Friday, 3 February 2012

NELAYAN


Nelayan itu memandang laut yang tengah pasang. Wajahnya suram. Kapalnya terkatung-katung dihempas ombak yang mahadahsyat. Barangkali jika lambung kapalnya kena, bukan tidak mungkin ia akan melihat transportasi andalannya tenggelam. Laut kini tengah bergejolak. Kekacauan iklim dan musim telah membuatnya murka. Pihak yang hanya meratapi ganasnya air laut adalah para nelayan yang selama hidupnya ini menggantungkan kehidupannya dari laut. Mereka kini tidak bisa melaut karena laut terlalu ganas untuk mereka arungi.
Mereka bukanlah kumpulan orang-orang sejahtera. Wajahnya menyiratkan kerasnya usaha mereka untuk bertahan hidup. Legam kulitnya telah menyiratkan betapa matangnya mereka menghadapi kesusahan, menghadapi terjangan ombak, serta menghadapi panasnya matahari yang membakar. Pandangan matanya mengisyaratkan betapa arti kesejahteraan selalu jauh dari benak mereka.
Sejak dulu Indonesia adalah negara bahari yang terkenal akan kekuatan pelaut-pelautnya. Hal ini dibuktikan dengan kegigihan nelayan Sulawesi, Padang, Jawa, Banda, serta daerah-daerah dimana laut menjadi sumber penghidupan bagi manusia. Bahkan, takjarang mereka harus bertempur melawan penjajah yang hendak menjajah tanah kelahirannya. Sebut saja salah satunya adalah rakyat Banten pesisir yang berjuang untuk menghalau kedatangan kapal-kapal Portugis. Meskipun akhirnya penjajah berhasil mengalahkan serangan mereka, semangat juang dan kegigihannya layak untuk dijadikan pedoman semangat bagi bangsa Indonesia sekarang.
Nelayan adalah sebutan bagi orang yang menangkap ikan di laut. Mereka takhanya memiliki keterampilan menangkap ikan, namun juga harus memiliki keterampilan berenang, navigasi, membaca cuaca, serta menjadi tukang jika sewaktu-waktu kapal mereka rusak. Mereka juga harus memiliki fisik yang kuat, tahan panas, tahan hujan, karena begitu mereka pergi mengarungi laut, mereka harus siap dengan kondisi apa pun selama mereka berada di laut.
Menjadi nelayan adalah pilihan hidup bagi mereka yang tinggal di daerah pesisir. Melakukan pekerjaan yang diwariskan  secara turun temurun dari leluhurunya merupakan kebanggaan yang selalu tersemat di dadanya. Mereka takkhawatir kulit mereka akan legam terbakar matahari dan angin yang bergaram. Bagi mereka, laut adalah panggilan hidup mereka. Bagi mereka pilihan untuk melaut adalah pasti. Melaut atau meninggalkan daerah mereka. Di hadapan mereka terbentang laut dengan segala kekayaannya. Laut menghempas-hempas pantai seakan menjadi magnet bagi mereka untuk turun mengarungi lautan.
Mereka akan turun pada malam atau siang, tergantung angin dan cuaca. Biasanya, waktu terbaik untuk melaut adalah pada waktu malam, karena angin dan gravitasi rembulan akan mendapatkan banyak ikan. Berbekal perahu (entah punya sendiri atau menyewa), lampu templok, jala, serta perbekalan secukupnya, mereka turun ke laut. Mereka tidak akan takut tersesat karena leluhurnya telah memberikan ilmu alami untuk membimbing mereka selama di laut hingga kembali ke darat. Nelayan telah hafal membaca rasi-rasi bintang untuk mengetahui arah. Waluku, pari, biduk, telah mereka hafal bagaimana bentuk gugusannya.
Nelayan juga merupakan seorang peramal cuaca yang baik. Mereka akan tahu bagaimana kondisi cuaca pada saat mereka di laut hanya dengan melihat langit dan merasakan tekanan angin. Oleh karena itu, mereka selalu hafal setiap kali akan ada badai turun di lautan.
“Kalau cuaca buruk ya ikan-ikan pun sulit didapat,” begitu kata mereka.
Mempertimbangkan cuaca, arah angin, serta gugusan bintang adalah kemampuan alamiah yang melekat pada diri seorang nelayan. Mereka tidak mendapatkan ilmu itu dari akademi, karena tidak semua dari mereka yang pernah mengecap bangku sekolah. Tekad dan pengalaman adalah guru terbaik mereka. Berbekal tekad untuk menjemput rezeki, serta pengalaman membaca “bahasa laut” lalu kemudian diterjemahkan di dalam pikiran mereka, jadilah laut menjadi sumber penghidupan mereka. Jika tidak memiliki kedua-duanya, jangan harap pernah bisa untuk turun ke laut. Tidak heran jika penyanyi balada Indonesia, Leo Kristi menciptakan lagu untuk para nelayan karena semangat hidupnya yang tinggi tersebut.

