Berbicara
mengenai rokok, alangkah bijak bila kita menyandingkannya dengan konsep
Keindonesiaan. Sebab, dari rokok kita bisa memunculkan aktivitas yang
mencerminkan sikap-sikap tradisi Indonesia. Terlepas dari kontroversi yang
melekat, peringatan keras oleh Pemerintah mengenai bahaya rokok, dan segala
macam tetek bengek yang menyebabkan rokok menjadi sebuah barang/produk yang
berbahaya.
Saya
tidak akan membeberkan mengenai kandungan rokok, dan zat-zat yang bisa merusak
tubuh dari rokok, karena semua hal tersebut bisa Anda dapatkan di dunia maya.
Anda bisa cari mengenai kandungan dan zat-zat beracun yang konon kabarnya
ngendon di batang rokok. Saya pun tidak akan berbicara mengenai bahaya dan efek
samping dari rokok itu sendiri, karena Anda pun yang bukan perokok pun pasti
telah hafal dari efek samping rokok tersebut. Saya hanya akan berbicara
mengenai rokok dan kaitannya dengan tradisi dan kebudayaan di Indonesia.
Rokok
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas sosial manusia Indonesia.
Bahkan, rokok telah menjadi teman hidup yang menyenangkan bagi seorang perokok.
Betapa tidak, terkadang keberadaan rokok mengalahkan semuanya. Rokok mampu
mengalahkan kepentingan istri, rokok mampu mendobrak aturan-aturan, dan rokok
pun mampu mengesampingkan kepentingan-kepentingan manusia lainnya. Seorang
perokok berat akan mengutamakan membeli sebatang rokok daripada makanan lainnya
jika ia sedang tidak punya uang. Bahkan, rokok pun mampu membuat si perokok
melakukan penganggaran keuangannya, dan tentu saja kebutuhan akan rokok menjadi
prioritas utama
Katakanlah,
dalam sebulan, perokok pasti menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk
membeli rokok. Ia pasti telah menghitung secara cermat biaya yang mesti
dikeluarkan untuk membeli rokok. Umpama dalam sebulan kebutuhan rokok berkisar
hingga 100-200 ribu, maka secara automatis, setiap bulan si perokok akan
menyisihkan uang sesuai dengan nominal yang telah ditentukan.
Hal
ini acap kali dianggap sebuah pemborosan, terlebih bagi kalangan nonperokok.
Namun, bagi si perokok sendiri, jumlah uang tersebut merupakan akumulasi dari
penghitungan yang sangat matang. Dan biasanya, jumlah tersebut akan selalu
konstan, apabila si perokok menghabiskan rokoknya dalam waktu yang sama dan
harga rokok yang dibeli pun konstan. Pengeluaran untuk rokok bagi mereka sudah
menjadi pengeluaran yang wajib dan tidak boleh dikesampingkan. Maka, pemborosan
yang dianggap oleh kaum nonperokok tidak akan pernah ditanggapi secara serius
bagi perokok, karena rokok telah menjadi bagian dari hidupnya. Prinsip perokok,
toh setiap manusia pun pasti memiliki kebutuhan kan dan sangat wajar apabila
seorang perokok menganggarkan biaya untuk membeli rokok.
Mengapa
perokok selalu ingin membeli rokok? Terlepas dari masalah rokok dapat membuat
kecanduan, pada dasarnya rokok akan selalu dibutuhkan oleh kaum perokok.
Perokok sejati mengonsepkan sebatang rokok sudah bukan lagi sesuatu yang
dinikmati dengan cara dibakar ketika sehabis makan umpamanya, namun rokok sudah
menjadi ideologi berpikirnya.
Tentunya
Anda sering mendengar kan rokok adalah sumber inspirasi? Kebanyakan orang
merokok untuk mendapatkan ilham. Hal ini memang seringkali menjadi persepsi
yang salah. Toh, dalam rokok saya kira tidak ada kandungan yang bisa merangsang
otak untuk menghasilkan ide-ide yang gilang gemilang. Namun, untuk membuktikan
kebenaran dari pernyataan tersebut kiranya lebih baik kita lihat dari segi
psikologis dan sosiologis.
Dari
segi psikologis, kaum perokok telah “terhipnotis” oleh pernyataan tersebut,
sehingga apabila menemui suatu keadaan yang stagnan dan butuh sebuah ide yang
dinamis, maka secara automatis ia akan merokok. Untuk memahami konsep ini, saya
akan analogikan bahwa rokok adalah media curhat. Kaum perokok akan lebih enak
“curhat” dengan rokok. Ketika dirasa pikirannya buntu, ia akan lakukan hal-hal
yang akan mengembalikan mood dan pikirannya menjadi fresh kembali.
