Pertemuan
saya dengan Abah agaknya tidak akan terjadi apabila saya tidak memutuskan untuk
mampir sejenak dari perjalanan pagi menuju kantor. Di sudut toko waralaba di
samping Kampus IPDN, ia duduk, berkemeja lusuh dan bersendal jepit. Sedang di
depannya satu boks dagangan kue Moci yang terisi setengah. Setiap orang yang
masuk ke toko tersebut, ia lemparkan senyum sambil menawarkan dagangan.
Pagi
itu takbanyak orang yang berbelanja. Ia duduk di lantai yang usang oleh debu.
Sementara di halaman toko terjejer kursi-kursi berikut meja yang sering
digunakan pengunjung untuk mengobrol, ngopi, atau nongkrong.
Saya
mampir ke toko tersebut untuk membeli roti, air mineral, dan rokok. Saya
parkirkan motor butut saya persis di samping Abah yang sedang duduk. Senyumnya
mengembang ketika melihat saya memarkir motor. Dengan suaranya yang pelan dan
parau ia pun menawarkan dagangannya kepada saya.
“Kue
moci, sarapan dulu dek...,” saya takbisa mendengar persis kalimatnya.
Saya
hanya tersenyum lalu masuk ke toko dan memilih produk yang akan dibeli. Dari
dalam, saya kembali melihat ke luar, ke posisi Abah duduk. Hal tersebut
berkali-kali saya lakukan. Bahkan ketika mengantri membayar, saya sempatkan
sekali lagi untuk melihat sosoknya.
Saya
lihat Abah berdiri. Ia tenteng boks tersebut dengan satu tangan. Dalam benak
saya, boks tersebut pasti berat. Apalagi boks yang terbuat dari kaleng itu
berisi banyak kue Moci. Namun, Abah takperlu menjadi binaragawan untuk dapat
mengangkat boks dagangannya.
Abah
berdiri karena ada sebuah mobil yang baru saja diparkir. Begitu pengemudinya
keluar untuk masuk ke toko, Abah pun menawarkan dagangannya sambil
mengembangkan senyumnya. Saya lihat, pengemudi itu menolak dengan halus sambil
melangkah masuk ke dalam toko.
Setelah
membayar belanjaan, saya pun keluar dan duduk di sebuah kursi yang tersedia.
Sambil mengisap rokok, saya amati gerak gerik Abah yang berdiri sambil membawa
boks dagangannya. Seorang pengendara motor datang dan memarkir motornya di
depan Abah. Ia menyapa Abah lalu masuk ke dalam toko.
Saya
amati terus. Sesekali Abah terbatuk dengan dahak yang tertahan di
kerongkongannya. Ia duduk dan kembali berdiri tatkala ada pengunjung lagi yang
mau masuk ke toko. Beberapa menit kemudian, Abah pun berkeliling sambil membawa
boks.
Pengunjung
yang tadi menyapanya pun selesai berbelanja. Saya lihat, ia memberikan uang
lima ribu rupiah kepada Abah tanpa membeli satu pun kue dagangannya. Setelah
mengucap terima kasih, Abah pun mengingatkan kepadanya untuk berhati-hati saat menjalankan motor.Begitulah seterusnya,
Abah menawarkan kue moci kepada pengunjung yang baru tiba. Dan seperti
sebelumnya, penolakan halus tentu saja diterima Abah.
Agak
lama berdiri, ia pun duduk kembali di samping motor saya. Dengan tubuh yang
bungkuk oleh usia, ia tergopoh-gopoh menenteng boks dan duduk di tempat pertama
ketika saya tiba di toko itu. Saya pun refleks mendekati Abah dengan niat ingin
membeli barang satu atau dua kue moci.
“Bah, sabaraha ieu kue teh (Abah, berapa
harga kue ini)?” tanya saya.
Abah
pun menjawab dengan suara yang parau. Sayang, suaranya lagi-lagi takjelas
terdengar. Kalah oleh deru kendaraan yang berlalu lalang.
Abah
pun membuka tutup boks dan menyilakan saya mengambil bungkusan kue. Dua bungkus
saya ambil. Di setiap bungkus kue tertera sebuah label rumahan: kue Moci khas Cianjur. Entahlah, apakah
kue Moci itu benar-benar asli Cianjur ataukah bukan.
