“Besok Lebaran Pak,” kata ibu
kepada bapak sehabis azan subuh berkumandang.
Bapak menghela nafas.
“Sudah Lebaran lagi bu, tapi
kita tidak pernah berubah.”
“Pak. Apa bapak mengingkari
bahwa Allah takkan melupakan hambaNya?” sergah ibu. Bapak kembali menghela
nafas untuk kedua kalinya. Wajahnya kulihat begitu murung dan muram, semuram
cahaya damar yang menerangi rumahku. Aku mendengar percakapan mereka dari balik
kelambu yang usang dan cahaya damar yang temaram. Tuan tahu, listrik tidak akan
pernah sampai di rumahku. Meskipun sampai, tentu bapak takakan sanggup untuk
membayarnya.
Kudengar deru laut dan angin
yang menggosok bilik kayu. Sudah seminggu bapak tidak melaut. Selain karena
ombak lautan yang mengganas akhir-akhir ini, lunas perahu bapak rusak terhantam
karang sehingga bapak tidak punya lagi daya untuk melaut. Padahal kami sangat
bergantung dengan laut. Laut menyimpan misteri, laut menyimpan kekayaan untuk
kita ambil dan manfaatkan. Jangan pernah berpaling dari laut, laut akan selalu
menghidupi kita, begitulah bapak selalu berpesan kepadaku, anak semata
wayangnya.
Bapak meniup damar, suasana
menjadi gelap gulita. Namun sebentar lagi cahaya mentari akan masuk menerobosi
dinding-dinding bilik rumah, setidaknya tidak lagi membuat suasana menjadi
temaram. Aku bangun dari tidurku. Sudah beberapa malam ini aku tidak bisa
tertidur dengan pulas. Selain karena bapak dan ibu selalu bangun duluan untuk
sahur—akh aku masih terlalu kecil untuk berpuasa—juga aku sering mendengar
tangisan yang begitu lirih pada malam-malam buta. Meski aku masih terlampau
dini, aku tahu itu adalah sebuah ekspresi kesedihan.
“Esok kita makan apa bu?”
begitulah selalu kudengar ucapan lirih bapak di sela-sela tangisnya. Tetapi
kutahu bapak bukanlah laki-laki yang cengeng. Jika telah begitu maka esoknya
bapak akan dengan semangat mencari nafkah demi menghidupi ibu dan aku. Dan ibu
pun bukanlah perempuan yang cengeng pula. Ibu mengerti akan kesusahan bapak,
maka dengan kelembutan cinta seorang istri ibu akan memeluk bapak dengan hangat
sembari mengusap-ngusap kepalanya.
“Sudah bangun nak? Hari masih
terlampau dini. Tidurlah lagi, tentu kau masih ngantuk,” ibu membuka kelambu
dan membelai kepalaku mesra.
Aku terdiam menatap ibu,
seandainya aku punya kata-kata tentu aku akan ucapkan sesuatu yang indah untuk
memuji kecantikan ibu.
“Ah, anakku sayang, kamu
ngompol lagi,” ibu lalu menggendongku dan membawanya keluar rumah. Cahaya
matahari mulai muncul dari arah timur. Takkulihat Ayah, kemana ia?
Ibu mengganti celanaku dan
kembali menggendongku. Ia membawaku ke tepi pantai yang sunyi. Pantai yang
memisahkan daratan dengan laut adalah salah satu bagian dari kehidupan kecilku.
Aku harus akrab dengan laut, begitu ibu selalu mengingatkanku. Seperti kata
ayah laut menyimpan misteri, laut menyimpan kekayaan untuk kita ambil dan
manfaatkan. Begitu sering kudengar sehingga kalimat itu lambat laun tertancap
dengan kuat dalam jiwaku dan kini di usia beliaku aku sudah mulai mencintai
laut.
Airlaut mengempas pantai,
mengempas kaki ibu. Aku terdiam menatap laut di gendongan ibu. Begitu hangat
kurasakan, itulah kehangatan ibu yang kutahu tidak pernah henti untuk
menyayangiku. Seandainya, ya seandainya aku mempunyai kata-kata untuk
mengungkapkan betapa aku sayang ibu tentu akan aku ucapkan. Sayangnya aku tidak
punya kata-kata itu. Aku harus meminjam dari mana?
“Sayang,” kata ibu lembut,
“Lihatlah laut itu. Begitu luas melebih daratan.”
