Foto :di sini |
PUISI #1
“Buatkan aku satu puisi sebelum kematianku,” pintamu ketika
aku menjegukmu kemarin.
Aku memang suka menulis puisi. Tetapi, bagaimana kelak jika
puisiku menjadi pengantar kematianmu? Kini kau terbaring lemah di rumah sakit,
setelah ditabrak lari oleh sebuah mobil. Dan, kini kau tengah menunggu malaikat
mencabut nyawamu.
Aku memang menyukai suasana yang dramatis, termasuk suasana
ketika seseorang menunggu ajalnya tiba. Namun, apakah aku juga harus membuatkan
puisi untuk mengantar kematianmu? Bagaimana jadinya jika nanti puisi itu akan
gentayangan mengantuiku dan kembali menceritakan perihal kematianmu?
Mati itu menyenangkan, kukira. Sama halnya dengan menulis
puisi. Tetapi, sungguh, aku takut untuk menulis puisi untukmu kini.
PUISI #2
Malam itu, aku baru saja pulang dari rumahmu. Kita
berbincang apa saja sambil ditemani rokok dan kopi. Kau bilang, “Perbincangan
tidak akan menarik apabila tidak ditemani oleh rokok dan kopi.” Kau yang
seorang perokok berat memang tidak akan menomorduakan rokok dan kopi. Dua hal
itu telah menjadi candu bagimu.
Kata orang kita sahabat yang karib. Sejak kecil dulu, kita
selalu bersama. Kemanapun kau pergi, aku selalu membuntutimu karena aku anggap
sebagai kakak yang melindungi adiknya. Aku selalu menuruti perintahmu, karena
waktu itu kuanggap perintahmu tidak boleh kuabaikan. Jadilah kita sahabat karib
yang selalu bersama hingga saat ini.
Dalam perjalanan pulang, aku merasakan malam yang tidak
biasa. Malam yang penuh dengan kegelisahan. Aku berpikir tentangmu, kawan yang telah
kuanggap sebagai kakak kandungku. Namun, kegelisahan selalu menyeruak, seperti
kata-kata yang hilang kendali ketika aku menulis puisi. Aku kehilangan akal
sehatku, sama seperti kehilangan kata-kata ketika aku menulis puisi. Ya,
kata-kata telah membuatku menjadi gelisah kali ini.Dan, perlahan aku mulai
membenci kata-kata itu.
PUISI #3
“Aku lulus!” teriakku di lorong kampus itu.
Kau yang pertama kuhubungi. Rasa bahagia itu ingin
kusampaikan padamu juga. Betapa tidak, aku akhirnya lulus dari kampus tempatku
berkuliah setelah beberapa tahun lamanya berkutat dengan teori-teori yang
mungkin tidak semuanya kumengerti. Dan, tentu saja kelulusan ini harus
dirayakan bersamamu. Mungkin pergi ke bar sambil minum-minum adalah perayaan
terbaik. Dengan segera aku meneleponmu.
“Wah, kau lulus ya? Selamat kalau begitu. Tapi, aku sedang
sibuk, nanti saja kau telepon lagi.”
Impian mentraktirmu sirna sudah.
PUISI #4
Kau selalu uring-uringan akhir-akhir ini. Pekerjaanmu banyak
yang terbengkalai. Kau sering dimarahi atasanmu. Sering kujumpai kau pulang
pagi, bahkan tidak pulang sama sekali. Istrimu berkali-kali menghubungiku
meminta aku untuk menasihatimu. Tapi aku tidak bisa, karena kata-kataku hanya
bisa kuucapkan lewat puisi saja.
Kudengar, kau sering memukul istrimu. Menurutku, itu bukan
tindakan seorang lelaki. Lelaki yang baik adalah lelaki yang mau menghargai
wanita, setidaknya membahagiakannya. Dan aku sangat terkejut ketika melihat
wajah istrimu penuh luka. Matanya menyimpan luka kehidupan yang dalam.
Tangisannya menggema menyayat perasaanku yang menjadi rawan. Sementara kau
mungkin sedang bahagia dalam pelukan pelacur di suatu kamar, di tepi danau.
Malam itu, istrimu memutuskan untuk enggan kembali ke
rumahmu. Aku hanya bisa terdiam ketika istrimu tertidur lelap di rumahku.
PUISI #5
Layang-layang itu akhirnya putus dan tertiup angin entah
kemana. Melayang-layang di cakrawala sementara di bawahnya berkerumun anak-anak
berlarian mengejar layangan itu. Layang-layang itu punyamu, yang kalah setelah
bertanding dengan layang-layang lain di angkasa. Padahal, layang-layang itu kau
beli dengan harga yang mahal. Aku tahu itu. Tetapi, kemampuan bermain
layang-layangmu rendah. Layang-layangmu akhirnya dengan mudah dijatuhkan.
Kulihat wajahmu merah padam. Memaki kepada anak-anak lain
yang tengah memperebutkan layang-layang itu. Kau kalah taruhan, dan sudah
sewajarnya kau harus mengalah. Namun, kau malah melakukan hal yang sebaliknya.
Kau datangi seorang anak yang kau duga orang yang menjatuhkan layanganmu itu.
Kau tarik kerah bajunya, dan dengan pukulan yang keras kau pukul dirinya. Dua
giginya tanggal dengan darah yang terus mengucur. Lalu kau pun pulang dengan
penuh dendam.
Sebetulnya, yang menjatuhkan layanganmu adalah aku. Aku
tidak sengaja dan aku tidak tahu bahwa layangan itu punyamu. Maaf.
