Saturday, 23 November 2013

ABAH SUTARYA, MANTAN PEJUANG YANG BERJUANG UNTUK HIDUP

Pertemuan saya dengan Abah agaknya tidak akan terjadi apabila saya tidak memutuskan untuk mampir sejenak dari perjalanan pagi menuju kantor. Di sudut toko waralaba di samping Kampus IPDN, ia duduk, berkemeja lusuh dan bersendal jepit. Sedang di depannya satu boks dagangan kue Moci yang terisi setengah. Setiap orang yang masuk ke toko tersebut, ia lemparkan senyum sambil menawarkan dagangan.

Pagi itu takbanyak orang yang berbelanja. Ia duduk di lantai yang usang oleh debu. Sementara di halaman toko terjejer kursi-kursi berikut meja yang sering digunakan pengunjung untuk mengobrol, ngopi, atau nongkrong.

Saya mampir ke toko tersebut untuk membeli roti, air mineral, dan rokok. Saya parkirkan motor butut saya persis di samping Abah yang sedang duduk. Senyumnya mengembang ketika melihat saya memarkir motor. Dengan suaranya yang pelan dan parau ia pun menawarkan dagangannya kepada saya.


“Kue moci, sarapan dulu dek...,” saya takbisa mendengar persis kalimatnya.

Saya hanya tersenyum lalu masuk ke toko dan memilih produk yang akan dibeli. Dari dalam, saya kembali melihat ke luar, ke posisi Abah duduk. Hal tersebut berkali-kali saya lakukan. Bahkan ketika mengantri membayar, saya sempatkan sekali lagi untuk melihat sosoknya.

Saya lihat Abah berdiri. Ia tenteng boks tersebut dengan satu tangan. Dalam benak saya, boks tersebut pasti berat. Apalagi boks yang terbuat dari kaleng itu berisi banyak kue Moci. Namun, Abah takperlu menjadi binaragawan untuk dapat mengangkat boks dagangannya.

Abah berdiri karena ada sebuah mobil yang baru saja diparkir. Begitu pengemudinya keluar untuk masuk ke toko, Abah pun menawarkan dagangannya sambil mengembangkan senyumnya. Saya lihat, pengemudi itu menolak dengan halus sambil melangkah masuk ke dalam toko.

Setelah membayar belanjaan, saya pun keluar dan duduk di sebuah kursi yang tersedia. Sambil mengisap rokok, saya amati gerak gerik Abah yang berdiri sambil membawa boks dagangannya. Seorang pengendara motor datang dan memarkir motornya di depan Abah. Ia menyapa Abah lalu masuk ke dalam toko.

Saya amati terus. Sesekali Abah terbatuk dengan dahak yang tertahan di kerongkongannya. Ia duduk dan kembali berdiri tatkala ada pengunjung lagi yang mau masuk ke toko. Beberapa menit kemudian, Abah pun berkeliling sambil membawa boks.

Pengunjung yang tadi menyapanya pun selesai berbelanja. Saya lihat, ia memberikan uang lima ribu rupiah kepada Abah tanpa membeli satu pun kue dagangannya. Setelah mengucap terima kasih, Abah pun mengingatkan kepadanya untuk berhati-hati  saat menjalankan motor.Begitulah seterusnya, Abah menawarkan kue moci kepada pengunjung yang baru tiba. Dan seperti sebelumnya, penolakan halus tentu saja diterima Abah.

Agak lama berdiri, ia pun duduk kembali di samping motor saya. Dengan tubuh yang bungkuk oleh usia, ia tergopoh-gopoh menenteng boks dan duduk di tempat pertama ketika saya tiba di toko itu. Saya pun refleks mendekati Abah dengan niat ingin membeli barang satu atau dua kue moci.

Bah, sabaraha ieu kue teh (Abah, berapa harga kue ini)?” tanya saya.

Abah pun menjawab dengan suara yang parau. Sayang, suaranya lagi-lagi takjelas terdengar. Kalah oleh deru kendaraan yang berlalu lalang.

Abah pun membuka tutup boks dan menyilakan saya mengambil bungkusan kue. Dua bungkus saya ambil. Di setiap bungkus kue tertera sebuah label rumahan: kue Moci khas Cianjur. Entahlah, apakah kue Moci itu benar-benar asli Cianjur ataukah bukan.

