Dalam rimba kata bahasa Indonesia, kita mengenal satu kata citra
(bahasa Inggris berarti imagine). Secara umum dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, citra memiliki arti rupa atau gambaran. Dalam istilah sastra,
citra adalah kesan mental atau bayangan visual
yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur
dasar yang khas di dalam sebuah karya. Dalam istilah seni rupa, citra
adalah kombinasi antara titik, garis, bidang, dan warna untuk
menciptakan suatu imitasi dari suatu objek yang biasanya berupa objek fisik
atau manusia. Sementara itu, dalam istilah geografi citra berarti data
atau foto yang diambil dari udara yang biasanya digunakan untuk penelitian
topografi bentang alam.
Keragaman makna kata citra dalam berbagai bidang pengetahuan dapat
diambil satu kesimpulan yang sama, yakni citra adalah gambaran. Namun,
meskipun bermakna gambaran, citra tidak bisa disamakan dengan imajinasi,
sebab makna gambaran dalam citra bersifat visual tidak imajiner. Wujud
yang digambarkan dalam citra berbentuk konkret, berbeda dengan imajinasi
yang masih bersifat rancangan.
Takheran, citra pun banyak dipakai untuk mengungkapkan suasana
keadaan dan lingkungan yang sedang dibicarakan, misalnya citra
perbankan, citra pejabat, citra politik, citra polisi, dan
citra wanita. Bahkan, bapak film Indonesia, Usmar Ismail pun menggunakan
kata citra sebagai judul film dan nama tokoh wanita yang menjadi simbol
perjuangan bangsa Indonesia. Ia menggambarkan seorang wanita sebagai citraan
dari bayangan sang fajar. Tokoh yang bernama “Tjitra” digambarkan sebagai tokoh
wanita marginal yang gigih berjuang demi menegakkan martabat dirinya. Usmar
Ismail mendefinisikan kata citra sebagai bentuk kekuatan di balik
keindahan dari nama citra tersebut. Oleh karena itu, ia memakai nama citra
sebagai nama tokoh wanita yang menjadi simbol propagandanya Usmar melalui film.
Film tersebut dibuat pada tahun 1949 ketika Usmar berada di dalam
penjara. Ia dipenjarakan oleh Belanda gara-gara ia ketahuan menjabat sebagai
Mayor tentara. Namun, di dalam penjara ia diberi kebebasan untuk melakukan
kegiatan-kegiatan seni, salah satunya ialah membantu sutradara Andjar Asmara
membuat film. Tetap mengacu pada intuisinya, yakni film sebagai alat
pengucapan, bersama Andjar Asmara lahirlah film “Tjitra” yang tidak lain adalah
untuk mengobarkan semangat bangsa Indonesia untuk merebut kembali hakikat
kemerdekaan yang telah diraih empat tahun yang lalu.
Sayang dokumen film tersebut sangat susah sekali didapat. Barangkali
untuk mengetahui secara detail isi dan informasi film tersebut kita harus
berkunjung ke Pusat Perfilman Usmar Ismail yang berada di Jakarta. Hal ini
sangat berbeda dengan film-film Usmar Ismail yang diproduksi di Malaysia.
Sampai saat ini dokumentasi film-film Usmar Ismail tersebut masih dijual secara
bebas kepada publik dengan kualitas film yang masih baik. Film-film garapan
Usmar yang diproduksi dan dijual di Malaysia antara lain Korban Fitnah
dan Bajangan di Waktu Fajar dengan produksi rata-rata tahun 1960an,
sampai sekarang masih dapat ditemui di pedagang-pedagang film (meskipun secara
bajakan). Hal tersebut sungguh menjadi ironi, betapa Indonesia belum bisa
menghargai sejarahnya sendiri. Film-film Usmar Ismail (yang diklaim oleh bangsa
Indonesia sebagai Bapak Perfilman Nasional) sangat susah ditemui keberadaannya.
