Anak adalah karunia terbesar dari Tuhan. Ia bagaikan butir mutiara yang
didapat oleh seorang nelayan yang terus bekerja mencari ikan tanpa lelah. Tidak
semua karunia ini didapat oleh setiap pasangan suami istri. Kenyataannya,
banyak pasangan suami istri yang telah lama menginginkan seorang anak namun
agaknya rezeki tersebut belum hinggap pada mereka. Mereka pun akan melakukan
cara apa saja untuk mendapatkan anak, mulai dari memeriksakan kesuburan
masing-masing pasangan hingga mengadopsinya dari panti-panti asuhan.
Seorang anak akan lahir dan menatap dunia lewat rahim ibunya. Selama
sembilan bulan janin secara bertahap membentuk bagian-bagian tubuh dari sang
anak. Dan Tuhan pun akan meniupkan nyawa pada janin tersebut ketika kandungan
mencapai usia empat bulan. Berarti sekitar tiga sampai lima bulan lagi sang
anak akan lahir dan tumbuh memeriahkan hari-hari sang ibu.
Ketika lahir, sang anak menangis menjerit ketika pertama kali merasakan
hawa dunia. Dengan kehangatan sang ibu, ia diberi makanan pertamanya yakni ASI.
Sang ibu akan menjaga buah hatinya, memenuhi semua kebutuhan nutrisinya, serta
mengasuh sang bayi sampai kelak ia tumbuh menjadi manusia yang penuh harapan
dari orang tuanya.
Sang anak akan diajari bagaimana berbicara, bagaimana berjalan, dan
bagaimana ia bersikap. Orang tua akan dengan sabar membimbingnya, mengganti
popoknya jika basah, hingga memandikan dan mencarikan makanan untuknya. Sadar
akan betapa berharganya salah satu karunia Tuhan tersebut, orang tua akan
dengan gigih menjaga serta mengajari anaknya dengan hal-hal yang baik agar
kelak ia tidak membuat malu kedua orang tuanya.
Meskipun masa kanak-kanak adalah masa yang indah, setiap anak telah
diberi amanat untuk menjaga nama baik orang tua serta keluarga kelak jika ia
telah saatnya menempuh jalan hidupnya sendiri. Pada bahunya yang mungil
tersimpan harapan orang tua agar ia kelak bisa membahagiakan mereka meski
mereka tidak mengharapkan yang muluk-muluk.
Namun, pada kasus-kasus yang lumrah terjadi di negeri kita, banyak sekali
orang tua yang tega menelantarkan anaknya. Apa yang mereka pikirkan? Manusia
tentunya tidak sama dengan seekor penyu yang bertelur tanpa pernah tahu
bagaimana keadaan anak-anak penyu tersebut nantinya. Setelah bertelur, lantas
induknya meninggalkan mereka dan membiarkan penyu-penyu tersebut menempuh
jalannya sendiri semenjak ia menetas dari telurnya. Itu hanyalah penyu yang
memang menggantungkan hidupnya pada hukum alam. Tentunya manusia bukan makhluk
yang seperti itu. Jika ada orang tua yang masih tega menelantarkan anaknya,
mereka (orang tua) tidak memahami hakikat posisinya sebagai orang tua, yakni
orang yang mengasuh anaknya.
Lain orang tua, lain lagi anaknya. Akhir-akhir ini ada kasus seorang anak
perempuan yang enggan kembali ke pangkuan orang tuanya dengan anggapan ia tidak
boleh sekolah oleh ibunya. Gadis cilik
itu pun minggat ke rumah orang tua angkatnya nun jauh hingga ke tanah Papua.
Kasus pun belum selesai. Setelah dipertemukan dan dinegosiasi oleh petugas yang
terkait, sang anak malah menganggap bahwa ia bukan anak dari ibu kandungnya dan
dengan mantap meminta untuk melakukan tes DNA.
Kasus-kasus di atas adalah cerminan dari kurang terbentuknya hubungan
lahir dan batin antara orang tua dengan anaknya. Pada dasarnya—meskipun telah
beranjak dewasa—hubungan antara orang tua dan anak tidak akan bisa untuk
dipisahkan. Seorang anak akan selalu membutuhkan orang tuanya, dan orang tua pun
akan selalu membutuhkan anaknya. Bila ada salah satu unsur yang rumpang, bukan
tidak mungkin terjadi keretakan hubungan antara orang tua dan anak.
Komunikasi yang baik adalah salah satu jalan untuk tetap menjembatani
hubungan antara orang tua dengan anaknya, begitu juga anak dengan orang tuanya.
Orang tua harus mau mendengar keluhan dari anaknya, dan anak pun harus lebih
mau mendengarkan dan mematuhi perintah orang tuanya. Hubungan antar keduanya merupakan
peran kehidupan yang saling mengisi. Kedua-duanya sudah terikat oleh ikatan
biologi dan psikologis yang melekat dalam tubuh. Dalam tubuh sang anak, akan
selalu mengalir darah orang tuanya. Jika anak melenceng dari kaidah tersebut,
bersiaplah untuk menerima hukum yang telah digariskan akibat mendurhakai orang
tua.
Bagaimana pun, anak tidak akan bisa melebih orang tuanya. Meskipun
pendidikan sang anak telah tinggi, ia tetap harus bersujud di kaki orang
tuanya. Begitu juga dengan orang tua, tidak akan ada di dunia ini yang memiliki
status sebagai “mantan orang tua”. Anak adalah sampan yang melaju menuju muara,
dan orang tua menjadi penunjuk arah sehingga sampan tersebut akhirnya sampai ke
tujuannya.
No comments:
Post a Comment