Tuan dan Puan...
Saat ini Indonesia gencar akan aksi-aksi konfrontasi
terhadap artis Lady Gaga oleh Front Pembela Islam (FPI). Menurut jadwal, Lady
yang bukan saudara kandung Azis Gagap ini akan menggelar konser di Indonesia
pada tanggal 3 Juni mendatang. Pihak promotor telah menjual habis tiket konser
kepada calon penonton bahkan tidak sedikit penonton yang tidak kebagian tiket.
Namun, konser ini ternyata dilarang oleh pihak Kepolisian
dengan alasan belum mengantongi izin dari Kepolisian. Nah, ini yang menjadi
perdebatan yang sengit. Pasalnya, bukan hanya polisi saja yang melarang, namun
kelompok Islam Militan yang bernaung dalam bendera FPI pun mengecam pertunjukan
konser ini. Mereka (FPI) mengklaim bahwa Lady Gaga tidak pantas masuk Indonesia
karena ia terkenal dengan busana-busana dan aksi panggungnya yang kontroversi
dan bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Lady Gaga pun dicap sebagai
artis pemuja setan (Illuminati/satanisme). Oleh karena itu, tidak pantas
seorang Lady Gaga untuk manggung di Indonesia.
Tentu saja aksi pelarangan oleh Polisi dan FPI ini memicu
protes keras dari beberapa kalangan. Ada yang menganggap bahwa aksi pelarangan
ini hanya sebagai manipulasi polisi saja untuk melanggengkan kekuasaan FPI di
tanah air, bahkan ada yang sampai berpandangan bahwa Polisi pun kini telah
dipengaruhi oleh FPI. Apapun alasannya, hal ini telah memicu adanya perpecahan
pendapat antara kelompok yang pro pelarangan dengan kelompok yang kontra.
Sebagai orang-orang yang memosisikan dirinya sebagai
moderat, liberal, dan sosialis, tentu pelarangan ini sangat ditentang keras dan
bisa melanggar hak asasi (hak asasi nonton Lady Gaga tentunya!). Sebab, mereka
lebih menganggap bahwa busana dan aksi Lady Gaga masih terbilang normal dan tidak
erotis ketimbang busana dan aksi dari para pedangdut koplo kita yang bahkan
tidak canggung beradegan erotis dengan lawan jenis ketika perform di panggung.
Tidak percaya, coba saja buka situs Youtube ya!
Ditantang seperti itu, FPI dan Polisi pun manggut-manggut,”
Itu pun sudah menjadi bagian dari usaha kami untuk memberantas kemaksiatan,”
sergahnya. Nyatanya, bahkan pertunjukan dangdut koplo yang ebih erotis pun
sudah lebih dahulu muncul ketimbang si wanita nyentrik Lady Gaga. Malahan,
polisi pun sempat mengamankan panggung tersebut. Lantas, mengapa
panggung-panggung dangdut koplo yang sudah jelas-jelas terang-terangan
seterang-terangnya bahkan hingga diunggah di situs Youtube masih saja diberi
izin, sedangkan konser Lady Gaga tidak dikasih izin? Lalu kemanakah FPI pada
saat pertunjukan dangdut koplo berlangsung. Saya yakin mereka tidak sedang
menikmatinya bukan?hehe
Kejanggalan-kejanggalan itulah yang membuat masyarakat
berang terhadap FPI pada khususnya. Mereka bertindak seolah-olah hanya
merekalah golongan mayoritas di negeri ini. Ingat Sahib, ini negara Demokrasi,
bukan negara berdasar pada ajaran agama tertentu. Karena negara ini sudah
didaulat sebagai negara demokrasi, ya demokrasi itu pun harus dijunjung tinggi
dan ditegakkan, bukan dengan aksi sepihak yang justru malah memicu protes
keras. Kita sering lupa bahwa Indonesia adalah negara mayor, yakni hanya kaum
mayoritaslah yang bisa menguasai negeri ini. Kaum minoritas menjadi
temarjinalkan dan terkadang ada usaha dari kaum mayoritas untuk menegakkan negara
sesuai dengan prinsip mereka.
