Thursday, 2 August 2012

REQUIEM AIR MATA



Kesedihan mana yang akan membuat ia menangis kecuali ketika ia sedang memainkan pianonya. Memainkan nada-nada yang menjelma menjadi lautan kesedihan. Setiap kali ia bermain, sendiri di ruangan pribadinya, duduk di kursi dan mulai memainkan tuts-tuts yang membisu, lalu terdengarlah alunan nada-nada yang indah, sangat indah, hingga tidak ada satu komposer pun yang bisa menyamainya. Ia bermain dengan penuh penghayatan, sehingga nada-nada yang keluar kemudian merasuk ke dalam kalbunya, merasuk ke dalam urat nadinya, merasuk ke dalam dunia sunyinya, merangsang kelenjar air matanya untuk mengeluarkan air mata.

Dan apabila ia telah menangis, maka nada-nada tidak lagi menjadi nada yang indah. Nada-nada-nada telah menjadi pisau. Tajam mengiris dan menusuk ke dalam jiwa yang sunyi. Dan setiap kali nada-nada itu didengar oleh orang, maka akan menangislah orang yang mendengar itu.


Sungguh, ia bukan pemetik air mata. Ia juga bukanlah kunang-kunang yang muncul dari kenangan akan orang yang telah mati. Ia hanya seorang wanita. Wanita yang menyukai nada. Wanita yang bisa memainkan piano. Dan apabila ia memainkan piano, maka ia pun akan gamblang menceritakan kehidupannya lewat nada-nada yang dihasilkan oleh lincah jemarinya.

Ia selalu memainkan nada-nada itu kala rembulan purnama menyinari malam. ia memang menyukai saat-saat seperti itu. Ia tidak butuh cahaya apapun selain purnama. Baginya purnama adalah cahaya terindah yang mampu menyinari malam yang gelap. Ia mencintai bulan purnama, karena baginya purnama melebihi laki-laki manapun yang ada di seluruh dunia ini.

Ia memainkan requiem yang berbeda, bukan requiem yang biasa dimainkan oleh seorang pianis. Ia justru sering memainkan kesedihan. Segala kesedihan yang terjadi di sekelilingnya ia rangkum menjadi nada. Tidak heran apabila nada-nadanya akan berubah menjadi alunan kesedihan yang dalam. Kesedihan, kehilangan, keterasingan, dan kematian adalah beberapa komposisi yang sering dimainkan olehnya.

Ia pernah memainkan nada kesedihan seorang anak kehilangan ibunya yang mati dibunuh oleh ayahnya sendiri. Nada-nada merambat pelan menceritakan bait-bait jerit tangis kematian sang ibu. Ia tahu, kesedihan tentu tidak akan dirasakan sama oleh setiap orang. Akan tetapi, jiwanya yang peka mampu menangkap perasaan yang rawan tersebut. Ia duduk, diam dalam keheningan, memaknai kesedihan yang ia kumpulkan dalam jiwa dan rohaninya. Lalu perlahan matanya menutup dan jemarinya mulai memainkan nada-nada.  Setiap nada-nada yang dihasilkan memunculkan kesedihan yang keluar serupa uap air dan mengambang di udara.

Begitulah, kesedihan tersebut menjelma menjadi lautan yang kemudian melarung menyampaikan ceritanya. Dalam kesunyian, ia mendengar kesedihan itu bernyanyi lirih saling bersahutan. Ia tahu, cara terbaik untuk meredakan kesedihan ialah dengan membiarkan kesedihan tersebut perlahan keluar, bercerita lirih dalam nada, hingga akhirnya tanpa ia sadari ia pun larut dalam kesedihan tersebut. Larut dalam kehampaan dan kesunyian di malam yang gelap.