Salah
satu media yang paling bisa merepresentasikan hal itu adalah rokok. Dengan
merokok, kaum perokok akan merasakan sebuah pelepasan beban yang lebih mudah
ketimbang melepasnya dalam bentuk yang lain. Dengan melepasnya beban-beban
tersebut, pikiran jernih pun akan kembali pada diri si perokok. Oleh karena
itu, kaum perokok sebenarnya bukan mencari ilham dengan ketika merokok, akan
tetapi sekadar melepaskan penat dan beban yang terasa dalam suatu aktivitasnya.
Tanpa
disadari, ketika beban-beban tersebut terlepas, maka ide atau solusi pun akan
lebih mudah datang. Perokok tanpa disadari akan menemukan jalan terbaik untuk
membuat aktivitasnya kembali hidup. Jadi, dengan kata lain rokok bukan
dikategorikan sebagai pencari ilham, tetapi hanya sebagai media alternatif
pelepasan beban yang baik dilakukan oleh seorang perokok. Percaya atau tidak,
perokok akan selalu melakukan aktivitas tersebut.
Dari
segi sosiologis pun, rokok sebagai media untuk “menemukan pemecahan dari
permasalahan yang dihadapi”. Seorang perokok akan lebih merasa akrab dengan
orang yang baru dikenal melalui rokok. Apalagi mitra bicaranya pun juga seorang
perokok. Biasanya, orang Indonesia akan selalu menawarkan rokok kepada mitra
bicara yang belum dikenalnya untuk mencairkan suasana. Jika untungnya mitra tersebut
juga seorang perokok, komunikasikan akan terasa lancar dan mudah akrab.
Manusia
Indonesia adalah manusia yang heterogen, dan multietnis. Namun, kelebihan dari
manusia Indonesia adalah ia akan lebih cepat akrab meski berbeda kultur. Salah
satu hal yang menjadi katalisator ialah rokok. Perokok sejati akan selalu
membagi rokoknya kepada orang-orang di dekatnya, kenal ataupun tidak kenal.
Sebab, cara terbaik untuk melakukan komunikasi adalah dengan melakukan
komunikasi sambil merokok. Mengapa? Kita kembali pada konsep rokok sebagai
media pelepasan beban tadi. Dua perokok yang melakukan komunikasi akan lebih
cair dan hangat apabila melakukan komunikasi sambil merokok. Hal tersebut
memiliki arti bahwa merokok adalah kebebasan berekspresi.
Pernah
baca novel serial “Balada Si Roy?”, Novel karangan Gola Gong tersebut
menyajikan suatu fenomena keindonesiaan dalam setiap ceritanya. Kita lihat
bagaimana si Roy dalam petualangannya akan selalu mendapatkan kawan baru dengan
cara yang mudah, yakni dengan membagi rokoknya kepada mitra bicaranya. Misalnya
ketika melihat sekawanan petualang sebayanya sedang duduk tanpa ada yang
merokok, maka dengan inisiatif Roy melemparkan bungkus rokoknya kepada para
petualang tersebut, dan terjadilah suatu komunikasi yang lancar dan akrab.
Tidak
jarang, melalui komunikasi tersebut akan menghasilkan output atau solusi yang mungkin tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Saya pikir esensi dari komunikasi adalah menghasilkan output dalam
proses komunikasi tersebut. Apabila komunikasi berjalan dengan baik, maka ouput
yang dihasilkan pun akan baik pula. Dan bagi perokok, cara efektif untuk
melakukan sebuah komunikasi yang baik ialah melakukannya sambil merokok bersama
dengan mitra bicaranya.
Itulah
esensi sebuah rokok bagi manusia Indonesia, sehingga bukan tidak mungkin rokok
menjadi “sebuah bentuk kebudayaan yang tidak disadari” oleh manusia Indonesia.
Manusia Indonesia mungkin akan lebih berpikir dampak negatif dari aktivitas
merokok tersebut, bahkan akan berpikir bahwa merokok akan merugikan masyarakat
umum, sehingga kini keberadaan seorang perokok akan menjadi temarjinalkan
ketika ia berhadapan dengan kaum nonperokok. Namun, tanpa disadari, rokok telah
menjadi sebuah kebudayaan yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh manusia
Indonesia.
Indonesia
sendiri adalah surganya rokok. Sebagian besar devisa Indonesia berasal dari
cukai rokok, sehingga sangat susah kiranya untuk menghapus budaya rokok di
Indonesia. Meski larangan mengenai rokok sudah digembrokan oleh Pemerintah,
orang-orang akan selalu mencari rokok sebagai media ekspresinya.