Saya
pun kembali bertanya harganya. Masih dengan suara yang parau, Abah menyebutkan
harga. Awalnya, saya pikir satu bungkus kue dihargai dua ribu rupiah. Saya pun
membuka dompet untuk mengambil uang lima ribuan untuk membayar kue tersebut.
Rupanya
saya salah mendengar. Bukan dua ribu yang dimaksud Abah, tetapi lima ribu
rupiah untuk satu bungkus kue yang berisi 10 butir. Saya pun meminta maaf
kepada Abah dan mengganti uang lima ribuan dengan sepuluh ribu. Abah pun
menerimanya dengan ramah sambil mengucap terima kasih.
Masih
ada waktu sebelum sampai di kantor, pikir saya. Saya pun duduk di samping Abah,
mengobrol ngalor ngidul dengan tujuan ingin menggali lebih dalam tentang siapa sosoknya.
Pejuang yang Tidak Bahagia
Namanya
Abah A. Sutarya. Tujuh puluh lima tahun
usianya. Pria asli Kota Bandung ini setiap harinya berjalan hampir sejauh 5
kilometer dari rumahnya di Nyalindung, Rancaekek untuk berjualan kue Moci di
kawasan Jatinangor. Jika fisik sedang prima, Abah berjalan kaki menuju
Jatinangor dengan menenteng boks jualannya. Namun, jika sedang tidak prima,
Abah naik angkot untuk menuju Jatinangor.
Abah
ternyata orang yang pandai bercerita. Ia tidak sungkan menceritakan masa lalunya.
Tanpa saya tanya pun, ia gamblang menceritakan kisah hidupnya. Pada masa
mudanya, Abah adalah seorang tentara sekaligus pejuang kemerdekaan. Ia mengaku
juga terlibat memburu kelompok komunis pada masa revolusi.
“Baru
sekarang saya terdaftar sebagai veteran. Sekarang sedang diproses untuk
mendapatkan uang pensiunnya,” ujar Abah ketika saya tanya apakah beliau
mendapat perhargaan dari pemerintah atau tidak.
Menjadi
tentara yang sebenarnya justru berawal pada tahun 1950an. Kala itu, ia menikahi
seorang wanita Sunda yang berprofesi Pegawai Negeri di Kota Bandung. Di tahun
yang sama ia pun mendaftar sekolah Akademi Militer.
Sebagai
“tentara yang belum menjadi tentara”, Abah pun banyak ditugaskan seperti
memburu anggota PKI hingga terbang untuk mengamankan Timor Timur yang
berkecamuk kala itu. Dalam tugasnya memburu anggota PKI, ada beberapa rekan
mainnya yang ternyata seorang anggota PKI. Abah pun tidak tahu bagaimana nasib
rekannya. Ia hanya ditugaskan untuk menangkap dan membawanya ke markas.
“Saya
nggak tahu bagaimana nasibnya sekarang,” sahut Abah sambil memandang jauh.
Sambil
terbatuk Abah pun melanjutkan ceritanya. Beragam kisah-kisah perjuangan pun
keluar dari mulut Abah. Pada tahun 1988, Abah mendapat tawaran untuk mengikuti
seleksi calon perwira di Kota Bandung. Abah pun dengan semangat mendaftar.
Sayang, Abah taklolos seleksi. Pascakejadian itu, Abah pun meninggalkan dunia
militer dan tinggal di rumah saudara istrinya di Nyalindung hingga sekarang.
Beragam
perasaan bergelut dalam dada. Antara bangga mendengar kisah seorang pejuang dan
miris mendengar bahwa ia masih belum mendapat kompensasi atas jasanya
memperjuangkan kemerdekaan. Kalaupun dapat, belum tentu uang tersebut dapat
mencukupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi.
Kisahnya
sebagai pejuang mungkin hanya sebagian kecil dari semangat juang bangsa
Indonesia di dalam mencapai kemerdekaan. Namun, Indonesia seharusnya tahu bahwa
belum semuanya para pejuang kemerdekaan itu dapat menikmati kemerdekaannya.
Tidak Dihargai
Berhenti sebagai seorang abdi negara, Abah pun
memutuskan bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Beragam profesi pun sempat
dilakoni Abah, mulai dari pekerja bangunan hingga pedagang kue Moci.
Pada
tahun 2000an, istri Abah meninggal dunia. Abah pun tetap tinggal di Nyalindung.
