Sunday, 12 February 2012

CITRA




Dalam rimba kata bahasa Indonesia, kita mengenal satu kata citra (bahasa Inggris berarti imagine). Secara umum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, citra memiliki arti rupa atau gambaran. Dalam istilah sastra, citra adalah kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas di dalam sebuah karya. Dalam istilah seni rupa, citra adalah kombinasi antara titik, garis, bidang, dan warna untuk menciptakan suatu imitasi dari suatu objek yang biasanya berupa objek fisik atau manusia. Sementara itu, dalam istilah geografi citra berarti data atau foto yang diambil dari udara yang biasanya digunakan untuk penelitian topografi bentang alam.
Keragaman makna kata citra dalam berbagai bidang pengetahuan dapat diambil satu kesimpulan yang sama, yakni citra adalah gambaran. Namun, meskipun bermakna gambaran, citra tidak bisa disamakan dengan imajinasi, sebab makna gambaran dalam citra bersifat visual tidak imajiner. Wujud yang digambarkan dalam citra berbentuk konkret, berbeda dengan imajinasi yang masih bersifat rancangan.
Takheran, citra pun banyak dipakai untuk mengungkapkan suasana keadaan dan lingkungan yang sedang dibicarakan, misalnya citra perbankan, citra pejabat, citra politik, citra polisi, dan citra wanita. Bahkan, bapak film Indonesia, Usmar Ismail pun menggunakan kata citra sebagai judul film dan nama tokoh wanita yang menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia. Ia menggambarkan seorang wanita sebagai citraan dari bayangan sang fajar. Tokoh yang bernama “Tjitra” digambarkan sebagai tokoh wanita marginal yang gigih berjuang demi menegakkan martabat dirinya. Usmar Ismail mendefinisikan kata citra sebagai bentuk kekuatan di balik keindahan dari nama citra tersebut. Oleh karena itu, ia memakai nama citra sebagai nama tokoh wanita yang menjadi simbol propagandanya Usmar melalui film.
Film tersebut dibuat pada tahun 1949 ketika Usmar berada di dalam penjara. Ia dipenjarakan oleh Belanda gara-gara ia ketahuan menjabat sebagai Mayor tentara. Namun, di dalam penjara ia diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan seni, salah satunya ialah membantu sutradara Andjar Asmara membuat film. Tetap mengacu pada intuisinya, yakni film sebagai alat pengucapan, bersama Andjar Asmara lahirlah film “Tjitra” yang tidak lain adalah untuk mengobarkan semangat bangsa Indonesia untuk merebut kembali hakikat kemerdekaan yang telah diraih empat tahun yang lalu.
Sayang dokumen film tersebut sangat susah sekali didapat. Barangkali untuk mengetahui secara detail isi dan informasi film tersebut kita harus berkunjung ke Pusat Perfilman Usmar Ismail yang berada di Jakarta. Hal ini sangat berbeda dengan film-film Usmar Ismail yang diproduksi di Malaysia. Sampai saat ini dokumentasi film-film Usmar Ismail tersebut masih dijual secara bebas kepada publik dengan kualitas film yang masih baik. Film-film garapan Usmar yang diproduksi dan dijual di Malaysia antara lain Korban Fitnah dan Bajangan di Waktu Fajar dengan produksi rata-rata tahun 1960an, sampai sekarang masih dapat ditemui di pedagang-pedagang film (meskipun secara bajakan). Hal tersebut sungguh menjadi ironi, betapa Indonesia belum bisa menghargai sejarahnya sendiri. Film-film Usmar Ismail (yang diklaim oleh bangsa Indonesia sebagai Bapak Perfilman Nasional) sangat susah ditemui keberadaannya. Kalaupun ada, mungkin kualitas filmnya sudah buruk dimakan usia.
***
Bagaimana dengan citra sebagai gambaran objek yang lain? Di situs wikipedia, kita bisa menemukan artikel tentang kata citra. Artikel tersebut berisi tentang sejarah karya seni mulai dari zaman prasejarah sampai masa kini. Citra yang dimaknai dalam artikel tersebut memang secara khusus bercerita tentang citra sebagai karya seni. Citra dalam seni menggambarkan sebagai wujud dari sebuah objek yang dilihat dari segi visual. Objek yang terlihat secara visual merupakan kombinasi antara titik, garis, bidang, dan warna yang membentuk suatu objek seni yang utuh. Dengan kata lain, citra sebagai wujud suatu karya, atau wujud representasi pemikiran si senimannya.
Citra sebagai gambaran karya seni hampir sama dengan citra dalam benak Usmar Ismail. Ia memiliki kekuatan yang tersembunyi di balik keindahan luarnya. Kekuatan yang sewaktu-waktu bisa muncul ke luar apabila mampu ditangkap oleh penikmatnya. Dalam perspektif seni, citra sebagai gambar adalah bahasa simbol yang ingin dikomunikasikan manusia kepada manusia lainnya. Setiap citra memiliki pesan yang didoktrinkan dalam wujud karya visual. Pesan tersebut tentunya akan ditangkap lain oleh masing-masing orang, sebab setiap orang pasti akan melihat citra tersebut dalam angle yang berbeda-beda.
Seni identik dengan keindahan. Jika dispesifikasikan seni bisa diperspektifkan dengan wanita. Wanita adalah wujud keindahan visual yang melegenda. Keindahan yang terpatri melalui kelembutan dan kecantikan fisik dan rohaninya. Tidak heran jika citra dilekatkan sebagai nama identitas seorang wanita. Sebab, pada hakikatnya wanita selalu berwujud sebagai gambaran. Ia tidak akan habis untuk dikaji dan selalu memunculkan gambaran-gambaran baru.