Saya pun kembali bertanya harganya. Masih dengan suara yang parau, Abah menyebutkan harga. Awalnya, saya pikir satu bungkus kue dihargai dua ribu rupiah. Saya pun membuka dompet untuk mengambil uang lima ribuan untuk membayar kue tersebut.

Rupanya saya salah mendengar. Bukan dua ribu yang dimaksud Abah, tetapi lima ribu rupiah untuk satu bungkus kue yang berisi 10 butir. Saya pun meminta maaf kepada Abah dan mengganti uang lima ribuan dengan sepuluh ribu. Abah pun menerimanya dengan ramah sambil mengucap terima kasih.

Masih ada waktu sebelum sampai di kantor, pikir saya. Saya pun duduk di samping Abah, mengobrol ngalor ngidul dengan tujuan ingin menggali lebih dalam tentang siapa sosoknya.

Pejuang yang Tidak Bahagia

Namanya Abah  A. Sutarya. Tujuh puluh lima tahun usianya. Pria asli Kota Bandung ini setiap harinya berjalan hampir sejauh 5 kilometer dari rumahnya di Nyalindung, Rancaekek untuk berjualan kue Moci di kawasan Jatinangor. Jika fisik sedang prima, Abah berjalan kaki menuju Jatinangor dengan menenteng boks jualannya. Namun, jika sedang tidak prima, Abah naik angkot untuk menuju Jatinangor.

Abah ternyata orang yang pandai bercerita. Ia tidak sungkan menceritakan masa lalunya. Tanpa saya tanya pun, ia gamblang menceritakan kisah hidupnya. Pada masa mudanya, Abah adalah seorang tentara sekaligus pejuang kemerdekaan. Ia mengaku juga terlibat memburu kelompok komunis pada masa revolusi.

“Baru sekarang saya terdaftar sebagai veteran. Sekarang sedang diproses untuk mendapatkan uang pensiunnya,” ujar Abah ketika saya tanya apakah beliau mendapat perhargaan dari pemerintah atau tidak.

Menjadi tentara yang sebenarnya justru berawal pada tahun 1950an. Kala itu, ia menikahi seorang wanita Sunda yang berprofesi Pegawai Negeri di Kota Bandung. Di tahun yang sama ia pun mendaftar sekolah Akademi Militer.

Sebagai “tentara yang belum menjadi tentara”, Abah pun banyak ditugaskan seperti memburu anggota PKI hingga terbang untuk mengamankan Timor Timur yang berkecamuk kala itu. Dalam tugasnya memburu anggota PKI, ada beberapa rekan mainnya yang ternyata seorang anggota PKI. Abah pun tidak tahu bagaimana nasib rekannya. Ia hanya ditugaskan untuk menangkap dan membawanya ke markas.

“Saya nggak tahu bagaimana nasibnya sekarang,” sahut Abah sambil memandang jauh.

Sambil terbatuk Abah pun melanjutkan ceritanya. Beragam kisah-kisah perjuangan pun keluar dari mulut Abah. Pada tahun 1988, Abah mendapat tawaran untuk mengikuti seleksi calon perwira di Kota Bandung. Abah pun dengan semangat mendaftar. Sayang, Abah taklolos seleksi. Pascakejadian itu, Abah pun meninggalkan dunia militer dan tinggal di rumah saudara istrinya di Nyalindung hingga sekarang.

Beragam perasaan bergelut dalam dada. Antara bangga mendengar kisah seorang pejuang dan miris mendengar bahwa ia masih belum mendapat kompensasi atas jasanya memperjuangkan kemerdekaan. Kalaupun dapat, belum tentu uang tersebut dapat mencukupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi.

Kisahnya sebagai pejuang mungkin hanya sebagian kecil dari semangat juang bangsa Indonesia di dalam mencapai kemerdekaan. Namun, Indonesia seharusnya tahu bahwa belum semuanya para pejuang kemerdekaan itu dapat menikmati kemerdekaannya.

Tidak Dihargai

 Berhenti sebagai seorang abdi negara, Abah pun memutuskan bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Beragam profesi pun sempat dilakoni Abah, mulai dari pekerja bangunan hingga pedagang kue Moci.