Kesejahteraan
Nelayan tinggal berkelompok di suatu dusun dekat pesisir. Berkelompok-kelompok karena dalam melaut pun mereka akan berkelompok pula. Permukiman mereka adalah permukiman yang sederhana. Masih untuk jika rumah mereka bertembok dan mempunyai listirk. Rata-rata—di sebagian wilayah yang lain—listrik belum sampai ke daerah mereka. Bahkan rumah mereka pun masih terbuat dari kayu dan terapung-apung di sepanjang pesisir, seperti halnya kampung nelayan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Dari kesederhanaan itulah, dunia mereka tidak dibatasi oleh keterbatasaan fasilitas masyarakat. Dunia mereka adalah seluas lautan yang terhampar di hadapannya. Selama laut tersebut masih menyimpan kekayaan alamnya, mereka tidak akan takut untuk tidak hidup.
Tinggal di lingkungan pesisir memang tidaklah menyenangkan, selain harus siap mengahadapi keganasan nyamuk-nyamuk, mereka pun harus siap dengan bencana yang bisa datang sewaktu-waktu, seperti abrasi laut, banjir rob, maupun tsunami.
Jika ditanya kenapa tidak pindah ke daerah yang agak jauh dari laut mereka hanya tertawa sambil berkata, “Laut adalah bapak kami. Maka tidak mungkin seorang bapak akan mencelakakan anaknya!”. Terkesan penuh candaan, tetapi begitulah hukum alam yang terjadi. Di dalam jiwa nelayan hanya ada gemuruh laut, ombak yang membasahi tubuhnya, serta ikan-ikan yang seakan selalu menggoda untuk ditangkap.
Sadar untuk tidak membuat “bapaknya” marah, para nelayan pun berswadaya membangun kawasan hutan bakau. Mereka merehabilitasi kawasan-kawasan rawa yang tidak subur, penuh nyamuk, hingga menjadi kawasan hutan bakau. Mereka merehab berdasarkan instuisi dan dana mereka sendiri.
Dalam segi mitologi pun, mereka begitu menghormati keberadaan dari laut ini. Setiap tahun mereka mengadakan tradisi “sedekah laut”, yakni melarungkan sesaji ke tengah laut dengan tujuan agar laut selalu sudi diambil kekayaannya oleh para nelayan. Tradisi “sedekah laut” ini pula dilakukan untuk menghormati keberadaan tokoh mitologi laut, salah satunya adalah Ratu Nyi Roro Kidul, yang bermukim di laut selatan Indonesia
Kesadaran yang lain adalah ketika mereka melaut. Mereka tidak akan menggunakan pukat yang terlalu besar untuk menangkap ikan. Bagi mereka ikan-ikan pun perlu dijaga kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, mereka hanya menggunakan jala yang biasa untuk menangkap ikan.
Mereka sering sedih melihat makin banyaknya nelayan-nelayan berbendara negara lain yang santai mengambil ikan di wilayah laut Indonesia. Peralatan yang mereka gunakan pun terkadang menggunakan pukat harimau, sejenis pukat yang dijalankan oleh mesin sehingga mampu menarik ikan secara besar-besaran. Terkadang nelayan-nelayan asing itu sering menggunakan peledak untuk menangkap ikan secara besar-besaran. Takjarang hasilnya merusak ekosistem perairan laut, seperti merusak karang-karang yang telah tumbuh selama jutaan tahun.
Mau melawan pun, mereka hanyalah nelayan kecil yang tidak punya deking apa-apa. Pemerintah bukannya tidak peduli pada kesejahteraan mereka, pada kelestarian ekosistem laut. Hanya, kesadaran untuk melakukan antisipasi kiranya belum bulat dilakukan oleh pemerintah. Mereka terkadang giat, namun lebih banyak malas dan redup. Jika semangat pemerintah untuk memajukan kesejahteraan nelayan pun akhirnya surut, mau tidak mau mereka kembali menggantungkan hidupnya ke laut, tempat segala keluh kesah mereka “terobati”.
Laut adalah harapan, laut adalah masa depan. Masa depan bagi para nelayan yang murni menggantungkan hidupnya dari laut. Harapan untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik dari hasil laut yang mereka dapatkan. Namun, sepertinya harapan tinggallah harapan, karena selain laut, mereka pun harus diperhatikan oleh pemerintah. Jika disuruh memilih antara laut dengan pemerintah, pastinya mereka akan memilih laut!

Bandung, Muara Angke, Parangtritis, Pameungpeuk. 2007—2012

Sumber gambar di sini


No comments:

Post a Comment