“Pandanglah wajahku ini istriku, karena kelak masa tua
begitu cepat datang menerpa kita sehingga matamu taklagi jelas melihat
wajahku,” pinta suami kepada istrinya ketika di malam-malam remang. Berdua
saling terlentang dan kadang berpelukan mengusir sepi mengusir sunyi membuang
jauh-jauh amarah yang kunjung mendera. Berdua dalam kelam malam tanpa cahaya di
ruang yang takkan pernah terjangkau semesta penuh cahaya.
“Bagaimana aku bisa memandangmu sementara kita remang dan
tanpa cahaya sedikit pun?”
“Bukankah matamu terbuat dari cahaya itu sendiri?
bukankah tubuhmu yang dulu anggun itu selalu memancarkan tatawarna yang gilang
gemilang?”
“Kau lupa bahwa kita kini semakin beranjak renta, tubuh
kita tidak lagi seindah dahulu. Kau pun sama, kita memang terlahir seperti ini,
menjadi bayi yang lembut, kanak-kanak yang lucu, remaja yang penuh ambisi dan
emosi, terus berlanjut menjalani cerita kita yang berliku hingga sampailah
menjadi renta dan tua. Sebentar lagi kita renta Mas,” papar istrinya yang
membuat suaminya tercenung.
“Apakah memang kita berangsur menjadi renta tanpa pernah
kita sadari kedatangan kerentaan itu dalam diri kita?”
“Kau lihat mas? Anak-anak kita bukan lagi anak ingusan
dan kemarin sore. Mereka sudah memiliki tujuannya masing-masing. Masing-masing
telah memiliki sebuah tiket perjalanan yang mereka pilih sendiri yang nantinya
akan membawa mereka menuju impiannya masing-masing. Kita hanya bisa mengantar
mereka sampai stasiun saja, tidak mungkin lagi menemani perjalanannya yang
belum tentu mengasyikkan. Kita hanya bisa melambaikan tangan melihatnya pergi
meninggalkan kita yang berangsur lemah dan renta. Dan tentunya kita hanya bisa
berdoa, ya doa. Hanya doa kitalah yang menjadi penghubung dunianya dengan dunia
kita.
Kita tua bukan karena kita menjadi lemah. Namun justru
karena kita semakin kuat menghadapi cobaan yang semakin besar menguji kita.
Kita terus menerus hadapi dan lawan semua tantangan yang ada tanpa pernah
sekali pun bercermin melihat keadaan kita yang ternyata menjadi payah dan koma.
Tapi kita sekali pun menolak itu, karena bagi kita ‘semakin tua semakin
menjadi’ tidak ada istilah atau kata-kata yang menghalangi kita melangkah. Kita
selalu melangkah dan akan tetap melangkah dengan pasti, berdua menyatu selengket-lengketnya
menggoyahkan semua kegelisahan dan keterasingan yang memang selalu mengintai
kita.
Lihat mas! Kita berdua dalam keremangan sekarang. Entah
sudah malam yang keberapa telah kita lalui berdua seperti ini. Berdua menyatu
saling bercerita dan ungkapkan hasrat bahwa kita saling mencintai. Bahwa kita
saling berebut untuk menjadi raja dan ratu dalam singgasana yang dulu telah
kita bangun. Dan selalu kita rasakan bahwa malam selalu kelam, tak pernah bisa
menjadi siang apalagi keemasan seperti senja. Malam selalu kelam begitu juga
kita. Semakin kelam dan tua.”
Burung hantu di luar sana berkukuk, seakan mendengar apa yang
mereka perbincangkan di kamar yang gelap itu. Hari ini tak ada bulan, namun
bintang begitu berkilau bagai kunang-kunang yang kerlap-kerlip. Entah mengapa
bulan tidak ada meski bintang tetap setia melukisi cakrawala kelam yang memang
kelam dan pantas dilukisi oleh kerlip bintang.
“Istriku, apakah malam masih setia menemani kita? Apakah
ia tidak pernah menggerutu bahwa ia harus menemani kesepian kita menghadapi
pagi?” tanya suaminya.
Istrinya tersenyum begitu manis meski wajahnya layu dan
keriput mulai menggoyahkan kekencangan kulitnya.
“Mas,” membelai wajah suaminya, “betapa malam akan
selalu menemani kita meski kita nanti akan berpisah dan menghadapi ajal kita
masing-masing. Barangkali aku dulu yang pergi atau mungkin mas yang duluan
pergi, kita tak pernah tahu siapa yang akan duluan dijemput ajal. Meskipun
begitu, malam akan selalu menemani kita atau siapa saja yang butuh ditemani olehnya.
Malam akan selalu setia pada manusia yang selalu mempunyai cinta dan kerinduan,
dan kita beruntung kita memiliki keduanya.”
Istrinya terbatuk begitu lembut. Malam semakin bertambah
muram dan burung hantu berkukuk sekali lagi di luar.
“Mas…”
“Apa sayang?”
