Anak-anak bermain di padang terbuka. Burung-burung merdu
berkicau dalam kemilau senja dan mega-mega yang selalu berarak bermain dengan
matahari. Dan kulihat semuanya tampak begitu nyata, kekasihku, seperti bayangan
yang makin lama makin nyata penampakannya. Semuanya selalu nyata, karena segala
yang ada—meski hanya berbentuk
bayang-bayang belaka—akan menjadi suatu hal yang nyata dan fana. Itulah hidup.
Itulah kehidupan. Dan itulah desa, sayangku.
Barangkali kita akan menjadi fana dalam waktu. Namun perlu
kau ingat, di desa ini kita takmesti harus berpaling dari kehidupan yang
bengis. Inilah desa, tempat dimana segala makna ditemukan dan tidak akan
ditemukan di belahan kota lain meski kota tersebut sudah rimbun oleh kemajuan
teknologi dan asap. Dan di desa ini sayangku, kita akan mudah mengatur laju
waktu. Kau akan tampak lebih muda dan cantik karena udara segar dan cahaya
matahari yang murni akan selalu membuatmu merona. Percayalah, aku tidak pernah
bohong. Bukankah bohong itu dosa? Desa
akan selalu membuatmu kaya, meski kaya bukan berarti bergelimang, kau akan kaya
dengan ilmu dan makna.
Senja belum sampai pada batasnya, tenang saja. Di desa senja
akan selalu ada, selalu bercahaya, selalu kemilauan, dan selalu merona. Aku
berjalan di pematang sawah, menyusuri jalan yang kelak akan kita lalui bersama,
dalam senja dan tempat yang sama. Kita menyusuri pematang, menyusuri jalan
setapak dengan iring-iringan burung yang selalu mendendangkan kita sebuah nyanyian
yang indah melebihi melodia orkestra yang diciptakan oleh manusia. Kita
akan selalu mengenangnya, menyimpannya baik-baik dalam ingatan dan tidak akan
mudah dilupakan begitu saja oleh waktu dan usia. Namun semuanya hanya harapan
sahaja, karena kini, dalam remang senja yang memerahkan cakrawala, aku masih
sendiri menyusuri pematang sawah tanpamu. Aku masih menyusuri segenggam harapan
tentangmu yang selalu tersusun rapi dalam sanubari, mungkin saja hanya berujud
sebuah harapan belaka. Hanya harapan sahaja.
Apa kabar kamu? Semoga di kota sana kau akan tampak selalu
bahagia. Aku masih betah di sini, barangkali tidak akan kembali lagi ke sana.
Namun jika kau masih sudi untuk menungguku dan bertatap muka denganku, kau
tinggal bilang saja. Aku akan kembali padamu dan kuceritakan kisahku selama di
desa dengan penuh hasrat agar kau mau mendengarnya. Karena di desa ini aku
takkan pernah habis-habis mendulang sebuah kisah. Dan sebuah kisah akan menjadi
sebuah kenangan sebuah penanda bahwa aku pernah berada di desa ini, desa yang
selalu membuatku bahagia dan selalu mengingat dirimu.
Kau ingat kapan terakhir kali kita bertemu dalam waktu? Aku
selalu menunggumu dalam waktu dan berharap akan bertemu bertatap muka dalam
waktu pula. Karena di dalam waktulah ada suatu cinta yang akan aku kenang dan
aku sembahkan hanya untukmu saja. Masalah perjumpaan atau tidak itu urusan
belakangan, tetapi cinta adalah urusan hati. Siapa pun memiliki suatu cinta
dalam waktu, tinggal dikeluarkan dalam dunia nyata. Seperti desa yang selalu
menjadikan segala bayang-bayang menjadi nyata.
Anak-anak tertawa riang menikmati senja, menikmati alam.
Jalan yang kususuri bertemu pada sebuah simpang dan kuputuskan untuk singgah di
sebuah kedai. Kupesan minuman sekadar melepas lelah. Hmm, barangkali segelas
teh dingin cocok untuk tubuhku yang panas. Teh dingin yang selalu kau minum
kala senja. Aku selalu minum dan makan makanan dan minuman yang kau suka karena
itu semua akan membuatku selalu mengenangmu. Jangan marah, aku hanya sekadar
mengenangmu, karena mungkin saja aku sangat rindu padamu. Teh itu kuminum
dengan penuh kenikmatan, kuhabiskan dalam sekali tegukan. Barangkali aku rakus
atau benar-benar terlalu dahaga. Tetapi bagaimana lagi? Meskipun teh itu adalah
kenangan tentang dirimu, aku terlalu haus dan ingin segera kuhabiskan dengan
penuh kenikmatan. Semoga akan kudapati lagi segelas teh yang membuatku kembali
teringat dirimu.
Tiada keraguan, tiada keresahan, segalanya serba melayang
tanpa pernah takut untuk tersesat. Di desa, aku bisa mengungkapkan apa yang ada
dalam pikiran dan tidak pernah ada keraguan untuk berpikir sekali lagi, namun
apa yang kuputuskan tetap ada dalam suatu garis. Sayangku, apakah segalanya
harus diungkapkan dengan kata-kata? Kau selalu terdiam, tetapi aku tahu diammu
mengandung kata. Seperti arakan awan yang selalu bergerak di antara mega-mega,
seperti desau angin yang memainkan ujung batang padi hingga bergoyang seirama dengan
laju waktu. Semuanya tanpa berkata-kata namun aku tahu itu adalah sebuah bahasa
yang paling tepat dalam menyampaikan pesannya. Begitulah, aku ingin
mengungkapkan apa yang kurasakan di desa ini padamu tanpa banyak
berkata-kata—bahkan tanpa satu patah kata pun.
Tentunya aku tidak hanya sekadar membayangkan saja. Sudah
kubilang tadi di desa ini segalanya menjadi nyata, tidak sekadar bualan seperti
di banyak kota. Dan aku ingin mengajakmu masuk ke dalam dimensiku yang kini
sedang menikmati udara desa dan akan selalu menikmatinya sampai kapan pun
karena aku memang mencintainya. Seperti mencintaimu. Seperti merindukanmu.
Seperti mengingatmu. Ya, hanya semacam itulah. Namun ternyata tidak banyak yang
bisa aku lakukan untuk menjadikan semuanya menjadi suatu kenyataan. Dan semoga
ketika surat ini sampai di tanganmu, kau baca dan kau pahami betapa rangkaian
kata-kata di dalam tulisan ini tidak hanya sekadar rangkaian kata-kata belaka.
Surat ini adalah harapan, dan selalu bisa terjadi harapan menjadi kenyataan. Mimpi
yang akan berubah menjadi kenyataan. Cita-cita yang kelak bisa diraih.
Begitulah suratku, dan hanya kaulah yang bisa mengerti semuanya.
Terimalah bahwa desa tidak selamanya memuakkan. Desa tidak
selamanya membuat kau terkucil. Banyak cerita dan kenangan yang bisa kita raih
di desa, di tempat dimana kini kakiku berpijak. Dan barangkali kita juga bisa
temukan cinta...
Cihonje, 03 Juli 2010
21.38
No comments:
Post a Comment