Sunday, 12 February 2012

BHISMA DAN KEMATIAN


Dalam tokoh pewayangan Mahabhrata kita mengenal tokoh yang bernama Bhisma. Bhisma Dewabharata, titisan dari Wasu Prabhasa, anak Prabu Sentanu dengan Dwi Ganggawati adalah seorang ksatria sekaligus tetua dari Pandawa dengan Kurawa. Tokoh Bhisma ini memegang peranan sebagai penengah antara dua saudara Pandawa dengan Kurawa. Hatinya selalu memihak kepada Pandawa, meskipun selama hidupnya ia bermukim dan menjadi penasihat di Hastinaputra, kerajaan Pandawa yang direbut oleh Kurawa.
Bhisma Dewabharata, atau Jahnawi Suta adalah satu-satunya tokoh wayang yang bisa memilih saat kematiannya sendiri. Hal tersebut merupakan mukjizat yang diberikan para dewa kepadanya atas pengabdiannya yang tulus kepada ayahnya. Syahdan, Prabu Santanu pergi berburu di hutan sekitar Sungai Yamuna. Pertemuannya dengan Dewi Satyawati di tepi sungai membuat sang Prabu menjadi gundah gulana. Ia jatuh cinta pada Satyawati dan ingin mempersunting putri tersebut. Namun, Satyawati mengajukan permintaan jika sang Prabu ingin menikahinya, maka ia harus rela menjadikan anak Satyawati untuk menjadi raja. Permintaan ini jelas memberatkan sang Prabu. Pasalnya, ia sudah punya calon pewaris tahta kerajaan, yakni Bhisma. Jadilah sang Prabu kembali ke istana dalam keadaan gundah dan menderita.
Mengetahui kegundahan ayahnya, akhirnya Bhisma membuat keputusan demi membahagiakan ayahnya. Bhisma pun rela melepas pewaris mahkota kerajaan kepada anak Satyawati demi kesembuhan penyakit “cinta” ayahnya. Dan ia pun bersumpah tidak akan menikah seumur hidupnya demi menjaga agar tidak ada masalah nanti antara keturunan Bhisma dengan keturunan anak Satyawati.
Keputusan tersebut merupakan janji Bhisma yang mengguncangkan jagat pewayangan. Betapa tidak, para dewa pun memberikan anugerah kepadanya untuk bisa memilih saat-saat kematiannya. Hal ini memang benar terjadi. Kematian Bhisma menjadi lakon tersendiri dalam cerita pewayangan. Dalam perang mahadahsyat Bharatayudha, Bhisma telah menentukan sendiri saat-saat kematiannya.
Ketika Perang Bharatayudha, Bhisma berhadapan dengan Sikkhandi, titisan Dewi Amba yang dulu pernah dicampakkan oleh Bhisma hanya karena janji Bhisma yang tidak akan menikah selama hidupnya. Mengenali sukma Dewi Amba dalam tubuh Sikkhandi ia pun takkuasa melawan, karena ia tidak mau melawan seorang perempuan. Lenyaplah kekebalannya dan melesatlah panah-panah Sikkhandi menembusi tubuhnya. Bhisma roboh ke bumi namun ia belum mati. Ia roboh namun tidak menyentuh bumi karena panah-panah yang menancap membuat tubuhnya tidak menyentuh tanah sama sekali.
Bhisma pun belum mau mati pada saat itu. Ia menunggu saat-saat matahari berada di utara katulistiwa. Ia percaya bahwa saat-saat kematian yang paling baik dalam ajaran Hindu adalah ketika matahari berada di utara katulistiwa daripada berada di selatan.
Cucu-cucu Bhisma yang kala itu sedang bertempur, Arjuna di pihak Pandawa dan Suyudana di pihak Pandawa mendekati Bhisma. Dengan sisa-sisa kebijakan seorang orang tua, ia meminta agar Pandawa dan Kurawa untuk berdamai dan menghentikan peperangan. Ia pun memberikan petuah-petuah kepada kedua saudara tersebut namun hasilnya nihil. Perang tidak bisa dihentikan. Selesai memberikan petuah, itulah saat-saat ketika matahari berada di utara katulistiwa dan Bhisma pun menjemput kematiannya.
