Nelayan itu memandang laut yang tengah pasang. Wajahnya suram. Kapalnya
terkatung-katung dihempas ombak yang mahadahsyat. Barangkali jika lambung
kapalnya kena, bukan tidak mungkin ia akan melihat transportasi andalannya
tenggelam. Laut kini tengah bergejolak. Kekacauan iklim dan musim telah
membuatnya murka. Pihak yang hanya meratapi ganasnya air laut adalah para
nelayan yang selama hidupnya ini menggantungkan kehidupannya dari laut. Mereka
kini tidak bisa melaut karena laut terlalu ganas untuk mereka arungi.
Mereka bukanlah kumpulan orang-orang sejahtera. Wajahnya menyiratkan
kerasnya usaha mereka untuk bertahan hidup. Legam kulitnya telah menyiratkan
betapa matangnya mereka menghadapi kesusahan, menghadapi terjangan ombak, serta
menghadapi panasnya matahari yang membakar. Pandangan matanya mengisyaratkan
betapa arti kesejahteraan selalu jauh dari benak mereka.
Sejak dulu Indonesia adalah negara bahari yang terkenal akan kekuatan
pelaut-pelautnya. Hal ini dibuktikan dengan kegigihan nelayan Sulawesi, Padang,
Jawa, Banda, serta daerah-daerah dimana laut menjadi sumber penghidupan bagi
manusia. Bahkan, takjarang mereka harus bertempur melawan penjajah yang hendak
menjajah tanah kelahirannya. Sebut saja salah satunya adalah rakyat Banten
pesisir yang berjuang untuk menghalau kedatangan kapal-kapal Portugis. Meskipun
akhirnya penjajah berhasil mengalahkan serangan mereka, semangat juang dan
kegigihannya layak untuk dijadikan pedoman semangat bagi bangsa Indonesia
sekarang.
Nelayan adalah sebutan bagi orang yang menangkap ikan di laut. Mereka
takhanya memiliki keterampilan menangkap ikan, namun juga harus memiliki
keterampilan berenang, navigasi, membaca cuaca, serta menjadi tukang jika
sewaktu-waktu kapal mereka rusak. Mereka juga harus memiliki fisik yang kuat,
tahan panas, tahan hujan, karena begitu mereka pergi mengarungi laut, mereka
harus siap dengan kondisi apa pun selama mereka berada di laut.
Menjadi nelayan adalah pilihan hidup bagi mereka yang tinggal di daerah
pesisir. Melakukan pekerjaan yang diwariskan
secara turun temurun dari leluhurunya merupakan kebanggaan yang selalu
tersemat di dadanya. Mereka takkhawatir kulit mereka akan legam terbakar
matahari dan angin yang bergaram. Bagi mereka, laut adalah panggilan hidup
mereka. Bagi mereka pilihan untuk melaut adalah pasti. Melaut atau meninggalkan
daerah mereka. Di hadapan mereka terbentang laut dengan segala kekayaannya.
Laut menghempas-hempas pantai seakan menjadi magnet bagi mereka untuk turun
mengarungi lautan.
Mereka akan turun pada malam atau siang, tergantung angin dan cuaca.
Biasanya, waktu terbaik untuk melaut adalah pada waktu malam, karena angin dan
gravitasi rembulan akan mendapatkan banyak ikan. Berbekal perahu (entah punya
sendiri atau menyewa), lampu templok, jala, serta perbekalan secukupnya, mereka
turun ke laut. Mereka tidak akan takut tersesat karena leluhurnya telah
memberikan ilmu alami untuk membimbing mereka selama di laut hingga kembali ke
darat. Nelayan telah hafal membaca rasi-rasi bintang untuk mengetahui arah.
Waluku, pari, biduk, telah mereka hafal bagaimana bentuk gugusannya.
Nelayan juga merupakan seorang peramal cuaca yang baik. Mereka akan tahu
bagaimana kondisi cuaca pada saat mereka di laut hanya dengan melihat langit
dan merasakan tekanan angin. Oleh karena itu, mereka selalu hafal setiap kali
akan ada badai turun di lautan.
“Kalau cuaca buruk ya ikan-ikan pun sulit didapat,” begitu kata mereka.
Mempertimbangkan cuaca, arah angin, serta gugusan bintang adalah
kemampuan alamiah yang melekat pada diri seorang nelayan. Mereka tidak
mendapatkan ilmu itu dari akademi, karena tidak semua dari mereka yang pernah
mengecap bangku sekolah. Tekad dan pengalaman adalah guru terbaik mereka.
Berbekal tekad untuk menjemput rezeki, serta pengalaman membaca “bahasa laut”
lalu kemudian diterjemahkan di dalam pikiran mereka, jadilah laut menjadi
sumber penghidupan mereka. Jika tidak memiliki kedua-duanya, jangan harap
pernah bisa untuk turun ke laut. Tidak heran jika penyanyi balada Indonesia,
Leo Kristi menciptakan lagu untuk para nelayan karena semangat hidupnya yang
tinggi tersebut.