Citraan seorang wanita dilihat dari bagaimana ia berperilaku selain dari kecantikan fisiknya. Rata-rata orang menganggap seorang wanita disebut cantik bila ia memiliki fisik yang menunjang. Kenyataannya, kecantikan belum mampu menjadi radar dari citraan seorang perempuan. Citraan untuk perempuan tentunya tidak bisa dikotak-kotakkan begitu saja, harus ada kombinasi. Kecantikan fisik akan dikombinasikan dengan kecantikan perilaku dan rohaninya. Kombinasi unsur-unsur tersebut merupakan kombinasi pembentuk citraan yang baik pada diri seorang wanita.
Citra bukan hanya bersifat visual, tetapi ia juga bisa bersifat audio maupun teks. Ketiga-tiganya sama-sama membentuk citra yang masing-masing berdiri sendiri. Visual dalam seni akan membentuk sebuah citraan yang mungkin berbeda bila seni visual tersebut diadaptasi ke dalam bentuk audio atau teks.
Sastra dan seni merupakan citraan dari kehidupan. Kehidupan tidak dapat dipisahkan dari kedua unsur itu. Tanpa kedua unsur tersebut, kehidupan menjadi tanpa makna dan hambar. Sastra mengajarkan kehidupan, dan seni mengajarkan keindahan, keindahan untuk hidup, serta kehidupan untuk keindahan.
***
Bagaimana dengan citra bangsa Indonesia? Sejak dulu bangsa Indonesia sudah dikenal dunia melalui keramahan bangsanya. Mereka bernaung di dalam sebuah payung yang mengatasnamakan payung ketimuran, yang berarti bangsa yang masih terpaku pada norma dan nilai-nilai adat istiadat. Citra yang melekat di bangsa Indonesia memang selalu diidentikkan dengan budaya ketimuran.
Namun, apakah kini bangsa Indonesia masih dipandang memiliki citra ketimuran? Sampai sejauh mana kini timur dan barat memiliki perbedaan dalam segi citraan? Indonesia kini boleh dikata dirasuki oleh asimilasi-asimilasi budaya Barat. Mereka masuk melalui media visual, audio, teks, bahkan dibawa secara langsung dari tanah asalnya. Sedikit demi sedikit nilai-nilai ketimuran itu sendiri menghilang dan terkucil di tanah airnya. Citra ketimuran kini semakin sulit dijumpai dalam perilaku masyarakat Indonesia, apalagi di dalam lingkungan kota-kota besar yang notabene surga berbagai macam hiburan.
Salah satu bagian dari citra ketimuran adalah kejujuran. Namun, kiranya dewasa ini kejujuran merupakan barang langka yang semakin sulit ditemukan keberadaannya. Masyarakat Indonesia selalu dibayang-bayangi oleh kebohongan. Apa pun akan diselipi kebohongan, bahkan hingga makanan pun ditemukan banyak kecurangan-kecurangan.
Indonesia adalah salah satu negara yang paling banyak korupsi. Ya, korupsi menjelma seperti hama tikus yang melumat habis sawah-sawah siap panen. Korupsi di Indonesia bukan hanya marak pada dasawarsa ini, tetapi sudah melekat sejak zaman kolonial dulu. Korupsi adalah salah satu peninggalan penjajahan yang sudah mentradisi dalam kehidupan pribuminya. Ia seakan-akan menjadi kegiatan yang wajib dalam hampir semua struktur pemerintahan ataupun organisasi (saya simpulkan semuanya saja, karena orang jujur itu sendiri memiliki perbandingan satu banding sepuluh dengan orang curang).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, citra adalah gambaran berdasarkan realitas. Jika realitas bangsa Indonesia sudah demikian terpuruknya, takheran jika kini sedikit demi sedikit makna citra selalu dikaitkan dengan hal-hal yang tidak baik. Citra pejabat memiliki gambaran pejabat adalah wakil rakyat yang suka korupsi, citra polisi di mata masyarakat memiliki gambaran polisi yang suka memeras, tidak mengayomi rakyat, dan lain-lain.
Jika dalam sastra dan seni, citra masih diidentikkan dengan gambaran keindahan, maka citra dalam kehidupan diidentikkan dengan turunnya nilai dari identitas seseorang. Orang akan membahas citra seseorang ketika ia sudah tersangkut kasus yang bisa jadi menurunkan nama baiknya. Orang-orang kaya yang konservatif di negeri ini pasti akan berkata “citra saya turun nanti,” jika ia bergaul dengan orang-orang miskin. Citra sudah bukan lagi membahas estetika, tetapi lebih sering membahas posisi dan identitas dari objek yang dicitrakan.
Bergesernya paham orang-orang mengenai citra bukan sebuah fenomena. Realitas kekinian mau tidak mau turut mengubah cara pandang seseorang. Ia bisa saja menjadi pembunuh meski sebelumnya ia adalah seorang yang alim. Hidup lebih mudah bergulir dewasa ini ketika zaman sudah tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Bagaimana pun, citra merupakan gambaran yang terlihat, terdengar, dan terasa. Seseorang akan memiliki citra positif atau negatif bergantung pada perilaku dari manusia itu sendiri. Manusia akan selalu mudah menilai seseorang, namun manusia selalu tidak bisa menilai diri sendiri. Manusia terlihat kuat, namun di dalamnya ia begitu lemah dan tidak berdaya. Citra yang baik adalah citra yang terlihat lemah dari luar, padahal ia memiliki kekuatan yang tersembunyi dalam kelemahannya.


Bandung, 09 Februari 2012
23.10


No comments:

Post a Comment