Kesedihan mana yang
akan membuat ia menangis kecuali ketika ia sedang memainkan pianonya. Memainkan
nada-nada yang menjelma menjadi lautan kesedihan. Setiap kali ia bermain,
sendiri di ruangan pribadinya, duduk di kursi dan mulai memainkan tuts-tuts
yang membisu, lalu terdengarlah alunan nada-nada yang indah, sangat indah,
hingga tidak ada satu komposer pun yang bisa menyamainya. Ia bermain dengan
penuh penghayatan, sehingga nada-nada yang keluar kemudian merasuk ke dalam
kalbunya, merasuk ke dalam urat nadinya, merasuk ke dalam dunia sunyinya,
merangsang kelenjar air matanya untuk mengeluarkan air mata.
Dan apabila ia telah
menangis, maka nada-nada tidak lagi menjadi nada yang indah. Nada-nada-nada telah
menjadi pisau. Tajam mengiris dan menusuk ke dalam jiwa yang sunyi. Dan setiap
kali nada-nada itu didengar oleh orang, maka akan menangislah orang yang
mendengar itu.
Sungguh, ia bukan
pemetik air mata. Ia juga bukanlah kunang-kunang yang muncul dari kenangan akan
orang yang telah mati. Ia hanya seorang wanita. Wanita yang menyukai nada.
Wanita yang bisa memainkan piano. Dan apabila ia memainkan piano, maka ia pun
akan gamblang menceritakan kehidupannya lewat nada-nada yang dihasilkan oleh
lincah jemarinya.
Ia selalu memainkan
nada-nada itu kala rembulan purnama menyinari malam. ia memang menyukai
saat-saat seperti itu. Ia tidak butuh cahaya apapun selain purnama. Baginya
purnama adalah cahaya terindah yang mampu menyinari malam yang gelap. Ia
mencintai bulan purnama, karena baginya purnama melebihi laki-laki manapun yang
ada di seluruh dunia ini.
Ia memainkan requiem
yang berbeda, bukan requiem yang biasa dimainkan oleh seorang pianis. Ia justru
sering memainkan kesedihan. Segala kesedihan yang terjadi di sekelilingnya ia
rangkum menjadi nada. Tidak heran apabila nada-nadanya akan berubah menjadi
alunan kesedihan yang dalam. Kesedihan, kehilangan, keterasingan, dan kematian
adalah beberapa komposisi yang sering dimainkan olehnya.
Ia pernah memainkan
nada kesedihan seorang anak kehilangan ibunya yang mati dibunuh oleh ayahnya
sendiri. Nada-nada merambat pelan menceritakan bait-bait jerit tangis kematian
sang ibu. Ia tahu, kesedihan tentu tidak akan dirasakan sama oleh setiap orang.
Akan tetapi, jiwanya yang peka mampu menangkap perasaan yang rawan tersebut. Ia
duduk, diam dalam keheningan, memaknai kesedihan yang ia kumpulkan dalam jiwa
dan rohaninya. Lalu perlahan matanya menutup dan jemarinya mulai memainkan
nada-nada. Setiap nada-nada yang
dihasilkan memunculkan kesedihan yang keluar serupa uap air dan mengambang di
udara.
Begitulah, kesedihan
tersebut menjelma menjadi lautan yang kemudian melarung menyampaikan ceritanya.
Dalam kesunyian, ia mendengar kesedihan itu bernyanyi lirih saling bersahutan.
Ia tahu, cara terbaik untuk meredakan kesedihan ialah dengan membiarkan kesedihan
tersebut perlahan keluar, bercerita lirih dalam nada, hingga akhirnya tanpa ia
sadari ia pun larut dalam kesedihan tersebut. Larut dalam kehampaan dan
kesunyian di malam yang gelap.