“Di luar ada burung hantu ya?”
“Hmm… barangkali ya. Masih terdengar oleh kita kan suara-suara di luar sana ?”
“Ya, aku mendengar dengan sangat jelas. Seperti dahulu
waktu malam pertama akan kita rengkuh.”
“Haha, dan sekarang kita masih mendengar suara-suara itu
dengan sangat jelas kan ?”
“Ya, haha.”
“Apa yang akan mas katakan untuk suara-suara itu?”
“Haha, semoga saja mereka akan tetap bersuara meski
suara tidak diperkenankan ada lagi.”
“Maksudnya?”
“Sebelum yang bersuara-suara itu akan hilang dan menjadi
susut memuai seperti gas menjelma butiran-butiran takkasat mata. Sebelum
suara-suara itu tidak lagi memiliki suara yang menggema dan sendu.”
“Dan sebelum kita tidak lagi bisa mendengar suara-suara
itu kan ?”
“Kau benar sayang,” ia mengecup kening istrinya.
Hening. Ia semakin merapatkan tubuhnya di sandaran
suaminya. Dalam keremangan, samar-samar dan memang hanya samar-sama saja
terlihat rambut suaminya yang memutih, memutih oleh usia, memutih oleh waktu,
memutih oleh liku hidup yang hampir telah selesai dijalani. Hidup memang
berujung pada warna putih, tua dengan rambut yang putih, mati dengan dibalut
kain putih, mati dengan menjadikan wajah pucat putih tidak ada lagi nadi yang
berdenyut. Ia sendiri pun sadar, bahwa usia telah memutihkan rambutnya pula,
betapa usia begitu kuat sehingga pelan tapi pasti mengerutkan wajahnya yang
dulu kencang dan mulus.
Ia yakin karena memang ia begitu yakin seperti suaminya.
Ia yakin bahwa cinta mereka tak juga mengerut dan memutih oleh waktu dan usia.
Malah semakin membara dan menggebu. Terkadang hidup yang selalu menusuk jiwa
tidak pernah dianggap sebagai suatu tusukan pedih yang melukai dan membunuh
sebuah perasaan. Jika memang hidup yang hanya singkat itu selalu saja dianggap
sebagai sebuah tusukan perih yang mengguncang, apalah yang akan dikenang ketika
hidup telah berakhir?
Ia tahu, bahwa ia dan suaminya itu selalu menolak
dilanda nestapa. Meski terkadang begitu menyakitkan begitu perih begitu
menyiksa beban yang mendera, merasuk, menjarah, bersejingkat, meluap, menggarang,
membahana, menggelegar, merajalela begitu seenak udelnya kepada tubuh menua dan
melemah tetap saja mereka tidak akan lepas bertahan dan selalu memandang bahwa
hidup butuh senyuman bahwa hidup butuh kekuatan untuk bertahan melawan semua
kegetiran yang ada. Karena hidup memang indah dan akan selalu indah tidak
pernah ada hidup yang tidak indah. Bukankah hidup adalah kenikmatanNya? Lantas
jika memang sebuah kenikmatan tidak mungkin Tuhan malah memberikan sebuah
bencana. Senestapa beban hidup dan kegetiran yang dirasa pun pasti akan selalu
temukan hikmah dan kebahagiaan. Dan mereka akan selalu memegang kepercayaan
itu.
“Sayang?” sapa suami.
“Apa mas?”
“Sudah ngantuk?”
“Hoammmmnnn, ya sih tapi aku tidak ingin tertidur
dahulu.”
“Mengapa sayang?”
“Kau kan
minta supaya aku memandang wajahmu dulu sekarang?”
Suami itu tersenyum.
“Ya, aku ingin sekali kita berpandangan lagi meski dalam
remang.”
“Dalam remang, kita masih punya cahaya kok.”
Mereka bangkit duduk berhadapan di tempat tidur yang
kusut dalam remang cahaya atau barangkali memang tidak ada cahaya. Mereka
berpandangan, saling tersenyum penuh arti penuh kenangan teringatlah masa muda
mereka yang begitu cemerlang dan manis yang kini hanya bisa mereka kenang saja.
Sebuah masa yang barangkali tidak akan pernah hilang, abadi dalam lembaran
kenangan yang selalu mereka simpan di cakrawala malam tidak lekang tidak pudar
karena kenangan mereka terbuat dari ruang-ruang pikiran yang lapang. Tidak akan
hilang meski pelaku kenangan itu sendiri telah hilang dijemput sang ajal yang
datang tanpa pernah sekalipun diundang.
Malam semakin tua dan larut. Begitu pula mereka.
***
Pagi ini mendung kelabu dan pekat menggantung di
cakrawala. Sisa-sisa kerlip bintang pada malam tidak bersisa menyisakan
cerianya pada pagi yang memang seharusnya selalu ceria. Tidak ada mentari yang
riang menyapa dedaunan yang menggigil diterpa embun sehingga kembali hangat dan
merona. Tidak ada kicau burung yang bernyanyi sangat merdu dan lucu bernyanyi
di dahan pohon yang selalu setia menjadikan sandaran untuk burung bernyanyi.