Namun, sepeninggal istrinya, Abah merasa tidak nyaman tinggal di rumah
tersebut. Pasalnya, banyak saudara almarhum istrinya yang selalu mencela Abah
apabila Abah berada di rumah setiap harinya.
Tidak
tahan dengan celaan tersebut, Abah pun memutuskan untuk mencari pekerjaan meski
usianya sudah beranjak senja. Ia pun mendapat tawaran untuk menjual kue Moci.
Setiap harinya kue Moci tersebut didatangkan dari Garut. Tepat dugaan, kue Moci
ini bukanlah asli Cianjur.
“Yah,
daripada saya menganggur terus dicemooh saudara di rumah. Saya pun jualan
saja,” ujar Abah.
Tidak
tentu penghasilan yang didapat Abah. Namun, Abah masih bersyukur sebab setiap
harinya Abah masih membawa uang ke rumah. Meskipun terkadang orang-orang lebih
banyak memberikan uang atas dasar belas kasihan ketimbang membeli kue moci.
“Alhamdulillah,
masih banyak orang yang peduli sama Abah. Setiap ada yang ngasih atau beli kue,
Abah selalu doakan biar selalu dapat rezeki,” ujarnya sambil tersenyum.
Berharap yang Terbaik
Mantan
pejuang itu kini telah menginjak usia senja. Tujuh puluh lima tahun usianya,
banyak pengalaman manis dan pahit yang telah dialami Abah. Abah pun merasakan
perubahan kehidupan yang semakin lama semakin takkeruan. Jika sudah merasa
begitu, Abah hanya bisa berdoa semoga semuanya kembali baik-baik saja.
Kue
moci yang disandangnya dengan satu tangan adalah harapan hidup Abah. Ia tidak
punya impian banyak. Ia hanya ingin hidup bahagia, mensyukuri segala nikmat
yang diberikan Tuhan. Ia tidak pernah tidak puas dengan apa yang dimilikinya.
Meskipun banyak celaan, ia tetap merasa bahagia.
Ada
rasa hormat yang ingin dicurahkan pada sosok pejuang yang kini mulai ringkih
itu. Abah adalah salah satu bagian dari perjuangan bangsa. Ia pernah mengabdi
untuk negara, namun kini ia bergantung seluruhnya pada belas kasihan negara.
Abah adalah seorang pejuang, dan sekarang ia tengah berjuang untuk hidup.
Apakah
semua orang mengenal Abah sebagai seorang pejuang kemerdekaan? Ataukah
orang-orang hanya menganggap Abah hanyalah seorang penjual kue moci belaka?
Saya
ingin mengatakan pada semua orang bahwa Abah adalah seorang pejuang yang tidak
boleh terlupakan. Ia pahlawan, bukan hanya pahlawan bangsa tapi pahlawan
kehidupan. Saya berharap pemerintah segera memproses pensiun Abah sebagai
seorang veteran. Dengan begitu, Abah punya harapan untuk tetap hidup tanpa
bersusah payah menjual kue moci lagi.
Tidak
ada keinginan lain yang kini dirasa Abah. Saat saya tanya apa hal yang belum
didapatkan, Abah hanya menjawab sederhana. Ia takbutuh apapun di zaman
teknologi yang semakin canggih ini. Ia hanya minta didoakan fisik yang selalu
sehat.
Abah
pun ingin selalu bahagia. Kebahagiaan itu ia tunjukkan dengan senyum ramah pada
semua orang. Kebahagiaan itu ia tularkan melalui doa yang takputus terucap dari
mulut dan hatinya. “Rezeki itu ada yang mengatur. Kalau kita berangkat dari
rumah tidak ikhlas, ya kita tidak akan bisa menjemput rezeki itu,” pesan Abah
tersebut selalu terngiang-ngiang di telinga saya.
Ya,
Abah hanya ingin bahagia.
Begitulah,
sebuah pertemuan singkat dengan sosok pejuang yang selalu bahagia. Di ujung
pertemuan, Abah pun berpesan kepada saya untuk berhati-hati ketika mengendarai
motor agar selalu selamat dimanapun berada. Akh.. Abah, rasanya lembaran uang
yang kuberikan pun tak cukup untuk membalas segala kebaikan, keramahan, maupun
nilai-nilai yang kau tularkan.
Saya
pun berlalu meninggalkan Abah. Semoga waktu selalu menguatkannya.
No comments:
Post a Comment