PUISI #6
Aku berkenalan dengan seorang wanita, kau tahu itu. Aku
berkenalan dengannya saat mengunjungi sebuah pameran lukisan. Semenjak itu,
pertemuan demi pertemuan mengalir bagai sungai hingga akhirnya aku mulai
mencintainya.
Melihat kau yang sudah beristri, maka akupun ingin sekali
menikah dengannya. Kusampaikan keinginanku padamu, dan kau merestui niatku.
Beberapa bulan kemudian aku pun menikah dengannya. Bisa kau bayangkan, betapa
bahagianya aku kini.
Kehidupanku terus berjalan bersama istriku tercinta. Suatu
hari, kau berkunjung ke rumahku. Kuterima kau dan kita mengobrol dengan tetap
ditemani rokok dan kopi yang dibuatkan istriku. Kutahu, kau sempat melirik
kepada istriku yang kutafsirkan cantik. Namun, kuanggap itu hanyalah lirikan biasa
sebagai seorang sahabat yang kagum atas sahabatnya.
PUISI #7
Suatu hari aku bertugas ke luar kota selama beberapa minggu.
Istriku sengaja kutinggal untuk mengurus rumah. Ada kerinduan yang terasa dalam
dada ketika aku meninggalkannya. Istriku yang cantik, bahagia sekali apabila
kuketahui ada kehangatan yang selalu menunggu di rumah. Segera kuselesaikan
tugasku di sana dengan harapan ingin segera bertemu dengan istriku.
Aku pulang lebih cepat dari jadwal tugasku. Sebab, aku ingin
secepatnya bertemu dengan istriku yang selalu menunggu kepulanganku. Sepanjang
perjalanan, yang terlihat hanya bayangan wajahnya yang bermain-main di
imajinasiku. Ah, iya, aku pun juga kangen kepadamu, sahabatku. Bagaimana
kabarmu?
Beberapa meter lagi aku sampai di rumah. Langkah sengaja
kuendap-endap karena aku ingin mengejutkan istriku. Sengaja aku tidak
menghubunginya untuk mengabarkan kepulangannya. Aku ingin segalanya serba
rahasia, sehingga menjadi suatu kejutan yang sangat menyenangkan bagiku dan
juga baginya. Sesampainya di halaman, aku mendengar tawa istriku yang renyah.
Dengan siapa ia di dalam? Kuputuskan untuk mengintipnya di jendela, dan
kudapati pemandangan yang mengejutkan. Kau tengah bersama istriku. Memeluknya
tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh kalian berdua.
Belakangan kutahu, kau sering tidur dengan istriku ketika
aku tak ada.
PUISI #8
Dulu kau sempat
mengajariku naik sepeda. Meskipun aku terjatuh beberapa kali, kau selalu
menyemagatiku untuk naik lagi dan terus mengayuh sampai aku bisa. Hingga suatu
saat, secara tidak sengaja aku menabrakmu yang tengah memperhatikan laju
sepedaku. Kau pun terjerembap ke selokan. Sekujur tubuhmu basah dan kotor.
Namun, kau tidak pernah marah. Kau malah tertawa padaku sambil melemparkan
beberapa kotoran ke tubuhku yang tertindih sepeda.
“Hahaha! Barangkali nanti aku akan mati ditabrak olehmu!”
candanya.
Kuanggap itu adalah leluconmu yang paling lucu. Dan aku pun
tertawa sambil menahan luka di kakiku.
PUISI #9
Istrimu meneleponku. Katanya, kau mabuk berat di sebuah bar.
Ia memintaku untuk menjemputmu. Dengan berat, aku menjemputmu. Istriku
kubiarkan sendiri karena tidak mungkin kau yang tengah mabuk akan menemuinya.
Mobil kujalankan dengan sangat kencang. Segala kenangan denganmu tergambar
jelas di hadapanku. Kau yang kuanggap sebagai kakakku sendiri. Sahabat yang
kukenal sejak kecil. Istrimu yang sering mengeluh padaku. Istriku yang cantik.
Perselingkuhan...
Dalam pikiran yang terus berputar, aku menjalankan mobilku
dengan gila. Berharap ingin kutuntaskan perosalan ini dengan caraku sendiri.
Namun, aku belum tahu solusi apa yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Sampai
kapan pun kau tetap sahabatku sekaligus kakakku. Dalam pikiran yang terus
berputar, kecepatan yang tinggi, malam yang hening dan muram, serta jarak yang
semakin mendekati bar tempatmu berada.
Akh, kenapa kau harus menyeberang malam itu.
PUISI #10
Kau terlanjur mati, sebelum aku sempat menuntaskan puisiku.
Anak-anakmu menjerit hebat, istrimu pingsan. Aku hanya bisa
terdiam melihat matamu yang cekung dan hitam. Kematian terlalu cepat menurutku,
karena belum sempat kubuat puisi untuk mengantar kematianmu. Tapi, kalaupun
kubuat, apakah kau akan mendengarkannya dengan jelas? Apakah kau bisa
menafsirkan puisiku?
Aku ingat, leluconmu yang dulu kini menjadi kenyataan. Maaf,
aku telah menabrakmu dan meninggalkanmu di tengah jalan. Kupikir kau telah mati
di tempat. Beruntung, kau tidak mengetahui bahwa yang menabrakmu adalah aku.
Maaf, sekali lagi maaf. Tetapi, apakah maaf itu masih kau dengar dalam
kematianmu?
Aku takpernah menangis melihatmu mati, dan entah kenapa aku
takpernah menangis melihat jasadmu ditimbun tanah. Aku hanya diam, sediam puisi
kematianmu yang tidak akan pernah kuselesaikan lagi.
Bandung, 29 Juli 2012
No comments:
Post a Comment