Ia bayangkan anak kecil
tersebut menjerit menangisi kepergian ibunya. Ayahnya yang mabuk pulang dalam
keadaan yang mengerikan. Ia bayangkan anak kecil itu terkejut melihat wajah
ayahnya yang serupa setan, dan perlahan menghampiri ibunya yang menangis di
sudut setelah tamparan yang keras menimpa dirinya. Ia bayangkan anak kecil
tersebut melihat rambut ibunya dijambak dengan paksa oleh tangan kekar ayahnya,
lalu ayahnya menyeret ibunya hingga berada di ujung tangga. Dengan hempasan
yang kasar ayahnya membanting ibunya hingga terjerembap dengan darah yang
mengucur di kepalanya. Ia bayangkan anak kecil itu hanya bisa menangis lirih di
balik pintu kamarnya. Hanya bisa menangis lirih begitu mendengar rintihan
ibunya memanggil namanya sebelum ia pergi untuk selamanya.
Ia selalu membayangkan
kesedihan tersebut, hingga akhirnya ia bermain dengan linangan air mata. Satu
persatu air matanya mengucur hingga membasahi tuts pianonya. Setiap kali air
matanya keluar, ia selalu membayangkan bahwa ada kesedihan yang lebih hebat
yang akan menimpa dirinya nanti, yakni kematian. Dan apabila ia bayangkan
kematian, ia akan selalu membayangkan kematiannya nanti akan indah, seindah
nada-nada yang ia hasilkan.
***
Kemana
perginya purnama yang selalu ia cintai? Malam gelap dan udara yang dingin.
Bertubi-tubi ia tumpahkan kesedihannya pada nada yang ia tafsirkan sebagai
kerinduan kepada rembulan. Dalam kesunyian yang gelap, ia menanti purnama yang
takkunjung menyinarinya. Oh, sungguh ia hadapi malam-malam yang gelisah.
Malam-malam yang suram dan malam-malam yang muram.
Kemanakah
akan kucari ia? pikirnya. Barangkali ia telah lupa akan waktu. Hidupnya yang
terasing membuat ia lupa bagaimana jalannya waktu. Apakah waktu berjalan ke
kanan ataukah ke kiri? Apakah waktu kini terus melaju ataukah malah mundur atau
terhenti sama sekali? ia mulai lupa akan dunia di sekelilingnya. Yang ia tahu
dunia adalah lembaran-lembaran cerita kesedihan yang akan ia tafsirkan melalui
nada. Dunia dipintal dari benang-benang kesedihan dan menjadi pakaian bagi
orang-orang yang selalu tertindas.
Lalu,
berjuta-juta kesedihan kembali muncul di sekeliling ruangan. Ada orang yang
mati dibunuh rekan kerjanya sendiri. Ada pengemis yang mati kelaparan dan
jasadnya dibiarkan begitu saja di tepi jalan seperti bangkai kucing. Ada anak
kecil yang asyik bermain, tiba-tiba mati tertembak oleh teman kecilnya yang
taksengaja memainkan senapan ayahnya. Ada ibu dan anak yang mati tertabrak
kereta api di sudut kota yang kumuh. Ada orang-orang yang hangus dibakar oleh
tentara. Ada suami yang dikubur hidup-hidup lalu istrinya pun ikut meninggal
akibat menangis sepanjang hari.
Ia
pun membayangkan wanita seperti dirinya baru pulang kerja dan berjalan sendiri
di sebuah jembatan tua kala malam. Tiba-tiba segerombolan pemuda menyergapnya
lalu membawanya ke sudut jembatan yang gelap. Suaranya tiba-tiba hilang dari
tenggorokan dan malam yang hening menjadi saksi atas tragedi tersebut. Wanita
tersebut hanya bisa diam, menangis, ketika pemuda-pemuda tersebut beramai-ramai
memerkosanya.
Dunia
sudah terlalu kejam, pikirnya. Ia tidak habis pikir mengapa dunia yang
diciptakan Tuhan harus menjadi penuh dengan lautan kesedihan. Manusia yang satu
menganggap sampah kepada manusia lainnya sehingga ia bisa melakukan apapun
terhadapnya. Dan ia rasakan bahwa hidup kini bukanlah sebuah kebanggaan lagi.
