Waktu perlahan bergerak dalam
titik-titik air hujan...
Mentari berlindung erat di balik lengan ibunya. Hujan deras
mengguyur danau kecil itu. Semula, matahari memang terik menyengat daerah itu,
menyengat permukaan air danau hingga akhirnya menguap dan lambat laun menjadi
surut. Namun, iklim sekarang memang susah untuk ditebak. Baru saja
matahari—yang kata Mentari adalah kembarannya—menyengat dengan cahaya
benderangnya, mendung datang begitu cepat begitu menggetarkan. Menutup matahari
sehingga cakrawala menjadi menggelap begitu saja. Perlahan hujan yang tidak pernah
diduga kemunculannya itu terun membasahi tanah yang sebelumnya kerontang. Dan
jadilah Mentari dan ibunya pun berusaha mencari tempat untuk berteduh.
Danau itu bukanlah danau yang terluas, bukan pula sebuah
objek wisata. Danau itu jauh dari pusat peradaban, dimana hanya orang-orang
tertentu saja yang bisa mengunjunginya. Orang-orang memang jarang sekali
mengenalnya, tetapi bagi ibu Mentari danau itu adalah sebuah tempat yang
mahaindah dan mahadahsyat untuk dilupakan begitu saja. Ia pernah membuat suatu cerita
di sana, dan cerita itu tidak pernah hilang meski waktu semakin memutarbalikan
keadaan. Ibunya masih akan selalu ingat bagaimana ia pernah membuat suatu
kenangan di sana, di danau itu, danau yang sepi dan tenang. Menyeruak ke dalam
sunyi.
Nun jauh di balik keramaian kota danau itu berada. Sangat
berbeda dengan danau-danau yang lainnya. Angsa-angsa berenang dengan leluasa
dan kerumunan burung-burung berpesta pora di cakrawala. Hutan yang masih tampak
berseri, air danau yang selalu memantulkan cahaya. Tetapi tiada pernah orang
bisa menemukannya, barangkali karena danau ini hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang masih memiliki hati. Segala pemandangan seperti itu bukan
hanya rekayasa imajinasi belaka, segalanya nyata, bahkan lebih nyata dari apa
pun yang ada di dunia ini yang sebenarnya hanya tipu daya sahaja. Danau ini
nyata, ada di balik cakrawala.
Mereka berlindung di bawah dedaunan yang sangat lebar, entah
jenis daun apakah itu. Namun cukup untuk dijadikan tempat berteduh bagi Mentari
dan ibunya. Mentari yang mungil memeluk erat ibunya. Hujan dan angin dingin
membuat ia menggigil.
“Sabarlah sayang. Ini hanyalah hujan, bukanlah badai,” kata
ibunya.
“Memangnya kalau badai kenapa bu?”
“Kalau badai, apa yang ada di sini akan hancur dan musnah,”
jawab ibunya.
“Oh begitu? Berarti kita juga ikut musnah dong bu?” tanya
Mentari.
“Haha, kamu pasti tidak mau kan?”
“Aku gak mau! Aku mau sama ibu saja!”
Mentari semakin mengeratkan pelukannya. Aroma tanah basah
tercium dengan kuat di cuping hidung. Hujan belum tampak akan berakhir. Ibunya
pun kedinginan pula, namun ia tidak mau pula terlihat kedinginan di tempat yang
ia cintai ini. Hujan ini adalah kenangan pula, dan ia tidak mau melupakan
kenangan. Maka ia paksa untuk tidak merasa kedinginan meskipun percik hujan kadang
membasahi tubuhnya.
“Kamu kehujanan sayang?” tanya ibunya kembali.
“Tidak ibu, aku hangat di pangkuan ibu,” jawab Mentari.
“Kalau kehujanan bilang ya?”
Mentari mengangguk. Ia selalu merasa aman di dekat ibunya.
Akh ibunya yang selalu ia cintai. Memang, ia masih terlalu kecil untuk mengerti
bagaimana menyayangi, namun ia tahu ibunya adalah orang yang harus ia sayangi.