Kesejahteraan
Nelayan tinggal berkelompok di suatu dusun dekat pesisir.
Berkelompok-kelompok karena dalam melaut pun mereka akan berkelompok pula. Permukiman
mereka adalah permukiman yang sederhana. Masih untuk jika rumah mereka
bertembok dan mempunyai listirk. Rata-rata—di sebagian wilayah yang
lain—listrik belum sampai ke daerah mereka. Bahkan rumah mereka pun masih
terbuat dari kayu dan terapung-apung di sepanjang pesisir, seperti halnya
kampung nelayan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Dari kesederhanaan itulah, dunia mereka tidak dibatasi oleh keterbatasaan
fasilitas masyarakat. Dunia mereka adalah seluas lautan yang terhampar di
hadapannya. Selama laut tersebut masih menyimpan kekayaan alamnya, mereka tidak
akan takut untuk tidak hidup.
Tinggal di lingkungan pesisir memang tidaklah menyenangkan, selain harus
siap mengahadapi keganasan nyamuk-nyamuk, mereka pun harus siap dengan bencana
yang bisa datang sewaktu-waktu, seperti abrasi laut, banjir rob, maupun
tsunami.
Jika ditanya kenapa tidak pindah ke daerah yang agak jauh dari laut
mereka hanya tertawa sambil berkata, “Laut adalah bapak kami. Maka tidak
mungkin seorang bapak akan mencelakakan anaknya!”. Terkesan penuh candaan,
tetapi begitulah hukum alam yang terjadi. Di dalam jiwa nelayan hanya ada
gemuruh laut, ombak yang membasahi tubuhnya, serta ikan-ikan yang seakan selalu
menggoda untuk ditangkap.
Sadar untuk tidak membuat “bapaknya” marah, para nelayan pun berswadaya
membangun kawasan hutan bakau. Mereka merehabilitasi kawasan-kawasan rawa yang
tidak subur, penuh nyamuk, hingga menjadi kawasan hutan bakau. Mereka merehab
berdasarkan instuisi dan dana mereka sendiri.
Dalam segi mitologi pun, mereka begitu menghormati keberadaan dari laut
ini. Setiap tahun mereka mengadakan tradisi “sedekah laut”, yakni melarungkan
sesaji ke tengah laut dengan tujuan agar laut selalu sudi diambil kekayaannya
oleh para nelayan. Tradisi “sedekah laut” ini pula dilakukan untuk menghormati
keberadaan tokoh mitologi laut, salah satunya adalah Ratu Nyi Roro Kidul, yang
bermukim di laut selatan Indonesia
Kesadaran yang lain adalah ketika mereka melaut. Mereka tidak akan
menggunakan pukat yang terlalu besar untuk menangkap ikan. Bagi mereka
ikan-ikan pun perlu dijaga kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, mereka hanya
menggunakan jala yang biasa untuk menangkap ikan.
Mereka sering sedih melihat makin banyaknya nelayan-nelayan berbendara
negara lain yang santai mengambil ikan di wilayah laut Indonesia. Peralatan
yang mereka gunakan pun terkadang menggunakan pukat harimau, sejenis pukat yang
dijalankan oleh mesin sehingga mampu menarik ikan secara besar-besaran.
Terkadang nelayan-nelayan asing itu sering menggunakan peledak untuk menangkap
ikan secara besar-besaran. Takjarang hasilnya merusak ekosistem perairan laut,
seperti merusak karang-karang yang telah tumbuh selama jutaan tahun.
Mau melawan pun, mereka hanyalah nelayan kecil yang tidak punya deking
apa-apa. Pemerintah bukannya tidak peduli pada kesejahteraan mereka, pada
kelestarian ekosistem laut. Hanya, kesadaran untuk melakukan antisipasi kiranya
belum bulat dilakukan oleh pemerintah. Mereka terkadang giat, namun lebih
banyak malas dan redup. Jika semangat pemerintah untuk memajukan kesejahteraan
nelayan pun akhirnya surut, mau tidak mau mereka kembali menggantungkan
hidupnya ke laut, tempat segala keluh kesah mereka “terobati”.
Laut adalah harapan, laut adalah masa depan. Masa depan bagi para nelayan
yang murni menggantungkan hidupnya dari laut. Harapan untuk mengubah hidupnya
menjadi lebih baik dari hasil laut yang mereka dapatkan. Namun, sepertinya
harapan tinggallah harapan, karena selain laut, mereka pun harus diperhatikan
oleh pemerintah. Jika disuruh memilih antara laut dengan pemerintah, pastinya
mereka akan memilih laut!
Bandung, Muara Angke, Parangtritis, Pameungpeuk. 2007—2012
Sumber gambar di sini
No comments:
Post a Comment