Toh,
pada kenyataannya rokok Indonesia adalah rokok terbaik di dunia, bahkan di
Kudus sendiri dihasilkan cerutu yang hanya dijual di Amerika saja. Sepanjang
pengetahuan saya, orang-orang di Afrika menyenangi rokok kretek buatan
Indonesia. Bahkan pernah ada salah seorang orang Indonesia ketika sampai di
negara Afrika Selatan, supir taksi di negara tersebut tidak segan-segan meminta
rokok kretek yang dibawanya begitu mengetahui bahwa penumpangnya adalah orang
Indonesia.
Secara
tidak langsung, rokok telah membangkitkan konsep keindonesiaan manusia
Indonesia, yakni manusia yang memiliki sikap ramah, gotong royong, dan tidak
segan-segan untuk berbagi. Seorang perokok akan lebih mudah akrab dengan
perokok lainnya daripada dengan nonperokok. Sebab, perokok akan lebih mudah
akrab berbicara, berpikir, dan menyampaikan pendapat dengan mitra bicara yang
juga seorang perokok. Budaya inilah yang tidak mungkin bisa dilepaskan dalam
tradisi sosial manusia Indonesia.
Jika
saya memfilosofikan mengenai hakikat rokok, maka saya akan memfilosofikan bahwa
rokok adalah seorang wanita yang menjadi bagian hidupnya. Betapa tidak, bila
perokok tidak memiliki rokok, ia akan berjuan untuk mendapatkan rokok, meski ia
sedang tidak punya uang. Meskipun banyak orang menganggap bahwa rokok yang
dihisapnya sangat berbahaya bagi hidupnya, ia akan tetap membutuhkan rokok
dalam hal apa pun dan dimana pun. Oleh karena itu, jika memang Anda akan
memutuskan untuk berhenti merokok, maka carilah hal-hal yang membuat Anda benci
dengan rokok tersebut, seperti halnya Anda ingin memutuskan seorang wanita,
maka Anda pun akan mencari hal-hal yang bisa membuat Anda benci dengan wanita
tersebut.
Rokok dalam Tradisi
Posmodernisme
Pernah
dengan istilah posmodernisme? Itu adalah kelanjutan dari konsep modernisme.
Modernisme itu sendiri merupakan sebuah “kemajuan” dalam suatu bidang, hal-hal
yang mutakhir atau sikap berpikir dan bertindak sesuai dengan kemajuan zaman.
Posmodernisme adalah tindak lanjut dari modernisme itu sendiri, yakni cara
berpikir yang lebih baru dari yang baru, out of the box. Secara sedernaha,
konsep posmodernisme adalah konsep-konsep paradoks dari tindakan modernisme.
Paradoks itulah yang menjadikan acap kali konsep posmodernisme terlihat mengabur
dan abstrak.
Posmodernisme
merupakan cara berpikir yang dinamis. Ia tidak selamanya mendukung dari konsep
modernisme, namun bisa juga mendobrak tradisi-tradisi modernisme yang cenderung
populer dan statis. Aktivitas posmodernisme biasanya menghasilkan tindakan atau
sesuatu yang seringkali dianggap salah dan berlebihan. Butuh pemaknaan yang
dalam untuk menemukan makna dari aktivitas posmodernisme itu sendiri. Dengan
kata lain, modernisme berkaitan dengan struktural, dan biasanya posmodernisme
berkaitan dengan postruktural (astruktural).
Dikaitkan
dengan rokok, rokok kini telah menjadi bentuk karya seni posmodernisme. Rokok
kini diciptakan semata-mata bukan untuk kepentingan keuntungan pasar, namun ada
sasaran lain yang ingin dicapai, yakni manusia Indonesia. Rokok memang sering
dipandang negatif oleh beberapa kalangan. Namun, hal-hal yang dianggap negatif
tersebut telah menjadi pendobrak bagi struktur-struktur yang selama ini telah
menutupi tradisi keindonesiaan. Dalam pemaknaan psomodernisme, rokok adalah
media efektif untuk menyulap orang-orang (khususnya perokok) untuk lebih
berkecimpung dalam kehidupan sosialnya dengan rokok.
Rokok
bukan sekadar sebuah “produk”, akan tetapi rokok adalah sebuah “karya”.
“Produk” lebih menjurus kepada hal-hal yang hanya dinikmati oleh konsumen saja.
Namun “karya” menjurus bukan kepada hal-hal yang tidak hanya dinikmati, tetapi
bisa ditelaah dan dimaknai. Tidak heran jika iklan rokok akan lebih menjurus
pada konsep “karya” daripada “produk”.
