Wednesday, 1 February 2012

MENGAJARKAN FILSAFAT PADA ANAK


Sistem pendidikan di Indonesia dapat dikatakan masih jauh dari harapan. Sistem pembelajaran yang ada di sekolah-sekolah konvensional terbilang masih belum bisa membentuk karakter individu masing-masing pelajar. Hal ini disebabkan selain kualitas pengadaan sarana sekolah yang belum merata, pengadaan guru sebagai sarana pembelajaran utama belum maksimal, serta mata pelajaran yang belum memungkinkan siswanya membentuk kepribadian dari mata pelajaran tersebut.
Hal ini terlihat dari pendidikan sekolah dasar yang ada. Jika di negeri lain, pemerintah dengan sadar mengutamakan mata pelajaran yang bersifat mengarah pada pembentukan karakter seperti filsafat, seni, dan sastra, sistem pendidikan dasar di Indonesia hanya cukup puas dengan metode calistung atau baca, tulis, dan berhitung saja. Saya tidak menganjurkan untuk mengikuti model Barat, akan tetapi filsafat sebenarnya harus ditanamkan sedini mungkin. Sebab, filsafat berkaitan erat dengan kehidupan. Masalah calistung sebagai program yang diunggulkan pemerintah hanya berupa penyelesaian masalah teknis di kehidupan yang sebenarnya.
Mengajarkan filsafat pada anak-anak merupakan solusi yang baik untuk membentuk kepribadian anak serta untuk mengajarkan hakikat kehidupan. Pada kasus-kasus yang ada, seorang anak seringkali bertanya kepada orang tua dengan pertanyaan yang mungkin jauh melebihi pemikiran anak seusianya, misalnya, “Ayah kenapa aku bisa ada di dunia ini?”, atau “Ibu, kenapa orang bisa mati, lalu besoknya ada bayi yang lahir?”. Barangkali untuk sebagian orang tua akan susah menjawab pertanyaan si anak.
Pertanyaan di atas sebenarnya menyangkut pada identitas manusia. Dalam filsafat dikenal sebagai konsep dari keber”Ada”an. Manusia Ada dan mengAda. Para ilmuwan mendefinisikan Ada sebagai kebermulaan dari sebuah kehidupan. Dalam konteks agama, Ada ini didefinisikan sebagai Tuhan yang menciptakan kehidupan dan segala isinya. Dapatkah hal ini dijelaskan dalam bahasa anak-anak?
Anak-anak usia berkembang merupakan usia anak yang serbaingin tahu. Melihat fenomena yang ada di sekelilingnya selalu menarik keingintahuannya. Psikomotoriknya bergerak, meliha segala sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Oleh karena itu, wajarlah jika anak sering melontarkan pertanyaan yang barangkali terlalu cepat ditanyakan pada anak seusia tersebut. Tentunya, pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut dengan eksistensi kehidupan tidak mungkin dijawab dengan metode calistung saja bukan?
Kaum Barat sadar akan hal tersebut. Untuk menjawab sebuah pertanyaan tentang kehidupan, seorang anak harus dibekali wawasan pengetahuan lain yang mampu menjabarkan apa yang tersurat di dalam agama. Mengacu pada pemikiran Aristoteles yang mengemukakan bahwa Agama, Filsafat, dan Sastra adalah beberapa hal yang mampu membawa manusia menuju kebenaran. Sastra dan Filsafat bersumber pada Agama. Agama sebagai pedoman hidup, lalu Filsafat dan Sastra sebagai jalan menuju pedoman manusia tersebut.
Mengajarkan filsafat pada anak secara perlahan akan membentuk keintelektualan yang terintegrasi. Berapa banyak pemikir-pemikir muda di Indonesia ini? Bangsa ini selalu menganggap bahwa seseorang dikatakan pintar atau jenius jika ia menguasai sains dan teknologi. Kenyataannya, para ahli sains dan teknologi pun masih kewalahan untuk menyeimbangkan otak kiri dan otak kanannya. Mereka terlalu sering menggunakan otak kiri, namun otak kanannya jarang sekali dimaksimalkan. Otak kanan adalah kemampuan otak dalam hal-hal seni, sastra, dan filsafat. Oleh karena itu, kini para ilmuwan dan dokter menganjurkan untuk membaca sastra, bermain dan mendengarkan musik (terutama klasik dan jazz), serta teater. Selain untuk menyeimbangkan fungsi otak kanan, juga sebagai sarana untuk kembali “menyadarkan” kesadaran manusia yang hanyut dalam teori-teori sains.

Jangan Ragu
Ada beberapa keuntungan mengajarkan ilmu Filsafat kepada anak, salah satunya ialah menjadikan anak memiliki kemapuan menalar yang baik. Pada dasarnya dunia ini terdiri dari banyak tanda. Sama seperti dalam karya sastra, tanda-tanda tersebut akan menjadi baik bila manusia mahir menafsirkannya. Namun, jika kita salah menafsirkan tanda-tanda tersebut malah akan menjerumuskan manusia. Anak-anak haruslah sudah mampu membaca tanda di sekelilingnya, agar tidak terjadi lagi anak-anak yang nantinya malah akan terjerumus menjadi generasi yang kotor dan salah.
Salah satu contoh pembelajaran filsafat pada anak adalah ketika seorang guru bertanya kepada muridnya tentang apa yang ada di balik tembok kelas. Murid-murid menjawab di balik tembok kelas ada jalan raya, halaman, mobil, dan lapangan basket. Guru tersebut tersenyum dan berkata bahwa jawaban mereka semuanya salah. Lantas guru tersebut menjawab bahwa yang ada di balik tembok itu adalah cat yang menutupi lapisan tembok.
Sangat sederhana memang, namun itulah hakikat dari filsafat. Filsafat mengajarkan hal-hal yang tidak mampu didefinisikan oleh ilmu apa pun, sebab filsafat adalah sumber dari segala ilmu. Tanda-tanda yang telah disebutkan oleh mruid-murid di atas adalah tanda yang berisfat konvensional, namun mereka lupa bahwa tanda yang dekat dan bahkan kita tidak menyadarinya sangat berperan dan berpengaruh dalam kehidupan.
Seringkali dalam pandangan orang, Filsafat mengajarkan Atheis. Pernyataan itu tentunya sama sekali tidak benar. Filsafat sangat berkaitan erat dengan agama. Keatheisan yang muncul dalam filsafat didasarkan pada pemahaman yang berbeda dari masing-masing orang tentang konsep keber”Ada”an. Agama mana pun di dunia ini selalu berkaitan dengan filsafat untuk mendefinsikan ajarannya. Filsafat pada dasarnya adalah “tafsir yang (ber)etika”, yakni penafsiran yang (harus) mengandung etika ketika kita memaknai suatu tanda tertentu. Agama sendiri pun butuh tafsiran untuk memaknai ajaran yang tertera pada ayat-ayat suciNya.
Menjelang masa-masa perkembangan tubuh dan pikirannya, anak-anak perlu dibekali semacam pengetahuan tentang hakikat kehidupan. Tujuannya adalah untuk mengarahkan pemikiran anak-anak ke pemikiran yang berintelektual. Ada kalanya orang tua tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh anak. Jika asal menjawab maka selamanya anak akan mengacu pada jawaban itu. Misalnya ketika mengapa kita harus takut pada hantu, orang tua akan menjawab karena hantu akan menggigit manusia. Sebenarnya maksud orang tua bukan untuk menakut-nakuti, tetapi jika anak tidak dibekali kemampuan menafsir yang baik, secara otomatis ia akan takut pada hantu seumur hidupnya.
Ada kalanya anak sendirilah yang harus mencari sendiri jawaban dari pertanyaan yang diajukannya. Dengan diajari filsafat, setidaknya ia mampu memahami realitas-realitas kehidupan yang baru dan sama sekali belum pernah dilihatnya. Filsafat mengajarkan kontinuitas berpikir manusia, bukan untuk membuat mandeg pikiran manusia.
Bandung, 01 Februari 2012

No comments:

Post a Comment