Monday, 9 January 2012

I . N . D . O . N . E . S. I . (A)



Tahun 2012 masihlah terbilang baru, sekitar seminggu berjalan. Namun, di balik seminggu itu, ternyata telah banyak masalah yang melanda Indonesia. Mulai dari kecelakaan, pembunuhan, penembakan misterius, kasus “sandal jepit”, hingga bencana alam yang silih berganti. Semuanya terjadi serentak dalam tenggak waktu seminggu ini. Baru seminggu saja sudah banyak masalah, bagaimana dengan minggu-minggu dan bulan-bulan ke depannya? Begitulah pemikiran saya.
Kasus tersebut silih berebut menjadi deadline utama dalam warta berita atau pun di media masa. Masyarakatlah yang kelimpungan. Belum selesai mereka melihat berita kecelakaan bis “Sumber Bencono” eh.. “Sumber Kencono”, stasiun teve yang lain sudah menayangkan kasus penembakan misterius di Aceh. Di stasiun teve yang lain marak memberitakan kasul pencurian sandal jepit yang berujung tindak kekerasan yang dilakukan dua orang anggota polisi terhadap seorang pelajar SMK. Orang-orang bersimpati dengan mengadakan aksi “Seribu Sandal untuk AAL” (Kini, sandal jepit Swallow menjadi laku dan tenar!!).
Media kebanjiran berita. Alam sekitar pun mengamininya dengan ikut-ikutan menyumbangkan bencana alam untuk mereka liput. Banjir, longsor, angin puting beliung, hingga pohon tumbang dan baliho yang ambruk karena angin di Jakarta, menjadi langganan untuk masuk teve. Indonesia tidak hanya dihadapkan pada kasus yang dilakukan oleh manusianya saja, tetapi ditingkahi pula oleh alam-alamnya yang mulai “mengamuk” seiring manusianya yang juga mulai “mengamuk”.
Inilah. Indonesia terjebak dalam dua aspek. Satu sisi, Indonesia terjebak dengan kondisi alam Indonesia yang rawan, iklim yang takmenentu, dan musim hujan yang tinggi. Di sisi lain, manusia Indonesia mulai memunculkan sifat-sifat “aslinya”—seperti yang pernah diutarakan oleh Mochtar Lubis—munafik, tidak mau bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya takhayul/mimpi, serta berbakat seni tapi lemah dalam watak karakternya[1]. Stereotipe tersebut memang terkesan mengada-ada, tetapi jangan sekali-kali kita tidak mempercayainya. Kenyataannya manusia Indonesia kini tidak lagi mementingkan norma. Setidaknya terlihat dari beberapa kasus yang “nongol” di awal tahun 2012 ini.
Khusus untuk permasalahan yang dilakukan oleh manusia, kepada siapakah kiranya kita harus mengadukan masalah ini? Kepada hukum? Apakah memang kini hukum sudah mengakar kuat dalam Undang-undang? Kita tidak punya pilihan. Hukum sudah dibuat, dan kita—sebagai masyarakat kecil—dipaksa untuk mengabdi pada hukum. (kenyataannya, manusia feodal tidak pernah sudi mengabdi pada hukum!)
Barangkali, alam pun sudah jenuh melihat tingkah manusia Indonesia yang makin hari makin beringas saja. Warga sipil begitu mudahnya punya senjata (dan akan dengan mudah pula menembak ke orang!). Saya menganggap bahwa Indonesia kini sedang mengalami peperangan. Perang melawan bangsa sendiri. Perang melawan saudara sendiri. Manusia Indonesia akan memusuhi manusia Indonesia lainnya, hanya karena masalah sepele. Kaum feodal akan dengan mudahnya memusuhi ratusan orang dengan menggusur sebuah sekolah (lagi-lagi klaim tanah warisan!). Perang semacam inilah yang sangat ditakuti. Bukan perang antar negara. Bukan perang dingin antar dua negara adidaya (sekarang masih tidak?). Perang yang lambat laun akan menghancurkan eksistensi dari keindonesiaan itu sendiri. Perang yang terjadi antara manusia Indonesia yang satu dengan manusia Indonesia lainnya (Polisi juga kan orang Indonesia…).
Guru sekolah kita akan selalu bilang bahwa Indonesia adalah negara “Bhinneka Tunggal Ika”. Simbol tersebut kini seakan mati tergerus zaman Kalatidha. Gotong royong bukan lagi milik bersama, tetapi kini menjadi milik individu/kelompok tertentu. Segerombolan masa bergotong royong membakar rumah dinas walikota. Itu `kan bahasa halusnya.
Saya berpikir (dalam pikiran yang mengambang di warung kopi) bahwa bangsa ini sebenarnya adalah bangsa yang hebat, buktinya dengan gotong royong tadi, mereka bisa menghancurkan apa yang selama ini menjadi tujuan utama. Tahun 2012 adalah tahun resolusi, bukan tahun yang itu-itu juga. Resolusi yang terbentuk haruslah demi kepentingan manusia Indonesia lainnya juga. Hukum haruslah bertindak adil, jangan sebelah mata ataupun katarak terhadap pelanggaran hukum. Jika hukum tidak mampu adil di bumi Nusantara ini, maka semestalah yang akan mengadili kita dengan seadil-adilnya.
Kini, kasus apa lagi yang akan kita temui esok hari?


[1] Pembicaraan ini dikutip dari naskah pidato Mochtar Lubis pada tahun 1977, dan kini dibukukan dengan judul “Manusia Indonesia” terbitan Yayasan Obor Indonesia.

No comments:

Post a Comment