Aku lihat ibu, aku akan
selalu memandang laut.
“Begitu luas dan dalamnya,
maka kau jangan takut tidak bisa makan dari laut. Laut kan lebih luas dari
darat, maka laut pasti punya banyak makanan untuk kita.”
Aku tidak mengerti ucapan ibu,
yang jelas aku paham bahwa laut menyimpan banyak ikan untuk dimakan. Oleh
karena itulah bapak mencari ikan di laut untuk kami makan dan jual ke pasar.
Tetapi apakah di usia yang begitu belia ini aku telah bisa menerjemahkan bahasa
laut? Lantas kemana bapak pagi ini?
Matahari semakin beranjak ke
atas cakrawala. Ibu membawaku berjalan-jalan di sepanjang pantai. Aku berjalan
di antara hamparan pasir dan empasan ombak yang nakal. Sesekali kakiku
berkecipak dengan airlaut yang menyapaku. Terkadang aku terjatuh dan ibu dengan
sigap menolongku.
“Hahaha, sayang, kamu digoda
airlaut makanya kamu jatuh,” canda ibu sambil membantuku berdiri. Aku tersenyum
masam menahan sakit. Ya, siapa tidak akan merasa sakit jika jatuh di pasir
pantai yang ternyata di dalamnya ada pecahan cangkang kerang? Selain hamparan
pasir yang mahaluas, pantai pun memendam jutaan kerang dan bulu babi di
dalamnya. Kadang kutemui udang-udangan yang tersesat ke pantai, atau bahkan
telur penyu. Aku selalu membayangkan seandainya aku jadi kerang, dan di dalam
cangkangku tersimpan dengan baik mutiara yang indah. Aku selalu membayangkan
seandainya aku jadi kerang dan akan kuberikan mutiara itu kepada ibu dan
bapakku sebagai tanda cintaku pada mereka. Tentunya mereka akan berbahagia
sekali.
Di kampung nelayan ini, kita
hanya bisa berharap dan berkhayal saja. Berharap dan berkhayal suatu saat laut
melarungkan harta karun dan terdampar di pantai ini. Atau tidak berkhayal
seandainya ada putri duyung yang membawa keping-keping emas di setiap sisiknya,
wah tentu kami tidak akan hidup susah. Bapak pun tidak usah pergi melaut lagi,
tinggal bikin akuarium atau kolam besar untuk tempat si putri duyung itu agar
senantiasa hidup dan menghasilkan banyak keping emas di setiap sisiknya.
Apakah hal tersebut akan
terjadi di kampung ini, di dunia ini, di kehidupan yang serba fana ini? Naluri
kecilku mengatakan bahwa itu akan terjadi, namun pikiranku masih terlalu naif
untuk bisa membedakan mana imajinasi mana kenyataan. Seandainya...
“Hayoo! Ngelamunin apaan?” ibu
membuyarkan lamunanku.
***
Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar!
Laa
ilaahaillaahuallaahuakbar
Allahuakbar
walillahilhamd!!
Pagi berganti siang, siang
berganti senja, senja berganti. Senja akan selalu berganti menjadi malam. Gema
takbir menggema di seluruh kampung. Takbirnya menggema di lautan lepas,
mengagungkan Allah Sang Maha Pencipta. Bukankah laut adalah ciptaanNya? Laut
pun pasti bertakbir menyebut namaNya lebih dari seribu kali sehari semalam.
Bertakbir dengan bahasa laut. Orang-orang bersukacita, kampung nelayan yang
terbelakang sejenak melupakan kesengsaraannya. Semua berbahagia, semua larut
dalam irama takbir yang menggetarkan kalbu. Mendayu lirih menyebut namaNya.
Aku dan ibu sedang merapikan
rumah. Besok pasti banyak tetangga yang melayat dan bersilaturahmi keliling
kampung. Kuhitung-hitung baru tiga kali aku mulai mengalami momentum Idul Fitri
ini. Segalanya menjadi indah, menjadi lebih hangat dan bersahabat. Meski tidak
pernah ada perubahan yang berarti, kurasakan hatiku menjadi lebih ceria dan
indah. Ibu dan Bapak selalu menghadiahiku baju koko baru setiap kali Lebaran
menjelang meski kutahu pakaian mereka tidak pernah berubah. Namun entah mengapa
kali ini mereka takmemberiku baju baru. Aku tidak berniat bertanya karena aku
tidak mempunyai kata-kata.
