Friday, 17 February 2012

Surat dari Desa


Anak-anak bermain di padang terbuka. Burung-burung merdu berkicau dalam kemilau senja dan mega-mega yang selalu berarak bermain dengan matahari. Dan kulihat semuanya tampak begitu nyata, kekasihku, seperti bayangan yang makin lama makin nyata penampakannya. Semuanya selalu nyata, karena segala yang ada—meski hanya  berbentuk bayang-bayang belaka—akan menjadi suatu hal yang nyata dan fana. Itulah hidup. Itulah kehidupan. Dan itulah desa, sayangku.
Barangkali kita akan menjadi fana dalam waktu. Namun perlu kau ingat, di desa ini kita takmesti harus berpaling dari kehidupan yang bengis. Inilah desa, tempat dimana segala makna ditemukan dan tidak akan ditemukan di belahan kota lain meski kota tersebut sudah rimbun oleh kemajuan teknologi dan asap. Dan di desa ini sayangku, kita akan mudah mengatur laju waktu. Kau akan tampak lebih muda dan cantik karena udara segar dan cahaya matahari yang murni akan selalu membuatmu merona. Percayalah, aku tidak pernah bohong.  Bukankah bohong itu dosa? Desa akan selalu membuatmu kaya, meski kaya bukan berarti bergelimang, kau akan kaya dengan ilmu dan makna.
Senja belum sampai pada batasnya, tenang saja. Di desa senja akan selalu ada, selalu bercahaya, selalu kemilauan, dan selalu merona. Aku berjalan di pematang sawah, menyusuri jalan yang kelak akan kita lalui bersama, dalam senja dan tempat yang sama. Kita menyusuri pematang, menyusuri jalan setapak dengan iring-iringan burung yang selalu mendendangkan kita sebuah nyanyian yang indah melebihi melodia orkestra yang diciptakan oleh manusia. Kita akan selalu mengenangnya, menyimpannya baik-baik dalam ingatan dan tidak akan mudah dilupakan begitu saja oleh waktu dan usia. Namun semuanya hanya harapan sahaja, karena kini, dalam remang senja yang memerahkan cakrawala, aku masih sendiri menyusuri pematang sawah tanpamu. Aku masih menyusuri segenggam harapan tentangmu yang selalu tersusun rapi dalam sanubari, mungkin saja hanya berujud sebuah harapan belaka. Hanya harapan sahaja.
Apa kabar kamu? Semoga di kota sana kau akan tampak selalu bahagia. Aku masih betah di sini, barangkali tidak akan kembali lagi ke sana. Namun jika kau masih sudi untuk menungguku dan bertatap muka denganku, kau tinggal bilang saja. Aku akan kembali padamu dan kuceritakan kisahku selama di desa dengan penuh hasrat agar kau mau mendengarnya. Karena di desa ini aku takkan pernah habis-habis mendulang sebuah kisah. Dan sebuah kisah akan menjadi sebuah kenangan sebuah penanda bahwa aku pernah berada di desa ini, desa yang selalu membuatku bahagia dan selalu mengingat dirimu.
Kau ingat kapan terakhir kali kita bertemu dalam waktu? Aku selalu menunggumu dalam waktu dan berharap akan bertemu bertatap muka dalam waktu pula. Karena di dalam waktulah ada suatu cinta yang akan aku kenang dan aku sembahkan hanya untukmu saja. Masalah perjumpaan atau tidak itu urusan belakangan, tetapi cinta adalah urusan hati. Siapa pun memiliki suatu cinta dalam waktu, tinggal dikeluarkan dalam dunia nyata. Seperti desa yang selalu menjadikan segala bayang-bayang menjadi nyata.
Anak-anak tertawa riang menikmati senja, menikmati alam. Jalan yang kususuri bertemu pada sebuah simpang dan kuputuskan untuk singgah di sebuah kedai. Kupesan minuman sekadar melepas lelah. Hmm, barangkali segelas teh dingin cocok untuk tubuhku yang panas. Teh dingin yang selalu kau minum kala senja. Aku selalu minum dan makan makanan dan minuman yang kau suka karena itu semua akan membuatku selalu mengenangmu. Jangan marah, aku hanya sekadar mengenangmu, karena mungkin saja aku sangat rindu padamu. Teh itu kuminum dengan penuh kenikmatan, kuhabiskan dalam sekali tegukan. Barangkali aku rakus atau benar-benar terlalu dahaga. Tetapi bagaimana lagi? Meskipun teh itu adalah kenangan tentang dirimu, aku terlalu haus dan ingin segera kuhabiskan dengan penuh kenikmatan. Semoga akan kudapati lagi segelas teh yang membuatku kembali teringat dirimu.
Tiada keraguan, tiada keresahan, segalanya serba melayang tanpa pernah takut untuk tersesat. Di desa, aku bisa mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan tidak pernah ada keraguan untuk berpikir sekali lagi, namun apa yang kuputuskan tetap ada dalam suatu garis. Sayangku, apakah segalanya harus diungkapkan dengan kata-kata? Kau selalu terdiam, tetapi aku tahu diammu mengandung kata. Seperti arakan awan yang selalu bergerak di antara mega-mega, seperti desau angin yang memainkan ujung batang padi hingga bergoyang seirama dengan laju waktu. Semuanya tanpa berkata-kata namun aku tahu itu adalah sebuah bahasa yang paling tepat dalam menyampaikan pesannya. Begitulah, aku ingin mengungkapkan apa yang kurasakan di desa ini padamu tanpa banyak berkata-kata—bahkan tanpa satu patah kata pun.
Tentunya aku tidak hanya sekadar membayangkan saja. Sudah kubilang tadi di desa ini segalanya menjadi nyata, tidak sekadar bualan seperti di banyak kota. Dan aku ingin mengajakmu masuk ke dalam dimensiku yang kini sedang menikmati udara desa dan akan selalu menikmatinya sampai kapan pun karena aku memang mencintainya. Seperti mencintaimu. Seperti merindukanmu. Seperti mengingatmu. Ya, hanya semacam itulah. Namun ternyata tidak banyak yang bisa aku lakukan untuk menjadikan semuanya menjadi suatu kenyataan. Dan semoga ketika surat ini sampai di tanganmu, kau baca dan kau pahami betapa rangkaian kata-kata di dalam tulisan ini tidak hanya sekadar rangkaian kata-kata belaka. Surat ini adalah harapan, dan selalu bisa terjadi harapan menjadi kenyataan. Mimpi yang akan berubah menjadi kenyataan. Cita-cita yang kelak bisa diraih. Begitulah suratku, dan hanya kaulah yang bisa mengerti semuanya.
Terimalah bahwa desa tidak selamanya memuakkan. Desa tidak selamanya membuat kau terkucil. Banyak cerita dan kenangan yang bisa kita raih di desa, di tempat dimana kini kakiku berpijak. Dan barangkali kita juga bisa temukan cinta...











Cihonje, 03 Juli 2010
21.38

No comments:

Post a Comment