Saturday, 28 July 2012

FRAGMEN PUISI


Foto :di sini

PUISI #1

“Buatkan aku satu puisi sebelum kematianku,” pintamu ketika aku menjegukmu kemarin.

Aku memang suka menulis puisi. Tetapi, bagaimana kelak jika puisiku menjadi pengantar kematianmu? Kini kau terbaring lemah di rumah sakit, setelah ditabrak lari oleh sebuah mobil. Dan, kini kau tengah menunggu malaikat mencabut nyawamu.

Aku memang menyukai suasana yang dramatis, termasuk suasana ketika seseorang menunggu ajalnya tiba. Namun, apakah aku juga harus membuatkan puisi untuk mengantar kematianmu? Bagaimana jadinya jika nanti puisi itu akan gentayangan mengantuiku dan kembali menceritakan perihal kematianmu?

Mati itu menyenangkan, kukira. Sama halnya dengan menulis puisi. Tetapi, sungguh, aku takut untuk menulis puisi untukmu kini.


PUISI #2

Malam itu, aku baru saja pulang dari rumahmu. Kita berbincang apa saja sambil ditemani rokok dan kopi. Kau bilang, “Perbincangan tidak akan menarik apabila tidak ditemani oleh rokok dan kopi.” Kau yang seorang perokok berat memang tidak akan menomorduakan rokok dan kopi. Dua hal itu telah menjadi candu bagimu.

Kata orang kita sahabat yang karib. Sejak kecil dulu, kita selalu bersama. Kemanapun kau pergi, aku selalu membuntutimu karena aku anggap sebagai kakak yang melindungi adiknya. Aku selalu menuruti perintahmu, karena waktu itu kuanggap perintahmu tidak boleh kuabaikan. Jadilah kita sahabat karib yang selalu bersama hingga saat ini.

Dalam perjalanan pulang, aku merasakan malam yang tidak biasa. Malam yang penuh dengan kegelisahan. Aku berpikir tentangmu, kawan yang telah kuanggap sebagai kakak kandungku. Namun, kegelisahan selalu menyeruak, seperti kata-kata yang hilang kendali ketika aku menulis puisi. Aku kehilangan akal sehatku, sama seperti kehilangan kata-kata ketika aku menulis puisi. Ya, kata-kata telah membuatku menjadi gelisah kali ini.Dan, perlahan aku mulai membenci kata-kata itu.

PUISI #3

“Aku lulus!” teriakku di lorong kampus itu.

Kau yang pertama kuhubungi. Rasa bahagia itu ingin kusampaikan padamu juga. Betapa tidak, aku akhirnya lulus dari kampus tempatku berkuliah setelah beberapa tahun lamanya berkutat dengan teori-teori yang mungkin tidak semuanya kumengerti. Dan, tentu saja kelulusan ini harus dirayakan bersamamu. Mungkin pergi ke bar sambil minum-minum adalah perayaan terbaik. Dengan segera aku meneleponmu.

“Wah, kau lulus ya? Selamat kalau begitu. Tapi, aku sedang sibuk, nanti saja kau telepon lagi.”

Impian mentraktirmu sirna sudah.

PUISI #4

Kau selalu uring-uringan akhir-akhir ini. Pekerjaanmu banyak yang terbengkalai. Kau sering dimarahi atasanmu. Sering kujumpai kau pulang pagi, bahkan tidak pulang sama sekali. Istrimu berkali-kali menghubungiku meminta aku untuk menasihatimu. Tapi aku tidak bisa, karena kata-kataku hanya bisa kuucapkan lewat puisi saja.

Kudengar, kau sering memukul istrimu. Menurutku, itu bukan tindakan seorang lelaki. Lelaki yang baik adalah lelaki yang mau menghargai wanita, setidaknya membahagiakannya. Dan aku sangat terkejut ketika melihat wajah istrimu penuh luka. Matanya menyimpan luka kehidupan yang dalam. Tangisannya menggema menyayat perasaanku yang menjadi rawan. Sementara kau mungkin sedang bahagia dalam pelukan pelacur di suatu kamar, di tepi danau.

Malam itu, istrimu memutuskan untuk enggan kembali ke rumahmu. Aku hanya bisa terdiam ketika istrimu tertidur lelap di rumahku.

PUISI #5

Layang-layang itu akhirnya putus dan tertiup angin entah kemana. Melayang-layang di cakrawala sementara di bawahnya berkerumun anak-anak berlarian mengejar layangan itu. Layang-layang itu punyamu, yang kalah setelah bertanding dengan layang-layang lain di angkasa. Padahal, layang-layang itu kau beli dengan harga yang mahal. Aku tahu itu. Tetapi, kemampuan bermain layang-layangmu rendah. Layang-layangmu akhirnya dengan mudah dijatuhkan.

Kulihat wajahmu merah padam. Memaki kepada anak-anak lain yang tengah memperebutkan layang-layang itu. Kau kalah taruhan, dan sudah sewajarnya kau harus mengalah. Namun, kau malah melakukan hal yang sebaliknya. Kau datangi seorang anak yang kau duga orang yang menjatuhkan layanganmu itu. Kau tarik kerah bajunya, dan dengan pukulan yang keras kau pukul dirinya. Dua giginya tanggal dengan darah yang terus mengucur. Lalu kau pun pulang dengan penuh dendam.

Sebetulnya, yang menjatuhkan layanganmu adalah aku. Aku tidak sengaja dan aku tidak tahu bahwa layangan itu punyamu. Maaf.

