Akhir-akhir ini saya menjadi sering menulis. Bukan karena ikut-ikutan, bukan karena sok pamer bahwa saya mahir menulis, juga bukan karena saya memiliki catatan harian. Setelah berkutat dengan kegiatan yang “pura-pura” ilmiah, kini sudah waktunya untuk kembali meluangkan waktu, mengungkapkan pemikiran melalui menulis.
Menulis bukan semata-mata merangkai kata hingga membentuk kalimat yang saling menyambung, menulis adalah mengungkapkan pikiran yang sekiranya kita tidak mungkin mengungkapkannya lewat media lisan.
Ketika kita menulis, apa saja, selalu ada pikiran kita yang dituangkan di dalamnya, termasuk pandangan atau penolakan kita, karena menulis merupakan media yang paling baik untuk berbicara. Tidak semua orang akan pandai berbicara, karena ada juga orang yang pendiam dan jarang berbicara. Namun, kenyataannya, orang-orang yang pendiam punya media bicara yang lebih baik, yakni tulisan. Setidaknya tulisan bersifat jujur dan murni hasil pemikiran si penulisnya. Kita tidak bisa bohong melalui tulisan. Sebaliknya, kita akan dengan mudah berbohong ketika kita berbicara.
Ketika menulis ini, saya teringat ketika Soekarno dibuang ke Ende (1934—1938) lalu diinternir ke Bengkulu (1938—1942). Selama masa pembuangannya, Soekarno tetap melancarkan perlawanannya terhadap kolonial melalui tulisan. Ia membuat banyak naskah drama, dan di dalam naskah itu tentunya sangat kental dengan tendensi simbol perjuangan bangsa.
Agitasi politik yang dilancarkan Soekarno melalui karya sastranya ini dirasa tepat, karena hampir semua naskah drama itu dipentaskan dengan pemain yang berasal dari penduduk setempat. Dengan memainkan lakon dari naskah tersebut, sudah pasti antara penulis naskah, pemain lakon, hingga penonton memiliki hubungan benang merah yang berhasil direntangkan oleh Soekarno hingga penonton, yakni perjuangan melawan penjajah.
Politik semacam inilah yang menjadikan sebuah tulisan bukan hanya menjadi sebuah cerita yang bersifat menghibur saja, tetapi ada ruang-ruang makna yang harus dijelajahi oleh pembacanya. Ruang-ruang makna tersebut sengaja dibuka oleh penulis untuk kita masuki dan kita dalami sejauh mana makna tulisan tersebut. Setiap makna tidak akan tunggal, selalu ada ruang-ruang makna yang kosong setiap kali kita mengisi salah satu dari ruang-ruang makna tersebut. Itulah hebatnya sebuah tulisan.
Dewasa ini kita mengenal istilah proses kreatif. Proses kreatif adalah hal-hal yang menyebabkan lahirnya sebuah tulisan, dan selalu dirumuskan dengan frase, apa, mengapa, dan bagaimana. Apa yang saya tulis? Mengapa saya menulis hal-hal itu? dan bagaimana saya menuliskan hal-hal tersebut menjadi sebuah tulisan?
Para penulis dan sastrawan seringkali berbicara tentang proses kreatif. Hal ini menunjukkan bahwa menulis bukan sekadar menyalurkan hobi dan inspirasi saja. Menulis harus memberikan semacam pengaruh kepada pembacanya. Seorang sastrawan itu bukan penulis—setidaknya menurut pendapat saya. Sastrawan itu adalah tukang pemberi pengaruh kepada pembacanya, bukan sekadar menulis sesuatu yang bersifat menghibur.
Seperti Soekarno, seperti pengarang-pengarang era Balai Pustaka (1920—1930), mereka menjadikan sastra sebagai media agitasi. Di balik cerita yang dirangkai, kemerdekaan bangsa dijadikan sasaran utama dari serangkaian perjuangan-perjuangan yang dilakukan, baik secara bersamaan maupun secara sporadik. Media perjuangan semacam inilah yang sering kita temukan dalam karya-karya sastra—khususnya—yang terbit sebelum kemerdekaan Indonesia.
Mereka adalah orang-orang yang kreatif. Menyalurkan media perjuangan melalui media tulisan. Apapun yang menjadi pikiran seorang penulis/sastrawan, mereka akan menyampaikannya melalui karya tulis dengan harapan pembaca akan ikut larut ke dalam arus pemikiran si penulis karya tersebut. Itulah yang dinamakan dengan proses kreatif, di samping dengan hal-hal yang bersifat teknis ( keterampilan menulis, berbahasa, dan merangkai alur yang menarik).
Jadi, jika Pembaca yang Baik mempunyai ide atau pemikiran yang kiranya sangat baik untuk disampaikan kepada publik, tulislah pemikiran tersebut melalui tulisan. Semakin banyak menulis, anda akan tahu seberapa besar kelemahan Anda dalam menyampaikan suatu pendapat. Dan semakin banyak menulis pula, akan akan kaya menguasai kata-kata sehingga Anda tidak lagi canggung dan kehilangan kata-kata ketika hendak menulis. Berkaryalah dan jangan takut tulisan Anda tidak dibaca. Sebab, yang bicara dalam sebuah tulisan bukanlah kemenarikan tema atau alurnya, melainkan proses kreatif pemikiran Andalah yang berperan di dalamnya.
No comments:
Post a Comment