Kompleks Candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng |
Benarkah Dieng
dahulunya adalah negeri seribu Dewa?
“Sebentar lagi matahari terbit. Anda mau mengabadikannya?”
tanya Ahmad Supangkat, pengojek yang saya sewa dari terminal Mendolo Wonosobo
menuju Dieng. Motor meraung di jalan menanjak, angin dingin mulai membuat kaki
saya sedikit linu sebab hanya memakai sandal gunung tanpa kaus kaki.
Supangkat pun menepikan motor ke Gardu Pandang Dieng,
sekitar 2 kilometer sebelum kawasan wisata Dieng. Hari masih gelap. Kami berdua
naik ke atas gardu yang memiliki ketinggian sekira 1.800 meter di atas
permukaan laut. Masing-masing dari kami mulai mengeluarkan ponsel untuk
mengabadikan momentum itu.
“Itu Gunung Sindoro,” ujarnya sambil menujuk sebuah gunung
yang menjulang tinggi di sebelah timur. Dari balik gunung itu, matahari
perlahan naik. Sinarnya yang kekuningan mulai mencuat di langit yang masih
didominasi gelap.
Kami arahkan ponsel masing-masing ke arah matahari terbit.
Sayang, sinarnya masih terhalangi oleh punggungan gunung yang memiliki
ketinggian 3.136 meter di atas permukaan laut. Jika mengingat tentang nama
gunung Sindoro, pikiran langsung melayang kepada satu gunung yang sering
disebut sebagai “saudara kembarnya”, yakni Gunung Sumbing yang terletak di
sebelah tenggara Sindoro.
Puas mengabadikan matahari terbit, saya pun mengajak
Supangkat untuk meneruskan perjalanan. Saya melingkarkan scarf di leher dan meninggikan resleting jaket. Sementara Supangkat
melingkarkan sarung di leher sambil mengatupkan jaket kulitnya.
“Dingin saat ini belum seberapa. Kalau di musim kemarau,
suhu di Dieng bisa di bawah 0 derajat,” ujarnya.
Perkataan tersebut bukanlah omong kosong. Meno, salah satu
warga di Dataran Tinggi Dieng yang juga seorang pemandu wisata mengatakan, pada
musim kemarau sekitar bulan Juni suhunya bisa mencapai minus 3 derajat Celcius.
Hal ini acapkali terjadi fenomena embun yang mengkristal. Masyarakat biasa
menyebutnya dengan istilah “bun upas”.
“Kalau bun upas datang, rumput di halaman pasti jadi beku.
Pipa-pipa air pasti ada bongkahan es yang menyerupai stalaktit. Biasanya banyak
orang yang memotretnya, tapi saya gak berani karena terlalu dingin,” papar
Meno.
Untunglah ini bukan di bulan Juni. Suhu kali ini saja sudah
membuat saya menggigil hebat. Entahlah apa yang terjadi jika saya tiba di bulan
Juni tepat ketika bun upas terjadi.
Sebab, datangnya bun upas sering tidak dapat diprediksi. Hanya masyarakat asli
saja yang sudah paham tanda-tanda datangnya fenomena alam tersebut.
Motor pun kembali merayap di tanjakan. Truk-truk ekspedisi
pengangkut logistik merayap pelan di tanjakan. Supangkat dengan licah menyalip
truk tersebut meski beberapa kali saya harus menahan napas. Pasalnya, di
samping kanan jalan adalah jurang menganga yang minim pembatas.
Beberapa menit kemudian tugu bertuliskan “Dieng Plateau
Area” telah kami lewati. Ini tandanya kami telah sampai di kawasan wisata
Dieng, 2.093 meter di atas permukaan laut. Dataran tinggi Dieng adalah sebuah
kawasan yang terletak di antara 2 kabupaten, yakni Kabupaten Banjarnegara dan
Wonosobo. Selain kaya akan keindahan alam, Dieng pun sangat kental dengan
tradisi budaya.
Salah satu daya tarik Dieng adalah keindahan matahari
terbitnya. Wisatawan sering mengabadikan momentum tersebut dari puncak bukit
Sikunir, 7 kilometer dari jalan utama Dieng. Beruntung, saya sempat menyaksikan
proses alam tersebut meski hanya tampak dari balik gunung Sindoro.
Berdasarkan informasi, Kawasan Dataran Tinggi Dieng
merupakan sebuah kompleks gunung berapi dengan kerucut-kerucutnya terdiri dari:
Bisma, Seroja, Binem, Pangonan Merdada, Pagerkandang, Telogo Dringo, Pakuwaja,
Kendil Sikunir dan Prambanan. Dataran Tinggi Dieng juga berderet beberapa kawah
berapi, yakni Kawah Sikidang, kawah Kumbang, kawah Sibanteng, Kawah Upas,
Telogo Terus, Kawah Pagerkandang, Kawah Sipandu, Kawah Siglagah dan Kawah
Sileri.
Nama Dieng sendiri berasal dari gabungan dua kata dari
bahasa Kawi, yaitu di yang berarti
“tempat” atau “gunung” dan Hyang yang bermakna (Dewa). Dengan demikian, Dieng
berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.
Dari sisi sejarah, Dieng merupakan daerah yang memiliki
banyak peninggalan sejarah. Para arkeolog memperkirakan ada sekitar 200 candi
yang dibangun di dataran tinggi Dieng. Candi ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Kalingga . Hal ini didukung dengan catatan Thomas
Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Catatan tersebut kemudian
dibukukan dengan judul History of Java,
yang memuat penelitiannya mengenai sejarah dan peninggalan-peninggalan kuno di
Jawa.
Dua ratus candi tersebut diperkirakan hancur akibat bencana
alam dan hanya menyisakan beberapa candi saja. Candi-candi tersebut erat
kaitannya dengan epos Mahabharata, yakni kompleks candi Arjuna, candi Semar,
candi Srikandi, candi Sembadra, candi Puntadewa, kompleks candi Gatotkaca,
kompleks candi Dwarawati, dan candi Bima yang baru ditemukan. Bisa jadi, di
masa yang akan datang ditemukan lagi candi-candi yang saat ini masih terkubur.
Dari penuturan Meno, candi-candi tersebut menganut Syiwa. Masyarakat dahulu menggunakannya untuk memuja Dewa Syiwa, dewa perusak
dalam kepercayaan Hindu. Aliran ini berbeda dengan candi-candi lainnya di Jawa
yang kebanyakan memuja Dewa Wisnu.
Tidak banyak catatan tertulis mengenai sejarah Dieng. Bahkan
saat saya menginjakkan kaki di tanah Dieng pun sedikit informasi yang memuat
perjalanan peradaban dataran tinggi Dieng. Salah satu informasi hanyalah di
Museum Kaliasa yang terletak di kompleks Candi Arjuna.
Di museum ini berisi galeri arca dan artefak yang ditemukan
di Datara tinggi Dieng, serta Informasi lain mengenai keterangan cagar alam di sekitar
Dataran Tinggi Dieng, Flora-Fauna, dan kehidupan masyarakatnya. Pengunjung pun
dapat menyaksikan film-film dokumenter mengenai peninggalan budaya di Dataran
Tinggi Dieng.
Namun, saya masih belum menemukan secara rinci mengenai
Dieng di masa lalu. Hal ini pun dibenarkan oleh Meno dan Agus Susilo, pemilik homestay yang saya tempati selama di
Dieng. Sebagian arca Dieng kini disimpan di Museum Leiden, Belanda. Dahulu,
orang-orang Belanda membawa langsung artefak tersebut ke negeri Belanda.
“Bahkan prasasti yang menceritakan tentang sejarah Dieng
ternyata kini ada di Museum Leiden,” ujar Meno.
Kepercayaan lain menyebutkan, Dieng merupakan poros dunia. Diceritakan
Batara Guru memindahkan Gunung Mahameru, gunung suci di India, ke Pulau Jawa
untuk menyeimbangkannya karena terombang ambing di lautan luas. Namun pada saat
memindahkan gunung ke porosnya, Pulau Jawa masih tetap goyang, sehingga para
dewa pun kembali membuang sebagian gunung Mahameru ke bagian timur. Kini,
gunung yang dipindah itu bernama gunung Semeru dan gunung buangannya bernama
gunung Penanggungan di Jawa Timur.
Konon, kerucut gunung Mahameru tersebut jatuh di dataran
tinggi Dieng. Menurut Meno, ada satu puncak di dataran tinggi Dieng yang
memiliki batu besar berupa Menhir berbentuk kerucut di tengahnya, bernama
Pakuwaja. Batu inilah yang diyakini masyarakat Hindu sebagai kerucutnya Gunung
Mahameru India ketika dipindah ke pulau Jawa dan diyakini sebagai porosnya
Pulau Jawa.
Selain banyak ditemukan kompleks candi, ditemukan pula
puing-puing yang menyerupai padepokan/pendopo. Meno pun menduga karena letaknya
di kawasan perbukitan, maka pada zaman dahulu Dieng dijadikan sebagai kawasan
suci atau kawasan untuk mempelajari agama.
Dugaan bahwa Dieng adalah kawasan suci pun terungkap dari
mitos yang sampai saat ini berkembang di masyarakatnya. Sejak zaman dahulu, di
Dieng tidak dapat dibuka pasar perdagangan. Mitos itu pun tetap terjaga
sehingga tidak ada sentra perdagangan atau pasar yang dibuka di Dieng.
Padahal, dari segi ekonomi Dieng merupakan sentra produksi
kentang terbesar di Jawa Tengah. Hawa pegunungan menjadikan kawasan Dieng cocok
sebagai pertanian kentang. Di kawasan ini pun banyak ditanami berbagai jenis
palawija, hingga buah endemik Dieng yaitu Carica (carica pubescens) atau Pepaya Gunung.
Untuk memasarkan hasilnya, petani menjualnya ke kota
Wonosobo yang berjarak 28 kilometer dari Dieng. Sehingga, tidak ada aktivitas
jual beli atau sentra perdagangan kentang dan hasil lainnya yang dibuka di
Dieng akibat adanya mitos tersebut. “Kalaupun ada pasar, itu juga biasanya
menjelang Lebaran dan sifatnya tidak permanen,” tambah Meno.
Bukti lain menyebutkan, dataran tinggi Dieng pun erat
kaitannya dengan masyarakat Hindu Bali. Meskipun terpisah pulau, di hari-hari
besar Hindu, masyarakat Bali masih banyak yang berkunjung ke Dieng untuk
melakukan ziarah dan mengambil air di Goa Sumur, Telaga Warna untuk upacara Mabakti.
Perkara melakukan ritual suci, beberapa orang pun berkunjung
ke Dieng untuk melakukan ritual. Biasanya mereka melakukan tapa di Goa Semar
dan Goa Sumur. Bahkan, saya mendengar cerita bahwa ada orang yang telah melakukan
tapa selama berpuluh-puluh tahun di Dieng.
Cerita ini bukan isapan jempol belaka. Orang yang
melakukan tapa tersebut masih dapat ditemukan di pinggir jalan
Dieng-Banjarnegara. Agar tidak menjadi perhatian, masyarakat pun menutupinya
dengan membangun sebuah barak kecil.
Banyaknya aktivitas spiritual yang dilakukan di Dataran
Tinggi Dieng memunculkan satu pertanyaan, benarkah Dieng adalah pusat poros dunia sekaligus sebagai
pusat peradaban masyarakat Jawa Kuno? Barangkali, ke depan akan lebih banyak ditemukan
bukti-bukti arkeologis yang lebih lengkap menceritakan sejarah Dieng. Semoga tidak
hilang tergerus waktu.
No comments:
Post a Comment