Ia terlahir tanpa ayah, kata ibunya ayahnya telah meninggal. Dan Mentari yang
masih kecil itu pun tidak akan pernah tahu siapa ayahnya, bagaimana bentuk
mukanya, dan bagaimana hangat jiwanya apakah sehangat jiwa ibunya ataukah
tidak? Ia tidak akan pernah tahu.
“Ibu...”
“Ya sayang?”
“Mengapa ibu ajak aku ke danau ini?”
Ibunya hanya tersenyum manis.
“Soalnya hanya danau ini saja tempat yang paling indah di
sini,” jawab ibunya manis.
“Kok tidak ada orang?”
“Soalnya orang-orang sekarang sudah tidak peduli lagi
tempat-tempat indah seperti ini.”
“Kenapa mereka tidak peduli lagi bu?”
“Karena mereka sekarang lebih menyukai gemerlap dunia
daripada alam indah seperti ini sayang. Mereka sudah tidak mau menginjak tanah
basah seperti ini lagi. Mereka takut kotor.”
Mentari terdiam. Hujan belum mau untuk berakhir.
“Kalau kamu sudah besar, kamu harus sering-sering ke sini ya
sayang?” kata ibunya.
“Bagaimana aku bisa ke sini ibu?”
Ibunya tertawa.
“Haha, kau pasti bisa kok ke sini, asal kau sudah tahu
caranya.”
“Caranya bagaimana bu?” tanya Mentari.
“Sini ibu kasih tahu,” lalu ibunya berjongkok dan membisikkan
sesuatu di telinga Mentari. Senyum manis menghiasi kedua bibir mereka.
***
Hujan belum mau berhenti dan waktu semakin beranjak lalu...
Mereka masih berteduh di tempat yang sama, di tepi danau yang
permukaan airnya mulai menaik. Cakrawala mendung kelabu, siapa yang bisa
mengusirnya? Mereka terdiam menatap cakrawala, semoga hujan segera berlalu di
tempat ini dan mereka bisa berlayar mengitari danau ini dengan sampan utuh yang
tergeletak takjauh dari tempat mereka berteduh. Mentari sudah tidak sabar untuk
berlayar mengelilingi danau ini.
“Ibu apakah dulu ayah sering mengajak ibu kemari?”tanya
Mentari.
“Ya sering, makanya ibu menyukai tempat ini,” jawab ibunya.
Perlahan kenangan-kenangan muncul di dalam benaknya. Dan selalu saja ketika
kenangan-kenangan itu muncul, senyum manis selalu menghiasi bibir ibunya.
Kenangan apakah yang bisa membuatnya tersenyum selalu kala mengingatnya?
“Di sinilah ibu pertama kali mencintai ayahmu,” kata ibunya
lagi, “Ia selalu mengajak ibu kemari jika ibu sedang bersedih. Ayahmu
menggandeng tangan ibu dengan erat dan membawa ibu ke tepi dermaga di sebelah
sana. Setelah itu ayahmu akan mendayung sampan dan berlayar ke seberang untuk
memetik beberapa bunga. Kau tahu sayang? Bunga-bunga itu sangat segar dan
wangi, seakan baru saja mekar ketika ayahmu memetiknya. Ia memang pandai
membuat ibu bahagia. Kau tahu bagaimana ia meletakkan bunga itu padaku?” ibunya
kemudian mengambil setangkai anggrek liar yang berserakan di sampingnya dan
meletakannya di telinga Mentari, “Seperti ini,” katanya.
Mentari terpana, ia membayangkan bagaimana ayahnya dulu
melakukan hal yang sama dengan yang ibunya lakukan, bahkan lebih romantis dari
apa yang ibunya lakukan untuknya. Siapa ayahku? Di mana ia berada? Pertanyaan
itu terbersit begitu saja dalam pikiran Mentari. O, ia ingin sekali tahu dan
bertemu ayahnya yang kata ibunya baik itu.
“Kau tahu Mentari? Di danau ini jika tidak sedang hujan,
senja sangat indah. Matahari senja yang kemerahan itu, cahaya akan sampai di
permukaan air ini dan menyebabkan air danau ini ikut menjadi keemasan dan
kemerahan.”