Begitu
pun halnya dengan promosi rokok itu sendiri. Coba Anda perhatikan bagaimana
rokok dipresentasikan oleh iklan. Anda tidak akan menemukan esensi dari rokok
itu sendiri, namun Anda akan menemukan konsep lain tentang rokok dalam iklan
tersebut. Pernah lihat iklan rokok dengan seorang laki-laki dalam mobil jeep
yang menantang badai gurun? Atau pernahkan Anda lihat iklan rokok akan selalu
identik dengan lelaki dan maskulinitas? Itulah salah satu dari posmodernismenya
rokok. Iklan rokok tidak akan direpresentasikan pada pengenalan produk, tetapi
lebih terfokus pada suatu hal yang bersifat ekspresif, gentle, dan wild.
Atau
mungkin pernah lihat iklan rokok yang merepresentasikan semangat kebersamaan
dan gotong royong? Hal ini yang lebih cair dari suatu iklan rokok. Rokok bisa
dikategorikan sebagai sesuatu yang membumi, sehingga dimanapun, kapanpun, dan
apapun situasinya, rokok akan mudah ditemui sebagai media sosial yang paling
efektif. Kreativitas desain iklan rokok dalam membuat iklan rokok akan selalu
menghasilkan pemahaman yang berbeda untuk pengenalan rokok itu sendiri. Iklan
rokok akan selalu memiliki makna yang semiotik, sehingga pemaknaannya tidak
hanya dapat dilakukan secara eksplisit saja (meskipun ada beberapa iklan yang
mudah dimaknai secara eksplisit).
Lahirnya
kreativitas iklan rokok yang keluar dari kungkungan modernisme, membuat
orang-orang memandang rokok bukan sebagai produk biasa, tetapi menjadi dimaknai
sebagai produk yang ekspresif, sehingga orang-orang akan selalu gatal untuk
membeli rokok. Itulah kenyataan yang terjadi dewasa ini. Anggapan mengenai
rokok sebagai media ekspresif akan selalu terbayang ketika iklan rokok serentak
mengambarkan rokok sebagai media seni yang ekspresif dan bebas.
Tidak
heran, jika orang-orang masih akan membeli dan menjadi perokok hingga waktu
yang tidak diketahui. Selama promosi rokok masih menekankan pada konsep
maskulinitas itu sendiri, rokok akan selalu menjadi incaran manusia Indonesia.
Terlepas dari masalah kesehatan dan ketertiban, rokok akan selalu menjadi
“karya seni ekspresif” yang akan membangkitkan semangat dan stimulus
orang-orang ketika mereka mengisap rokok. Dalam hal apapun, rokok telah menjadi
teman hidup yang menyenangkan. Konsep berpikir itulah yang sangat susah diubah
oleh kaum perokok.
Bandung, 28 Mei 2012
Secara keseluruhan, enak dibacanya rif ..
ReplyDeleteTapi ada ini:
"Tentunya Anda sering mendengar kan rokok adalah sumber inspirasi? Kebanyakan orang merokok untuk mendapatkan ilham. Hal ini memang seringkali menjadi persepsi yang salah."
Seringkali menjadi persepi yang salah? Atau relatif salah? Salah dalam konteks apa dulu ... Kalau salah dari semua konteks dan dari semua perspektif, betul "salah". Tapi kalau "salah" hanya dari satu konteks atau perspektif, berarti relatif ...
Terus menulis!
Oh ya, satu lagi rif
ReplyDeleteSubjudul "Rokok dalam Tradisi Posmodernisme" lebih baik pisahkan dari artikel ini lalu lahirkan menjadi satu artikel terpisah.
Sebacaan saya, isi subjudul itu cuma ngomongin posmodernisme dan rokok (sbg objek posmodern) dari sudut pandang budaya, bukan dari sudut pandang budaya Indonesia atau konsep keindonesiaan.
Semangat menulis, lagi!
Tanggapan untuk Abang Barley (Shafwan) :)
ReplyDelete1. Mengapa saya kategorikan salah, karena sudah jelas dari segi kesehatan pun tidak ada penelitian yang emnbghasilkan analisis seperti itu.
Salah di sini dalam hal pandangan orang tentang inspirasi itu sendiri. Mengacu pada konsep mitos, rokok seakan menjadi mitos untuk memunculkan inspirasi bagi setiap orang. Padahal inspirasi hanyalah masalah pemikiran saja, akan tetapi kaum perokok memitoskan hal tersebut.
2. Oke, sarannya diterima, haha. hatur nuhun kang!! :)