Tidak ada riang anak-anak lugu pergi ke sekolah bercanda tawa begitu lepas
menikmati pagi. Mereka berebut berada di rumahnya masing-masing karena hujan
mulai turun dan dan menderas. Hujan yang barangkali mencuri waktu untuk turun membasahi
bumi begitu deras mengeluarkan butiran-butiran air hujan memaksa mereka
sementara waktu diam dulu di rumahnya masing-masing. Hujan yang memang tidak
cocok turun di pagi hari memang begitu menjemukan dan menjengkelkan. Namun,
jika semua telah terjadi, apakah kita akan tetap mendongkol dalam hati marah
pada hujan memaki dengan makian yang sebenarnya tidak perlu diucapkan karena
hujan juga merupakan sebuah anugerah?
Hujan membasahi bumi. Berarti ada kesempatan untuk
menyuburkan tanah yang selama ini kering dan dahaga karena selalu dikeruk untuk sebuah pemuasan nafsu dan
hasrat belaka tanpa pernah dilestraikan kembali. Barangkali, ya barangkali
manusia butuh penyegaran sehingga hujan turun membasahi bumi. Kecuali jika
memang manusia menolak turun hujan, bisa saja tidak akan pernah ada hujan lagi
di bumi ini, bumi yang berdebu.
Hujan ini pun mungkin saja turun untuk menghanyutkan
airmata yang telah keluar dan rasa penyesalan yang begitu menusuk tajam.
Airmata yang selalu keluar menetes menjelma menjadi luapan airbah yang siap
menenggelamkan ceria menenggelamkan tawa dan kenangan yang selalu disimpan
bagai album foto. Mengapa tidak bisa menjadi seperti itu bukan semata isapan
jempol dan omong kosong belaka?
Airmata memang hanya sebuah airmata saja, kumpulan air
kecil yang mengalir tanpa pernah berujung pada sebuah muara atau pun hilir.
Tidak ada yang bisa menemukan dimana muara dari aliran airmata yang menetes
dari mata terus menerus mengalir membasahi pipi turun lagi menetes mengental di
dagu dan tidak pernah diketahui lagi kemana airmata itu akan mengalir. Hilang.
Lenyap. Tiada berbekas tiada berjejak. Namun apakah airmata yang hilang itu
memang hilang begitu saja tanpa meninggalkan sesuatu? Airmata boleh saja hilang
tanpa pernah mengalir kembali, namun betapa sebab yang menjadikan airmata itu
mengalir dari hulunya memang tidak mungkin bisa hilang begitu saja.
Mengapa manusia menangis? Mengapa manusia bisa terluka
karena kesedihan? Mengapa manusia harus merasakan kehilangan? Mengapa cinta
yang begitu agung begitu kuat yang semenjak dahulu dibangun dengan begitu rupa
harus kandas dan hilang karena sebuah perpisahan yang benar-benar perpisahan?
Kematian adalah perpisahan yang memang sangat menyakitkan. Raga tidak bisa
bertemu, suara tidak bisa menyatu, dan cinta tidak bisa membuat kenangan
kembali. Namun jiwa masih bisa bertemu, yakni dalam kenangan itu sendiri.
Kenangan bagai bicara dan hidup menjelma menjadi jiwa yang telah tiada
tersebut.
Suami itu menatap hujan yang tak kunjung berhenti. Menatap
kosong pada titik-titik air yang turun terus menerus tanpa henti. Tiga tahun
yang lalu adalah saat-saat di mana ia menyadari betul bahwa cintanya yang
begitu kuat pada istrinya telah ia temukan jawabannya betapa cintanya itu
memang sebuah cinta yang kuat dan begitu lekat. Semenjak dulu, ia telah bangun
cinta itu dengan istrinya susah payah namun terasa manis dan indah sampai
sekarang. Ia ingat, bahwa cinta yang indah adalah cinta yang tulus dan setia.
Sangat jarang sebuah cinta bisa sebegitu setianya sampai kapan pun karena cinta
itu selalu dipoles, selalu dirawat dan dilestarikan dengan rajin. Ia paham
bahwa cintanya pada istrinya dan sebaliknya adalah sebuah cinta yang setia:
“Kesetiaan? Hmm…
entah ada atau tidak. Jika setia itu abadi, lihatlah! Tidak ada yang abadi di
dunia ini. Sedang jika setia itu berupa pengabdian, ia akan ada dan selalu
tertanam pada jiwa yang mulia. Sampai kapan pun.”
Kata-kata itu selalu terekam dan terbayang juga
terngiang dalam dirinya meski ia tahu, istrinya itu telah terbujur kaku dalam nisan
sempit dan gelap, tiga tahun yang lalu.
No comments:
Post a Comment