Wednesday, 1 February 2012

ANAK, JEMBATAN MENUJU KESEMPURNAAN HIDUP


Anak adalah karunia terbesar dari Tuhan. Ia bagaikan butir mutiara yang didapat oleh seorang nelayan yang terus bekerja mencari ikan tanpa lelah. Tidak semua karunia ini didapat oleh setiap pasangan suami istri. Kenyataannya, banyak pasangan suami istri yang telah lama menginginkan seorang anak namun agaknya rezeki tersebut belum hinggap pada mereka. Mereka pun akan melakukan cara apa saja untuk mendapatkan anak, mulai dari memeriksakan kesuburan masing-masing pasangan hingga mengadopsinya dari panti-panti asuhan.
Seorang anak akan lahir dan menatap dunia lewat rahim ibunya. Selama sembilan bulan janin secara bertahap membentuk bagian-bagian tubuh dari sang anak. Dan Tuhan pun akan meniupkan nyawa pada janin tersebut ketika kandungan mencapai usia empat bulan. Berarti sekitar tiga sampai lima bulan lagi sang anak akan lahir dan tumbuh memeriahkan hari-hari sang ibu.
Ketika lahir, sang anak menangis menjerit ketika pertama kali merasakan hawa dunia. Dengan kehangatan sang ibu, ia diberi makanan pertamanya yakni ASI. Sang ibu akan menjaga buah hatinya, memenuhi semua kebutuhan nutrisinya, serta mengasuh sang bayi sampai kelak ia tumbuh menjadi manusia yang penuh harapan dari orang tuanya.
Sang anak akan diajari bagaimana berbicara, bagaimana berjalan, dan bagaimana ia bersikap. Orang tua akan dengan sabar membimbingnya, mengganti popoknya jika basah, hingga memandikan dan mencarikan makanan untuknya. Sadar akan betapa berharganya salah satu karunia Tuhan tersebut, orang tua akan dengan gigih menjaga serta mengajari anaknya dengan hal-hal yang baik agar kelak ia tidak membuat malu kedua orang tuanya.
Meskipun masa kanak-kanak adalah masa yang indah, setiap anak telah diberi amanat untuk menjaga nama baik orang tua serta keluarga kelak jika ia telah saatnya menempuh jalan hidupnya sendiri. Pada bahunya yang mungil tersimpan harapan orang tua agar ia kelak bisa membahagiakan mereka meski mereka tidak mengharapkan yang muluk-muluk.
Namun, pada kasus-kasus yang lumrah terjadi di negeri kita, banyak sekali orang tua yang tega menelantarkan anaknya. Apa yang mereka pikirkan? Manusia tentunya tidak sama dengan seekor penyu yang bertelur tanpa pernah tahu bagaimana keadaan anak-anak penyu tersebut nantinya. Setelah bertelur, lantas induknya meninggalkan mereka dan membiarkan penyu-penyu tersebut menempuh jalannya sendiri semenjak ia menetas dari telurnya. Itu hanyalah penyu yang memang menggantungkan hidupnya pada hukum alam. Tentunya manusia bukan makhluk yang seperti itu. Jika ada orang tua yang masih tega menelantarkan anaknya, mereka (orang tua) tidak memahami hakikat posisinya sebagai orang tua, yakni orang yang mengasuh anaknya.
Lain orang tua, lain lagi anaknya. Akhir-akhir ini ada kasus seorang anak perempuan yang enggan kembali ke pangkuan orang tuanya dengan anggapan ia tidak boleh sekolah oleh ibunya.  Gadis cilik itu pun minggat ke rumah orang tua angkatnya nun jauh hingga ke tanah Papua. Kasus pun belum selesai. Setelah dipertemukan dan dinegosiasi oleh petugas yang terkait, sang anak malah menganggap bahwa ia bukan anak dari ibu kandungnya dan dengan mantap meminta untuk melakukan tes DNA.
Kasus-kasus di atas adalah cerminan dari kurang terbentuknya hubungan lahir dan batin antara orang tua dengan anaknya. Pada dasarnya—meskipun telah beranjak dewasa—hubungan antara orang tua dan anak tidak akan bisa untuk dipisahkan. Seorang anak akan selalu membutuhkan orang tuanya, dan orang tua pun akan selalu membutuhkan anaknya. Bila ada salah satu unsur yang rumpang, bukan tidak mungkin terjadi keretakan hubungan antara orang tua dan anak.
Komunikasi yang baik adalah salah satu jalan untuk tetap menjembatani hubungan antara orang tua dengan anaknya, begitu juga anak dengan orang tuanya. Orang tua harus mau mendengar keluhan dari anaknya, dan anak pun harus lebih mau mendengarkan dan mematuhi perintah orang tuanya. Hubungan antar keduanya merupakan peran kehidupan yang saling mengisi. Kedua-duanya sudah terikat oleh ikatan biologi dan psikologis yang melekat dalam tubuh. Dalam tubuh sang anak, akan selalu mengalir darah orang tuanya. Jika anak melenceng dari kaidah tersebut, bersiaplah untuk menerima hukum yang telah digariskan akibat mendurhakai orang tua.
Bagaimana pun, anak tidak akan bisa melebih orang tuanya. Meskipun pendidikan sang anak telah tinggi, ia tetap harus bersujud di kaki orang tuanya. Begitu juga dengan orang tua, tidak akan ada di dunia ini yang memiliki status sebagai “mantan orang tua”. Anak adalah sampan yang melaju menuju muara, dan orang tua menjadi penunjuk arah sehingga sampan tersebut akhirnya sampai ke tujuannya.

No comments:

Post a Comment