Laut bergemuruh dan rembulan
tertutup awan. Bapak belum pulang-pulang jua. Ke manakah bapak sedari pagi
pergi meninggalkan rumah? Hendak kutanyakan pada ibu ke mana bapak pergi namun
aku tidak bisa. Seperti sebelumnya aku tidak pernah mempunyai persediaan kata.
Aku bisu, gagu, tidak bisa bicara, tunawicara sejak kecil tetapi aku sangat
sayang ibu dan bapak. Mereka pun selalu menyayangiku dan tidak pernah mereka
menyesal telah melahirkan aku ke dunia ini. Meski aku tidak mengenal kata dan
ujar, aku tahu, aku lebih pandai mengungkapkan betapa aku begitu menyayangi ibu
dan bapak melebihi anak-anak normal lainnya. Percaya atau tidak, percayalah.
Ibu menyalakan damar. Sejak
minyak tanah menjadi langka dan melonjak naik, bapak tidak lagi menggunakan
lampu templok. Cukup dengan menggunakan damar saja. Cahaya muramnya begitu
memberikan kesan yang lebih syahdu ketika malam menjelang, apalagi malam
lebaran yang penuh diselimuti gema takbir seperti ini.
Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar!
Laa
ilaahaillaahuallaahuakbar
Allahuakbar
walillahilhamd!!
Ingin kuikuti gema takbir itu,
hanya suaraku kelu takkunjung keluar. Ibu mengerti keinginanku. Ia memeluk
tubuhku dan membisikkan kalimat takbir itu di telingaku. Alangkah berbahagianya
punya ibu, selalu mengerti keinginan anaknya meski tiada pernah diungkapkan.
“Bapakmu sejak pagi pergi
melaut meminjam kapal pak Lurah. Ia bertekad dapat rezeki sebelum salat Ied
tiba. Dan bapak pergi pagi karena bapak tahu malam seperti ini laut pasti
takbersahabat. Kamu doakan bapakmu biar dapat rezeki ya sayang?” kata ibu.
Dalam telingaku suara itu menggema menjadi bisikan terhangat yang pernah
kudengar. Bapak berjuang keras demi ibu dan aku. Sebuah pengorbanan mahadahsyat
yang pernah ia berikan untuk kami, keluarganya yang indah.
Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar!
Laa
ilaahaillaahuallaahuakbar
Allahuakbar
walillahilhamd!!
Malam semakin beranjak tua.
Bapak belum pulang-pulang juga. Aku mulai khawatir terhadapnya. Semoga bapak
baik-baik saja, aku ingin besok bisa bersama-sama dengan bapak. Mencium kedua
tangan dan kakinya, menggenggam dengan erat pergelangan tangannya dan tidur di
pangkuannya. Kulihat ibu. Dalam cahaya damar yang temaram dan mulai meredup,
wajahnya terlihat cemas. Akh tentu ibu khawatir, laki-laki yang dicintainya
sampai sekarang belum pulang-pulang juga dari laut. Di luar takbir menggema
meraung-raung seakan memanggil bapak untuk kembali pulang.
“Tidurlah duluan nak, mungkin
bapak pulang tengah malam,” ibu menyuruhku tidur, namun apakah aku akan bisa
tidur nyenyak sementara bapak belum pulang-pulang juga tiada kabar tiada
berita?
Ibu membopongku ke tempat
tidur. Mengecup keningku dan mengucapkan selamat malam padaku. Setelah itu ia
tutup kelambu yang sudah usang itu agar aku tidak digigit nyamuk. Banyak sekali
nyamuk malaria di sini. Mataku tidak bisa terpejam. Telingaku terus mendengar
sekeliling. Terdengar ibu menangis lirih dan di luar ombak bergemuruh.
Dimanakah bapak? Allah, selamatkanlah jiwanya.
Menjelang dini hari terdengar
pintu dibuka. Bapak pulang.
“Ibu, bapak dapat seekor ikan.
Subhanallah, setelah dibelah isinya...”
Ibu tercengang seakan
takpercaya isi perut ikan yang didapat suaminya.
“Berkah Ramadhan Pak!” kata
ibu dengan suara yang bergetar. Sementara di luar takbir masih menggema.
Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar!
Laa
ilaahaillaahuallaahuakbar
Allahuakbar
walillahilhamd!!
Bandung, Malam
Lebaran 1431 H
21.30
No comments:
Post a Comment