Ia
pun perlahan mengingat kedua orang tuanya. Dulu, ayahnyalah yang mengajarinya
bermain piano. Ia masih bisa merasakan hangat tangan ayahnya yang menuntun
tangan mungilnya memencet tuts-tuts untuk menghasilkan irama yang indah. Tentu
ia pun masih bisa ingat ekspresi ayahnya ketika bermain piano.
“Pianis
yang baik ialah ketika ia sudah berhasil menciptakan nada-nada indah di dalam
kesendiriannya,” kata Ayahnya dulu.
Dulu
sekali, ia belum mengerti arti dari perkataan ayahnya. Perlahan ia mulai
menyadari bahwa nada yang indah dibangun dalam jiwa yang suci ketika ia melihat
ayahnya dibawa paksa oleh beberapa orang-orang berseragam lengkap dan tidak
pernah kembali. Ia tidak pernah tahu kabar ayahnya lagi.
Ia
pun takkuasa melihat ibunya meninggal akibat kerinduan yang dalam terhadap
ayah. Ia melihat ibunya mati dengan kepala menelungkup ke tuts-tuts piano, dan
tuts yang putih itu memerah akibat darah yang mengalir dari pergelangan tangan
ibunya. Jiwanya yang kecil kemudian berharap, bahwa ibunya kelak akan menjadi bidadari
yang sangat cantik dan memainkan sebuah lagu pengantar tidur untuknya.
Kini,
sudah beberapa puluh tahun jiwanya selalu bergetar apabila ingat kedua orang
tuanya. Memandang piano tersebut, ada kenangan yang tidak pernah hilang. Ada
suara lembut ayah dan tawa renyah ibu yang masih terngiang-ngiang. Sungguh
dalam kesendirian, ia hanya bisa menangis merasakan jiwanya yang ngelangut.
Jiwa yang sepi, dunia yang semakin gila, dan kesedihan yang selalu ia temukan
di mana-mana. Ia mulai membenci dunia, dan terus memainkan nada yang selalu
menjelma menjadi kesedihan. Jika ada orang yang mendengar kesedihan tersebut,
maka menangislah ia.
Malam
yang gelisah dan rembulan yang tidak kunjung tiba. Harapan terakhirnya hilang
sudah. Jemarinya terus memainkan nada-nada kehilangan. Mungkin nada-nada
tersebut sudah tidak memiliki irama, akan tetapi ia terus memainkannya. Hingga
akhirnya kesedihan menjelma menjadi kabut yang menyesaki ruangannya. Ia terus
bermain dan terus menangis, memikirkan kehilangan yang selalu terjadi. Tragedi
yang takpernah usai sepanjang musim. Nyanyian air mata yang terus melaju
seperti laju kereta. Dan malam yang tidak pernah lagi memunculkan rembulan
purnama untuknya.
Ia
terus bermain sementara kesedihan terus berputar-putar di udara. Dan setiap
kali ia lihat kesedihan itu, ia selalu merasakan bagaimana kesedihan tersebut
perlahan membunuhnya.
***
Suatu
malam ia mati setelah membayangkan kematian. Kesedihan yang sudah terlalu banyak
berputar-putar di udara, mulai menyesaki tubuhnya. Ia sadar, bahwa kematian
sebentar lagi akan tiba padanya. Ia pun memainkan lagu kematian, lagu yang
belum pernah dimainkan oleh manusia mana pun di dunia ini. Ia hasilkan
nada-nada dan seketika itu kematian yang berwajah indah muncul di hadapannya.
Ia
taktakut mati. Ia hanya tahu kematian yang indah adalah ketika dia mampu
menggubah requiem kematiannya sendiri. Bukan orang lain yang melantunkannya,
melainkan dia sendiri. Dan ia bahagia, ketika ia tahu, kematian adalah
kebahagiaan yang paling hakiki di dalam kehidupan yang penuh dengan kesedihan.
Bandung,
02 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment