Saturday, 17 December 2011

MALAIKAT


Tiba-tiba malaikat itu muncul di hadapannya. Seluruh ruangan kamar menjadi terang karena cahaya dari malaikat itu. Ia takjub, takpercaya dan menyangka bahwa ajalnya telah tiba dan malaikat itu akan bersiap mencabut nyawanya. Namun, rupanya malaikat itu tidak bermaksud mencabut nyawanya. Dengan senyum yang penuh cahaya, malaikat itu berkata kepadanya, “Kesedihan bukan untuk ditangisi. Kesedihan diciptakan Tuhan untuk membuatmu bangkit dan bergerak. Mintalah pada TuhanMu niscaya Ia akan hapuskan kesedihanmu itu.”
Ia mendengarkan perkataan malaikat itu dan ia seka air matanya. Malu pada malaikat, dan malu pada Tuhan. Kesedihan telah membuat air matanya menjadi sungai dan bermuara di sarung bantal. Di kamarnya yang sempit, ia tumpahkan segala perasaan yang telah berubah seratus delapan puluh derajat. Tujuh jam yang lalu ia masih bahagia, menggenggam tangan wanita yang dicintainya. Lima jam yang lalu mereka berpisah dalam remang. Beberapa menit yang lalu ia rebah di kasurnya dan menangisi perpisahan yang baginya terlalu cepat terjadi. Ia berontak pada Tuhan, menangis, dan mengharap agar Tuhan sudi membawanya kembali ke delapan atau tujuh jam yang lalu. Kini, malaikat yang diutus Tuhan itu muncul di kamarnya, membuat kamarnya yang gulita menjadi terang seterang-terangnya cahaya yang paling terang.
Tujuh jam yang lalu ia asyik berbincang mengenai malaikat dan bidadari—dua makhluk yang menjadi primadona manusia. Di senja keemasan yang perlahan berubah menjadi lembayung, ia mesra menggandeng tangan seorang wanita yang kini telah pergi meninggalkannya.
“Tahukah kamu kalau lembayung itu berasal dari apa?” tanyanya pada wanita itu.
“Lho, bukankah dia itu cahaya matahari yang sebentar lagi tenggelam?”
“Salah—“
“Lho kok?”
“Iya, salah.”
“Apa dong?”
Ia tersenyum. Lalu melanjutkan lagi.
“Lembayung itu berasal dari sehelai bulu sayap malaikat dan bidadari yang terhempas ke bumi. Ketika ia sampai di cakrawala, sehelai bulu yang entah terbuat dari emas ajaib atau zat yang berkilau lainnya itu dibiaskan oleh langit sehingga warna yang kau lihat dari lembayung itu sebenarnya adalah kemilau dari sehelai bulu itu.”
Wanita itu terdiam, entah percaya entah tidak. Ia terdiam seperti mengingat sesuatu. Sesuatu yang seakan-akan ingin ia ungkapkan pada kekasihnya itu. Namun, ia ragu dan mungkin tidak berani mengatakannya. Wajah manisnya menyimpan duka. Ia menyembunyikan pandangannya dari kekasihnya. Ia tidak ingin melihat wajah kekasihnya kini. Bukan karena benci, tetapi karena ia memang harus segera melupakannya sebelum semuanya terlambat.
***
Matahari tenggelam dalam remang. Malaikat-malaikat yang mereka perbincangkan turun ke bumi. Cakrawala ungu. Rembulan pasif tertutupi awan. Ia berjalan sambil menggenggam tangan wanita itu, tidak lagi semesra satu jam sebelumnya ketika ia begitu fasih berbicara tentang senja. Beberapa saat lagi mereka akan berpisah, dan tidak tahu kapan akan bertemu kembali.
Mereka mungkin lupa bahwa malaikat mencatat apa yang telah mereka lakukan saat itu. Waktu semakin berjalan tua dan malaikat akan terus mencatat. Ia mengalami perpisahan dengan kekasihnya, sesaat setelah lembayung yang—kata dia—berasal dari bulu malaikat itu dan ketika bulan yang masih pasif bertengger di cakrawala. Perpisahan yang entah akan berjumpa lagi atau pun tidak. Kalaupun berjumpa, bukankah perjumpaan akan selalu diakhiri dengan perpisahan kembali? Kita selalu berbincang tentang ada, namun ada itu sendiri sangat mudah untuk disubversifkan. Dunia berangkat dari ketidakadaan, kekosongan, dan kehampaan. Segala yang ada akan menjadi hampa sama sekali. Pertemuan yang menjadikan ada akan selalu berakhir pada perpisahan yang menjadikan tiada.
Tapi bukankah perpisahan hanyalah tidak bertemu ragawi saja?
Wanita itu pergi sebelum ketinggalan pesawat. Di sela-sela tangisannya wanita itu masih bisa menahan untuk tidak memeluknya. Segala ada menjadi subversif. Hilang. Tetapi, kenangan dalam ingatan tidak akan bisa disubversif, meskipun ingatan bisa melemah atau pun gegar otak.
“Kau masih bisa mengenangku dalam ingatanmu,” kata wanita itu sambil berlalu.
Ia melepas kepergian wanita itu dengan air mata yang tertahan. Sungkan baginya menangis di depan wanita. Sungguh, karena sebetulnya laki-laki lebih lemah dari wanita. Laki-laki tidak bisa menahan kesedihan. Laki-laki bisa berpura-pura tegar di depan, dan akan menangis dengan penuh keharuan di belakang. Laki-laki bisa menatap nisan seseorang yang dicintainya ketika meninggal tanpa menangis, lalu akan kembali lagi setelah semua pelayat pergi dan menangis memeluk nisan itu. Kesedihan adalah musuh laki-laki. Dan kini ia tengah berhadapan dengan musuhnya itu.
Ia masih melihat kekasihnya berlari menjauh dan hilang ditelan kelam. Rambut panjangnya melambai-lambai semakin kecil semakin jauh dari pandangan. Lalu ia pun mengutuk Tuhan, mengapa Ia tidak memberikan kesempatan sedikit saja untuk berikrar janji sehidup semati!
***
Malaikat itu masih ada di hadapannya, penuh cahaya gilang gemilang tanpa sekali pun merusak mata. Perlahan kesedihannya sirna disepuh oleh cahaya dari malaikat itu.
“Tuhan ada dalam semesta. Tuhan ada di dalam hatimu. Ia lebih dekat dari rambutmu!” seru malaikat itu.
Ia tertegun. Khilaf. Dalam bayangannya, Tuhan menatap tajam padanya. Begitu mudahkah aku terlena? Pikirnya. Tuhan ada di mana-mana, bahkan Ia pasti ada di hati kekasihnya. Perlahan-lahan ia bangkit, bersujud pada malaikat itu. Bersujud pada Tuhan. Dan malaikat yang penuh cahaya gilang-gemilang perlahan-lahan lenyap darinya dengan menyisakan butir-butir cahaya. Ia tangkap cahaya itu dan ia dekap ke dadanya. Pertemuan yang singkat namun mampu mengubah hidupnya itu akan ia kenang selamanya. Lebih indah dari pertemuan dengan kekasihnya yang ternyata malah membuat hatinya bersedih.
Ia bersujud. Mengucap namaNya. Mengucap RasulNya. Mengucap semesta. Mengucap nama kekasihnya. Ia sudah lupa, sudah berapa kali nama kekasihnya selalu disebut dalam doa? Ia baru merasakan, kebahagiaan yang paling indah bersama kekasihnya adalah ketika ia mengucap nama kekasihnya itu dalam doa malam, dalam iringan tasbih, tahmid, dan takbir memuja TuhanNya. Doa yang akan selalu sampai pada kekasihnya. Doa yang akan selalu menghangatkan kesepiannya. Doa yang akan selalu menjaga tidurnya.
Sayup-sayup terdengar kokok ayam. Ia masih terjaga seusai melantunkan zikir. Siapakah nama malaikat itu? pikirnya. Perlahan matanya terpejam dan tersenyum. Senyum yang paling indah yang pernah terukir di bibirnya.
Ia berharap bisa bertemu lagi dengan malaikat, meskipun itu malaikat maut …



Bandung, 05 Desember 2011
22.22

No comments:

Post a Comment