Pada tahun 2000an, istri Abah meninggal dunia. Abah pun tetap tinggal di Nyalindung. Namun, sepeninggal istrinya, Abah merasa tidak nyaman tinggal di rumah tersebut. Pasalnya, banyak saudara almarhum istrinya yang selalu mencela Abah apabila Abah berada di rumah setiap harinya.

Tidak tahan dengan celaan tersebut, Abah pun memutuskan untuk mencari pekerjaan meski usianya sudah beranjak senja. Ia pun mendapat tawaran untuk menjual kue Moci. Setiap harinya kue Moci tersebut didatangkan dari Garut. Tepat dugaan, kue Moci ini bukanlah asli Cianjur.

“Yah, daripada saya menganggur terus dicemooh saudara di rumah. Saya pun jualan saja,” ujar Abah.
Tidak tentu penghasilan yang didapat Abah. Namun, Abah masih bersyukur sebab setiap harinya Abah masih membawa uang ke rumah. Meskipun terkadang orang-orang lebih banyak memberikan uang atas dasar belas kasihan ketimbang membeli kue moci.

“Alhamdulillah, masih banyak orang yang peduli sama Abah. Setiap ada yang ngasih atau beli kue, Abah selalu doakan biar selalu dapat rezeki,” ujarnya sambil tersenyum.

Berharap yang Terbaik

Mantan pejuang itu kini telah menginjak usia senja. Tujuh puluh lima tahun usianya, banyak pengalaman manis dan pahit yang telah dialami Abah. Abah pun merasakan perubahan kehidupan yang semakin lama semakin takkeruan. Jika sudah merasa begitu, Abah hanya bisa berdoa semoga semuanya kembali baik-baik saja.

Kue moci yang disandangnya dengan satu tangan adalah harapan hidup Abah. Ia tidak punya impian banyak. Ia hanya ingin hidup bahagia, mensyukuri segala nikmat yang diberikan Tuhan. Ia tidak pernah tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Meskipun banyak celaan, ia tetap merasa bahagia.

Ada rasa hormat yang ingin dicurahkan pada sosok pejuang yang kini mulai ringkih itu. Abah adalah salah satu bagian dari perjuangan bangsa. Ia pernah mengabdi untuk negara, namun kini ia bergantung seluruhnya pada belas kasihan negara. Abah adalah seorang pejuang, dan sekarang ia tengah berjuang untuk hidup.

Apakah semua orang mengenal Abah sebagai seorang pejuang kemerdekaan? Ataukah orang-orang hanya menganggap Abah hanyalah seorang penjual kue moci belaka?

Saya ingin mengatakan pada semua orang bahwa Abah adalah seorang pejuang yang tidak boleh terlupakan. Ia pahlawan, bukan hanya pahlawan bangsa tapi pahlawan kehidupan. Saya berharap pemerintah segera memproses pensiun Abah sebagai seorang veteran. Dengan begitu, Abah punya harapan untuk tetap hidup tanpa bersusah payah menjual kue moci lagi.

Tidak ada keinginan lain yang kini dirasa Abah. Saat saya tanya apa hal yang belum didapatkan, Abah hanya menjawab sederhana. Ia takbutuh apapun di zaman teknologi yang semakin canggih ini. Ia hanya minta didoakan fisik yang selalu sehat.

Abah pun ingin selalu bahagia. Kebahagiaan itu ia tunjukkan dengan senyum ramah pada semua orang. Kebahagiaan itu ia tularkan melalui doa yang takputus terucap dari mulut dan hatinya. “Rezeki itu ada yang mengatur. Kalau kita berangkat dari rumah tidak ikhlas, ya kita tidak akan bisa menjemput rezeki itu,” pesan Abah tersebut selalu terngiang-ngiang di telinga saya.

Ya, Abah hanya ingin bahagia.

Begitulah, sebuah pertemuan singkat dengan sosok pejuang yang selalu bahagia. Di ujung pertemuan, Abah pun berpesan kepada saya untuk berhati-hati ketika mengendarai motor agar selalu selamat dimanapun berada. Akh.. Abah, rasanya lembaran uang yang kuberikan pun tak cukup untuk membalas segala kebaikan, keramahan, maupun nilai-nilai yang kau tularkan.


Saya pun berlalu meninggalkan Abah. Semoga waktu selalu menguatkannya.

No comments:

Post a Comment