Ia bayangkan anak kecil tersebut menjerit menangisi kepergian ibunya. Ayahnya yang mabuk pulang dalam keadaan yang mengerikan. Ia bayangkan anak kecil itu terkejut melihat wajah ayahnya yang serupa setan, dan perlahan menghampiri ibunya yang menangis di sudut setelah tamparan yang keras menimpa dirinya. Ia bayangkan anak kecil tersebut melihat rambut ibunya dijambak dengan paksa oleh tangan kekar ayahnya, lalu ayahnya menyeret ibunya hingga berada di ujung tangga. Dengan hempasan yang kasar ayahnya membanting ibunya hingga terjerembap dengan darah yang mengucur di kepalanya. Ia bayangkan anak kecil itu hanya bisa menangis lirih di balik pintu kamarnya. Hanya bisa menangis lirih begitu mendengar rintihan ibunya memanggil namanya sebelum ia pergi untuk selamanya.

Ia selalu membayangkan kesedihan tersebut, hingga akhirnya ia bermain dengan linangan air mata. Satu persatu air matanya mengucur hingga membasahi tuts pianonya. Setiap kali air matanya keluar, ia selalu membayangkan bahwa ada kesedihan yang lebih hebat yang akan menimpa dirinya nanti, yakni kematian. Dan apabila ia bayangkan kematian, ia akan selalu membayangkan kematiannya nanti akan indah, seindah nada-nada yang ia hasilkan.

***
Kemana perginya purnama yang selalu ia cintai? Malam gelap dan udara yang dingin. Bertubi-tubi ia tumpahkan kesedihannya pada nada yang ia tafsirkan sebagai kerinduan kepada rembulan. Dalam kesunyian yang gelap, ia menanti purnama yang takkunjung menyinarinya. Oh, sungguh ia hadapi malam-malam yang gelisah. Malam-malam yang suram dan malam-malam yang muram.

Kemanakah akan kucari ia? pikirnya. Barangkali ia telah lupa akan waktu. Hidupnya yang terasing membuat ia lupa bagaimana jalannya waktu. Apakah waktu berjalan ke kanan ataukah ke kiri? Apakah waktu kini terus melaju ataukah malah mundur atau terhenti sama sekali? ia mulai lupa akan dunia di sekelilingnya. Yang ia tahu dunia adalah lembaran-lembaran cerita kesedihan yang akan ia tafsirkan melalui nada. Dunia dipintal dari benang-benang kesedihan dan menjadi pakaian bagi orang-orang yang selalu tertindas.

Lalu, berjuta-juta kesedihan kembali muncul di sekeliling ruangan. Ada orang yang mati dibunuh rekan kerjanya sendiri. Ada pengemis yang mati kelaparan dan jasadnya dibiarkan begitu saja di tepi jalan seperti bangkai kucing. Ada anak kecil yang asyik bermain, tiba-tiba mati tertembak oleh teman kecilnya yang taksengaja memainkan senapan ayahnya. Ada ibu dan anak yang mati tertabrak kereta api di sudut kota yang kumuh. Ada orang-orang yang hangus dibakar oleh tentara. Ada suami yang dikubur hidup-hidup lalu istrinya pun ikut meninggal akibat menangis sepanjang hari.

Ia pun membayangkan wanita seperti dirinya baru pulang kerja dan berjalan sendiri di sebuah jembatan tua kala malam. Tiba-tiba segerombolan pemuda menyergapnya lalu membawanya ke sudut jembatan yang gelap. Suaranya tiba-tiba hilang dari tenggorokan dan malam yang hening menjadi saksi atas tragedi tersebut. Wanita tersebut hanya bisa diam, menangis, ketika pemuda-pemuda tersebut beramai-ramai memerkosanya.
Dunia sudah terlalu kejam, pikirnya. Ia tidak habis pikir mengapa dunia yang diciptakan Tuhan harus menjadi penuh dengan lautan kesedihan. Manusia yang satu menganggap sampah kepada manusia lainnya sehingga ia bisa melakukan apapun terhadapnya. Dan ia rasakan bahwa hidup kini bukanlah sebuah kebanggaan lagi.