PUISI #6

Aku berkenalan dengan seorang wanita, kau tahu itu. Aku berkenalan dengannya saat mengunjungi sebuah pameran lukisan. Semenjak itu, pertemuan demi pertemuan mengalir bagai sungai hingga akhirnya aku mulai mencintainya.

Melihat kau yang sudah beristri, maka akupun ingin sekali menikah dengannya. Kusampaikan keinginanku padamu, dan kau merestui niatku. Beberapa bulan kemudian aku pun menikah dengannya. Bisa kau bayangkan, betapa bahagianya aku kini.

Kehidupanku terus berjalan bersama istriku tercinta. Suatu hari, kau berkunjung ke rumahku. Kuterima kau dan kita mengobrol dengan tetap ditemani rokok dan kopi yang dibuatkan istriku. Kutahu, kau sempat melirik kepada istriku yang kutafsirkan cantik. Namun, kuanggap itu hanyalah lirikan biasa sebagai seorang sahabat yang kagum atas sahabatnya.

PUISI #7

Suatu hari aku bertugas ke luar kota selama beberapa minggu. Istriku sengaja kutinggal untuk mengurus rumah. Ada kerinduan yang terasa dalam dada ketika aku meninggalkannya. Istriku yang cantik, bahagia sekali apabila kuketahui ada kehangatan yang selalu menunggu di rumah. Segera kuselesaikan tugasku di sana dengan harapan ingin segera bertemu dengan istriku.

Aku pulang lebih cepat dari jadwal tugasku. Sebab, aku ingin secepatnya bertemu dengan istriku yang selalu menunggu kepulanganku. Sepanjang perjalanan, yang terlihat hanya bayangan wajahnya yang bermain-main di imajinasiku. Ah, iya, aku pun juga kangen kepadamu, sahabatku. Bagaimana kabarmu?

Beberapa meter lagi aku sampai di rumah. Langkah sengaja kuendap-endap karena aku ingin mengejutkan istriku. Sengaja aku tidak menghubunginya untuk mengabarkan kepulangannya. Aku ingin segalanya serba rahasia, sehingga menjadi suatu kejutan yang sangat menyenangkan bagiku dan juga baginya. Sesampainya di halaman, aku mendengar tawa istriku yang renyah. Dengan siapa ia di dalam? Kuputuskan untuk mengintipnya di jendela, dan kudapati pemandangan yang mengejutkan. Kau tengah bersama istriku. Memeluknya tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh kalian berdua.

Belakangan kutahu, kau sering tidur dengan istriku ketika aku tak ada.

PUISI #8

 Dulu kau sempat mengajariku naik sepeda. Meskipun aku terjatuh beberapa kali, kau selalu menyemagatiku untuk naik lagi dan terus mengayuh sampai aku bisa. Hingga suatu saat, secara tidak sengaja aku menabrakmu yang tengah memperhatikan laju sepedaku. Kau pun terjerembap ke selokan. Sekujur tubuhmu basah dan kotor. Namun, kau tidak pernah marah. Kau malah tertawa padaku sambil melemparkan beberapa kotoran ke tubuhku yang tertindih sepeda.

“Hahaha! Barangkali nanti aku akan mati ditabrak olehmu!” candanya.

Kuanggap itu adalah leluconmu yang paling lucu. Dan aku pun tertawa sambil menahan luka di kakiku.

PUISI #9

Istrimu meneleponku. Katanya, kau mabuk berat di sebuah bar. Ia memintaku untuk menjemputmu. Dengan berat, aku menjemputmu. Istriku kubiarkan sendiri karena tidak mungkin kau yang tengah mabuk akan menemuinya. Mobil kujalankan dengan sangat kencang. Segala kenangan denganmu tergambar jelas di hadapanku. Kau yang kuanggap sebagai kakakku sendiri. Sahabat yang kukenal sejak kecil. Istrimu yang sering mengeluh padaku. Istriku yang cantik. Perselingkuhan...

Dalam pikiran yang terus berputar, aku menjalankan mobilku dengan gila. Berharap ingin kutuntaskan perosalan ini dengan caraku sendiri. Namun, aku belum tahu solusi apa yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Sampai kapan pun kau tetap sahabatku sekaligus kakakku. Dalam pikiran yang terus berputar, kecepatan yang tinggi, malam yang hening dan muram, serta jarak yang semakin mendekati bar tempatmu berada.

Akh, kenapa kau harus menyeberang malam itu.

PUISI #10

Kau terlanjur mati, sebelum aku sempat menuntaskan puisiku.

Anak-anakmu menjerit hebat, istrimu pingsan. Aku hanya bisa terdiam melihat matamu yang cekung dan hitam. Kematian terlalu cepat menurutku, karena belum sempat kubuat puisi untuk mengantar kematianmu. Tapi, kalaupun kubuat, apakah kau akan mendengarkannya dengan jelas? Apakah kau bisa menafsirkan puisiku?

Aku ingat, leluconmu yang dulu kini menjadi kenyataan. Maaf, aku telah menabrakmu dan meninggalkanmu di tengah jalan. Kupikir kau telah mati di tempat. Beruntung, kau tidak mengetahui bahwa yang menabrakmu adalah aku. Maaf, sekali lagi maaf. Tetapi, apakah maaf itu masih kau dengar dalam kematianmu?

Aku takpernah menangis melihatmu mati, dan entah kenapa aku takpernah menangis melihat jasadmu ditimbun tanah. Aku hanya diam, sediam puisi kematianmu yang tidak akan pernah kuselesaikan lagi.


Bandung, 29 Juli 2012

No comments:

Post a Comment