KAU
Add caption |
Memang akhir-akhir ini kau begitu berharga dalam penglihatan rabunku. Kupeluk
kau dengan sisa-sisa tenagaku. “Kita sudah sampai,” katamu mengingatkan. Akh,
kotamu, sudah berapa lamakah aku tak menginjak kotamu? Kota yang terlahir dari kenangan dan semangat
untuk hidup.
Menjelang Isya kita tiba di stasiun. Ada kata yang taksempat diucap. Wajahmu
yang ayu kupandangi sekali lagi sebagai kenang-kenangan terindah di dalam
perjalananku. Ada
rindu yang tidak biasa. Menggebu
bagai debu yang mengaburkan pandangan mata.
“Kapan kau akan ke sini lagi?” tanyamu.
Aku terlahir sebagai dongengan yang
takut pergi ke dunia nyata.
“Kita masih bisa bertemu lagi kan?”
kau takut untuk menghadapi sebuah perpisahan.
O, rambutmu belum memutih dimakan usia. Tergerai oleh angin stasiun
yang menggigilkan rembulan. Kau jangan takut kehilanganku. Kau jangan
takut kehilangan cinta.
“Sepulang dari tugasku aku akan meminang kamu,” jawabku mantap.
Kau memelukku erat. Tidak peduli pada bising kereta yang masuk di jalur
dua. Bahuku basah oleh air matamu. Malam selalu mengunci kata-kata kita.
“Berapa lama kau pergi?” tanyamu di sela-sela air matamu.
“Sampai dunia menjadi damai oleh air matamu.”
Kita terdiam. Kau merelakan malam
mengunci kata-katamu? Tangismu kalah oleh bunyi kereta yang merayap
meninggalkan stasiun. Menuju barat. Menuju malam yang muram. Namun, hatiku akan selalu tertuju pada
rumahmu. Pada rumah kita kelak di masa depan.
“Ingat aku dalam ibadahmu. Jangan ragu menyebut namaku dalam doamu,” kau
berkata.
Ah, tentu. Sudah sekian kali namamu kusebut dalam doaku. Aku lupa, dan
taksempat mengingatnya.
“Aku cinta kamu,”
kataku tenang mencoba menguatkanmu.
“Aku tahu cinta kita akan kuat. Aku tahu itu. Cepatlah pulang, aku akan
selalu menunggu pinanganmu,” kau melepaskan pelukan dan pandanganmu jatuh di
wajahku. Ada rasa yang tidak biasa, ada cinta yang
menggelora.
Tapi kita sudah terbiasa dengan perpisahan.
Bandung,
01 Februari 2012
No comments:
Post a Comment