Ia pun perlahan mengingat kedua orang tuanya. Dulu, ayahnyalah yang mengajarinya bermain piano. Ia masih bisa merasakan hangat tangan ayahnya yang menuntun tangan mungilnya memencet tuts-tuts untuk menghasilkan irama yang indah. Tentu ia pun masih bisa ingat ekspresi ayahnya ketika bermain piano.
“Pianis yang baik ialah ketika ia sudah berhasil menciptakan nada-nada indah di dalam kesendiriannya,” kata Ayahnya dulu.

Dulu sekali, ia belum mengerti arti dari perkataan ayahnya. Perlahan ia mulai menyadari bahwa nada yang indah dibangun dalam jiwa yang suci ketika ia melihat ayahnya dibawa paksa oleh beberapa orang-orang berseragam lengkap dan tidak pernah kembali. Ia tidak pernah tahu kabar ayahnya lagi.

Ia pun takkuasa melihat ibunya meninggal akibat kerinduan yang dalam terhadap ayah. Ia melihat ibunya mati dengan kepala menelungkup ke tuts-tuts piano, dan tuts yang putih itu memerah akibat darah yang mengalir dari pergelangan tangan ibunya. Jiwanya yang kecil kemudian berharap, bahwa ibunya kelak akan menjadi bidadari yang sangat cantik dan memainkan sebuah lagu pengantar tidur untuknya.

Kini, sudah beberapa puluh tahun jiwanya selalu bergetar apabila ingat kedua orang tuanya. Memandang piano tersebut, ada kenangan yang tidak pernah hilang. Ada suara lembut ayah dan tawa renyah ibu yang masih terngiang-ngiang. Sungguh dalam kesendirian, ia hanya bisa menangis merasakan jiwanya yang ngelangut. Jiwa yang sepi, dunia yang semakin gila, dan kesedihan yang selalu ia temukan di mana-mana. Ia mulai membenci dunia, dan terus memainkan nada yang selalu menjelma menjadi kesedihan. Jika ada orang yang mendengar kesedihan tersebut, maka menangislah ia.

Malam yang gelisah dan rembulan yang tidak kunjung tiba. Harapan terakhirnya hilang sudah. Jemarinya terus memainkan nada-nada kehilangan. Mungkin nada-nada tersebut sudah tidak memiliki irama, akan tetapi ia terus memainkannya. Hingga akhirnya kesedihan menjelma menjadi kabut yang menyesaki ruangannya. Ia terus bermain dan terus menangis, memikirkan kehilangan yang selalu terjadi. Tragedi yang takpernah usai sepanjang musim. Nyanyian air mata yang terus melaju seperti laju kereta. Dan malam yang tidak pernah lagi memunculkan rembulan purnama untuknya.

Ia terus bermain sementara kesedihan terus berputar-putar di udara. Dan setiap kali ia lihat kesedihan itu, ia selalu merasakan bagaimana kesedihan tersebut perlahan membunuhnya.

***
Suatu malam ia mati setelah membayangkan kematian. Kesedihan yang sudah terlalu banyak berputar-putar di udara, mulai menyesaki tubuhnya. Ia sadar, bahwa kematian sebentar lagi akan tiba padanya. Ia pun memainkan lagu kematian, lagu yang belum pernah dimainkan oleh manusia mana pun di dunia ini. Ia hasilkan nada-nada dan seketika itu kematian yang berwajah indah muncul di hadapannya.

Ia taktakut mati. Ia hanya tahu kematian yang indah adalah ketika dia mampu menggubah requiem kematiannya sendiri. Bukan orang lain yang melantunkannya, melainkan dia sendiri. Dan ia bahagia, ketika ia tahu, kematian adalah kebahagiaan yang paling hakiki di dalam kehidupan yang penuh dengan kesedihan.


Bandung, 02 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment