Tuesday, 14 January 2014

MENUJU NEGERI DI ATAS AWAN (3): Menjelajahi Negeri Para Dewa

Kompleks Candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng
Benarkah Dieng dahulunya adalah negeri seribu Dewa?


“Sebentar lagi matahari terbit. Anda mau mengabadikannya?” tanya Ahmad Supangkat, pengojek yang saya sewa dari terminal Mendolo Wonosobo menuju Dieng. Motor meraung di jalan menanjak, angin dingin mulai membuat kaki saya sedikit linu sebab hanya memakai sandal gunung tanpa kaus kaki.

Supangkat pun menepikan motor ke Gardu Pandang Dieng, sekitar 2 kilometer sebelum kawasan wisata Dieng. Hari masih gelap. Kami berdua naik ke atas gardu yang memiliki ketinggian sekira 1.800 meter di atas permukaan laut. Masing-masing dari kami mulai mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan momentum itu.

“Itu Gunung Sindoro,” ujarnya sambil menujuk sebuah gunung yang menjulang tinggi di sebelah timur. Dari balik gunung itu, matahari perlahan naik. Sinarnya yang kekuningan mulai mencuat di langit yang masih didominasi gelap.

Kami arahkan ponsel masing-masing ke arah matahari terbit. Sayang, sinarnya masih terhalangi oleh punggungan gunung yang memiliki ketinggian 3.136 meter di atas permukaan laut. Jika mengingat tentang nama gunung Sindoro, pikiran langsung melayang kepada satu gunung yang sering disebut sebagai “saudara kembarnya”, yakni Gunung Sumbing yang terletak di sebelah tenggara Sindoro.


Puas mengabadikan matahari terbit, saya pun mengajak Supangkat untuk meneruskan perjalanan. Saya melingkarkan scarf di leher dan meninggikan resleting jaket. Sementara Supangkat melingkarkan sarung di leher sambil mengatupkan jaket kulitnya.
“Dingin saat ini belum seberapa. Kalau di musim kemarau, suhu di Dieng bisa di bawah 0 derajat,” ujarnya.

Perkataan tersebut bukanlah omong kosong. Meno, salah satu warga di Dataran Tinggi Dieng yang juga seorang pemandu wisata mengatakan, pada musim kemarau sekitar bulan Juni suhunya bisa mencapai minus 3 derajat Celcius. Hal ini acapkali terjadi fenomena embun yang mengkristal. Masyarakat biasa menyebutnya dengan istilah “bun upas”.

“Kalau bun upas datang, rumput di halaman pasti jadi beku. Pipa-pipa air pasti ada bongkahan es yang menyerupai stalaktit. Biasanya banyak orang yang memotretnya, tapi saya gak berani karena terlalu dingin,” papar Meno.

Untunglah ini bukan di bulan Juni. Suhu kali ini saja sudah membuat saya menggigil hebat. Entahlah apa yang terjadi jika saya tiba di bulan Juni tepat ketika bun upas terjadi. Sebab, datangnya bun upas sering tidak dapat diprediksi. Hanya masyarakat asli saja yang sudah paham tanda-tanda datangnya fenomena alam tersebut.

Motor pun kembali merayap di tanjakan. Truk-truk ekspedisi pengangkut logistik merayap pelan di tanjakan. Supangkat dengan licah menyalip truk tersebut meski beberapa kali saya harus menahan napas. Pasalnya, di samping kanan jalan adalah jurang menganga yang minim pembatas.

Beberapa menit kemudian tugu bertuliskan “Dieng Plateau Area” telah kami lewati. Ini tandanya kami telah sampai di kawasan wisata Dieng, 2.093 meter di atas permukaan laut. Dataran tinggi Dieng adalah sebuah kawasan yang terletak di antara 2 kabupaten, yakni Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo. Selain kaya akan keindahan alam, Dieng pun sangat kental dengan tradisi budaya.

Salah satu daya tarik Dieng adalah keindahan matahari terbitnya. Wisatawan sering mengabadikan momentum tersebut dari puncak bukit Sikunir, 7 kilometer dari jalan utama Dieng. Beruntung, saya sempat menyaksikan proses alam tersebut meski hanya tampak dari balik gunung Sindoro.

Berdasarkan informasi, Kawasan Dataran Tinggi Dieng merupakan sebuah kompleks gunung berapi dengan kerucut-kerucutnya terdiri dari: Bisma, Seroja, Binem, Pangonan Merdada, Pagerkandang, Telogo Dringo, Pakuwaja, Kendil Sikunir dan Prambanan. Dataran Tinggi Dieng juga berderet beberapa kawah berapi, yakni Kawah Sikidang, kawah Kumbang, kawah Sibanteng, Kawah Upas, Telogo Terus, Kawah Pagerkandang, Kawah Sipandu, Kawah Siglagah dan Kawah Sileri.

Nama Dieng sendiri berasal dari gabungan dua kata dari bahasa Kawi, yaitu di yang berarti “tempat” atau “gunung” dan Hyang  yang bermakna (Dewa). Dengan demikian, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.

Dari sisi sejarah, Dieng merupakan daerah yang memiliki banyak peninggalan sejarah. Para arkeolog memperkirakan ada sekitar 200 candi yang dibangun di dataran tinggi Dieng. Candi ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Kalingga . Hal ini didukung dengan catatan Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Catatan tersebut kemudian dibukukan dengan judul History of Java, yang memuat penelitiannya mengenai sejarah dan peninggalan-peninggalan kuno di Jawa.

Dua ratus candi tersebut diperkirakan hancur akibat bencana alam dan hanya menyisakan beberapa candi saja. Candi-candi tersebut erat kaitannya dengan epos Mahabharata, yakni kompleks candi Arjuna, candi Semar, candi Srikandi, candi Sembadra, candi Puntadewa, kompleks candi Gatotkaca, kompleks candi Dwarawati, dan candi Bima yang baru ditemukan. Bisa jadi, di masa yang akan datang ditemukan lagi candi-candi yang saat ini masih terkubur.

Dari penuturan Meno, candi-candi tersebut menganut Syiwa. Masyarakat dahulu menggunakannya untuk memuja Dewa Syiwa, dewa perusak dalam kepercayaan Hindu. Aliran ini berbeda dengan candi-candi lainnya di Jawa yang kebanyakan memuja Dewa Wisnu.

Tidak banyak catatan tertulis mengenai sejarah Dieng. Bahkan saat saya menginjakkan kaki di tanah Dieng pun sedikit informasi yang memuat perjalanan peradaban dataran tinggi Dieng. Salah satu informasi hanyalah di Museum Kaliasa yang terletak di kompleks Candi Arjuna.

Di museum ini berisi galeri arca dan artefak yang ditemukan di Datara tinggi Dieng, serta Informasi lain mengenai keterangan cagar alam di sekitar Dataran Tinggi Dieng, Flora-Fauna, dan kehidupan masyarakatnya. Pengunjung pun dapat menyaksikan film-film dokumenter mengenai peninggalan budaya di Dataran Tinggi Dieng.

Namun, saya masih belum menemukan secara rinci mengenai Dieng di masa lalu. Hal ini pun dibenarkan oleh Meno dan Agus Susilo, pemilik homestay yang saya tempati selama di Dieng. Sebagian arca Dieng kini disimpan di Museum Leiden, Belanda. Dahulu, orang-orang Belanda membawa langsung artefak tersebut ke negeri Belanda.

“Bahkan prasasti yang menceritakan tentang sejarah Dieng ternyata kini ada di Museum Leiden,” ujar Meno.
Kepercayaan lain menyebutkan, Dieng merupakan poros dunia. Diceritakan Batara Guru memindahkan Gunung Mahameru, gunung suci di India, ke Pulau Jawa untuk menyeimbangkannya karena terombang ambing di lautan luas. Namun pada saat memindahkan gunung ke porosnya, Pulau Jawa masih tetap goyang, sehingga para dewa pun kembali membuang sebagian gunung Mahameru ke bagian timur. Kini, gunung yang dipindah itu bernama gunung Semeru dan gunung buangannya bernama gunung Penanggungan di Jawa Timur.

Konon, kerucut gunung Mahameru tersebut jatuh di dataran tinggi Dieng. Menurut Meno, ada satu puncak di dataran tinggi Dieng yang memiliki batu besar berupa Menhir berbentuk kerucut di tengahnya, bernama Pakuwaja. Batu inilah yang diyakini masyarakat Hindu sebagai kerucutnya Gunung Mahameru India ketika dipindah ke pulau Jawa dan diyakini sebagai porosnya Pulau Jawa.

Selain banyak ditemukan kompleks candi, ditemukan pula puing-puing yang menyerupai padepokan/pendopo. Meno pun menduga karena letaknya di kawasan perbukitan, maka pada zaman dahulu Dieng dijadikan sebagai kawasan suci atau kawasan untuk mempelajari agama.

Dugaan bahwa Dieng adalah kawasan suci pun terungkap dari mitos yang sampai saat ini berkembang di masyarakatnya. Sejak zaman dahulu, di Dieng tidak dapat dibuka pasar perdagangan. Mitos itu pun tetap terjaga sehingga tidak ada sentra perdagangan atau pasar yang dibuka di Dieng.

Padahal, dari segi ekonomi Dieng merupakan sentra produksi kentang terbesar di Jawa Tengah. Hawa pegunungan menjadikan kawasan Dieng cocok sebagai pertanian kentang. Di kawasan ini pun banyak ditanami berbagai jenis palawija, hingga buah endemik Dieng yaitu Carica (carica pubescens) atau Pepaya Gunung.

Untuk memasarkan hasilnya, petani menjualnya ke kota Wonosobo yang berjarak 28 kilometer dari Dieng. Sehingga, tidak ada aktivitas jual beli atau sentra perdagangan kentang dan hasil lainnya yang dibuka di Dieng akibat adanya mitos tersebut. “Kalaupun ada pasar, itu juga biasanya menjelang Lebaran dan sifatnya tidak permanen,” tambah Meno.

Bukti lain menyebutkan, dataran tinggi Dieng pun erat kaitannya dengan masyarakat Hindu Bali. Meskipun terpisah pulau, di hari-hari besar Hindu, masyarakat Bali masih banyak yang berkunjung ke Dieng untuk melakukan ziarah dan mengambil air di Goa Sumur, Telaga Warna untuk upacara Mabakti.

Perkara melakukan ritual suci, beberapa orang pun berkunjung ke Dieng untuk melakukan ritual. Biasanya mereka melakukan tapa di Goa Semar dan Goa Sumur. Bahkan, saya mendengar cerita bahwa ada orang yang telah melakukan tapa selama berpuluh-puluh tahun di Dieng.

Cerita ini bukan isapan jempol belaka. Orang yang melakukan tapa tersebut masih dapat ditemukan di pinggir jalan Dieng-Banjarnegara. Agar tidak menjadi perhatian, masyarakat pun menutupinya dengan membangun sebuah barak kecil.

Banyaknya aktivitas spiritual yang dilakukan di Dataran Tinggi Dieng memunculkan satu pertanyaan, benarkah Dieng adalah pusat poros dunia sekaligus sebagai pusat peradaban masyarakat Jawa Kuno? Barangkali, ke depan akan lebih banyak ditemukan bukti-bukti arkeologis yang lebih lengkap menceritakan sejarah Dieng. Semoga tidak hilang tergerus waktu.
  



No comments:

Post a Comment