Kalaupun ada, mungkin kualitas filmnya sudah buruk dimakan usia.
***
Bagaimana dengan citra sebagai gambaran objek yang lain? Di situs
wikipedia, kita bisa menemukan artikel tentang kata citra. Artikel
tersebut berisi tentang sejarah karya seni mulai dari zaman prasejarah sampai
masa kini. Citra yang dimaknai dalam artikel tersebut memang secara
khusus bercerita tentang citra sebagai karya seni. Citra dalam
seni menggambarkan sebagai wujud dari sebuah objek yang dilihat dari segi
visual. Objek yang terlihat secara visual merupakan kombinasi antara titik,
garis, bidang, dan warna yang membentuk suatu objek seni yang utuh. Dengan kata
lain, citra sebagai wujud suatu karya, atau wujud representasi pemikiran
si senimannya.
Citra sebagai gambaran karya seni hampir sama dengan citra
dalam benak Usmar Ismail. Ia memiliki kekuatan yang tersembunyi di balik
keindahan luarnya. Kekuatan yang sewaktu-waktu bisa muncul ke luar apabila
mampu ditangkap oleh penikmatnya. Dalam perspektif seni, citra sebagai
gambar adalah bahasa simbol yang ingin dikomunikasikan manusia kepada manusia
lainnya. Setiap citra memiliki pesan yang didoktrinkan dalam wujud karya
visual. Pesan tersebut tentunya akan ditangkap lain oleh masing-masing orang,
sebab setiap orang pasti akan melihat citra tersebut dalam angle
yang berbeda-beda.
Seni identik dengan keindahan. Jika dispesifikasikan seni bisa
diperspektifkan dengan wanita. Wanita adalah wujud keindahan visual yang
melegenda. Keindahan yang terpatri melalui kelembutan dan kecantikan fisik dan
rohaninya. Tidak heran jika citra dilekatkan sebagai nama identitas
seorang wanita. Sebab, pada hakikatnya wanita selalu berwujud sebagai gambaran.
Ia tidak akan habis untuk dikaji dan selalu memunculkan gambaran-gambaran baru.
Citraan seorang wanita dilihat dari bagaimana ia berperilaku selain dari
kecantikan fisiknya. Rata-rata orang menganggap seorang wanita disebut cantik
bila ia memiliki fisik yang menunjang. Kenyataannya, kecantikan belum mampu
menjadi radar dari citraan seorang perempuan. Citraan untuk perempuan tentunya
tidak bisa dikotak-kotakkan begitu saja, harus ada kombinasi. Kecantikan fisik
akan dikombinasikan dengan kecantikan perilaku dan rohaninya. Kombinasi
unsur-unsur tersebut merupakan kombinasi pembentuk citraan yang baik pada diri
seorang wanita.
Citra bukan hanya bersifat visual, tetapi ia juga bisa bersifat
audio maupun teks. Ketiga-tiganya sama-sama membentuk citra yang
masing-masing berdiri sendiri. Visual dalam seni akan membentuk sebuah citraan
yang mungkin berbeda bila seni visual tersebut diadaptasi ke dalam bentuk audio
atau teks.
Sastra dan seni merupakan citraan dari kehidupan. Kehidupan tidak dapat
dipisahkan dari kedua unsur itu. Tanpa kedua unsur tersebut, kehidupan menjadi
tanpa makna dan hambar. Sastra mengajarkan kehidupan, dan seni mengajarkan
keindahan, keindahan untuk hidup, serta kehidupan untuk keindahan.
***
Bagaimana dengan citra bangsa Indonesia? Sejak dulu bangsa
Indonesia sudah dikenal dunia melalui keramahan bangsanya. Mereka bernaung di
dalam sebuah payung yang mengatasnamakan payung ketimuran, yang berarti bangsa
yang masih terpaku pada norma dan nilai-nilai adat istiadat. Citra yang
melekat di bangsa Indonesia memang selalu diidentikkan dengan budaya ketimuran.