Inilah yang salah. Banyak wacana yang akan mengubah
Indonesia menjadi negara dengan sistem Islam. Tapi kenyataannya, masyarakatnya
pun masih terlalu awam mengenai bagaimana konsep Islam itu sendiri. Di negara
multikultur dan multietnis ini Indonesia harus mampu menjunjung tinggi
keberagaman. Negara bukan dibentuk oleh satu kelompok. Negara bukan dijalankan
oleh satu etnis. Dan negara pun bukan dipedomani oleh satu kepercayaan saja.
Bila dibiarkan terus menerus, Indonesia menjadi hilang
legitimasinya. Tindakan yang terlalu banal malah akan mengakibatkan orang-orang
yang berbeda faham akan mudah untuk menentang dan mengajukan perlawanan.
Pelarangan konser Lady Gaga ini pun merupakan salah satu bukti bahwa mayoritas
masih berada di atas angin terhadap kaum minoritas.
Lady Gaga hanyalah seorang artis yang mencoba totalitas. Ia
pun masih punya Tuhan, meskipun Tuhannya ialah setan itu sendiri. Lho, zaman
sekarang bukannya apa pun bisa dijadikan Tuhan? Pejabat di Gedung Dewan pun kan
mempunyai Tuhan yang poli, salah satunya Tuhan Kekuasaan, Tuhan Uang, dan Tuhan
Jabatan, iya kan Tuan dan Puan?
Konsep makna dari “Tuhan” sendiri saya pikir telah mengalami
generalisasi. Tuhan bukan lagi yang menciptakan manusia, tetapi Tuhan ialah yang
memakmurkan manusia. Barang siapa ada yang bisa menjadikan diri manusia itu
kaya, maka itulah Tuhan mereka. Kenyataan inilah yang menjadi paradigma
nirsadar dalam diri kita.
Kembali ke masalah si Lady, kabarnya FPI pun sudah
menyiapkan sedikitnya 150 tiket konser jikalau konser Lady Gaga itu jadi
digelar. Mereka akan masuk secara resmi (membeli tiket yang asli) dan akan
melakukan aksi-aksi terang-terangan untuk menggagalkan konser tersebut. Hmm,
mungkin FPI pun ingin nonton juga ya dengan menyiapkan tiket sampat 150 buah? J
Terlepas dari itu, suka atau tidak suka, porno atau tidak
porno, Lady Gaga tetap saja seorang seniman. Ia mempunyai gayanya sendiri.
Seniman kan harus punya karakter, dan Lady Gaga telah mematenkan karakternya
dengan aksi dan busana yang tidak biasa. Masalah yang muncul adalah masalah
jati diri penontonnya, jika memang penonton menganggap bahwa busana Lady Gaga
terlalu erotis ya mending cari artis lain saja yang lebih sopan ketimbang sibuk
mencela dan memojokkannya. Penontonlah yang lebih tahu diri dan mampu menyaring
hal-hal apa saja yang baik bagi kehidupannya.
Nah!
Apabila ada yang bertanya, apa pendapat saya ketika Lady
Gaga batal konser, maka saya akan menjawab apabila Lady Gaga mau menghormati
budaya “ketimuran” kita, yakni menyesuaikan karakternya dengan budaya dan
kepercayaan di Indonesia, itu saya pikir sah-sah saja untuk digelar konsernya.
Dan jika harus memilih antara setuju dan tidak aksi pelarangan
tersebut, maka saya akan tenang menjawab, “Saya tidak kenal Lady Gaga, karena saya
belum pernah berkenalan, menjabat tangan, dan menyebutkan nama saya di
hadapannya. Dan saya hanya mau mendengar musik yang saya suka!”
No comments:
Post a Comment