya pembangunan perumahan yang menurut Euis dahulunya adalah areal pesawahan. Bahkan, di website resmi Kota Subang, pemkab Subang pun berpendapat bahwa Subang adalah kawasan strategis bagi perindustrian, dan saat ini sedang berkembang industri-industri yang beraktivitas di kawasan Subang.

Sayangnya, Subang saat ini tercemar oleh kasus korupsi para pejabatnya.

Tidak bisa dipungkiri memang. Tapi, sampai kapanpun Subang selalu diharapkan menjadi daerah yang indah, sesuai dengan maknanya.


Bandung, 21 Juli 2013

1 comment:

  1. masa kecil sy dihabiskan di subang tepatnya desa dangdeur,sekitar tahun 75an...

    ReplyDelete