Namun, apakah kini bangsa Indonesia masih dipandang memiliki citra
ketimuran? Sampai sejauh mana kini timur dan barat memiliki perbedaan dalam
segi citraan? Indonesia kini boleh dikata dirasuki oleh asimilasi-asimilasi
budaya Barat. Mereka masuk melalui media visual, audio, teks, bahkan dibawa
secara langsung dari tanah asalnya. Sedikit demi sedikit nilai-nilai ketimuran
itu sendiri menghilang dan terkucil di tanah airnya. Citra ketimuran
kini semakin sulit dijumpai dalam perilaku masyarakat Indonesia, apalagi di
dalam lingkungan kota-kota besar yang notabene surga berbagai macam hiburan.
Salah satu bagian dari citra ketimuran adalah kejujuran. Namun,
kiranya dewasa ini kejujuran merupakan barang langka yang semakin sulit
ditemukan keberadaannya. Masyarakat Indonesia selalu dibayang-bayangi oleh
kebohongan. Apa pun akan diselipi kebohongan, bahkan hingga makanan pun
ditemukan banyak kecurangan-kecurangan.
Indonesia adalah salah satu negara yang paling banyak korupsi. Ya,
korupsi menjelma seperti hama tikus yang melumat habis sawah-sawah siap panen.
Korupsi di Indonesia bukan hanya marak pada dasawarsa ini, tetapi sudah melekat
sejak zaman kolonial dulu. Korupsi adalah salah satu peninggalan penjajahan
yang sudah mentradisi dalam kehidupan pribuminya. Ia seakan-akan menjadi
kegiatan yang wajib dalam hampir semua struktur pemerintahan ataupun organisasi
(saya simpulkan semuanya saja, karena orang jujur itu sendiri memiliki
perbandingan satu banding sepuluh dengan orang curang).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, citra adalah gambaran
berdasarkan realitas. Jika realitas bangsa Indonesia sudah demikian
terpuruknya, takheran jika kini sedikit demi sedikit makna citra selalu
dikaitkan dengan hal-hal yang tidak baik. Citra pejabat memiliki gambaran
pejabat adalah wakil rakyat yang suka korupsi, citra polisi di mata
masyarakat memiliki gambaran polisi yang suka memeras, tidak mengayomi rakyat,
dan lain-lain.
Jika dalam sastra dan seni, citra masih diidentikkan dengan
gambaran keindahan, maka citra dalam kehidupan diidentikkan dengan
turunnya nilai dari identitas seseorang. Orang akan membahas citra
seseorang ketika ia sudah tersangkut kasus yang bisa jadi menurunkan nama
baiknya. Orang-orang kaya yang konservatif di negeri ini pasti akan berkata “citra
saya turun nanti,” jika ia bergaul dengan orang-orang miskin. Citra
sudah bukan lagi membahas estetika, tetapi lebih sering membahas posisi dan
identitas dari objek yang dicitrakan.
Bergesernya paham orang-orang mengenai citra bukan sebuah
fenomena. Realitas kekinian mau tidak mau turut mengubah cara pandang
seseorang. Ia bisa saja menjadi pembunuh meski sebelumnya ia adalah seorang
yang alim. Hidup lebih mudah bergulir dewasa ini ketika zaman sudah tidak mampu
lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Bagaimana pun, citra merupakan gambaran yang terlihat, terdengar,
dan terasa. Seseorang akan memiliki citra positif atau negatif
bergantung pada perilaku dari manusia itu sendiri. Manusia akan selalu mudah
menilai seseorang, namun manusia selalu tidak bisa menilai diri sendiri.
Manusia terlihat kuat, namun di dalamnya ia begitu lemah dan tidak berdaya. Citra
yang baik adalah citra yang terlihat lemah dari luar, padahal ia
memiliki kekuatan yang tersembunyi dalam kelemahannya.
Bandung, 09 Februari 2012
23.10
No comments:
Post a Comment