Lakon Bhisma Gugur merupakan salah satu lakon pewayangan yang disukai oleh penikmat wayang. Dalam lakon tersebut penuh dengan makna dan nasihat-nasihat untuk merenungi kehidupan. Belajar dari keteguhan hati Bhisma ketika mengucap janji, serta pengorbanan yang besar demi kebahagiaan orang tua adalah beberapa contoh pesan yang bisa kita petik dari lakon tersebut.
Mukjizat Bhisma yang bisa menentukan saat-saat kematiannya hanya ada di dalam cerita pewayangan saja. Dalam dunia nyata, tidak mungkin ada seorang manusia yang bisa menentukan saat-saat kematiannya sendiri. Namun, kita terkadang suka memaksa menjadi Bhisma, yakni dengan menentukan saat-saat kematian kita padahal kenyataannya kematian kita masihlah sia-sia.
Bagaimana dengan di Indonesia? Kematian masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian orang-orang. Kita takut kematian, namun terkadang kita selalu mendekati kematian. Peristiwa-peristiwa yang berujung kematian mudah ditemui di Indonesia. Seakan-akan mereka adalah Bhisma yang bisa menentukan kapan kematiannya. Bedanya, Bhisma telah mempersiapkan jalan menuju kematiannya, kita belum bahkan berpikir ke sana pun mungkin hanya terlintas di acara-acara keagamaan saja.
Kematian Bhisma sebagai seorang yang teguh mempertahankan janjinya barangkali mengilhami budaya hara-kiri di Jepang, yakni seseorang melakukan bunuh diri ketika merasa dirinya tidak berjasa kepada negara dan harus melakukan sesuatu untuk negara. Bunuh diri seperti itu dalam pikiran masyarakat Jepang merupakan puncak keteguhan hati manusia. Mereka rela bunuh diri untuk mempertahankan martabatnya sebagai seorang manusia. Meskipun terkesan anarkis, budaya hara-kiri tersebut masih melekat dalam pikiran orang-orang Jepang sebagai bentuk rasa cinta kepada tanah air.
Apakah budaya bunuh diri merupakan cara terbaik untuk mempertahankan martabat? Barangkali dalam agama Islam, dikenal dengan istilah syahid, yakni mati ketika mempertahankan agama Islam. Istilah syahid itu sendiri agaknya menjadi tujuan utama bagi pengikut Islam berfaham kiri (baca: teroris). Istilah syahid bagi mereka adalah ketika ia bisa menyumbangkan harta bahkan nyawanya untuk menumpas kaum-kaum kafir di muka bumi ini. Namun, cara mereka seringkali salah, sebab mereka melakukan peledakan bukan hanya mematikan orang-orang non Muslim, orang-orang Muslim sendiri pun banyak yang menjadi korban. Bisa saja kan salah satu di antara mereka juga taat beragama atau sedang menjalankan perintah agama? Siapa kalau begitu yang mati syahid?
Kematian Bhisma adalah simbol penuntasan hidup di dunia dengan persiapan bekal sebaik-baiknya. Maka kita yang notabene bukan Bhisma—hanya manusia biasa—kiranya harus lebih baik mempersiapkan bekal menuju kematian. Sebab, waktu kematian tidak akan pernah bisa ditebak oleh logika manusia.

Sumber:
Ajidarma, Seno Gumira. 2004. Biola Tak Berdawai. Jakarta: Akur.
Kosasih, R.A. 1966. Mahabharata (cet. II). Bandung: Melodi.
Sucipto, Mahendra. 2010. Ensiklopedia Tokoh-tokoh Wayang dan Silsilahnya. Jogjakarta: Narasi.

No comments:

Post a Comment