“Benarkah itu ibu?”
“Ya, sayangnya hari ini hujan. Kamu tidak bisa melihat
pemandangan yang menakjubkan seperti itu.”
“Dan... oh iya, ibu sudah pernah cerita belum kalau di sini
banyak sekali angsa-angsa yang indah? Ya, angsa-angsa yang putih bersih bulunya
itu berenang dengan sangat anggun di danau ini. Mereka saling berenang bersama,
kawin dan beranak hingga kelestariannya tetap terjaga. Akh, sayang sekali lagi
sayang, hari ini hujan sehingga kau tidak bisa melihat semuanya.”
“Mentari sayang...”
“Iya ibu?”
“Kamu masih mendengarkan ibu kan?”
“Iya aku masih akan mendengar ibu bicara.”
“Baiklah ibu akan teruskan. Ayahmu dulu laki-laki yang
tampan. Siapa pun perempuan yang melihatnya pasti akan jatuh hati. Namun tanpa
sangka ayahmu jatuh cinta pada ibu. Awalnya ibu juga masih ragu akan cintanya
itu, tapi setelah ibu tahu bagaimana sikapnya pada ibu dan bagaimana danau ini
akan selalu mengingatkan ibu padanya, ibu pun jatuh cinta padanya. Ibu dan
ayahmu akhirnya menikah dan lahirlah kamu, sayang.”
Mentari ingin berucap sesuatu namun ia ragu untuk
mengucapkannya. Lagipula ia tidak mau memotong pembicaraan ibunya. Ibunya masih
terlihat asyik berbicara tentang kenangan. Dan hujan pun masih pula terlihat
asyik bermain-main di cakrawala. Ibunya masih terus berbicara hingga akhirnya
ia mengulangi sebuah kalimat:
“Kita hidup bahagia sayang. Kita akan selalu hidup
bahagia...”
Ibunya semakin mendekap erat Mentari. Hujan tidak akan pernah
pergi dari sana.
“Kita hidup bahagia sayang. Kita akan selalu hidup
bahagia...”
Mentari masih ragu untuk berkata.
“Kita hidup bahagia sayang. Kita akan selalu hidup
bahagia...”
“Ibu...”
“Ya sayang?”
“Siapakah ayahku sebenarnya? Ke manakah ia sekarang?”
Ibunya terdiam. Perlahan ia kembali membisikkan sesuatu di
telinga Mentari. Hujan masih mengguyur danau ini, nun jauh di balik cakrawala.
***
Hujan pun menyusut menjadi gerimis...
Rumah itu tampak angker dalam balutan hujan, namun ada
kehidupan di sana. Seorang nenek tua gelisah, menunggu cucunya terbaring koma
atau mungkin sebentar lagi ajalnya telah tiba. Ia takut, cucu semata wayangnya
harus pergi meninggalkan dirinya yang sudah renta dimakan usia. Seharusnya
ialah yang lebih dulu meninggalkannya, namun takdir berkata lain. Apa daya
cucunya yang yatim piatu itu kini sedang terbaring koma terkena leukemia akut.
Oladalah, nenek itu bukanlah orang berada, ia tidak mampu membawa anaknya untuk
berobat. Dan kini, semuanya sudah terlanjur. Cucu yang manis itu kini terbaring
tanpa daya dalam gerimis hujan yang tiada pernah berakhir...
“Mentariku, cucuku! Sunggu malang nasibmu! Dan lebih malang
lagi nasibku, sebatangkara di sisa napas penghabisan ini. Jangan dulu pergi
nak! Kau telah menjelajah tanah ibu dan ayahmu di sana, namun berilah
kesempatan untukku sedikit lagi saja. Aku masih ingin melihat ceriamu di
hari-hariku yang semakin beranjak tua dan mendekati akhir ini...” airmata
mengalir deras di pipinya yang keriput.
Hujan masih akan terus turun, entah sampai kapan...
Situ Gede, 11 Juli 2010
13.00—21.11
No comments:
Post a Comment