Dalam tokoh pewayangan Mahabhrata kita mengenal tokoh yang bernama
Bhisma. Bhisma Dewabharata, titisan dari Wasu Prabhasa, anak Prabu Sentanu
dengan Dwi Ganggawati adalah seorang ksatria sekaligus tetua dari Pandawa
dengan Kurawa. Tokoh Bhisma ini memegang peranan sebagai penengah antara dua
saudara Pandawa dengan Kurawa. Hatinya selalu memihak kepada Pandawa, meskipun
selama hidupnya ia bermukim dan menjadi penasihat di Hastinaputra, kerajaan
Pandawa yang direbut oleh Kurawa.
Bhisma Dewabharata, atau Jahnawi Suta adalah satu-satunya tokoh wayang
yang bisa memilih saat kematiannya sendiri. Hal tersebut merupakan mukjizat
yang diberikan para dewa kepadanya atas pengabdiannya yang tulus kepada
ayahnya. Syahdan, Prabu Santanu pergi berburu di hutan sekitar Sungai Yamuna.
Pertemuannya dengan Dewi Satyawati di tepi sungai membuat sang Prabu menjadi
gundah gulana. Ia jatuh cinta pada Satyawati dan ingin mempersunting putri
tersebut. Namun, Satyawati mengajukan permintaan jika sang Prabu ingin
menikahinya, maka ia harus rela menjadikan anak Satyawati untuk menjadi raja.
Permintaan ini jelas memberatkan sang Prabu. Pasalnya, ia sudah punya calon
pewaris tahta kerajaan, yakni Bhisma. Jadilah sang Prabu kembali ke istana
dalam keadaan gundah dan menderita.
Mengetahui kegundahan ayahnya, akhirnya Bhisma membuat keputusan demi
membahagiakan ayahnya. Bhisma pun rela melepas pewaris mahkota kerajaan kepada
anak Satyawati demi kesembuhan penyakit “cinta” ayahnya. Dan ia pun bersumpah
tidak akan menikah seumur hidupnya demi menjaga agar tidak ada masalah nanti
antara keturunan Bhisma dengan keturunan anak Satyawati.
Keputusan tersebut merupakan janji Bhisma yang mengguncangkan jagat
pewayangan. Betapa tidak, para dewa pun memberikan anugerah kepadanya untuk
bisa memilih saat-saat kematiannya. Hal ini memang benar terjadi. Kematian
Bhisma menjadi lakon tersendiri dalam cerita pewayangan. Dalam perang
mahadahsyat Bharatayudha, Bhisma telah menentukan sendiri saat-saat
kematiannya.
Ketika Perang Bharatayudha, Bhisma berhadapan dengan Sikkhandi, titisan
Dewi Amba yang dulu pernah dicampakkan oleh Bhisma hanya karena janji Bhisma
yang tidak akan menikah selama hidupnya. Mengenali sukma Dewi Amba dalam tubuh
Sikkhandi ia pun takkuasa melawan, karena ia tidak mau melawan seorang perempuan.
Lenyaplah kekebalannya dan melesatlah panah-panah Sikkhandi menembusi tubuhnya.
Bhisma roboh ke bumi namun ia belum mati. Ia roboh namun tidak menyentuh bumi
karena panah-panah yang menancap membuat tubuhnya tidak menyentuh tanah sama
sekali.
Bhisma pun belum mau mati pada saat itu. Ia menunggu saat-saat matahari
berada di utara katulistiwa. Ia percaya bahwa saat-saat kematian yang paling
baik dalam ajaran Hindu adalah ketika matahari berada di utara katulistiwa
daripada berada di selatan.
Cucu-cucu Bhisma yang kala itu sedang bertempur, Arjuna di pihak Pandawa
dan Suyudana di pihak Pandawa mendekati Bhisma. Dengan sisa-sisa kebijakan
seorang orang tua, ia meminta agar Pandawa dan Kurawa untuk berdamai dan
menghentikan peperangan. Ia pun memberikan petuah-petuah kepada kedua saudara
tersebut namun hasilnya nihil. Perang tidak bisa dihentikan. Selesai memberikan
petuah, itulah saat-saat ketika matahari berada di utara katulistiwa dan Bhisma
pun menjemput kematiannya.
Lakon Bhisma Gugur merupakan salah satu lakon pewayangan yang
disukai oleh penikmat wayang. Dalam lakon tersebut penuh dengan makna dan
nasihat-nasihat untuk merenungi kehidupan. Belajar dari keteguhan hati Bhisma
ketika mengucap janji, serta pengorbanan yang besar demi kebahagiaan orang tua
adalah beberapa contoh pesan yang bisa kita petik dari lakon tersebut.
Mukjizat Bhisma yang bisa menentukan saat-saat kematiannya hanya ada di
dalam cerita pewayangan saja. Dalam dunia nyata, tidak mungkin ada seorang
manusia yang bisa menentukan saat-saat kematiannya sendiri. Namun, kita
terkadang suka memaksa menjadi Bhisma, yakni dengan menentukan saat-saat
kematian kita padahal kenyataannya kematian kita masihlah sia-sia.
Bagaimana dengan di Indonesia? Kematian masih menjadi momok yang
menakutkan bagi sebagian orang-orang. Kita takut kematian, namun terkadang kita
selalu mendekati kematian. Peristiwa-peristiwa yang berujung kematian mudah
ditemui di Indonesia. Seakan-akan mereka adalah Bhisma yang bisa menentukan
kapan kematiannya. Bedanya, Bhisma telah mempersiapkan jalan menuju
kematiannya, kita belum bahkan berpikir ke sana pun mungkin hanya terlintas di
acara-acara keagamaan saja.
Kematian Bhisma sebagai seorang yang teguh mempertahankan janjinya
barangkali mengilhami budaya hara-kiri di Jepang, yakni seseorang
melakukan bunuh diri ketika merasa dirinya tidak berjasa kepada negara dan
harus melakukan sesuatu untuk negara. Bunuh diri seperti itu dalam pikiran
masyarakat Jepang merupakan puncak keteguhan hati manusia. Mereka rela bunuh
diri untuk mempertahankan martabatnya sebagai seorang manusia. Meskipun
terkesan anarkis, budaya hara-kiri tersebut masih melekat dalam pikiran
orang-orang Jepang sebagai bentuk rasa cinta kepada tanah air.
Apakah budaya bunuh diri merupakan cara terbaik untuk mempertahankan martabat?
Barangkali dalam agama Islam, dikenal dengan istilah syahid, yakni mati
ketika mempertahankan agama Islam. Istilah syahid itu sendiri agaknya
menjadi tujuan utama bagi pengikut Islam berfaham kiri (baca: teroris). Istilah
syahid bagi mereka adalah ketika ia bisa menyumbangkan harta bahkan
nyawanya untuk menumpas kaum-kaum kafir di muka bumi ini. Namun, cara mereka
seringkali salah, sebab mereka melakukan peledakan bukan hanya mematikan
orang-orang non Muslim, orang-orang Muslim sendiri pun banyak yang menjadi
korban. Bisa saja kan salah satu di antara mereka juga taat beragama atau
sedang menjalankan perintah agama? Siapa kalau begitu yang mati syahid?
Kematian Bhisma adalah simbol penuntasan hidup di dunia dengan persiapan
bekal sebaik-baiknya. Maka kita yang notabene bukan Bhisma—hanya manusia
biasa—kiranya harus lebih baik mempersiapkan bekal menuju kematian. Sebab,
waktu kematian tidak akan pernah bisa ditebak oleh logika manusia.
Sumber:
Ajidarma, Seno Gumira. 2004. Biola Tak Berdawai. Jakarta: Akur.
Kosasih, R.A. 1966. Mahabharata (cet. II). Bandung: Melodi.
Sucipto, Mahendra. 2010. Ensiklopedia Tokoh-tokoh Wayang dan
Silsilahnya. Jogjakarta: Narasi.
No comments:
Post a Comment